tag:theconversation.com,2011:/id/topics/pilpres-50186/articlesPilpres – The Conversation2023-12-18T04:17:49Ztag:theconversation.com,2011:article/2188232023-12-18T04:17:49Z2023-12-18T04:17:49ZRiset ungkap tiga prediksi terkait hoaks di Pemilu 2024<p>Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019,<a href="https://v1.mafindo.or.id/komite-korwil/"> tim penelitian</a> Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (<a href="https://www.mafindo.or.id/">Mafindo</a>), organisasi yang tersertifikasi oleh <a href="https://ifcncodeofprinciples.poynter.org/profile/mafindo"><em>International Fact Checking Network</em> (IFCN)</a> dan aktif melakukan berbagai kegiatan untuk melawan hoaks, melakukan analisis pemetaan hoaks. <a href="https://mafindo.or.id/publikasi-riset/riset/tipologi-hoaks-pilpres-2019/">Penelitian ini</a> menggunakan metodologi analisis isi kuantitatif yang mengkaji 128 narasi hoaks Pilpres 2019. Data tersebut diambil dari laporan masyarakat dan hasil penelusuran <em>fact chekcer</em> di laman <a href="https://cekfakta.com/">cekfakta.com</a>.</p>
<p>Dari hasil pemetaan hoaks Pilpres 2019 tersebut, dapat dilihat beberapa prediksi hoaks untuk Pemilu 2024 sebagai berikut:</p>
<p><strong>1. Jumlah hoaks akan meningkat pascapemungutan suara, terutama jika terjadi sengketa pemilu</strong></p>
<p>Pemetaan tipologi hoaks pada pemilu 2019 menunjukkan bahwa aktivitas hoaks tertinggi terjadi pada fase pascapemilu, terutama dipicu adanya sengketa hasil pemilu, yaitu sebanyak 94 narasi hoaks. Jumlah ini hampir 3 kali lipat dari hoaks yang beredar di masa pra pemilu (34 narasi hoaks).</p>
<p>Besar kemungkinan, tren ini juga akan terjadi di Pemilu 2024. Selain peluang terjadinya sengketa hasil pemungutan suara, peningkatan jumlah hoaks juga bisa didorong oleh kemungkinan terjadinya Pilpres putaran kedua.</p>
<p>Prediksi tersebut setidaknya menguat di media massa, baik dari perspektif <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/12/11/21372991/survei-poltracking-indonesia-prediksi-pilpres-berlangsung-2-putaran">lembaga survei</a>, <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231211122742-617-1035618/pengamat-yakin-pilpres-dua-putaran-prabowo-gibran-melaju">pengamat</a>, sejumlah <a href="https://www.detik.com/bali/nusra/d-7084439/pkb-yakin-pilpres-2024-dua-putaran-anies-cak-imin-vs-prabowo-gibran">politikus</a>, termasuk juga langkah antisipatif yang sudah disiapkan <a href="https://www.kompas.tv/nasional/445258/kpu-antisipasi-bila-pilpres-2024-berlangsung-dua-putaran">Komisi Pemilihan Umum (KPU)</a>.</p>
<p><strong>2. Penyelenggara pemilu rawan diserang hoaks</strong> </p>
<p>Selain potensi naiknya jumlah hoaks sebagai akibat dari proses pemilu yang semakin panjang, serangan kepada penyelenggara pemilu juga berpotensi meluas.</p>
<p>Salah satu temuan penting dari <a href="https://mafindo.or.id/publikasi-riset/laporan-tahunan/hoaks-di-indonesia-tahun-2022/">riset pemetaan hoaks tahun 2022</a> adalah bahwa lembaga pemilu, termasuk KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), tidak luput dari serangan hoaks.</p>
<p>Trend tersebut muncul sejak Pilpres 2019. Sebelumnya, pada Pilpres 2014, hoaks yang menyerang lembaga penyelenggara pemilu bisa dikatakan sangat minim. Risiko dari serangan hoaks terhadap entitas ini cukup serius karena berpotensi melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara pemilu.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/3-dampak-negatif-hoaks-pemilu-yang-perlu-kamu-tahu-218831">3 dampak negatif hoaks pemilu yang perlu kamu tahu</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu menjadi sasaran hoaks terutama di masa pascapemilu. Isu-isu yang disasar berkisar pada proses pemungutan suara (14,1%) dan proses perselisihan pemilu (39,8%). Di fase ini, KPU merupakan entitas ketiga yang paling banyak disasar (15,6%), diikuti oleh kepolisian (11,7%) dan pemerintah pusat (7%).</p>
<p>KPU dapat mengantisipasi kerawanan ini dengan menyiapkan perangkat pengecek fakta dan berkolaborasi dengan koalisi sipil dan organisasi cek fakta.</p>
<p><strong>3. Hoaks dengan format video dan penggunaan kecerdasan buatan akan semakin meningkat.</strong></p>
<p>Kekuatan hoaks, salah satunya, terletak pada perpaduan teks dan visual.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/4-alasan-kuat-mengapa-hoaks-begitu-memikat-218830">4 alasan kuat mengapa hoaks begitu memikat</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><a href="https://www.mafindo.or.id/2023/10/16/hoaks-di-indonesia-tahun-2022/">Penelitian Mafindo pada tahun 2022</a> mengungkap bahwa konten berupa kombinasi antara teks dengan gambar atau video mendominasi komposisi temuan <a href="https://www.mafindo.or.id/2023/10/16/hoaks-di-indonesia-tahun-2022/">dengan persentase hingga 79,2%</a>.</p>
<p>Salah satu hoaks yang cukup ikonik setelah masa pemungutan suara pada Pemilu 2019, misalnya, adalah gambar “<a href="https://cekfakta.com/focus/2759">Prof. Tokuda tersenyum memperlihatkan data kecurangan KPU</a>” (22 Juni 2019) yang dibagikan lebih <a href="https://aceh.tribunnews.com/2019/06/23/hoaks-foto-pria-tua-disebut-pegang-data-kecurangan-kpu-ternyata-itu-kakek-sugiono-bintang-porno?page=all">dari 8.300 kali di Facebook</a>.</p>
<p>Dinarasikan dalam hoaks tersebut bahwa “Prof. Tokuda adalah ahli demokrasi di Jepang, sejak kecil ia merasa bersalah karena kakek neneknya dulu menjajah Indonesia”.</p>
<p>Hasil cek fakta menunjukkan bahwa gambar tersebut merupakan aktor video porno dari Jepang, Shigeo Tokuda. Hoaks ini termasuk dalam kategori <em>manipulated content</em> (jenis hoaks yang secara konten sudah ada, namun dimanipulasi) yang bersifat <a href="https://turnbackhoax.id/2019/06/22/salah-prof-tokuda-terseyum-ketika-memperlihatkan-data-kecurangan-kpu/">parodi</a>.</p>
<p>Selain itu, hoaks sering menggunakan bukti-bukti palsu untuk meyakinkan audiens. Penelitian kami menunjukkan bahwa gambar atau video adalah <a href="https://www.mafindo.or.id/2023/10/16/hoaks-di-indonesia-tahun-2022">jenis bukti yang paling banyak digunakan yaitu sebesar 67% untuk memperkuat klaim hoaks</a>.</p>
<p>Dengan adanya perkembangan teknologi, gambar dan video dapat dibuat lebih menarik sekaligus lebih manipulatif sehingga membuat deteksi hoaks menjadi lebih sulit untuk dilakukan. Hal ini sesuai temuan <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/memory-mind-and-media/article/identifying-and-minimising-the-impact-of-fake-visual-media-current-and-future-directions/05238C440ED9F72B2761542EB542B9CB?utm_campaign=shareaholic&utm_medium=copy_link&utm_source=bookmark#">sebuah penelitian tentang psikologi dan media di Inggris tahun 2022</a> yang menunjukkan bahwa perkembangan teknologi, seperti kecerdasan buatan, telah mengaburkan batas antara citra visual yang nyata dan palsu sehingga asli dan rekaan semakin susah untuk dibedakan.</p>
<p>Hal ini tentunya memerlukan cara-cara baru yang lebih efektif untuk melawan hoaks. </p>
<p>Selain meningkatkan kerja sama antara lembaga pengecek fakta, koalisi masyarakat sipil dan pemerintah, diperlukan juga inisiasi kerja kolaboratif yang menggabungkan pengamatan <em>fact checker</em> dan kecerdasan buatan dalam melakukan identifikasi awal hoaks.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/218823/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Finsensius Yuli Purnama terafiliasi dengan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dan divisi Penelitian dan Pengembangan, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Fitri Murfianti, selain terafiliasi sebagai Dosen DKV ISI Surakarta, juga terafiliasi dengan Divisi Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Loina L. K. Perangin-angin terafiliasi dengan Swiss German University sebagai Kaprodi dan dosen tetap, selain itu menjadi Presidium Komite Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Nuril Hidayah, selain terafiliasi dengan STAI Miftahul 'Ula Nganjuk, juga terafiliasi dengan Komite Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. </span></em></p>Apa yang bisa kita pelajari dari maraknya hoaks pada Pemilu Presiden 2019?Finsensius Yuli Purnama, Adjunct assistant professor, Universitas Katolik Widya Mandala SurabayaFitri Murfianti, Leiden UniversityLoina L. K. Perangin-angin, Swiss German UniversityNuril Hidayah, Stai Miftahul ' Ula NganjukLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2188302023-12-14T03:18:11Z2023-12-14T03:18:11Z4 alasan kuat mengapa hoaks begitu memikat<p><a href="https://www.aeaweb.org/articles?id=10.1257/jep.31.2.211">Penelitian tentang hoaks dalam perilaku <em>voters</em> di Amerika Serikat (AS) pada Pemilu 2016</a> menunjukkan adanya korelasi kuat antara hoaks dan pengambilan keputusan politik. <a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3402913">Hasil penelitian di Italia tahun 2018</a> juga menunjukkan fenomena yang sama.</p>
<p>Dampak yang muncul dapat berupa <a href="https://cognitiveresearchjournal.springeropen.com/articles/10.1186/s41235-020-00252-3">sikap memilih berdasarkan emosi</a>, bukan <em>track record</em>, visi, atau program kerja. Sikap ini dapat memperbesar <a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3637866">peluang lahirnya pemerintahan yang tidak berkualitas</a>, <a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3637866">meningkatnya apatisme</a>, dan <a href="https://dl.acm.org/doi/10.1145/3395046">menurunnya tingkat kepercayaan</a>.</p>
<p>Berbagai dampak tersebut memperkuat urgensi untuk memahami cara kerja hoaks. Apa sebenarnya yang membuat hoaks memiliki daya pikat yang begitu besar?</p>
<p><strong>1. Perpaduan teks dan visual</strong></p>
