tag:theconversation.com,2011:/id/topics/metoo-55455/articles#MeToo – The Conversation2019-07-22T02:47:16Ztag:theconversation.com,2011:article/1202862019-07-22T02:47:16Z2019-07-22T02:47:16ZPerempuan mulai bergabung dengan gerakan lingkungan, tapi pelecehan dan ketidakadilan gender menghambat mereka<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/283819/original/file-20190712-173376-1lrdsqy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C10%2C2448%2C1685&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Apakah semuanya terlibat?</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/people-hands-cupping-plant-nurture-environmental-604290230?src=-VPsVKv1lX91ihZsFvCRdA-1-7&studio=1">Rawpixel.com/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p><a href="https://theconversation.com/metoo-workplace-equality-and-the-wave-of-women-3-essential-reads-108147">Gerakan #MeToo</a> membawa perubahan besar pada banyak organisasi di Amerika Serikat dalam dua tahun terakhir. Walau begitu, gerakan ini masih meninggalkan banyak pertanyaan yang belum terjawab tentang bagaimana tempat kerja dapat lebih inklusif dan adil bagi <a href="https://hbr.org/podcast/2019/06/why-things-arent-better-yet">perempuan dan kelompok lainnya</a>.</p>
<p>Beberapa bulan lalu, sejumlah <a href="https://www.politico.com/story/2019/06/11/jewell-nature-conservancy-1524088">petinggi</a> dari <a href="https://www.nature.org/en-us/"><em>The Nature Conservancy</em></a> memutuskan untuk keluar dari organisasi konservasi terbesar di Amerika Serikat. Mereka keluar setelah terbongkarnya kasus pelecehan seksual dan pelanggaran tempat kerja setelah adanya investigasi. </p>
<p>Kenyataan ini menegaskan bahwa budaya organisasi atau tempat kerja “<a href="https://www.politico.com/story/2019/05/05/29/the-nature-conservancy-harassment-probe-1488630">menghambat perempuan untuk berkembang</a>.”</p>
<p>Kami telah melakukan studi tentang perempuan di pucuk pimpinan lembaga yang melindungi lingkungan selama beberapa tahun terakhir. Penelitian kami berhasil menunjukkan bahwa pelecehan merupakan salah satu dari banyak tantangan yang harus dihadapi oleh para perempuan saat menjadi pimpinan. Hasil ini, sayangnya, tidak mengejutkan bagi kami. </p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1138152976554610688"}"></div></p>
<h2>Kehadiran perempuan dalam konservasi</h2>
<p>Selama lebih dari 30 tahun, lembaga lingkungan hidup di Amerika Serikat mendapatkan kritikan karena kerap <a href="https://www.jstor.org/stable/41674848">dipimpin oleh orang kulit putih dari golongan ekonomi kaya</a>, dan <a href="https://www.dukeupress.edu/the-rise-of-the-american-conservation-movement">berjenis kelamin laki-laki</a>.</p>
<p>Lembaga konservasi melakukan perbaikan dengan <a href="https://www.greenbiz.com/article/why-diversity-sustainability-matters-and-what-you-can-do">merekrut lebih banyak staf dari latar belakang yang beragam</a> dan bermitra lebih erat dengan <a href="https://www.politico.com/story/2015/05/05/new-sierra-club-president-green-diversity-problem-118433">pejuang keadilan lingkungan</a>.</p>
<p>Hasilnya, para perempuan semakin terlibat dalam organisasi konservasi. Pada tahun 2017, <a href="https://www.diversegreen.org/wp-content/uploads/2017/05/BeyondDiversity_NGO_Scorecard.Final_.pdf">41% dari staf penuh waktu</a> adalah perempuan. Namun, sampai saat ini belum banyak penelitian yang mendokumentasikan pengalaman mereka.</p>
<p><em>The Nature Conservancy</em> bukanlah organisasi pertama di mana perempuan mengeluhkan iklim kerja yang menyulitkan. </p>
<p>Sejak tahun 2016, skandal pelecehan seksual telah ditemukan di kelompok nirlaba lainnya, seperti <a href="https://news.mongabay.com/2018/04/calls-for-change-in-handling-abuse-allegations-at-top-conservation%20-group%20/"><em>Conservation International</em></a> dan <a href="https://www.hcn.org/issues/48.21/how-the-park-service-is-failing-women"><em>US National Park Service</em></a>.</p>
<p>Penelitian telah mengidentifikasi banyaknya hambatan di tempat kerja yang menyulitkan kemajuan perempuan dalam profesinya. </p>
<p>Hal itu meliputi adanya <a href="https://doi.org/10.5465/amj.2016.0148">tantangan terhadap kompetensi mereka</a>, <a href="https://doi.org/10.1073/pnas.1211286109">perbedaan gaji dan promosi</a>, dan <a href="https://doi.org/10.1177/0003122412451728">pelecehan seksual</a>. </p>
<p>Tantangan-tantangan ini disebut sebagai sebuah “<a href="https://www.scholars.northwestern.edu/en/publications/through-the-labyrinth-the-truth-about-how-women-become-leaders">labirin</a>” yang menghambat perempuan untuk menduduki jabatan kepemimpinan senior. </p>
<p>Meski pelestarian lingkungan adalah bidang yang cenderung progresif dengan para pendukungnya menganggap mereka berjuang untuk “berbuat baik,” namun dalam sebuah studi terbaru kami menemukan bahwa para ilmuwan perempuan yang memimpin upaya konservasi <a href="http://dx.doi.org/10.1111/csp2.36">menghadapi banyak dari hambatan ini</a>.</p>
<h2>Tantangan terkait gender di organisasi lingkungan</h2>
<p>Kami mewawancarai 56 perempuan yang menjabat posisi kepemimpinan di organisasi konservasi non-pemerintah, lembaga federal dan negara bagian, dan organisasi lainnya di 19 negara bagian di Amerika Serikat. </p>
<p>Usia mereka antara 26 hingga 64 tahun dan memiliki latar belakang ilmu pengetahuan alam dan sosial yang beragam.</p>
<p>Dalam percakapan kami, mereka mendeskripsikan enam kategori tantangan terkait gender–ketidaksetaraan gaji dan kesulitan menegosiasikan tingkat gaji, perekrutan dan promosi yang tidak setara, dikecualikan secara informal, pelecehan seksual dan tanggapan organisasi yang tidak memadai, dan adanya asumsi bahwa mereka tidak memenuhi syarat untuk melakukan pekerjaan mereka atau tidak layak menjadi pemimpin.</p>
<p>Perempuan mengungkapkan tantangan-tantangan sudah ada sejak awal karier mereka, baik dalam bentuk pelecehan di lokasi-lokasi lapangan yang terpencil atau dalam bentuk anggapan bahwa ilmuwan yang sejati seharusnya tidak mengenakan sepatu hak tinggi atau riasan.</p>
<p>Bagi banyak perempuan, pelecehan-pelecehan tersebut berlangsung bahkan hingga mereka menjadi pemimpin senior.</p>
<p>Perempuan dari semua latar belakang mengatakan bahwa mereka mengalami hambatan yang sama. Sebagian besar menyatakan setidaknya ada empat tantangan yang mereka harus hadapi. </p>
<p>Banyak yang melaporkan mengalami pelecehan seksual, mulai dari komentar hingga kontak fisik yang tidak diinginkan. Beberapa menggambarkan atasan laki-laki atau kolega berperilaku mengancam secara verbal atau fisik.</p>