<p>Hoaks kerap berupa paduan antara teks dengan grafis yang menarik. Penelitian <a href="https://mafindo.or.id/">Mafindo</a>, organisasi kemasyarakatan yang bertujuan mensosialisasikan bahaya informasi bohong (hoaks) dan menciptakan imunitas terhadap hoaks di masyarakat Indonesia, pada tahun 2022 mengungkap bahwa konten berupa kombinasi antara teks dengan gambar atau video mendominasi komposisi temuan <a href="https://mafindo.or.id/publikasi-riset/laporan-tahunan/hoaks-di-indonesia-tahun-2022/">dengan persentase hingga 79,2%</a>.</p>
<p>Dominasi konten kombinasi ini difasilitasi oleh perkembangan teknologi yang semakin memudahkan kreasi konten grafis dan video. <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/memory-mind-and-media/article/identifying-and-minimising-the-impact-of-fake-visual-media-current-and-future-directions/05238C440ED9F72B2761542EB542B9CB?utm_campaign=shareaholic&utm_medium=copy_link&utm_source=bookmark">Sebuah penelitian tentang psikologi dan media di Inggris tahun 2022</a> bahkan menyimpulkan bahwa teknologi telah mengaburkan batas antara citra visual yang nyata dan palsu.</p>
<p>Selain itu, penelitian Michael Hameleers, asisten profesor di Universitas Amsterdam, Belanda, mengungkap bahwa <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/10584609.2019.1674979">disinformasi berbentuk visual lebih memengaruhi audiens dibanding konten yang berupa teks saja</a>.</p>
<p><strong>2. Menyentuh emosi</strong></p>
<p>Hoaks dapat mengeksploitasi emosi audiens melalui berbagai tipe konten. </p>
<p>Pemetaan yang dilakukan oleh Mafindo menunjukkan bahwa <a href="https://mafindo.or.id/publikasi-riset/laporan-tahunan/hoaks-di-indonesia-tahun-2022/">hoaks paling banyak menggunakan tipe narasi <em>wedge driver</em> yaitu narasi yang cenderung mendiskreditkan pihak tertentu (38,3%), diikuti oleh tipe narasi <em>pipe dream</em> yang membangkitkan harapan (35,5%) dan <em>bogies</em> yang cenderung menakut-nakuti (7.4%)</a>.</p>
<p>Tipe-tipe ini diadopsi dari konsep yang diperkenalkan Robert H. Knapp, mendiang profesor Psikologi di Universitas Wesleyan, AS, pada tahun 1944 tentang <a href="https://academic.oup.com/poq/article-abstract/8/1/22/1914214?redirectedFrom=fulltext">psikologi rumor</a>.</p>
<p>Menurut <a href="https://academic.oup.com/poq/article-abstract/10/4/501/1861351">sebuah penelitian tentang rumor di (AS)</a>, tipe-tipe tersebut menunjukkan cara rumor mengikat audiens melalui emosi sehingga mereka merasa <a href="https://academic.oup.com/poq/article-abstract/10/4/501/1861351">hal itu penting dan lantas memercayainya</a>. </p>
<p>Misalnya, tipe <em>wedge driver</em> yang menarasikan pihak tertentu secara negatif sehingga menimbulkan ketidaksukaan atau kebencian, dapat dilihat pada hoaks yang mengklaim bahwa Wiranto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) tahun 2019, <a href="https://turnbackhoax.id/2019/05/22/salah-tanggal-22-mei-pendukung-02-kepung-kpu-wiranto-biarkan-saja-untuk-bahan-berburu-menembak-tni-polri/">mengizinkan TNI menembaki pendemo</a> ketika pendukung calon presiden no 2 waktu itu, Prabowo Subianto, mengepung KPU di Jakarta. Narasi pada hoaks tersebut dapat menimbulkan kebencian kepada Wiranto meski faktanya, tidak ditemukan pernyataan seperti yang tertulis di situs tersebut.</p>
<p>Sementara tipe <em>pipe dream</em> atau yang sering disebut juga sebagai <em>wish-based content</em> dan berisi informasi yang menimbulkan rasa senang atau harapan, dapat dilihat pada klaim bahwa ribuan suku Baduy datang ke Jakarta untuk mendukung <a href="https://www.voaindonesia.com/a/aksi-22-mei-amplop-dolar-hoaks-penembakan-masjid-3-hal-lain-perlu-anda-tahu/4928426.html">Aksi 22 Mei 2019</a> dan <a href="https://turnbackhoax.id/2019/05/21/salah-sore-tadi-ribuan-baduy-sudah-tiba-di-jakarta-perwakilan-pimpinan-baduy-diterima-prabowo-di-kertanegara/">diterima dengan hangat oleh Prabowo di Kartanegara, Jakarta</a>.</p>
<p>Bagi pendukung Aksi 22 Mei, hal ini tentu memberikan harapan dan rasa senang. Faktanya, foto yang diunggah oleh sumber klaim adalah foto yang sudah ada sejak tahun 2016. Warga suku Baduy yang ada di foto tersebut adalah warga yang berjualan madu hutan dan tas anyaman serta baju.</p>
<p><em>Bogies</em>, sebagai konten yang bertipe <em>fear-based</em> atau menimbulkan rasa takut dan kecemasan, biasa muncul pada hoaks yang berisi ancaman bencana alam atau modus kejahatan. </p>
<p><strong>3. Manipulasi bukti</strong></p>
<p>Hoaks seringkali menyajikan bukti untuk mendukung klaimnya agar audiens yakin. Bukti yang disertakan seringkali palsu atau tidak relevan. </p>
<p>Ada beragam jenis bukti yang biasanya menyertai klaim hoaks, mulai dari pengalaman langsung, kutipan (baik yang dapat diverifikasi maupun tidak), penyertaan tautan URL, penyematan gambar atau video, dan penggunaan alasan (<em>reasoning</em>). Namun, ada juga <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pone.0150989">hoaks yang tidak menyertakan bukti sama sekali</a>.</p>
<p>Bukti berupa pengalaman langsung banyak ditemui pada hoaks kesehatan. Umumnya berupa <a href="https://turnbackhoax.id/2022/02/26/salah-jus-campuran-nanas-lobak-dan-kemiri-dapat-menyembuhkan-asam-urat/">testimoni dari seseorang tentang kemanjuran pengobatan tertentu</a>. Hoaks terkadang juga menyertakan <a href="https://turnbackhoax.id/2023/01/24/salah-hanya-dengan-obat-sirup-dapat-menyembuhkan-berbagai-penyakit-paru-paru/">tautan (URL) agar terkesan seolah informasi di dalamnya mengacu pada sumber kredibel</a>.</p>
<p>Cara lain meyakinkan audiens adalah dengan mencatut pernyataan pihak tertentu. Terkadang nama pihak tersebut jelas, sehingga dapat dimintai klarifikasi, namun seringkali tidak jelas. Contohnya penggunaan frase-frase seperti “info A1”, “info ring 1”, “kata profesor Amerika”, dan sebagainya. </p>
<p>Dari berbagai bukti yang disajikan oleh produsen hoaks, penggunaan gambar atau video merupakan cara favorit. Data-data dari pemetaan hoaks 2022 oleh Mafindo mengungkap bahwa jenis bukti favorit adalah penggunaan gambar atau video. <a href="https://mafindo.or.id/publikasi-riset/laporan-tahunan/hoaks-di-indonesia-tahun-2022/">Jenis bukti klaim ini ditemukan sebesar 67%</a>.</p>
<p><strong>4. Memanfaatkan ketidaktahuan audiens</strong></p>
<p><a href="https://mafindo.or.id/publikasi-riset/riset/tipologi-hoaks-pilpres-2019/">Temuan penelitian kami</a> menunjukkan adanya isu-isu dalam konten hoaks yang berangkat dari kurangnya informasi yang diterima masyarakat terkait regulasi pemilu. Termasuk kurangnya informasi tentang hak memilih yang dimiliki oleh orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) serta prosedur penghitungan suara berdasarkan penghitungan manual.</p>
<p>Produsen hoaks memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat untuk menyebarkan klaim bahwa ODGJ <a href="https://turnbackhoax.id/2018/12/25/salah-simulasi-orang-gila-di-bawa-ke-tps-saat-pemilu-nanti/">dimobilisasi untuk memenangkan kandidat tertentu</a>; <a href="https://turnbackhoax.id/2019/05/04/salah-bareskrim-polri-gambir-jadi-pusat-kendali-situng-kpu/">perolehan suara dapat dimanipulasi melalui rekayasa siber oleh pihak tertentu </a>; atau bahwa <a href="https://www.kominfo.go.id/content/detail/17593/hoaks-penggunaan-kotak-suara-berbahan-kardus-sengaja-dirancang-agar-mudah-ditukar/0/laporan_isu_hoaks">surat suara sengaja disimpan di kotak kardus agar mudah ditukar</a>.</p>
<p>Modus ini tampaknya tetap digunakan menjelang pelaksanaan Pemilu 2024. Ketidaktahuan masyarakat tentang regulasi dan data kependudukan juga dimanfaatkan produsen hoaks untuk menyebarkan klaim menyesatkan terkait Pemilu 2024. </p>
<p>Contohnya klaim bahwa <a href="https://turnbackhoax.id/2023/01/14/salah-ribuan-wna-china-diberi-ktp-elektronik-untuk-pemilu-2024/">Warga Negara Asing (WNA) diberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk memenangkan kandidat tertentu</a>. Ada juga klaim bahwa <a href="https://turnbackhoax.id/2023/05/24/salah-mulai-kpu-menjalankan-aksi-kotornya-dia-memberi-kode-00-berarti-itu-untuk-suara-yang-dikondisikan-pemenangnya/">kode 00 pada data pemilih merupakan kode KPU untuk mengondisikan pemenang pemilu</a>.</p>
<p>Faktanya, WNA memang diberikan KTP elektronik, akan tetapi tidak memiliki hak memilih. Adapun kode 00 yang dipermasalahkan tersebut merupakan kode RT sebagaimana tertulis dalam KTP dan
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil yang kemudian dimasukkan ke dalam data KPU.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/218830/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nuril Hidayah, selain terafiliasi dengan STAI Miftahul 'Ula Nganjuk, juga terafiliasi dengan Komite Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Finsensius Yuli Purnama terafiliasi dengan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dan divisi Penelitian dan Pengembangan, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Fitri Murfianti, selain terafiliasi sebagai Dosen DKV ISI Surakarta, juga terafiliasi dengan Divisi Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Loina L. K. Perangin-angin terafiliasi dengan Swiss German University sebagai Kaprodi dan dosen tetap, selain itu menjadi Presidium Komite Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.</span></em></p>Mengapa hoaks sangat mudah memperdaya pembaca?Nuril Hidayah, Stai Miftahul ' Ula NganjukFinsensius Yuli Purnama, Adjunct assistant professor, Universitas Katolik Widya Mandala SurabayaFitri Murfianti, Leiden UniversityLoina L. K. Perangin-angin, Swiss German UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1815792022-04-20T03:13:47Z2022-04-20T03:13:47ZMengapa masa jabatan Presiden harus dibatasi?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/458751/original/file-20220420-24727-6mgarp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=137%2C5%2C3856%2C2491&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Seruan mahasiswa tolak penundaan pemilu 2024.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1648464033">Muhammad Adimaja/Antara Foto</a></span></figcaption></figure><iframe style="border-radius:12px" src="https://open.spotify.com/embed/episode/6MYSQpOS29XLMZx0H7VJba?utm_source=generator" width="100%" height="232" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture"></iframe>
<p><a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/03/04/11361721/parpol-usung-wacana-pemilu-ditunda-dan-jokowi-3-periode-bisa-jadi-tumbal?page=all">Jajaran petinggi negara dan elit partai politik</a> gencar menggaungkan wacana-wacana untuk <a href="https://theconversation.com/tiga-alasan-mengapa-penundaan-pemilu-2024-harus-ditolak-178652">menunda pemilihan umum (pemilu) 2024</a> maupun <a href="https://kabar24.bisnis.com/read/20220313/15/1510034/wacana-presiden-3-periode-pengamat-usulan-oligarki">memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode</a>. </p>
<p>Wacana tersebut pertama kali diungkapkan <a href="https://ekonomi.bisnis.com/read/20220114/9/1488951/kontroversi-penundaan-pemilu-bahlil-itu-bukan-pendapat-saya">oleh Menteri Investasi, Bahlil Lahaladia</a>, yang mengklaim bahwa para pengusaha meminta pemilu 2024 diundur demi menjaga kepastian dan stabilitas perekonomian dan investasi di tanah air.</p>
<p>Bak gayung bersambut, partai koalisi pendukung pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, diikuti Menteri Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, juga menggaungkan rencana penundaan pemilu agar Jokowi dapat berkuasa lebih lama lagi. </p>
<p>Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menegaskan bahwa wacana penundaan pemilu dan perpanjangan periode jabatan presiden bertentangan dengan prinsip demokrasi.</p>
<p>Di negara demokrasi manapun, masa jabatan pemimpin selalu dibatasi hanya sampai jangka waktu tertentu. Pembatasan tersebut bertujuan untuk menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan dan maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme.</p>
<p>Dalam episode ini, kami berdiskusi lebih lanjut dengan Titi tentang wacana penundaan pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi menjadi tiga periode dan bagaimana seharusnya masyarakat merespons.</p>
<p>Dengarkan obrolan lengkapnya di SuarAkademia - <em>ngobrol</em> seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/181579/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Di negara demokrasi manapun, masa jabatan pemimpin selalu dibatasi hanya sampai jangka waktu tertentu.Nurul Fitri Ramadhani, Politics + Society Editor, The Conversation IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1175932019-05-22T09:06:27Z2019-05-22T09:06:27ZAksi demo 22 Mei: massa yang ‘gila’ dan respons yang tepat<p>Banyak orang telah memperkirakan akan adanya <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20190520113136-4-73524/pengamanan-22-mei-32-ribu-personel-polri-tni-disiapkan">demonstrasi besar</a> menyambut penetapan hasil pemilihan presiden (pilpres) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).</p>
<p>Pendukung calon presiden Prabowo Subianto yang tidak puas dengan hasil hitung akhir KPU yang menyatakan petahana Joko “Jokowi” Widodo <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48329211">menang</a> pada 21 Mei dini hari <a href="https://www.liputan6.com/news/read/3972189/seperti-ini-kondisi-lalu-lintas-di-tengah-aksi-21-mei">menggelar aksi protes</a> mereka pada sore harinya.</p>
<p>Dari aksi protes yang berjalan <a href="https://pemilu.antaranews.com/berita/880576/massa-aksi-protes-di-bawaslu-bubarkan-diri-dengan-damai">damai</a>, aksi kemudian mengganas tengah malam. Beberapa orang melakukan provokasi, merusak kawat berduri yang terpasang memagari kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum (Banwaslu) dan menyerang polisi dengan batu dan petasan. Polisi mencoba memukul balik massa aksi dengan gas air mata, tetapi massa justru semakin brutal.</p>
<p>Hingga saat ini ada <a href="https://tirto.id/80-korban-aksi-22-mei-dilarikan-ke-rs-tarakan-2-meninggal-dU7e">80 korban dilarikan ke rumah sakit. Tirto melaporkan dua orang di antaranya meninggal</a>. </p>
<p>Menyaksikan rangkaian peristiwa itu di berbagai kanal berita, banyak di antara kita tertegun dan bertanya-tanya. Mengapa peserta aksi protes menjadi sedemikian agresif? Dan apakah respons yang tepat untuk menghadapi massa yang agresif ini? Artikel ini berusaha memberi penjelasan.</p>
<h2>Massa yang gila</h2>
<p>Para psikolog sosial telah lama mempelajari motivasi dan perilaku orang di kerumunan. </p>
<p><a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/9780470998458.ch8">Penelitian-penelitian</a> yang ada hampir seluruhnya sepakat bahwa kerumunan memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap mentalitas individu-individu di dalamnya. </p>
<p>Gustav Le Bon, pionir bidang riset ini, sering <a href="https://www.taylorfrancis.com/books/9781315131566">menggambarkan</a>, saat berada di dalam kerumunan, orang gampang menjadi “gila”. </p>
<p>Mereka mudah lepas kendali atas dirinya sendiri, menjadi tidak rasional, dan gampang hanyut oleh arus kerumunan.</p>
<p>Sosok individu bisa hilang dan tergantikan oleh rasa kesetiakawanan kelompok. Pada titik inilah, orang menjadi rentan terprovokasi oleh pemimpin kelompok aksi, dan melakukan tindakan agresif yang tidak akan dia lakukan dalam situasi sendirian. </p>
<p>Nilai-nilai moralitas terkadang bisa membuat keadaan menjadi lebih parah. </p>
<p><a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/ajsp.12349">Penelitian saya</a> pada tahun 2018 menunjukkan bahwa tingkat agresivitas sebuah kelompok bisa menjadi semakin parah ketika mereka memperoleh justifikasi moral, misalnya dari nilai-nilai agama, yang membenarkan tindakannya.</p>
<p>Dinamika kelompok yang sama pernah terjadi dengan skala yang lebih besar dan ganas pada kasus kerusuhan dan konflik di <a href="https://www.crcpress.com/Ethno-Religious-Violence-in-Indonesia-From-Soil-to-God/Wilson/p/book/9780415502009">Maluku</a>. </p>
<h2>Respons yang tepat</h2>
<p>Respons dari pihak keamanan menjadi amat penting. </p>
<p>Stephen Reicher, psikolog sosial St. Andrews University, Inggris <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/9780470998458.ch8">menekankan </a> pihak keamanan harus mampu keluar dari jebakan homogenitas kerumunan massa itu. </p>
<p>Mereka tak boleh memperlakukan orang-orang di dalam kelompok massa secara sama rata. </p>
<p>Rekomendasi ini diberikan oleh dua peneliti psikologi sosial, Clifford Stott dan Stephen Reicher, setelah mereka menganalisis sebuah <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/%28SICI%291099-0992%28199807/08%2928%3A4%3C509%3A%3AAID-EJSP877%3E3.0.CO%3B2-C">kasus kerusuhan di Inggris</a> pada 31 Maret 1990. </p>
<p>Pihak keamanan harus mampu mengidentifikasi mana individu-individu yang menjadi motor kerusuhan, dan mana orang-orang yang hanya ikut-ikutan saja. </p>
<p>Pembedaan dalam penanganan ini bisa memecah-belah massa yang menyerang, sehingga agresivitas mereka tidak cepat menyebar. </p>
<p>Di sisi lain, media massa juga harus mampu menyampaikan berita secara akurat. </p>
<p>Jurnalis perlu menyadari bahwa liputan tentang korban dari kelompok massa aksi dapat menyebabkan efek ganda. Berita tentang korban meninggal dapat meningkatkan kewaspadaan, tetapi dapat juga memperluas konflik.</p>
<p>Di satu sisi, pemberitaan penting untuk menggambarkan skala kerusuhan, tetapi bila tidak disajikan secara detail, justru akan menyulut konflik di daerah-daerah lainnya. </p>
<p>Saat memberitakan korban meninggal, misalnya, jurnalis harus menceritakan kronologi peristiwa itu sedetail mungkin. </p>
<p>Misalnya, dalam konteks pemberitaan aksi demo 22 Mei perlu diberitahukan sebelum terjadi bentrokan antara aparat dan massa, sudah ada instruksi bahwa polisi tidak dipersenjatai dengan peluru tajam. </p>
<p>Dalam situasi seperti sekarang ini, orang mudah termakan kabar bohong yang bertujuan meningkatkan skala kerusuhan. </p>
<p>Aksi protes, bila dilakukan secara konstitusional, adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan berdemokrasi. </p>
<p>Tetapi, kita harus memastikan aksi massa itu tetap terbingkai oleh kewarasan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/117593/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Moh Abdul Hakim tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Mengapa peserta aksi protes menjadi sedemikian agresif? Dan apakah respons yang tepat untuk menghadapi massa yang agresif ini? Artikel ini berusaha memberi penjelasan.Moh Abdul Hakim, Peneliti Psikologi Politik, Universitas Sebelas MaretLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1124262019-03-06T07:05:27Z2019-03-06T07:05:27ZCek Fakta : Apakah peningkatan biaya pembebasan lahan akan menghilangkan konflik-konflik agraria?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/262196/original/file-20190305-48417-8eg6c3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C1000%2C664&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Peningkatan besaran kompensasi pembebasan lahan tidak akan serta merta menyelesaikan konflik agraria di Indonesia. </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Dalam debat presiden tahap dua beberapa waktu yang lalu, calon presiden petahana Joko “Jokowi” Widodo mengatakan bahwa peningkatan biaya pembebasan lahan akan membuat konflik-konflik tidak terjadi lagi. </p>
<p>Dalam <a href="https://drive.google.com/file/d/1TjlHmho820JMpu4ACYlV2Eht3-UWM7Q_/view">salinan transkrip debat</a> kemarin, Jokowi mengatakan jika biaya pembebasan lahan ditingkatkan menjadi 4-5% dari total anggaran proyek infrastruktur dari sebelumnya 2-3% maka konflik-konflik yang terkait pembebasan lahan bisa dihindari.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/iQi2blfdsas?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Apakah benar demikian?</p>