<figure class="align-right ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/280116/original/file-20190618-118535-1lu8lif.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/280116/original/file-20190618-118535-1lu8lif.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=889&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/280116/original/file-20190618-118535-1lu8lif.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=889&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/280116/original/file-20190618-118535-1lu8lif.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=889&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/280116/original/file-20190618-118535-1lu8lif.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1117&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/280116/original/file-20190618-118535-1lu8lif.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1117&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/280116/original/file-20190618-118535-1lu8lif.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1117&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Dorceta Taylor, seorang profesor di University of Michigan, Amerika Serikat, mengajarkan kursus tentang topik termasuk sistem pangan, sejarah dan politik lingkungan, keadilan lingkungan, dan teori sosiologis. Dia menulis laporan di tahun 2014 yang menggambarkan gerakan lingkungan Amerika Serikat sebagai gerakan orang dalam yang berkulit putih’</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://flic.kr/p/dNHBt4">UMSEAS</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dalam pandangan mereka, perilaku-perilaku ini sering tidak dilaporkan karena perempuan takut akan adanya tindakan balasan atau mereka tidak berpikir bahwa melapor akan membawa perubahan. </p>
<p>Dan, ketika organisasi benar-benar mengambil tindakan, dalam penelitian kami, mereka menilai bahwa tindakan itu tidak cukup. Seperti yang dijelaskan oleh salah seorang partisipan, “Saya sudah berpikir untuk melaporkan, tapi saya lalu bertanya kepada diri sendiri, kenapa saya harus lapor? Pelaku tidak akan dituntut pertanggungjawaban. Saya yang harus menanggung beban dan biasanya hanya dibalas dengan : ‘jangan terlalu diambil hati’. </p>
<p>Perempuan non-kulit putih menghadapi rintangan yang lebih tinggi dibandingkan rekan-rekan mereka yang berkulit putih. </p>
<p>Partisipan kulit hitam, Hispanik, dan keturunan Asia menggambarkan diri mereka diperlakukan berbeda sebagai pejuang lingkungan satu-satunya dari ras atau etnis tertentu dan membuat rekan-rekan mereka menganggap bukan sebagai pimpinan atau ilmuwan. </p>
<p>Beberapa dari mereka menjelaskan, perempuan kulit putih kesulitan untuk menjadi pimpinan, tapi perempuan non-kulit putih bahkan susah untuk masuk ke dalam gedung.</p>
<h2>Dukungan yang bisa diberikan?</h2>
<p>Para partisipan mengatakan ada dua jenis dukungan yang telah memperbaiki situasi mereka. Salah satunya dukungan struktural, antara lain adanya kebijakan organisasi tentang pelecehan seksual, ketidakadilan gaji dan masalah lainnya, dan pelatihan tentang kepemimpinan dan keragaman. </p>
<p>Beberapa melaporkan bahwa kebijakan organisasi tentang pelecehan seksual hanya diberlakukan setelah terjadi skandal.</p>
<p>Langkah-langkah lainnya fokus kepada hubungan antar individu, meliputi memberikan peluang kepada perempuan, mempelajari kebutuhan individu perempuan, menawarkan masukan dan bimbingan, menghubungkan perempuan dengan jejaring profesional, memperjuangkan pekerjaan mereka, dan menunjukkan kepercayaan pada mereka.</p>
<p>Sangat penting melihat perilaku-perilaku tersebut diterapkan oleh para pimpinan terlepas dari gender mereka. </p>
<p>Oleh karena itu, keputusan untuk mempekerjakan mantan Sekretaris Dalam Negeri Amerika Serikat Sally Jewell sebagai interim CEO dari <em>The Nature Conservancy</em> tampak menjanjikan. Jewell sendiri telah menyoroti perlunya <a href="https://www.eenews.net/stories/1060561213">budaya tempat kerja</a> "di mana karyawan bisa nyaman dengan dirinya sendiri untuk bekerja.”</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/279859/original/file-20190617-118514-18pwm4d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/279859/original/file-20190617-118514-18pwm4d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/279859/original/file-20190617-118514-18pwm4d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=422&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/279859/original/file-20190617-118514-18pwm4d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=422&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/279859/original/file-20190617-118514-18pwm4d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=422&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/279859/original/file-20190617-118514-18pwm4d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=530&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/279859/original/file-20190617-118514-18pwm4d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=530&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/279859/original/file-20190617-118514-18pwm4d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=530&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://www.apimages.com/metadata/Index/Gabon-U-S-Secretary-Interior/c61280262daf4023aad58221caa21155/149/0">AP Photo/Joel Bouopda Tatou</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Mengapa keragaman penting dalam konservasi ?</h2>
<p>Tugas lembaga lingkungan lebih dari melindungi satwa liar dan alam. Upaya ini melibatkan orang-orang yang bekerja untuk mempromosikan gaya hidup dan kebiasaan yang berkelanjutan, sehingga generasi masa depan dapat berkembang. </p>
<p>Dalam sebuah esai tahun 2014, sebanyak 240 ilmuwan lingkungan menyatakan bahwa “masalah gender dan bias budaya” akan menghambat konservasi karena <a href="http://dx.doi.org/10.1038/515027a">memicu argumen yang memecah belah</a> terkait dengan alasan dan cara melestarikan alam.</p>
<p>“Upaya perlindungan lingkungan tidak jarang akan menjumpai pandangan yang beragam dan nilai yang berbeda di dunia nyata,” jelas mereka dalam esai tersebut. “Untuk menjawab dan memasukkan pandangan dan nilai-nilai ini, kami menyerukan adanya perwakilan yang lebih inklusif dari para ilmuwan dan praktisi dalam memetakan masa depan bidang kami, dan untuk pendekatan konservasi yang lebih inklusif.”</p>
<p>Pergolakan yang terjadi di <em>The Nature Conservancy</em> adalah satu bagian dari seruan lebih luas untuk <a href="https://grist.org/feature/the-unsustainable-whiteness-of-green/">transformasi gerakan lingkungan Amerika Serikat</a>. </p>
<p>Ada banyak alasan untuk meyakini bahwa gerakan yang lebih beragam <a href="https://cdn.naaee.org/sites/default/files/eepro/resource/files/diversity_module.9.22.15.pdf">akan lebih efektif</a>, bukan hanya dalam merekrut dan memperkerjakan staf yang berkualitas, tetapi juga dalam mengatasi <a href="https://www.un.org/sustainabledevelopment/blog/2019/05/nature-decline-unpreback-report/">krisis kepunahan yang sedang dihadapi planet Bumi</a>.</p>
<p><em>Las Asimi Lumban Gaol menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/120286/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Organisasi lingkungan utama Amerika Serikat telah berjanji untuk menjanjikan keragaman staf dan dewan mereka selama lebih dari 20 tahun, tetapi bergerak perlahan. Apakah skandal di tempat kerja akan membuat perbedaan?Megan Jones, Ph.D. Candidate in Human Dimensions of Natural Resources, Colorado State UniversityJennifer Solomon, Assistant Professor, Human Dimensions of Natural Resources, Colorado State UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1130382019-03-08T06:30:27Z2019-03-08T06:30:27ZMengapa dampak #MeToo tidak sampai ke Indonesia?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/262681/original/file-20190307-82695-1p7a87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C998%2C534&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ketika perempuan di negara-negara lain berhasil menjatuhkan para lelaki berkuasa yang melecehkan mereka, di Indonesia, korban pelecehan masih harus berusaha untuk mencari keadilan.