<h2>Respons dari pihak Jokowi</h2>
<p>The Conversation menghubungi kubu Jokowi untuk memberikan penjelasan di balik pernyataannya. Mereka hanya mengatakan bahwa pernyataan besaran persentase biaya pembebasan lahan yang disampaikan Jokowi sesuai dengan <a href="https://www.atrbpn.go.id/Publikasi/Peraturan-Perundangan/Peraturan-Menteri-Negara/peraturan-menteri-keuangan-nomor-132fpmk022f2013-tahun-2013-771">Peraturan Menteri Keuangan no. 13 tahun 2013</a> tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan. Namun, tidak ada penjelasan terkait klaim Jokowi yang menyatakan biaya pembebasan lahan yang semakin besar akan menghilangkan konflik.</p>
<p>The Conversation menghubungi Iqra Anugrah, peneliti agraria di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (<a href="http://demoweb.lp3es.or.id/">LP3ES</a>) untuk menguji kebenaran klaim Jokowi tersebut. </p>
<h2>Analisis</h2>
<p>Meningkatkan uang kompensasi pembebasan lahan dari 2-3% total biaya pembangunan menjadi 3-4% bisa membantu pemerintah dalam memberikan uang ganti rugi yang lebih besar jumlahnya bagi masyarakat yang terkena dampak pembebasan lahan.</p>
<p>Tetapi, menganggap bahwa kenaikan tersebut dapat menghapuskan konflik-konflik merupakan suatu kenaifan. Peningkatan besaran kompensasi pembebasan lahan tidak akan serta merta menyelesaikan konflik agraria di Indonesia. </p>
<p>Mengapa demikian? </p>
<p>Alasan pertama karena persoalan konflik agraria antara masyarakat dan pemerintah atau korporasi lebih pelik dari sekadar konflik mengenai besaran uang kompensasi pembebasan lahan. </p>
<p>Betul bahwa pihak masyarakat yang terkena dampak pembebasan lahan sering meributkan soal kompensasi finansial, tapi akar masalahnya bukan hanya soal besaran, melainkan juga <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00074918.2012.654482">persepsi</a> bahwa pemerintah cenderung menakar harga tanah warga secara rendah. Penawaran pemerintah yang terlalu rendah tersebut dianggap <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00074918.2012.654482">kurang adil bagi banyak komunitas</a>. Hal ini diperparah dengan mekanisme pembebasan lahan yang tidak melibatkan masyarakat dan bertele-tele. </p>
<p>Susunan <a href="https://www.atrbpn.go.id/Publikasi/Peraturan-Perundangan/Undang-Undang/undang-undang-nomor-2-tahun-2012-876">tim ad hoc</a> yang melakukan kajian atas keberatan rencana pembebasan lahan dan pembangunan yang diamanatkan oleh <a href="https://www.atrbpn.go.id/Publikasi/Peraturan-Perundangan/Undang-Undang/undang-undang-nomor-2-tahun-2012-876">Undang-undang No. 2 Tahun 2012</a> misalnya masih belum mengikutsertakan unsur-unsur dari masyarakat yang akan terkena dampak proyek pembangunan tersebut. </p>
<p>Proses konsultasi dan eksekusi dalam suatu upaya pembebasan lahan juga tidak sesederhana dan semudah yang dibayangkan. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaan agenda pembebasan lahan, seringkali banyak <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00074918.2014.896235">kepentingan-kepentingan terselubung</a> yang bermain, misalnya kepentingan calo tanah lokal.</p>
<p>Tanpa adanya perubahan persepsi dan mekanisme pembebasan lahan yang lebih baik, maka proses pembebasan lahan akan selalu diwarnai konflik, meskipun besaran kompensasinya bertambah.</p>
<p>Alasan yang kedua, sifat konflik agraria yang ada di Indonesia menyebabkan kenaikan besaran kompensasi tidak akan secara otomatis menyelesaikan konflik-konflik tersebut.</p>
<p>Konflik agraria di Indonesia bukan hanya seputar persoalan besaran kompensasi dan ganti rugi, tetapi juga soal perebutan ruang hidup antara masyarakat dengan negara dan korporasi yang sering terjadi dalam relasi politis dan sosio-ekonomi yang timpang. Relasi yang timpang ini terjadi karena kekuatan politik dan dana baik pemerintah negara maupun perusahaan yang lebih kuat dibandingkan masyarakat. </p>
<p>Dengan kata lain, konflik agraria pada dasarnya selalu bersifat struktural. Hal ini menjelaskan mengapa konflik agraria di Indonesia jamak terjadi dan besar kemungkinan akan terus berlanjut ke depannya. </p>
<p><a href="http://kpa.or.id/assets/uploads/files/publikasi/e5113-catatan-akhir-tahun-kpa_2014.pdf">Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)</a> menunjukkan bahwa selama empat tahun pemerintahan Jokowi, <a href="http://kpa.or.id/assets/uploads/files/publikasi/4ae36-catahu-2018-kpa-edisi-peluncuran_.pdf">ada sekitar 1.769 konflik agraria yang meletus</a>. Ini merupakan peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan masa pemerintahan sebelum Jokowi. Selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, <a href="http://kpa.or.id/assets/uploads/files/publikasi/e5113-catatan-akhir-tahun-kpa_2014.pdf">tercatat ada 1.520 konflik agraria terjadi)</a>.</p>
<p>Keberadaan konflik-konflik agraria di Indonesia yang bersifat struktural ini diperparah dengan ekspansi investasi skala besar oleh pemerintahan Jokowi di sejumlah sektor seperti perkebunan, pertanian, dan infrastruktur yang mengikis ruang hidup masyarakat. </p>
<p>Sayangnya, arah kebijakan pembangunan pemerintahan Jokowi justru cenderung memperluas dan memperdalam konflik struktural yang ada. </p>
<p>Kebijakan pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, misalnya, memiliki potensi untuk semakin meningkatkan konflik agraria yang ada. </p>
<p>Singkat kata, kenaikan kompensasi biaya pembebasan lahan menjadi sebesar 4-5% tidak akan menghilangkan konflik-konflik yang sudah mengakar di masyarakat. Pemerintah butuh terobosan kebijakan untuk menyelesaikan konflik yang ada. Beberapa contoh yang bisa dilakukan adalah penetapan tim independen untuk menentukan harga ganti rugi tanah dengan melibatkan masyarakat. Selain itu juga dapat dikembangkan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S026483770200073X">paket kompensasi yang menyediakan jaminan pekerjaan dan perumahan bagi masyarakat pedesaan dan pemberian biaya ganti rugi yang adil bagi lahan pertanian produktif</a>. - <strong>Iqra Anugrah</strong></p>
<h2>Penelaahan sejawat tertutup (<em>blind review</em>)</h2>
<p>Saya sepakat dengan penulis bahwa peningkatan kompensasi lahan menjadi 4-5% tidak akan menghilangkan konflik-konflik agraria yang sudah mengakar di masyarakat. Bagi masyarakat, lahan merupakan salah satu bentuk sumber mata pencaharian. Menurut filsuf dan ekonom Amartya Sen, <a href="http://www.oxfordscholarship.com/mobile/view/10.1093/0198284632.001.0001/acprof-9780198284635">kehilangan hak terhadap lahan merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan</a>.</p>
<p>Keterikatan masyarakat terhadap lahan tidak hanya sebatas sebagai aset ekonomi saja. Bagi masyarakat yang hanya memiliki sebidang sawah berukuran kecil misalnya, nilai lahannya tidak hanya sebatas seberapa besar sawah itu menghasilkan, tetapi lahan sawah itu juga memberikan rasa aman karena mereka tidak akan kekurangan beras. Lahan juga memberikan keterikatan sosial bagi masyarakat. Jika seseorang harus pindah karena lahannya diambil alih, ia kemungkinan besar akan merasakan ketidakpastian kondisi sosial di tempat yang baru.</p>
<p>Lebih jauh, masyarakat juga juga memiliki keterikatan identitas dengan lahan yang mereka tinggali. Jika sebuah desa harus ditenggelamkan untuk pembangunan waduk misalnya, maka masyarakat desa tersebut akan kehilangan identitas kampung halaman yang sudah turun temurun mereka tempati. Bagi masyarakat tertentu, lahan bahkan bisa memiliki keterikatan spiritual seperti tempat yang dikeramatkan sehingga tidak mudah digantikan dengan uang/material. <a href="https://www.liputan6.com/news/read/272425/bentrokan-makam-mbah-priok-akibat-sengketa-lahan">Kasus makam Mbah Priok</a> di Tanjung Priok, Jakarta Utara merupakan contoh nyata bentuk keterikatan spritual terhadap lahan. - <strong>Chairil Abdini</strong> </p>
<hr>
<p><em>The Conversation mengecek kebenaran klaim dan pernyataan calon presiden menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2019. Pernyataan mereka dianalisis oleh para ahli di bidangnya. Analisis kemudian diberikan ke ahli lainnya untuk ditelaah. Telaah dilakukan tanpa mengetahui siapa penulisnya (blind review)</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/112426/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Chairil Abdini adalah Sekretaris Jenderal Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan staf ahli anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Iqra Anugrah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Menganggap bahwa kenaikan tersebut dapat menghapuskan konflik-konflik merupakan suatu kenaifan.Iqra Anugrah, New Mandala Indonesia Correspondent Fellow and Research Associate, Institute for Economic and Social Research, Education, and Information (LP3ES)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1125252019-03-05T06:04:51Z2019-03-05T06:04:51ZPolitik ketakutan: tribalisme dan celah biologis yang dieksploitasi oleh politikus<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/261398/original/file-20190228-106338-1welv68.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Nasionalis kulit putih bentrok dengan pengunjuk rasa pada 12 Agustus 2017, Charlottesville, Virginia AS. Demonstrasi itu berubah menjadi kekerasan yang mematikan.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="http://www.apimages.com/metadata/Index/Confederate-Monument-Protest/cb2c01c626884390be207fa9b7975ada/335/0"> Steve Helber/AP Photo</a></span></figcaption></figure><p>Ketakutan bisa dibilang sama tuanya dengan kehidupan. Rasa takut <a href="https://theconversation.com/the-science-of-fright-why-we-love-to-be-scared-85885">mendarah daging dalam organisme hidup</a> yang telah selamat dari kepunahan melalui miliaran tahun evolusi. Rasa takut mengakar jauh di dalam inti psikologis dan biologis kita. Dan rasa takut adalah salah satu perasaan kita yang paling intim. Bahaya dan perang sama tuanya dengan sejarah manusia, begitu juga politik dan agama.</p>