</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>“<a href="https://tirto.id/kasus-agni-bagaimana-ugm-mengabaikan-kasus-kekerasan-seksual-dgpM">Aku semangat, Aku nggak nyerah, Aku nggak padam</a>.” </p>
<p>Itulah yang dikatakan Agni, seorang penyintas kasus perkosaan tahun lalu setelah pejabat di Universitas Gajah Mada
(UGM), salah satu universitas papan atas di Indonesia, mengabaikan laporannya bahwa dirinya telah mengalami pelecehan seksual oleh temannya ketika sedang menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku. </p>
<p>Menurut Agni (bukan nama sebenarnya), UGM tampak lebih ingin melindungi reputasi mereka dibandingkan membantunya mendapatkan keadilan. </p>
<p>Tetapi, setelah koran kampus Balairung, <a href="http://www.balairungpress.com/2018/11/nalar-pincang-ugm-atas-kasus-perkosaan/">membuat laporan atas kejadian yang dialami Agni</a>, kasusnya menjadi berita nasional. Bahkan sebuah tagar #KitaAgni viral di media sosial.</p>
<p>Banyak yang berharap kontroversi ini bisa menjadi titik awal dari <a href="https://www.nytimes.com/2018/10/05/us/me-too-movement-women.html">momen #MeToo</a> di Indonesia. Gerakan #MeToo yang berawal di Amerika Serikat dan bertujuan untuk mengungkap pelecehan seksual serta menghukum pelakunya ini telah <a href="https://theconversation.com/beyond-metoo-brazilian-women-rise-up-against-racism-and-sexism-89117">muncul di berbagai negara</a> selama lebih dari 18 bulan terakhir ini. Namun dampaknya belum sampai ke Indonesia. </p>
<h2>Gerakan #MeToo Indonesia yang lemah</h2>
<p>Kasus Agni merupakan satu dari banyak kasus kekerasan seksual tak terselesaikan yang muncul di era #MeToo. </p>
<p>Ketika perempuan di negara-negara lain berhasil <a href="https://www.nytimes.com/interactive/2018/10/23/us/metoo-replacements.html">menjatuhkan para lelaki berkuasa</a> yang melecehkan mereka, di Indonesia, korban pelecehan masih harus berusaha untuk mencari keadilan. </p>
<p>Feminis Indonesia, Tunggal Pawestri, memperkenalkan <em><a href="https://twitter.com/hashtag/sayajuga?lang=en">#SayaJuga</a></em> untuk mendorong diskusi publik tentang kekerasan seksual yang semakin luas. Namun, tetap saja, di Indonesia, #MeToo dibicarakan terbatas pada mereka yang melek media sosial dan perempuan di kalangan menengah-atas. </p>
<p><a href="https://indonesia.unfpa.org/sites/default/files/pub-pdf/2016_SPHPN_%28VAW_Survey%29_Key_Findings1_0.pdf">Survei Pengalaman Hidup Perempuan (SPHN)</a> terakhir menunjukkan bahwa satu dari tiga perempuan Indonesia mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual. Angka ini sama dengan rata-rata global yang dikeluarkan oleh <a href="https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/violence-against-women">Organisasi Kesehatan Dunia</a> (WHO) dan <a href="http://www.worldbank.org/en/topic/socialdevelopment/brief/violence-against-women-and-girls">Bank Dunia</a>. </p>
<p>Saya mempelajari isu gender di Indonesia dan pernah bekerja sebagai <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-persimpangan-antara-tradisi-dan-moderenitas">peneliti</a> untuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).</p>
<p>Menurut pengamatan saya, kombinasi dari budaya patriarki yang sangat mengakar, nilai agama yang konservatif, dan praktik penegakan hukum yang tidak sensitif gender merupakan penyebab mengapa #MeToo tidak terjadi di Indonesia. </p>
<h2>Budaya patriarki</h2>
<p>Satu kesamaan yang saya amati dari negara-negara yang memiliki gerakan #MeToo yang kuat, seperti <a href="http://time.com/longform/me-too-asia-china-south-korea/">China, Korea Selatan</a>, dan <a href="https://economictimes.indiatimes.com/magazines/panache/2018-the-year-when-metoo-shook-india/2018-the-year-of-metoo-in-india/slideshow/66346583.cms">India</a> adalah kuatnya dukungan pemerintah, adanya sistem hukum yang kuat, dan dukungan publik dalam melawan kekerasan seksual. </p>
<p>Di Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya. </p>
<p>Budaya patriarki yang sangat kuat–didukung oleh pemerintah dan tokoh agama–menyebabkan perempuan jarang membicarakan seks, apalagi kekerasan seksual. </p>
<p>Kepemimpinan otoriter yang berjalan selama 32 tahun, yang berakhir tahun 1998, membuat perempuan sulit masuk ke ranah politik. Peran mereka masih cenderung terbatas pada <a href="https://www.insideindonesia.org/is-state-ibuism-still-relevant-2">menjadi ibu dan istri</a>. </p>
<p>Oleh karena itu, wacana terkait isu perempuan selama berpuluh tahun selalu berkisar seputar peran domestik perempuan saja. Kesetaraan gender dan perlindungan dari kekerasan seksual tidak menjadi bagian dari perdebatan publik di Indonesia. </p>
<p>Berbagai upaya untuk menghasilkan kebijakan yang lebih sadar gender mendapat <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.5367/sear.2015.0244">perlawanan dari para pimpinan kelompok Islam konservatif</a>. Mereka meyakini perempuan seharusnya menjadi pribadi yang taat dan dapat menjaga moralitas mereka. Hal ini ditunjukkan dengan memakai pakaian tertutup dan berhijab untuk mencegah nafsu laki-laki. </p>
<p>Tentu saja, perempuan yang menggunakan hijab juga menjadi <a href="https://www.womensmediacenter.com/women-under-siege/the-myth-of-how-the-hijab-protects-women-against-sexual-assault">korban pelecehan seksual</a>. Perkosaan itu tentang relasi kuasa, bukan ketertarikan. </p>
<p>Di Indonesia, narasi muslim konservatif ini melanggengkan budaya perkosaan. Kasus perkosaan terjadi dimana-mana, dianggap wajar, dan dimaafkan. <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1077801214543383?journalCode=vawa">Sebuah penelitian tahun 2014</a> menunjukkan bahwa laki-laki Indonesia berasumsi kekerasan terhadap perempuan jarang terjadi. Dan jika pun itu terjadi, menurut mereka, perempuan pantas mendapatkannya. </p>
<p><a href="https://theconversation.com/victim-blaming-culture-holds-back-metoo-in-indonesia-106671">Media</a> juga turut melanggengkan budaya <em>victim-blaming</em> juga. Reportase seputar pelecehan seksual sering menggambarkan perempuan sebagai pihak yang bertanggung jawab memicu hasrat laki-laki. </p>
<h2>Aturan dan sistem penegakan hukum yang buruk</h2>
<p>Kuatnya budaya patriarki ini berkontribusi pada lemahnya perlindungan hukum. Sistem hukum yang lemah ini bahkan bisa membuat perempuan <a href="http://www.bu.edu/bucflp-fig/files/2012/01/Law-No.-11-Concerning-Electronic-Information-and-Transactions.pdf">dikriminalisasi</a> karena melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya. </p>
<p>Itulah yang terjadi pada <a href="https://www.smh.com.au/world/asia/i-went-to-prison-and-he-got-promoted-indonesia-s-metoo-moment-20181218-p50n2p.html">Baiq Nuril</a>, seorang guru di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tahun lalu, dia melaporkan pelecehan yang dilakukan atasannya namun dia dipenjara karena dianggap melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik hukum yang <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2018/11/14/jailed-for-reporting-her-sexual-offender-mataram-woman-cries-for-help.html">kontroversial</a> itu. </p>
<p>Para aktivis di Indonesia sedang memperjuangkan pengesahan <a href="https://magdalene.co/story/what-you-need-to-know-about-anti-sexual-violence-bill">Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual</a> (RUU PKS) di Dewan Perwakilan Rakyat. Jika lolos, RUU PKS ini akan memperluas definisi kekerasan seksual hingga mencakup perkosaan, pelecehan seksual, dan praktik sehari-hari yang berbahaya, seperti sunat perempuan. </p>
<p>RUU ini juga mewajibkan sekolah-sekolah mengajarkan siswanya tentang pelecehan seksual, memastikan perempuan penyintas mendapatkan pendampingan psikologis setelah trauma, dan menyediakan fasilitas yang aman untuk perempuan di tempat publik.</p>