<p>Para demagog selalu menggunakan ketakutan untuk mengintimidasi bawahan atau musuh, dan mempengaruhi berbagai kelompok melalui para pemimpinnya. Ketakutan adalah alat yang sangat kuat yang dapat mengaburkan logika manusia dan mengubah perilaku mereka.</p>
<p>Saya <a href="https://www.starclab.org/members/arash-javanbakht">seorang psikiater dan ahli syaraf</a> dengan spesialisasi ketakutan dan trauma, dan saya memiliki beberapa pemikiran berbasis bukti tentang bagaimana ketakutan disalahgunakan dalam politik.</p>
<h2>Kita belajar dari anggota suku yang sama</h2>
<p>Seperti hewan lainnya, manusia belajar merasa takut dari <a href="https://www.nature.com/articles/nn1968">pengalaman</a>, misalnya, diserang oleh predator. Kita juga belajar melalui pengamatan, seperti menyaksikan predator menyerang manusia lain. Dan, kita belajar dengan instruksi, seperti diberi tahu ada pemangsa di dekat kita.</p>
<p>Belajar dari anggota spesies yang sama merupakan keuntungan evolusioner yang mencegah kita mengulangi pengalaman berbahaya manusia lain. Kita memiliki kecenderungan untuk mempercayai otoritas dan teman sesama suku kita, terutama mengenai bahaya. Hal tersebut adaptif: Orang tua dan orang lebih tua yang bijak memberi tahu kita untuk tidak makan tanaman khusus, atau tidak pergi ke suatu daerah di hutan, atau kita akan terluka. Dengan mempercayai mereka, kita tidak akan mati seperti kakek buyut yang mati memakan tanaman itu. Dengan cara ini kita mengumpulkan pengetahuan.</p>
<p><a href="https://www.scientificamerican.com/article/evolution-explains-why-politics-tribal/">Tribalisme telah menjadi bagian yang tak terpisahkan</a> dari sejarah manusia. Selalu ada persaingan antara kelompok-kelompok manusia, dari nasionalisme pada masa perang hingga kesetiaan yang kuat kepada tim sepak bola. Bukti dari <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/1745691617707317">neurosains kultural</a> menunjukkan bahwa otak kita bahkan merespons secara berbeda pada tingkat tidak sadar hanya dengan melihat wajah dari ras atau budaya lain.</p>
<p>Pada tingkat suku, orang lebih emosional dan akibatnya mereka kurang menggunakan logika mereka: Penggemar kedua tim berdoa agar tim mereka menang, berharap Tuhan akan memihak dalam permainan. Di sisi lain, <a href="https://www.psychologytoday.com/us/blog/how-risky-is-it-really/201012/fear-makes-us-tribal-and-stupid-case-in-point-rush-limbaugh">kita kembali kepada tribalisme ketika berada dalam ketakutan</a>. Ini adalah keuntungan evolusi yang mengarah pada kohesi kelompok dan membantu kita melawan suku-suku lain untuk bertahan hidup.</p>
<p>Tribalisme adalah celah biologis yang telah lama disalahgunakan oleh banyak politikus: memanfaatkan ketakutan dan naluri kesukuan kita. Beberapa contoh adalah Nazisme di Jerman, anti kulit hitam Ku Klux Klan di Amerika Serikat, perang agama dan Abad Kegelapan. Pola yang sering digunakan dari contoh-contoh tersebut adalah memberi manusia lain label yang berbeda dari kita, dan menyatakan bahwa mereka akan membahayakan kita atau sumber daya kita, dan mengubah kelompok lain menjadi sebuah konsep. Tidak harus ras atau kebangsaan, yang sering digunakan. Ini bisa berupa perbedaan nyata atau imajiner: liberal, konservatif, Timur Tengah, laki-laki kulit putih, kanan, kiri, Muslim, Yahudi, Kristen, Sikh. Daftar ini terus berlanjut.</p>
<p>Ketika membangun batas-batas kesukuan antara “kami” dan “mereka,” beberapa politikus telah berhasil dengan sangat baik menciptakan kelompok-kelompok virtual orang-orang yang tidak berkomunikasi dan membenci tanpa mengenal satu sama lain: Ini adalah hewan manusia yang sedang beraksi!</p>
<h2>Ketakutan tidak berbasis fakta</h2>
<p>Pada tahun pertama setelah kedatangan saya di Amerika Serikat, suatu malam saya memasuki tempat parkir umum untuk berputar balik. Orang-orang meninggalkan sebuah gedung dengan pakaian Yahudi Ortodoks; gedung tersebut merupakan kuil. Untuk sesaat, saya melihat perasaan yang halus dan aneh tapi akrab: ketakutan!</p>
<p>Saya mencoba melacak sumber ketakutan ini, dan sumbernya adalah ini: Saya berasal dari daerah mayoritas Muslim, dan saya tidak pernah bertemu dengan orang Yahudi dari kecil hingga beranjak dewasa. Suatu hari ketika saya masih kecil dan kami mengunjungi sebuah desa, seorang perempuan tua menceritakan kisah tentang bagaimana orang-orang Yahudi Ortodoks mencuri anak-anak Muslim dan meminum darah mereka!</p>
<p>Saya merasa malu. Saya berasal dari keluarga berpendidikan yang menghormati semua agama, kemudian menjadi dokter yang berpendidikan dan memiliki banyak teman Yahudi yang hebat, tapi anak kecil di dalam diri saya menganggap cerita bodoh tersebut sesuatu yang serius hanya karena anak itu tidak pernah bertemu seorang Yahudi.</p>
<p>Kecenderungan manusia ini adalah sasaran empuk bagi para politikus yang ingin mengeksploitasi rasa takut: Jika Anda tumbuh hanya di sekitar orang-orang yang mirip dengan Anda, hanya mendengarkan satu saluran media dan mendengar dari seorang figur yang lebih tua bahwa orang-orang yang berpandangan atau beda cara pikir dengan Anda berbahaya dan membenci Anda, merasa takut dan membenci orang-orang yang tak terlihat itu dapat dimengerti, namun tentunya cacat.</p>
<p>Para politikus, kadang-kadang dengan bantuan media, mencoba membuat kelompok-kelompok orang tetap terpisah-pisah, sehingga kelompok “liyan” tetap hanyalah sebuah “konsep” saja dalam benak kita. Karena jika kita menghabiskan waktu dengan orang yang berbeda dengan kita, berbicara dengan mereka dan makan bersama mereka, kita akan belajar bahwa mereka sama seperti kita: yaitu manusia dengan semua kekuatan dan kelemahan yang kita miliki. Ada yang kuat, ada yang lemah, ada yang lucu, ada yang bodoh, ada yang baik dan ada juga yang tidak terlalu baik.</p>
<h2>Rasa takut tidak logis dan kerap bodoh</h2>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/253263/original/file-20190110-43544-1059i67.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/253263/original/file-20190110-43544-1059i67.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=356&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/253263/original/file-20190110-43544-1059i67.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=356&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/253263/original/file-20190110-43544-1059i67.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=356&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/253263/original/file-20190110-43544-1059i67.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=448&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/253263/original/file-20190110-43544-1059i67.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=448&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/253263/original/file-20190110-43544-1059i67.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=448&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sebagian orang takut pada ular, sebagian lagi kepada pada laba-laba, bahkan kucing dan anjing.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/spider-web-1132571987?src=1VkcpXiqrlz0y3i11NXUwg-3-90">Aris Suwanmalee/Shutterstock.com</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sangat sering pasien saya yang memiliki fobia memulai terapi dengan mengatakan: “Saya tahu ini bodoh, tapi saya takut laba-laba.” Atau mungkin anjing atau kucing, atau yang lainnya. Dan saya selalu menjawab: “Itu tidak bodoh, tapi tidak masuk akal.” Otak manusia punya fungsi yang beda-beda, dan ketakutan sering kali menyalip logika. Ada beberapa alasan. Pertama: logika itu lambat; ketakutan itu cepat. Dalam situasi bahaya, kita harus cepat: Pertama lari atau bunuh, lalu baru berpikir. </p>
<p>Politikus dan media sangat sering menggunakan rasa takut untuk menghindari logika kita. Saya selalu mengatakan media-media Amerika Serikat adalah produsen pornografi bencana - mereka bekerja terlalu banyak untuk memicu emosi audiens mereka. Mereka seperti <em>reality show</em> politik, dan mengejutkan bagi siapa pun dari luar AS.</p>
<p>Ketika satu orang membunuh beberapa orang lain di kota dengan jumlah penduduk jutaan, yang tentu saja merupakan sebuah tragedi, liputan media besar dapat membuat orang-orang menganggap seluruh kota dikepung dan tidak aman. Jika seorang imigran ilegal yang tidak berdokumen membunuh seorang warga negara Amerika Serikat, beberapa politikus menggunakan ketakutan dengan harapan hanya sedikit orang yang akan bertanya: “Ini mengerikan, tapi berapa banyak orang yang dibunuh di negara ini oleh warga Amerika Serikat hanya dalam hari ini saja?” Atau: “Saya tahu beberapa pembunuhan terjadi setiap minggu di kota ini, <a href="https://theconversation.com/what-mass-shootings-do-to-those-not-shot-social-consequences-of-mass-gun-violence-106677">tapi mengapa saya begitu takut sekarang</a> karena ini dipamerkan oleh media? ”</p>
<p>Kita tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini, karena rasa takut telah melewati logika berpikir kita.</p>