<p>Pengesahan RUU PKS ini bisa melindungi Agni dan penyintas lain. Sayangnya, <a href="https://theconversation.com/conservative-rejection-of-indonesias-anti-sexual-violence-bill-misplaced-111683">kelompok Islam konservatif</a> menolak peraturan tersebut karena menganggap RUU ini mempromosikan seks bebas dan perilaku seksual menyimpang. </p>
<p>Selain itu, masalah hukum lainnya adalah perempuan Indonesia enggan melaporkan pelecehan seksual yang mereka alami ke penegak hukum. </p>
<p>Meskipun polisi Indonesia memiliki protokol yang mendorong petugas kepolisian untuk mendapatkan <a href="https://nasional.tempo.co/read/1149525/lbh-apik-kritik-polisi-soal-penanganan-kasus-kekerasan-seksual">kepercayaan para korban</a>, misalnya dengan menugaskan lebih banyak polisi wanita dan psikolog untuk mendampingi kasus pelecehan seksual. Cara tersebut tetap tidak berhasil dalam menghapuskan budaya <em>victim-blaming</em> yang kuat di kalangan penegak hukum. </p>
<p>Polisi seringkali <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2014/08/08/rape-victims-blamed-indonesian-culture.html">menginterogasi para korban</a> dengan meminta saksi mata dan informasi yang sangat detail akan kasus pelecehan seksual yang ia alami. </p>
<p>Pada November 2017, <a href="https://www.vice.com/en_asia/article/ywbmj7/indonesias-police-chief-shows-exactly-why-metoo-is-so-important-here-too">Kapolri Jenderal Tito Karnavian</a>, mengatakan penyelidik harus menanyakan perempuan yang melaporkan kasus kekerasan seksual apakah “mereka nyaman selama perkosaan”.</p>
<p>Pernyataan mengejutkan ini menyebabkan banyak korban merasa putus asa. Jika pimpinan kepolisian Indonesia, wujud dari perlindungan hukum negara, menganggap bahwa perkosaan bisa dinikmati, bagaimana perempuan bisa percaya bahwa kepolisian ada di pihak mereka?</p>
<h2>Apa selanjutnya?</h2>
<p>Gerakan global #MeToo telah membangkitkan partisipasi banyak orang di seluruh dunia untuk bicara tentang pelecehan seksual dan meningkatkan simpati publik. Namun hal ini tidak terjadi di Indonesia. </p>
<p>Kebanyakan perempuan diam, atau diminta diam, dalam budaya patriarki yang sangat kuat mengakar berkelindan dan didukung dengan nilai nilai religius yang konservatif. Hal ini membuat satu dari tiga perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual di Indonesia berada dalam posisi yang sangat sulit karena mereka dalam lingkungan yang cenderung menyalahkan korban.</p>
<p>Banyak perempuan, terjebak dalam sistem yang menghalangi mereka untuk melawan atau bicara. Hal ini pun diteruskan ke generasi muda. </p>
<p>Terlepas dari masalah sistematik ini, salah satu penyintas menolak untuk menyerah. Agni telah berjanji akan melanjutkan perjuangannya mencapai keadilan di UGM. </p>
<p>Semoga, akan ada waktu di mana perempuan Indonesia lain dapat meneriakkan #MeToo, tanpa ada ketakutan ataupun keraguan. </p>
<p><em>Artikel ini telah direvisi untuk nama ibu kota pulau Seram. Yang betul adalah Maluku bukan Ambon seperti yang ditulis sebelumnya.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/113038/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dyah Ayu Kartika adalah fellow correspondent untuk isu gender untuk New Mandala.</span></em></p>Kombinasi dari budaya patriarki yang sangat kuat, nilai agama yang konservatif, dan praktik penegakan hukum yang tidak sensitive gender merupakan penyebab mengapa #MeToo tidak terjadi di Indonesia.Dyah Ayu Kartika, Researcher, Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) ParamadinaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1083442018-12-19T06:53:10Z2018-12-19T06:53:10ZTidak hanya di Amerika, kekerasan seksual di kampus juga marak di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/249508/original/file-20181208-128202-1lxxpx3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C1%2C1000%2C664&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus dikarenakan nihilnya perspektif gender dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual baik di lingkungan akademik perguruan tinggi maupun aparat hukum. </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Lambannya penanganan kasus kekerasan seksual di universitas-universitas menunjukkan sebuah ironi. Kampus yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mendidik masyarakat justru terkesan tidak tegas terhadap pelaku kekerasan seksual dengan membiarkan mereka lepas dari hukuman.</p>
<p>Tidak adanya penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual inilah yang mengakibatkan tingginya kasus kekerasan seksual di universitas. </p>
<p>Di Amerika, pada 2017, badan keamanan federal menemukan adanya <a href="https://www.chicagotribune.com/news/opinion/editorials/ct-edit-campus-devos-sexual-assault-0716-jm-20170714-story.html">344 kasus kekerasan seksual di 242 institusi pendidikan tinggi.</a>.</p>
<p>Tren yang sama juga terjadi di Indonesia. Data terakhir dari <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Catatan%20Tahunan%20Kekerasan%20Terhadap%20Perempuan%202018.pdf">Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Perempuan dan Anak tahun 2018</a> menunjukkan stagnasi tingginya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi dari tahun ke tahun. </p>
<p>Tulisan ini berusaha mengupas alasan mengapa kasus kekerasan seksual begitu marak di institusi perguruan tinggi dan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya.</p>
<h2>Gunung es kasus kekerasan seksual di universitas di Indonesia</h2>
<p>Baru-baru ini terkuak <a href="http://www.balairungpress.com/2018/11/nalar-pincang-ugm-atas-kasus-perkosaan/">kasus kekerasan seksual</a> yang diduga dilakukan oleh mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Pelaku diduga melecehkan temannya sendiri ketika menjalankan Kuliah Kerja Nyata di Pulau Seram, Maluku pada bulan 2017. Sampai sekarang belum jelas penyelesaian kasus tersebut. Dari <a href="http://www.balairungpress.com/2018/11/nalar-pincang-ugm-atas-kasus-perkosaan/">berita</a> yang beredar, dalam penanganan kasus ini para petinggi kampus justru menyalahkan korban. </p>
<p>Apa yang terjadi di UGM merupakan gunung es dari penanganan kasus kekerasan seksual di pendidikan tinggi di Indonesia. Begitu banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus di Indonesia tapi penyelesaian kasusnya masih setengah-setengah.</p>
<p>Tak hanya UGM, [<a href="http://youthproactive.com/201811/for-your-information/daftar-pelecehan-seksual-di-kampus-negeri/">Universitas Indonesia (UI), Universitas Negeri Jakarta</a> dan sebuah kampus di <a href="https://tirto.id/kisah-kekerasan-seksual-di-kampus-melawan-relasi-kuasa-dosen-mesum-c9mA">Bali</a> memiliki catatan hitam dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. </p>
<p>Data terakhir yang disampaikan Komnas Perlindungan Perempuan menunjukkan kasus kekerasan seksual paling banyak terjadi di lingkungan perguruan tinggi di antara institusi pendidikan lain. Justru semakin tinggi tingkat pendidikannya, jumlah pelaku maupun korban pun semakin tinggi. Dalam tiga tahun terakhir, kasus kekerasan seksual di tingkat SMA pun stagnan di angka 200-an. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/249204/original/file-20181206-128187-1aqfwt1.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/249204/original/file-20181206-128187-1aqfwt1.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=406&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/249204/original/file-20181206-128187-1aqfwt1.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=406&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/249204/original/file-20181206-128187-1aqfwt1.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=406&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/249204/original/file-20181206-128187-1aqfwt1.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=510&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/249204/original/file-20181206-128187-1aqfwt1.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=510&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/249204/original/file-20181206-128187-1aqfwt1.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=510&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan 2018.</span>