<h2>Ketakutan dapat berubah menjadi kekerasan</h2>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/253356/original/file-20190111-43514-1aejyi8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/253356/original/file-20190111-43514-1aejyi8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=443&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/253356/original/file-20190111-43514-1aejyi8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=443&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/253356/original/file-20190111-43514-1aejyi8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=443&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/253356/original/file-20190111-43514-1aejyi8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=557&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/253356/original/file-20190111-43514-1aejyi8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=557&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/253356/original/file-20190111-43514-1aejyi8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=557&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Batu nisan di Pemakaman Mount Carmel di Philadelphia 27 Februari 2017. Sebuah laporan tentang peningkatan vandalisme berkaitan dengan peningkatan bias anti-Semit sejak pemilu 2016.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://www.apimages.com/metadata/Index/Anti-Semitism-Report/18e12f63b62c43eb95c3afc0247fa326/1/0">Jaqueline Larma/AP Photo</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Ada alasan mengapa respons terhadap rasa takut disebut sebagai respons “lawan atau lari”. Respons itu telah membantu kita selamat dari para predator dan suku-suku lain yang ingin membunuh kita. Tapi sekali lagi, hal tersebut merupakan celah dalam sistem biologis kita yang disalahgunakan. Dengan menakut-nakuti kita, para demagog menghidupkan agresi kita terhadap “yang liyan,” baik dalam bentuk merusak kuil mereka atau melecehkan mereka di media sosial.</p>
<p>Ketika para demagog berhasil menguasai sirkuit ketakutan kita, kita sering mundur ke sifat kebinatangan kita yang tidak logis dan agresif, serta menjadi senjata bagi diri kita sendiri–senjata yang digunakan politikus untuk agenda mereka.</p>
<p><em>Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Ariza Muthia</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/112525/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Arash Javanbakht tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ketakutan adalah bagian dari kelangsungan hidup manusia. Pihak tertentu yang ingin memanipulasi telah belajar bahwa sifat manusia ini dapat dieksploitasi.Arash Javanbakht, Assistant Professor of Psychiatry, Wayne State UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1120042019-03-04T05:28:51Z2019-03-04T05:28:51ZMenutup ribuan akun penyebar hoaks memang tanggung jawab Facebook, tapi mana transparansinya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/261627/original/file-20190301-110115-gsztb7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C4000%2C3000&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Facebook, meski terlambat, mulai menindak tegas akun-akun penyebar hoaks di platform-nya.</span> <span class="attribution"><span class="source">The Conversation Indonesia/Reza Pahlevi</span></span></figcaption></figure><p>Menutup ribuan akun penyebar hoaks memang sudah seharusnya menjadi tanggung jawab penyedia platform. Namun, bukan berarti para penyedia platform tersebut bisa melakukan itu tanpa penjelasan yang lengkap.</p>
<p>Facebook, walau terlambat, akhirnya bergerak untuk menangkal penyebaran misinformasi melalui platformnya. Sejak akhir tahun lalu, Facebook aktif menutup akun-akun yang dicurigai turut menyebarkan hoaks di beberapa negara, terutama yang sedang dan akan menghadapi pemilihan umum. </p>
<p>Di Indonesia, misalnya, Facebook <a href="https://newsroom.fb.com/news/2019/01/taking-down-coordinated-inauthentic-behavior-in-indonesia/">menghapus ribuan akun</a> yang terindikasi tergabung dalam jaringan akun-akun yang <a href="https://newsroom.fb.com/news/2018/12/inside-feed-coordinated-inauthentic-behavior/">membentuk jaringan penyebaran informasi</a> yang sifatnya menyesatkan, baik tentang sebuah isu ataupun ujaran kebencian.</p>
<p>Namun, sayangnya kebijakan Facebook dalam penutupan akun-akun ini masih belum transparan. Pertanyaan besar muncul ketika Facebook menutup akun milik Permadi Arya, pegiat media sosial yang juga pendukung kandidat petahana Joko “Jokowi” Widodo. Tak lama, Facebook kemudian membuka kembali akun Permadi setelah <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/02/09/activist-threatens-to-sue-facebook-for-shutting-down-his-accounts.html">gugatan Permadi sebesar Rp 1 triliun</a>. </p>
<p>Dalam <a href="https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/19/02/16/pn0f3l409-akun-dipulihkan-abu-janda-facebook-minta-mediasi">penjelasannya</a>, Facebook masih menunjukkan kurang jelasnya kebijakan mereka dalam menutup ataupun membuka kembali sebuah akun. Transparansi dari Facebook dibutuhkan salah satunya untuk memberdayakan masyarakat agar bisa turun serta dalam pertempuran melawan hoaks dan misinformasi. </p>
<h2>Tanggung jawab yang akhirnya dipenuhi</h2>
<p>Perusahaan media sosial seharusnya turun tangan menghentikan jaringan propaganda dan misinformasi yang berujung pada perpecahan politik seperti yang terjadi di Amerika Serikat, Brazil, Moldova, dan Indonesia. Ketidakpedulian para pengelola media sosial pada isu ini mengakibatkan penyebaran ujaran kebencian yang diikuti genosida (<a href="https://www.theguardian.com/world/2018/apr/03/revealed-facebook-hate-speech-exploded-in-myanmar-during-rohingya-crisis">di Myanmar</a>), pembunuhan (<a href="https://www.nytimes.com/interactive/2018/07/18/technology/whatsapp-india-killings.html">di India</a>), dan <a href="https://doi.org/10.1136/bmj.g6178">krisis kesehatan</a> di Liberia dan Nigeria.</p>
<p>Selama ini, perusahaan media sosial selalu berargumen bahwa mereka hanyalah sekadar penyedia platform, bukan pengelola informasi yang harus memiliki kebijakan tentang informasi yang beredar melalui platform mereka. Bos Twitter, Jack Dorsey, tahun lalu mengatakan dalam <a href="https://www.youtube.com/watch?v=Cm_lmWWKDug">satu wawancara bersama CNN</a> bahwa Twitter tidak bisa menjadi “penentu kebenaran” dalam platform mereka.</p>
<p>Setidaknya ada empat alasan penting mengapa platform tidak boleh lepas tangan dari upaya pencegahan ini. </p>
<p>Pertama, penyebaran misinformasi melibatkan jaringan pengguna yang sangat besar, luas, dan bekerja dengan cepat. Kemampuan literasi individu saja tidak akan cukup untuk membentengi seseorang dari terpaan misinformasi yang disebarkan jaringan yang besar ini. Penelitian saya bersama kolega saya, M. Laeeq Khan, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/0144929X.2019.1578828">menunjukkan</a> seorang individu bisa turut menyebarkan misinformasi meski mereka mengetahui informasi tersebut tidak benar. Artinya, literasi individu harus didukung oleh kebijakan platform. </p>
<p>Kedua, sistem rekomendasi informasi yang ada di linimasa media sosial menggunakan algoritma dan kecerdasan buatan yang dibangun dan dikembangkan oleh pengelola. Sehingga, merekalah yang paling mengerti bagaimana sistem rekomendasi tersebut bekerja yang kemudian dapat menjebak pengguna pada <a href="https://www.forbes.com/sites/kalevleetaru/2017/12/18/why-was-2017-the-year-of-the-filter-bubble/">gelembung informasi yang menyesatkan</a>.</p>
<p>Ketiga, hanya perusahaan media sosial yang memiliki akses terhadap keseluruhan data di media sosial. Data tersebut termasuk pola interaksi dan konten yang beredar. Dengan demikian, merekalah yang seharusnya pertama kali dapat mengenali jika ada manipulasi jaringan informasi dan mengambil keputusan cepat untuk menutup akun-akun tersebut. </p>
<p>Terakhir, sebagai bagian dari masyarakat, perusahaan media sosial memiliki <a href="https://www.digitalethics.org/essays/why-we-should-hold-facebook-responsible-fake-news">tanggung jawab etik</a> untuk menjaga proses penyebaran dan kualitas informasi yang ada di sana. </p>
<h2>Dampak penutupan akun pada demokrasi?</h2>
<p>Lalu, bagaimanakah pengaruh aksi penutupan akun-akun ini terhadap kebebasan berpendapat, kualitas diskusi publik, dan demokrasi?</p>
<p>Dalam buku Stephen Ward berjudul <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1461444812459453?journalCode=nmsa"><em>Ethics and The Media: An Introduction</em></a>, Internet dipercaya sebagai pasar bebas ide-ide yang menjadi pondasi demokrasi. Akan tetapi, percakapan dan diskusi di media sosial biasanya hanya di permukaan. Kebanyakan diskusi tersebut hanya fokus pada isu ringan dan popular sehingga tidak berkontribusi pada isu yang menyangkut hajat hidup orang banyak. </p>
<p>Di Indonesia, misalnya, setelah debat calon presiden putaran kedua percakapan di linimasa media sosial riuh tentang <a href="https://www.abc.net.au/indonesian/2019-02-18/unicorn-jadi-kata-paling-trending-di-debat-pilpres-kedua/10820952">ketidaktahuan calon presiden Prabowo mengenai istilah “Unicorn”</a>. Sementara, diskusi tentang isu yang lebih penting seperti kualitas kedua calon pasca debat tidak mendapat perhatian.</p>
<p>Ward juga mengatakan tujuan utama demokrasi adalah menciptakan masyarakat harmonis yang mendukung kebebasan, kesetaraan, dan saling menghargai dalam kehidupan sosial. Untuk mencapainya, demokrasi membutuhkan adanya partisipasi dan kebebasan publik yang berlandaskan pada fakta dan rasa saling menghargai.</p>
<p>Rusaknya tatanan publik akibat ujaran kebencian di media sosial sudah terjadi sejak <a href="https://theconversation.com/polarisasi-politik-tak-melulu-buruk-asalkan-dua-syarat-terpenuhi-92279">pemilihan umum (pemilu) 2014</a> lalu, Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017, hingga masa kampanye pemilihan presiden hari ini. Pada pemilu tahun ini, polarisasi di masyarakat semakin tajam, terlebih dengan semakin banyaknya jaringan akun-akun yang turut serta membentuk opini publik dan membakar kebencian. </p>
<p>Dengan menutup akun-akun yang berkontribusi dalam penyebaran ujaran kebencian dan misinformasi, berarti pengelola platform turut serta dalam menjaga kualitas demokrasi dan tatanan publik. </p>
<h2>Masih diperlukan transparansi dalam penutupan akun</h2>