<span class="attribution"><span class="source">https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Catatan%20Tahunan%20Kekerasan%20Terhadap%20Perempuan%202018.pdf</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Laporan yang sama juga menunjukkan bahwa dalam tiga tahun terakhir, jumlah korban dan pelaku kekerasan seksual di lingkungan kampus tidak begitu mengalami perubahan.</p>
<p>Dari 363 korban dan 275 pelaku pada tahun 2015 menjadi 325 korban dan 270 pelaku tahun 2016. Lalu jumlahnya menjadi 320 korban dan 280 pelaku tahun 2017. </p>
<p>Hal ini menunjukkan keengganan dari pihak kampus menindak pelaku-pelaku kasus ini secara tegas. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/249620/original/file-20181210-76959-1iq0n4p.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/249620/original/file-20181210-76959-1iq0n4p.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=351&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/249620/original/file-20181210-76959-1iq0n4p.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=351&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/249620/original/file-20181210-76959-1iq0n4p.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=351&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/249620/original/file-20181210-76959-1iq0n4p.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=441&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/249620/original/file-20181210-76959-1iq0n4p.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=441&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/249620/original/file-20181210-76959-1iq0n4p.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=441&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Diolah dari Catatan Tahunan Komisi Nasional Perempuan 2016-2018.</span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tindakan yang ditempuh pihak perguruan tinggi masih sebatas mengamankan nama baik kampus. Tindakan administrasi menjadi solusi yang paling sering dipakai untuk <a href="https://tirto.id/kampus-jadi-lahan-subur-kasus-kasus-pelecehan-seksual-c9cr">menyelesaikan kasus kekerasan seksual di kampus </a>. Bahwa hukuman pidana dapat menciptakan efek jera pun hanyalah slogan dalam kasus kekerasan seksual di kampus. </p>
<h2>Mengapa ini terjadi?</h2>
<p>Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus dikarenakan nihilnya perspektif gender dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual baik di lingkungan akademik perguruan tinggi maupun aparat hukum. </p>
<p>Lambannya penanganan kekerasan seksual di kampus menjadi buktinya. Dalam kasus UGM di atas, penanganan kasus yang lama dan berbelit-belit dari pihak kampus justru menghambat korban untuk mendapatkan keadilan. Artinya kampus yang berisi banyak kaum intelektual justru gegabah untuk tidak segera membantu penyintas mendapat keadilan melalui jalur hukum.</p>
<p>Namun ketika membawanya ke ranah hukum, belum tentu masalah akan selesai. Mental aparat hukum yang tidak sensitif gender justru bisa membuat korban trauma. Misalnya, ketika penyusunan laporan awal kepolisian seringkali korban ditanyai mengenai pakaian apa yang dikenakan korban. Pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan ini yang justru semakin melemahkan psikis korban. </p>
<p>Belum lagi korban harus melalui proses pembuktian yang berbelit dan lama. Selama tidak ada bukti penetrasi maka kasus kekerasan seksual itu sangat sulit diproses dalam hukum pidana Indonesia. Kasus UGM di atas, misalnya, sulit diproses dengan tidak adanya bukti penetrasi karena kekerasan terjadi dengan memasukkan tangan ke vagina. Selain itu, pihak kepolisian pun mengkhawatirkan akan kelengkapan bukti karena kejadian sudah berlalu cukup lama. </p>
<h2>Apa yang bisa dilakukan</h2>
<p>Jika UGM mau bergerak progresif, kasus di atas seharusnya menjadi stimulan terhadap penanganan kasus-kasus kekerasan seksual yang ada di kampus khususnya dan Indonesia pada umumnya. </p>
<p>Jika masih memikirkan nama baik kampus maka justru sikap yang tegaslah yang bisa mengembalikan nama baik, bukan justru mengulur kasus sampai satu tahun berselang. </p>
<p>Seandainya UGM bisa tegas mengusut kasus, pemerintah juga akan dapat mencontoh untuk memasukkan perspektif akan pentingnya penanganan kekerasan terhadap perempuan. </p>
<p>UGM bisa mengambil contoh yang dilakukan salah satu universitas di Australia yakni <a href="https://student.unsw.edu.au/indonesian-faqs">Universitas New South Wales (UNSW) dalam menangani kasus kekerasan seksual</a>. Mereka menyediakan portal tersendiri untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang di lingkungan kampus. Di sana dijelaskan mulai dari prosedur pelaporan ke pihak kampus, jaminan kerahasiaan pelapor, hingga jaminan bahwa kampus akan membawa laporan ke ranah hukum disertai dengan pendampingan psikologis bagi korban.</p>
<p>Pihak perguruan tinggi seharusnya mampu memberikan dukungan dan membuat prosedur yang tegas menindak kekerasan seksual. Jika perguruan tinggi yang menjadi tempat kalangan orang terdidik saja masih tidak memiliki perhatian penuh dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual di dalamnya maka sulit untuk mendapatkan keadilan bagi korban.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/108344/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nuresti Tristya Astarina tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Tidak adanya penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual inilah yang mengakibatkan tingginya kasus kekerasan seksual di universitas tinggi.Nuresti Tristya Astarina, Researcher, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1074552018-11-25T00:49:31Z2018-11-25T00:49:31ZKuatnya budaya ‘victim blaming’ hambat gerakan #MeToo di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/247087/original/file-20181124-149332-1s3a2k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C8%2C998%2C655&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kasus perkosaan di UGM adalah momentum yang bisa mengingatkan bahwa kita harus mendukung para penyintas.</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p><em>The Conversation Indonesia menerbitkan serangkaian artikel yang membahas kekerasan terhadap perempuan dalam rangka Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Sedunia pada 25 November.</em> </p>
<hr>
<p>Di Indonesia, perempuan ikut menggerakkan aksi solidaritas terhadap korban kekerasan atau yang dikenal dengan sebutan <a href="https://theconversation.com/id/topics/metoo-45316">gerakan #MeToo</a>. Salah satu penggerak aksi ini adalah para korban kekerasan seksual yang melaporkan pelaku pada polisi. </p>
<p>Baru-baru ini, dua kasus kekerasan seksual menarik perhatian publik. Kasus pertama adalah dugaan pemerkosaan terhadap mahasiswi Universitas Gadjah Mada oleh rekannya sendiri. Sedangkan kasus lainnya adalah dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum kepala sekolah terhadap seorang guru di Lombok, Nusa Tenggara Barat. </p>
<p>Jika kesaksian perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di Amerika Serikan telah <a href="https://theconversation.com/bill-cosby-exposed-by-the-media-but-it-was-women-who-brought-him-down-95720">berhasil menjatuhkan para pelaku yang merupakan pria yang berkuasa</a> dan mendorong <a href="https://theconversation.com/metoo-movement-finds-an-unlikely-champion-in-wall-street-with-the-new-weinstein-clause-100938">penegakan norma perusahaan yang menolak adanya pelecehan seksual</a>, maka kesaksian para perempuan di Indonesia justru bisa membuat mereka terancam tindak pidana karena <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2018/11/07/victim-blaming-in-latest-ugm-sexual-assault-prompts-thousands-to-call-for-action.html">budaya yang menyalahkan korban (<em>victim blaming</em>) begitu meraja lela di Indonesia</a>. </p>