<p>Perusahaan media sosial lain perlu mengikuti langkah Facebook dalam menutup akun yang dicurigai bagian dari penyebaran misinformasi. Namun, yang masih perlu dilakukan oleh Facebook adalah membuka metode yang digunakan dalam menutup akun-akun tersebut. Hal ini semata untuk memastikan bahwa akun yang ditutup memang akun yang bermasalah, bukan akun yang hanya kritis terhadap pemerintah.</p>
<p>Di Indonesia, misalnya, jaringan yang dihapus adalah jaringan yang terindikasi merupakan bagian dari kelompok Saracen. Kelompok Saracen sendiri adalah jaringan penyebar ujaran kebencian dan SARA yang dapat <a href="https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-41022914">menyerang siapapun sesuai pesanan</a>. Akhir 2017 lalu, kelompok ini <a href="https://nasional.tempo.co/read/1173872/perjalanan-kasus-saracen-penebar-hoax-yang-dikaitkan-abu-janda?page_num=1">ditangkap </a> oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) karena menyebarkan konten kebencian. </p>
<p>Dalam keterangannya, Facebook mengatakan mereka <a href="https://newsroom.fb.com/news/2019/02/addressing-challenges/">bekerja sama dengan pemerintah, pakar dari luar, perusahaan swasta, dan masyarakat sipil</a> dalam menjaga kualitas pemilu dan menghentikan penyebaran misinformasi. Pertanyaannya: rekomendasi dari pihak manakah yang paling didengar Facebook dalam memberantas jaringan penyebar misinformasi?</p>
<p>Sejauh ini, penjelasan Facebook masih di permukaan. Mereka mengatakan bahwa ada indikasi adanya pihak yang mengkoordinasi jaringan akun-akun menyesatkan tersebut. Hanya saja, di Indonesia terdapat <a href="https://tekno.kompas.com/read/2018/03/02/08181617/indonesia-pengguna-facebook-terbanyak-ke-4-di-dunia">130 juta pengguna aktif media sosial</a> dan jaringan akun-akun menyesatkan tentu masih banyak, bukan hanya jaringan yang berafiliasi dengan Saracen. Perlu ada penjelasan mengapa jaringan yang satu dihapus, tapi jaringan yang lain tidak/belum dihapus. </p>
<p>Transparansi ini tidak saja penting untuk memastikan kasus di <a href="https://www.nytimes.com/2018/02/09/world/asia/cambodia-facebook-hun-sen.html">Kamboja</a>, di mana Facebook mendukung kepentingan rezim tertentu, tidak terjadi di Indonesia. </p>
<p>Penjelasan mengenai cara kerja algoritma dan sistem pendeteksi jaringan misinformasi penting diungkap agar para pengguna Facebook sendiri tahu bagaimana dampak keduanya terhadap informasi yang beredar di lini masa. </p>
<p>Banyaknya informasi yang tersebar melalui Facebook setiap hari, membuat siapapun bisa terterpa misinformasi dari berbagai jaringan pertemanan yang terhubung di Facebook. Transparansi penting agar masyarakat paham akan apa yang sedang terjadi sehingga dapat memberdayakan diri mereka, paling tidak dalam menghindari misinformasi.</p>
<p>Apalagi, sebagai pengelola Whatsapp and Instagram–dua media sosial paling popular di Indonesia—, Facebook harus bekerja lebih cepat menangkal penyebarluasan misinformasi, mengingat pemilihan umum sudah di depan mata dan penyebaran misinformasi dapat terjadi setiap saat.</p>
<p><em>Reza Pahlevi ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/112004/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ika Karlina Idris tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Facebook sudah menutup akun-akun bermasalah. Tapi apakah prosedur penutupannya sudah transparan?Ika Karlina Idris, Dosen Paramadina Graduate School of Communication , Paramadina University Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1119752019-02-18T09:26:50Z2019-02-18T09:26:50ZJawaban dua capres kurang substantif, tapi Jokowi lebih kuat dalam debat kedua: respons akademisi<p>Debat kedua calon presiden pada 17 Februari 2019 yang diikuti petahana Joko “Jokowi” Widodo dan penantangnya, Prabowo Subianto, mengangkat masalah infrastruktur, energi, pangan, sumber daya alam, dan lingkungan hidup. </p>
<p>Kami menghubungi beberapa akademisi untuk memberikan analisis mengenai paparan visi misi serta jawaban dua calon presiden tersebut. Dari enam akademisi yang kami hubungi, empat menilai Jokowi lebih kuat dalam debat kedua capres kemarin. Sementara dua akademisi menilai tidak ada yang menang. </p>
<p>Berikut paparan mereka. </p>
<hr>
<h2>Dampak lingkungan tidak tersentuh</h2>
<p><strong>Martin Siyaranamual, Dosen dan Peneliti di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran</strong></p>
<p>Tidak dimungkiri bahwa debat kali ini lebih cair dari debat pertama. Namun banyak jawaban kedua kandidat yang tidak substantif.</p>
<p>Benar bahwa untuk level pimpinan negara, jawaban normatif akan muncul, tapi dalam konteks tertentu seharusnya jawabannya lebih substantif. Dalam konteks sumber daya alam, sebenarnya debat bisa lebih menarik ketika membahas pencegahan kerusakan lingkungan dari kegiatan pertambangan. Sama seperti ketika kedua kandidat tidak menyentuh sama sekali biaya lingkungan dan sosial dari keberadaan perkebunan sawit. </p>
<p>Jawaban normatif dari kedua calon merupakan sinyal adanya kelemahan pemahaman mengenai dampak lingkungan dari kegiatan pertambangan. Hal ini terjadi karena minimnya ketersediaan data kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dan minimnya studi soal ini. </p>
<p>Masih di dalam konteks sumber daya alam, khususnya soal potensi maritim yang dimiliki Indonesia. Tidak ada pula yang menyentuh soal pengelolaan yang berkelanjutan dari potensi maritim.</p>
<p><strong>Pemenang dalam sesi ini: Jokowi.</strong></p>
<p>Saya melihat Jokowi memiliki pemahaman yang sedikit lebih baik dibanding Prabowo. Hal ini wajar karena saat ini Jokowi adalah petahana yang lebih menguasai bahan. Sebenarnya Prabowo bisa saja memenangkan sesi ini dengan menunjukkan konsistensi permasalahan yang diangkat, khususnya soal harga pangan. Tapi seharusnya dia juga mengangkat isu ketahanan pangan, tidak hanya sekadar harga pangan.</p>
<h2>Tidak ada pembahasan ihwal perubahan iklim</h2>
<p><strong>Sonny Mumbunan, peneliti di Pusat Penelitian untuk Perubahan Iklim (RCCC) Universitas Indonesia, ekonom di World Resources Institute Indonesia</strong> </p>
<p>Sepanjang debat, tidak ada satu pun calon presiden yang menyinggung perubahan iklim. Kita sulit bicara pangan, energi, lingkungan hidup, infrastruktur dan SDA di Indonesia tanpa membahas perubahan iklim.</p>
<p>Prabowo mengambil tema debat yang cenderung lebih umum dalam visinya–pangan, energi, air, pentingnya kemandirian bangsa, dan usulan yang lebih baik untuk penanganan infrastruktur.</p>
<p>Jokowi cenderung lebih spesifik. Dalam hal lingkungan hidup, dia menekankan apa yang dia kerjakan dan pencapaiannya menurunkan kasus kebakaran hutan dan lahan gambut dan persoalan sampah plastik. </p>
<p>Benar, kebakaran hutan dan gambut menurun, misalnya dari segi luas area terbakar dan jumlah titik panas, atau berfluktuasi dengan kecenderungan menurun. Tapi kebakaran hutan masih terjadi.</p>
<p>Penting juga untuk dicatat bahwa kedua kandidat sama-sama mendorong biodiesel dan kurang mengapresiasi dampak lingkungan dari biodiesel.</p>
<p><strong>Pemenang dalam sesi ini: tidak ada.</strong> </p>
<p>Masing-masing calon presiden punya kekuatan, kelemahan, dan titik tekan isu masing-masing. </p>
<h2>Penegakan hukum tidak cukup untuk lindungi lingkungan hidup</h2>
<p><strong>Raynaldo Sembiring, peneliti di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)</strong></p>
<p>Dalam debat kedua ini, Jokowi lebih menguasai data walaupun ada beberapa penyampaian yang keliru. Tidak adanya kebakaran hutan dalam 3 tahun terakhir dan tidak adanya konflik akibat pembangunan infrastruktur adalah kesalahan fatal. Sedangkan Prabowo tidak mampu memanfaatkan kesalahan ini. Khusus untuk isu lingkungan hidup dan SDA, Jokowi lebih memahami kompleksitas masalah dibandingkan Prabowo yang masih sangat umum dengan mengangkat Pasal 33 UUD tanpa menjelaskan strateginya.</p>
<p>Pemaparan strategi kedua capres justru tidak terlihat dalam debat kemarin. Prabowo tidak mampu menjelaskan strategi Pasal 33 UUD 1945 yang dimaksud. Adapun Jokowi hanya memaparkan capaian tanpa menjelaskan langkah selanjutnya, termasuk akselerasinya. Misalnya: mempercepat capaian perhutanan sosial, pemulihan pasca penegakan hukum, penyelesaian masalah konflik agraria, dst. </p>
<p>Kedua kandidat juga tidak memahami akar masalah dari isu LH dan SDA. Masalah reklamasi pasca tambang harusnya bisa dielaborasi dengan lebih jelas. Bagaimana penyelesaian masalah lingkungan dan pencegahan korban jiwa di lubang tambang. Menyelesaikan masalah reklamasi dengan pendekatan wisata hanya menambah masalah krn tetap tidak ada pemulihan bagi lahan tsb. </p>
<p>Kemudian untuk masalah konflik masyarakat dengan pembangunan juga tidak cukup dijawab dengan kompensasi atau ganti untung. Bagaimana dengan penghormatan terhadap kearifan lokal dan hak-hak lainnya? Kedua capres juga masih sering menggunakan penegakan hukum sebagai solusi. Padahal penegakan hukum hanyalah sarana dalam mencegah masalah lingkungan atau memulihkan lingkungan. </p>
<p><strong>Pemenang dalam sesi ini: tidak ada.</strong></p>
<p>Harus diakui untuk level capres, debat kedua ini sangat mengkhawatirkan. Baik petahana maupun penantang tidak mengangkat masalah perubahan iklim yang jadi benang merah dari kelima topik debat. Kemudian fokus masalah yang diangkat masih bias daratan. Masalah di pesisir dan laut sangat sedikit dielaborasi. Pencemaran di laut, perikanan berkelanjutan, penanganan sampah plastik di laut adalah contoh yang luput untuk didalami. Bahkan untuk masalah serius yang merengut korban jiwa seperti lubang tambang kedua capres malah bersepakat untuk tidak mendalami.</p>
<p>Dengan kemewahan data yang dimiliki Jokowi maka penampilannya di debat kedua kemarin mengecewakan. Begitupun dengan Prabowo yang tidak mampu menggali data dan informasi yang sebenarnya banyak tersebar.