<p>Media tidak hanya memainkan peran dalam melaporkan budaya <em>victim blaming</em> tersebut namun juga memperkuat keberadaannya.</p>
<h2>Menyalahkan Korban</h2>
<p>Kasus perkosaan di UGM menjadi perhatian publik setelah lembaga pers mahasiswa <a href="http://www.balairungpress.com/2018/11/nalar-pincang-ugm-atas-kasus-perkosaan/"><em>Balairung</em></a> mengangkat laporan tentang kejadian yang menimpa Agni (bukan nama sebenarnya). Agni melaporkan telah dilecehkan secara seksual oleh teman satu programnya, HS, saat melakukan Kuliah kerja Nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku. </p>
<p>Balairung mewawancarai Agni dan menuliskan tanggapan pihak kampus atas laporan Agni. Menindaklanjuti laporan perkosaan yang disampaikan Agni, UGM langsung memberhentikan tersangka dari program KKN, sedangkan Agni tetap diperbolehkan melanjutkan programnya hingga selesai. Namun setelah KKN berakhir, Agni ternyata hanya memperoleh nilai C sementara teman-teman satu kelompoknya memperoleh nilai yang lebih tinggi. </p>
<p>Ketika mempertanyakan nilainya yang rendah, salah seorang pengelola KKN justru menyalahkan Agni karena bertindak ceroboh. Ia menilai peristiwa perkosaan itu telah membuat malu nama UGM di depan warga. </p>
<p>Dalam pertemuan lanjutan dengan universitas, seorang pejabat kampus justru membenarkan tindakan dosen pembimbing lapangan (DPL) yang memberi nilai C. </p>
<blockquote>
<p>“Seandainya kamu tidak menginap di sana, peristiwa itu tidak akan terjadi”, tuturnya. </p>
<p>“Jangan menyebut dia (Agni) korban dulu. Ibarat kucing kalau diberi ikan asin pasti setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan,” seorang dosen lain memberikan pernyataan kontroversial.</p>
</blockquote>
<p>Sementara itu di Lombok, seorang guru perempuan bernama Baiq Nuril yang merekam percakapan asusila yang dilakukan seorang kepala sekolah terhadap dirinya sebagai bukti untuk membela diri justru dihukum 6 bulan penjara dan didenda Rp500 juta. Ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena dianggap melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam menyebarkan dokumen elektronik dengan muatan asusila.</p>
<p>Kedua kasus tersebut hanyalah puncak gunung es dari budaya <em>victim blaming</em> yang cukup kuat terhadap korban tindak kekerasan seksual di Indonesia. </p>
<p>Budaya menyalahkan korban begitu lazim ditemui sehingga banyak penyintas akhirnya takut melaporkan kasus yang dialami. Para penyintas khawatir akan mendapat stigma buruk. Mereka juga dianggap merusak nama baik keluarga atau lembaga. Mereka bahkan dapat dikriminalisasi karena melaporkan pemerkosaan tersebut.</p>
<h2>Peran media</h2>
<p><a href="http://www.southernct.edu/sexual-misconduct/facts.html"><em>Victim blaming</em></a> adalah suatu bentuk sikap menyalahkan perempuan atas kekerasan seksual yang mereka alami. Gejala ini ditandai dengan kecenderungan memihak para pelaku. Masyarakat juga lebih banyak mendengarkan cerita versi pelaku. </p>
<p>Ketika menyalahkan korban, masyarakat terbiasa menuduh perempuan ikut bertanggung jawab atas kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya. Misalnya mereka bilang kasus itu bisa terjadi karena perempuannya mengenakan rok pendek, keluar malam sendirian, dan lain-lain. Mereka juga cenderung memberikan toleransi pada pelaku sehingga memungkinkan mereka untuk lepas dari hukuman. </p>
<p>Di Indonesia, kebiasaan menyalahkan korban sangat dipengaruhi oleh <a href="https://organizingchange.org/patriarchy-persists-can-change/">budaya patriarki</a>, ideologi yang mengakui hubungan tidak setara antara perempuan dan laki-laki. Dalam budaya patriarki, posisi laki-laki lebih dominan, lebih berpengaruh, sementara perempuan diposisikan sebagai bawahan. Akibatnya, laki-laki menuntut rasa hormat dan kepatuhan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.</p>
<p><a href="https://aifs.gov.au/cfca/publications/role-mass-media-facilitating-community-education">Media memainkan peran ganda dalam kasus kekerasan seksual</a>. Di satu sisi, media adalah sumber informasi utama bagi masyarakat untuk mengetahui adanya kekerasan terhadap perempuan sekaligus menjadi salah satu sarana edukasi masyarakat dalam menyikapi kekerasan seksual. Media juga bisa memberi tempat agar suara penyintas didengar. Laporan <em>Balairung</em> tentang perkosaan Agni di UGM misalnya, telah menarik perhatian dan simpati publik atas kejadian tersebut.</p>
<p>Namun di sisi yang lain, <a href="https://encompass.eku.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1008&context=kjus">liputan media juga dapat memperparah budaya menyalahkan korban</a>. Hal ini mungkin terjadi karena media cenderung menampilkan perempuan sebagai sosok yang lemah, dan bukan penyintas yang bisa berjuang untuk mencari keadilan setelah diperkosa. <a href="https://www.abc.net.au/news/2017-07-05/victim-blaming-still-occurring-in-australian-reporting-of-%20dv%20/%208672904">Media juga cenderung menyalahkan perempuan dalam liputan tentang kekerasan seksual</a>.</p>
<p>Sebuah penelitian tentang <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/10357829908713249?src=recsys">serangan seksual terhadap keturunan Tionghoa selama transisi politik Indonesia pada Mei 1998</a> oleh Susan Blackburn dari Monash University Australia menyoroti peran media dalam menyebarkan sikap menyalahkan korban. Temuan Susan menunjukkan bahwa pemberitaan media di Indonesia sering memojokkan perempuan dalam kasus kekerasan perempuan dengan mengatakan bahwa perkosaan bisa terjadi karena karena perempuan yang bersangkutan memancing hasrat seksual pemerkosa dengan pakaian “provokatif” dan “sensual”. </p>
<p>Sikap menyalahkan korban dalam masyarakat patriaki telah membuat para penyintas kekerasan seksual mengalami penderitaan ganda: diperkosa dan disalahkan. Ini akan menyebabkan para penyintas tidak merasa aman dalam membagikan cerita mereka kepada orang lain.</p>
<p>Sikap menyalahkan korban juga membawa dampak negatif lainnya.</p>
<p>Sosiolog Indonesia <a href="https://arielheryanto.files.wordpress.com/2016/03/1999_rape-race-reporting-c.pdf">Ariel Heryanto</a> melakukan penelitian lain tentang perempuan keturunan Tionghoa yang diperkosa dan dilecehkan secara seksual pada tahun 1998. Ia menemukan bahwa sebagian besar penyintas memilih untuk melarikan diri dari rumah dan berusaha menjalani hidup baru di tempat yang jauh karena trauma dan stigma buruk. Banyak yang mencoba mengatasi trauma tersebut dengan melupakan atau menyangkal bahwa kekerasan seksual telah terjadi. Akibatnya, kasus pemerkosaan tahun 1998 masih sulit untuk ditelusuri hingga saat ini.</p>
<p>Lingkungan masyarakat yang melanggengkan sistem patriarki juga memperkuat budaya memerkosa atau <a href="http://www.southernct.edu/sexual-misconduct/facts.html"><em>rape culture</em></a> yang juga mendorong sikap menyalahkan korban. Budaya memerkosa didefinisikan sebagai lingkungan yang menoleransi perkosaan dan kekerasan seksual.</p>
<p>Budaya memerkosa ini dilestarikan melalui penggunaan bahasa yang merendahkan perempuan dengan mengomentari bentuk tubuh perempuan atau menggunakan lelucon seksual maupun kasus perkosaan sebagai bahan lelucon. </p>
<p>Bercanda tentang perkosaan mengabaikan fakta bahwa banyak penyintas pemerkosaan yang harus menghadapi luka fisik dan emosional sekaligus, karena setelah diperkosa (yang tidak pernah ia harapkan) ia juga disalahkan atau dijadikan bahan olok-olok oleh orang-orang di sekelilingnya.</p>
<p>Disadari atau tidak, kebiasaan ini membangun masyarakat yang mengabaikan hak dan keamanan perempuan. </p>
<h2>Membela penyintas</h2>
<p>Kasus perkosaan di UGM adalah momentum yang bisa mengingatkan bahwa kita harus mendukung para penyintas. Kita harus memprioritaskan untuk berdiri bersama penyintas. Dukungan publik untuk Baiq Nuril dari Lombok juga harus memicu reformasi penegakan hukum dan peradilan untuk melindungi korban kekerasan seksual di Indonesia.</p>
<p>Sikap menyalahkan korban dan budaya memerkosa adalah masalah yang sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia. Untuk melawannya, kita harus selalu mendukung penyintas, tidak hanya ketika kasus tersebut menimbulkan reaksi publik tapi setiap saat. Kita juga perlu mengubah cara pandang kita terhadap masalah pemerkosaan, dimulai dengan menghargai jenis pakaian apa pun yang mereka kenakan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/107455/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Iwan Awaluddin Yusuf tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dengan kecenderuanga budaya Indonesia yang menyalahkan perempuan dalam kasus kekerasan seksual, korban pelecehan seksual tidak hanya menderita karena diserang tapi juga disalahkan.Iwan Awaluddin Yusuf, Lecturer in Department of Communications, Universitas Islam Indonesia (UII) YogyakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/979132018-06-20T06:02:26Z2018-06-20T06:02:26ZGap orgasme antara perempuan dan laki-laki: bagaimana menutupnya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/223962/original/file-20180620-126531-1d4l34y.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kenikmatan seksual perempuan tidak diutamakan sebagaimana pada laki-laki.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/confirm/211213135?src=TcT-90HwJib8L6lCFsQSbQ-1-65&size=medium_jpg"> Lucky Business/Shutterstock.com</a></span></figcaption></figure><p>Inti revolusi seksual pada era 1960-an di Amerika Serikat adalah “<a href="https://www.pbs.org/wgbh/americanexperience/features/pill-and-sexual-revolution/">pemberdayaan seksual perempuan</a>.” Revolusi gagal mencapai tujuan ini. Alasan khususnya karena meski revolusi itu <a href="http://time.com/3611781/sexual-revolution-revisited/">membuat perempuan berhubungan seksual sebelum menikah diterima</a>, revolusi tersebut tidak menyebabkan perempuan memiliki pengalaman seksual yang sama menyenangkannya.</p>
<p>Pernyataan yang tegas ini datang dari sudut pandang saya sebagai peneliti seks dan pendidik. Saya mengajar seksualitas manusia kepada ratusan mahasiswa dalam setahun. Sebagai alat riset dan pengajaran, saya secara anonim mensurvei mahasiswa tentang pengalaman seksual mereka dan membandingkan hasil riset tersebut dengan riset yang telah dipublikasikan. Kedua sumber menyediakan bukti mencolok sebuah gap atau kesenjangan orgasme antara perempuan dan laki-laki. </p>
<p>Temuan ini memacu saya untuk menulis sebuah buku untuk meningkatkan kesetaraan kenikmatan. <a href="https://www.harpercollins.com/9780062484383/becoming-cliterate">“Becoming Cliterate: Why Orgasm Equality Matters – And How to Get It”</a> bertujuan untuk menyingkap, menjelaskan, dan menutup kesenjangan orgasme.</p>
<h2>Kesenjangan orgasme disingkap</h2>
<p><a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16418125">Satu riset</a> dari para mahasiswa telah menemukan bahwa 91% laki-laki dan 39% perempuan selalu atau biasanya organisme selama berhubungan seksual. Sementara riset ini tidak bertanya tentang konteks seksual, <a href="https://sites.lsa.umich.edu/elizabetharmstrong/wp-content/uploads/sites/218/2015/01/Armstrong-England-Fogarty-Norton-Volume.pdf">riset lainnya</a> mengungkapkan bahwa kesenjangan ini lebih besar dalam <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Casual_sex">seks tanpa komitmen (<em>casual sex</em>)</a> dibanding seks yang dilandasi komitmen dan cinta (<em>relationship sex</em>). </p>
<p>Para perempuan ditemukan orgasme 32% sesering laki-laki pada waktu pertama kali bercinta tanpa komitmen dan 72% lebih sering dalam hubungan seks yang dilandasi komitmen. Riset ini tidak merinci bahwa bersanggama termasuk aktivitas yang dapat menyebabkan orgasme. Ketika saya merinci hal ini, 55% dari mahasiswa dan 4% dari mahasiswi menyatakan selalu orgasme saat bercinta tanpa komitmen. </p>
<p>Kesenjangan orgasme tidak terbatas pada para mahasiswa. Di antara <a href="http://www.nationalsexstudy.indiana.edu/">sampel Amerika Serikat dalam skala nasional</a>, 64% perempuan dan 91% laki-laki menyatakan mereka orgasme pada hubungan seks yang paling terakhir.</p>
<p>Jelaslah, ada sebuah gap orgasme. Tapi, apa alasan budaya untuk gap ini? </p>
<h2>Kesenjangan orgasme dijelaskan</h2>
<p>Beberapa orang mengatakan gap orgasme bukanlah diakibatkan oleh budaya tapi karena sifat yang sukar dipahami dari orgasme perempuan. Namun <a href="https://www.amazon.com/Hite-Report-National-Female-Sexuality/dp/1583225692/ref=sr_1_2?ie=UTF8&qid=1526216412&sr=8-2&keywords=Shere+Hite">satu studi</a> penting menemukan bahwa ketika bermasturbasi, 95% perempuan mencapai orgasme secara mudah dan dalam beberapa menit. <a href="https://www.amazon.com/Sexual-Behavior-Female-Alfred-Kinsey/dp/025333411X/ref=sr_1_6?s=books&ie=UTF8&qid=1526083675&sr=1-6&keywords=Alfred+Kinsey">Peneliti seks Alfred Kinsey menemukan</a> bahwa rata-rata perlu waktu empat menit bagi perempuan yang bermasturbasi untuk orgasme. Puncak kenikmatan seksual itu tidak sulit dipahami ketika perempuan sendirian. </p>
<p>Orgasme juga tidak sukar dipahami ketika perempuan bersama pasangan. Satu <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1743609515306020?via%3Dihub">riset </a> menemukan bahwa tingkat orgasme tidak bervariasi menurut orientasi seksual untuk laki-laki, tapi untuk perempuan. Lesbian lebih cenderung orgasme daripada perempuan heteroseksual.</p>
<p>Apakah seks lesbian dan masturbasi perempuan memiliki kesamaan? Mereka fokus pada stimulasi klitoris. Satu <a href="https://www.amazon.com/Hite-Report-National-Female-Sexuality/dp/1583225692/ref=sr_1_1?s=books&ie=UTF8&qid=1526221563&sr=1-1&keywords=Hite+Report">studi</a> menemukan bahwa ketika perempuan mencari kenikmatan dengan diri mereka sendiri, hampir 99% merangsang klitoris mereka. </p>
<p>Namun ketika dengan partner laki-laki, terutama hubungan seks tanpa komitmen, perempuan melupakan stimulasi klitoris yang dibutuhkan untuk orgasme. <a href="https://www.cosmopolitan.com/sex-love/news/a37812/cosmo-orgasm-survey/">Sebuah survei yang dilakukan oleh majalah perempuan</a> menunjukkan bahwa 78% masalah orgasme perempuan dalam hubungan heteroseksual adalah karena tidak cukup atau tidak tepatnya rangsangan klitoris. </p>
<p>Sebuah <a href="http://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0003122412445802">riset akademik </a> menemukan bahwa menerima oral seks dan menyentuh klitoris selama hubungan seksual meningkatkan level orgasme dan perilaku itu terjadi lebih sering dalam hubungan seks yang dilandasi komitmen ketimbang seks tanpa komitmen. </p>
<p>Perempuan tidak mendapat rangsangan klitoris, terutama pada seks tanpa komitmen, adalah alasan utama terjadinya gap orgasme. Ini mengarahkan pada sebuah pertanyaan lebih bernuansa: mengapa para perempuan tidak mendapatkan rangsangan yang mereka butuhkan? </p>
<h2>Standar ganda dan kurangnya pengetahuan</h2>
<p>Alasan pertama adalah ketidaktahuan tentang klitoris, yang didorong oleh sistem pendidikan seks kita. Pengarang terkenal <a href="https://www.nytimes.com/2016/03/20/opinion/sunday/when-did-porn-become-sex-ed.html">Peggy Orenstein</a> menunjukkan bahwa pendidikan seks mengabaikan klitoris, yang diajarkan hanya klitoris sebagai bagian organ dalam perempuan. Tidak heran, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1300/J013v42n01_07">sebuah studi </a> menemukan bahwa lebih dari 60% mahasiswa tidak percaya bahwa klitoris terletak di dalam saluran vagina. </p>
<p>Banyak mahasiswa juga keliru percaya bahwa orgasme perempuan dari persetubuhan saja. Sebenarnya, hanya minoritas yang bisa. Tergantung pada cara pertanyaan-pertanyaan diajukan, <a href="https://www.cosmopolitan.com/sex-love/news/a37812/cosmo-orgasm-survey/">15%</a> sampai <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29079939">30%</a> perempuan mengatakan mereka orgasme dari persetubuhan saja. Ketika saya bertanya ke para mahasiswa, “Cara apa yang paling dapat Anda andalkan untuk orgasme?”, 4% menjawab penetrasi saja.</p>
<p>Namun, dengan gagalnya mengajarkan hal ini dalam pendidikan seks, kita membiarkan orang-orang bergantung pada gambar-gambar media. <a href="https://www.nytimes.com/2016/03/20/opinion/sunday/when-did-porn-become-sex-ed.html">Orenstein</a> menyatakan bahwa pornografi telah menjadi pendidikan seks baru. Satu kesalahan yang dilukiskan dalam pornografi, dan media <em>mainstream</em>, adalah pemahaman bahwa perempuan orgasme dari persetubuhan adalah hal yang normal bahkan ideal. Keyakinan keliru ini adalah kesalahan utama sehingga perempuan tidak mendapatkan rangsangan yang mereka butuhkan untuk orgasme. </p>
<p>Tapi <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16418125">riset</a> menunjukkan bukan hanya pemahaman itu yang salah. Pengetahuan tentang klitoris menaikkan tingkat orgasme perempuan selama masturbasi, tapi tidak selama hubungan seks berpasangan. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/219105/original/file-20180515-195336-1xiz9id.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/219105/original/file-20180515-195336-1xiz9id.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=422&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/219105/original/file-20180515-195336-1xiz9id.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=422&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/219105/original/file-20180515-195336-1xiz9id.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=422&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/219105/original/file-20180515-195336-1xiz9id.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=531&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/219105/original/file-20180515-195336-1xiz9id.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=531&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/219105/original/file-20180515-195336-1xiz9id.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=531&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Kenikmatan perempuan mungkin tidak menjadi prioritas utama dalam hubungan seks tanpa komitmen.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/attractive-lovers-kissing-hugging-bar-horizontal-283478690?src=hGp7ceGTwdQKaneKXHjW_Q-1-26">Stas Ponomarencko</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Jadi, apakah budaya kita mencegah perempuan menjembatani gap antara kenikmatan (seks) sendirian dan berpasangan, terutama pada seks tanpa komitmen? <a href="https://sites.lsa.umich.edu/elizabetharmstrong/wp-content/uploads/sites/218/2015/01/Armstrong-England-Fogarty-Norton-Volume.pdf">Para peneliti</a> dalam satu studi menemukan orang dewasa percaya bahwa dalam seks tanpa komitmen, kenikmatan perempuan kurang penting dibanding kenikmatan laki-laki.</p>
<p>Mereka berkesimpulan bahwa saat ini kenyataan bahwa perempuan untuk melakukan seks tanpa komitmen sudah bisa diterima, namun fakta bahwa mereka mencari kenikmatan seksual di luar komitmen belum dapat diterima. Mereka mengatakan kita memiliki sebuah standar ganda seksual yang baru.</p>
<p>Hal ini membawa kita pada pertanyaan awal, tapi memunculkan dua pertanyaan. Mengapa penting menutup gap orgasme? Bagaimana kita dapat melakukannya? </p>
<h2>Gap orgasme ditutup</h2>
<p>Pada tingkat permukaan, menutup gap ini penting untuk akses yang setara untuk kenikmatan itu sendiri. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/219108/original/file-20180515-195341-14v77h.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/219108/original/file-20180515-195341-14v77h.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/219108/original/file-20180515-195341-14v77h.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/219108/original/file-20180515-195341-14v77h.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/219108/original/file-20180515-195341-14v77h.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/219108/original/file-20180515-195341-14v77h.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/219108/original/file-20180515-195341-14v77h.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Beberapa ilmuwan yakin bahwa menutup gap kenikmatan itu dapat memberdayakan perempuan untuk mengatakan tidak.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/young-blond-teenager-girl-sad-angry-109731722?src=gM18iy2SAVrdH4aRZJKMcA-1-6">Sylvie Bouchard/Shutterstock.com</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Pada level selanjutnya, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14681810500278451">para ilmuwan</a> menghubungkan kesetaraan kenikmatan dan persetujuan seksual. Mereka mengatakan pembelajaran tentang kenikmatan seksual memberdayakan satu pihak untuk mengkomunikasikan keinginannya kepada pihak lain, membuatnya kecil kemungkinannya dipaksa, atau memaksa pihak lain, ke dalam hubungan seks yang tidak diinginkan. </p>
<p>Sejumlah ilmuwan berpendapat pentingnya reformasi pendidikan seks di Amerika. <a href="https://www.jahonline.org/article/S1054-139X(17)30297-5/fulltext#sec6">Sebuah penelitian </a> dari Society for Adolescent Health and Medicine juga sudah mengadvokasi untuk reformasi ini, menyebut pendidikan saat ini hanya tentang bagaimana menahan nafsu yang “memperkuat stereotip tentang kepasifan perempuan dan keagresifan laki-laki.” Sementara penelitian tersebut tidak menyarankan pengajaran tentang kenikmatan dalam pendidikan seksual, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14681810500278451">penelitian lainnya</a> mengajarkannya. </p>
<p>Informasi tentang kenikmatan, masturbasi, klitoris, dan orgasme diajarkan dalam <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14681810701811878">program pendidikan seks yang umum digunakan di sekolah-sekolah Belanda</a>. Informasi tentang pantangan, pengendalian kelahiran, persetujuan, komunikasi, pembuat keputusan seksual, dan perbedaan antara pornografi dan seks riil juga diajarkan. Belanda memiliki tingkat infeksi menular seksual (<em>sexually transmitted infections</em>, STI) dan kehamilan lebih rendah, dan <a href="http://www.nationmaster.com/country-info/compare/Netherlands/United-States/Crime">tingkat kekerasan seksual tiga kali lebih sedikit </a> dibanding Amerika Serikat. </p>
<p>Dalam upaya menghubungkan kekerasan seksual dan gap orgasme, satu <a href="https://theestablishment.co/how-can-we-teach-consent-without-pleasure-91ec6e451585">penulis</a> mendeklarasikan: “Jadikan 2018 sebagai tahun yang bebas dari penyerangan dan kekerasan seksual. Tahun ini adalah waktunya kita minta kenikmatan.” </p>
<p><a href="http://time.com/time-person-of-the-year-2017-silence-breakers/">Majalah Time</a> mengatakan gerakan #MeToo telah ada selama bertahun-tahun. Tampaknya revolusi seksual terkait kesetaraan untuk mendapatkan kenikmatan seksual bagi perempuan juga sedang muncul.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/97913/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Laurie Mintz tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perempuan tidak mendapat rangsangan klitoris, terutama pada seks tanpa komitmen, adalah alasan utama terjadinya gap orgasme.Laurie Mintz, Professor of Psychology, University of FloridaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.