Tidak ada pemenang dalam debat kedua ini. Keduanya buruk dalam memahami akar masalah, merumuskan konsep dan menjelaskan strategi.</p>
<h2>Rencana pembangunan infrastruktur dasar tidak dibahas</h2>
<p><strong>Chairil Abdini, dosen kebijakan publik dan pengambilan keputusan Universitas Indonesia, Sekretaris Jenderal Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia</strong></p>
<p>Dari sisi infrastruktur, pembahasan dari dua calon presiden sangat terbatas. Prabowo tidak menjelaskan rencana dan prioritas pembangunan infrastruktur ke depan, kecuali sebatas kriteria mengikutsertakan masyarakat, mempertimbangkan keekonomian, sosial dan lingkungan, serta nilai tambah ekonomi.</p>
<p>Jokowi selain menjelaskan capaian dalam pembangunan infrastruktur, untuk kebijakan ke depan hanya mengelaborasi penyelesaian Palapa Ring, suatu proyek pembangunan jaringan serat optik nasional untuk mendukung ekonomi digital, program 1000 <em>startup</em> dan perusahaan <em>unicorn</em> (perusahaan <em>startup</em> yang memiliki valuasi di atas AS$1 miliar). </p>
<p>Dua capres sebetulnya bisa mengelaborasi lebih jauh karena pembangunan infrastruktur tidak hanya soal pertumbuhan ekonomi, tapi mencakup semua sektor. Seperti infrastruktur dasar untuk pendidikan, pelayanan kesehatan, infrastruktur air bersih atau air minum, serta sanitasi, jalan permukiman dan sistem drainase, infrastruktur pengelolaan limbah padat dan limbah cair, dan infrastruktur sosial untuk mewadahi terbangunnya kohesi sosial. </p>
<p>Dari sisi makro ekonomi pembangunan infrastruktur pada dasarnya berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan PDB (produk domestik bruto) dalam bentuk investasi. Selama masa konstruksi pembangunan infrastruktur memiliki keterkaitan ke belakang dan ke depan yang cukup banyak, sehingga menggerakkan perekonomian, dan menyediakan lapangan pekerjaan. </p>
<p>Keterkaitan ke belakang dari pembangunan infrastruktur seperti industri semen, baja, bahan bangunan (batu, pasir), jasa konstruksi, dan lainnya. Keterkaitan ke depan adalah perkembangan kegiatan ekonomi yang tumbuh dari pembangunan infrastruktur.</p>
<p>Dari sisi mikro karena keterbatasan sumber daya finansial perlu menjadi perhatian prioritas infrastruktur apa yang akan dibangun. Selain itu kualitas perencanaan juga perlu diperhatikan sehingga pembangunan infrastruktur memberikan <em>output</em> dan <em>outcome</em> sesuai dengan yang direncanakan.</p>
<p><strong>Pemenang dalam sesi ini: Jokowi.</strong></p>
<p>Jokowi memiliki kelebihan dibanding Prabowo terutama dalam hal data dan pengalaman di bidang infrastruktur. Jokowo mampu mengemukakan tidak hanya capaian yang sudah diraih tapi juga rencana ke depan seperti penyelesaian Palapa Ring untuk mendukung kegiatan ekonomi digital di Indonesia.</p>
<h2>Kelistrikan tidak disinggung</h2>
<p><strong>Eniya Listiani Dewi, Deputi Teknologi Informasi, Energi dan Material, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi</strong> </p>
<p>Dalam sesi debat bidang energi, pertanyaan yang disampaikan oleh moderator tentang energi kurang luas topiknya. Energi bukan hanya bahan bakar, tapi ada kelistrikan yang tidak dibahas. Ini sungguh sangat disayangkan karena <a href="https://theconversation.com/reformasi-subsidi-listrik-di-indonesia-mendorong-peningkatan-efisiensi-93666">kebutuhan listrik</a>, juga masalah-masalah yang berhubungan dengannya, sangat tinggi di Indonesia.</p>
<p>Pada sesi pertama tentang visi dan misi, Prabowo Subianto menyampaikan Indonesia harus swasembada energi, pangan, dan air, tapi tidak detail. Dia berjanji akan segera menurunkan harga listrik, tapi tidak menjelaskan lebih detail skema tersebut. Kata “listrik” hanya disebut sekali itu oleh Prabowo dan sekali juga oleh Joko Widodo ketika bicara tentang infrastruktur. Tak ada eksplorasi lebih lanjut.</p>
<p>Jokowi sejak awal menunjukkan pentingnya energi terbarukan, bahwa meningkatkan penggunaan bahan bakar biofuel dan <em><a href="https://industri.kontan.co.id/news/pertamina-siap-produksi-komersial-green-fuel-campuran-minyak-sawit">green diesel</a></em> dari kelapa sawit menjadi solusi menutupi kebutuhan energi, khususnya mengganti bahan bakar minyak.</p>
<p>Dia menyebut biodiesel 20 (B20, 20% nabati dan 80% minyak bumi) dan B30 dari sudah diperluas penggunaan wajibnya, semula hanya kendaraan yang mendapat subsidi, kini juga wajib bagi kendaraan non-subsidi. Jokowi punya target B100, yang berarti semua minyak kelapa sawit akan jadi bahan bakar, tanpa ada campuran minyak bumi.</p>
<p>Benar bahwa untuk menurunkan emisi karbon dioksida sekaligus peningkatan perekonomian memang jawabannya adalah penggunaan biofuel sebagai pengganti bahan bakar minyak yang bersumber dari fosil yang tidak terbarukan. Masalah yang tidak banyak disorot adalah kepala sawit sebagai bahan baku energi terbarukan masih memiliki masalah di tingkat sistem perkebunannya dan dampak kerusakan lingkungan. Bila masalah itu tidak diatasi, sulit mencapai target biodiesel yang lebih besar.</p>
<p>Prabowo juga menyatakan sawit sangat penting karena minyak kelapa sawit digunakan untuk pengembangan biodiesel dan biofuel. Dia menyebut Brasil sudah sampai B90, pernyatan ini keliru. Yang benar Brasil baru sampai B7 (biodiesel 7%) dan E100 (etanol murni) dengan konsep <em><a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Flexible-fuel_vehicle">flexibel-fuel vehicle</a></em>.</p>
<p>Prabowo mengatakan sawit akan didorong semua menjadi biofuel dan biodiesel sehingga harga tidak jatuh. Bila semua minyak kelapa sawit dimanfaatkan jadi bahan bakar, Indonesia akan <em>net importir</em> bahan bakar berbasis nabati. Selain itu, dia akan menggenjot sawit, aren, singkong, dan etanol untuk mendorong kemandirian energi sehingga tidak bergantung pada impor. </p>
<p>Yang harus diperhatikan dari pernyataan Prabowo adalah jika semua minyak kelapa sawit menjadi bahan bakar, maka harga harus kompetitif dan kebijakan non-fosil harus dikurangi dengan tegas. Bagaimanapun, upaya utk diversifikasi bahan bakar dengan menggunakan berbagai sumber biomassa harus didorong dengan upaya pemenuhan bahan bakunya. Saat ini konsep biomassa selalu terkendala pasokan bahan baku.</p>
<p><strong>Pemenang dalam sesi ini: Jokowi.</strong></p>
<p>Secara keseluruhan, konsep Jokowi tentang upaya kemandirian energi lebih jelas dibanding konsep Prabowo. Kini yang dibutuhkan adalah memperkuat kebijakan untuk mencapai target nasional pemanfaatan energi baru terbarukan: 23% pada 2025.</p>
<h2>Minim data pangan</h2>
<p><strong>Bisuk Abraham, peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Universitas Indonesia</strong></p>
<p>Peningkatan produksi domestik dan penurunan kuantitas impor kembali menjadi bahasan utama dua capres dalam visi misi mereka di sektor pangan. </p>
<p>Sayangnya, satu hal yang justru sangat penting yaitu peningkatan kualitas basis data pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan di Indonesia luput dari bahasan. </p>
<p>Revolusi Industri 4.0 di sektor-sektor ini juga sempat dibahas. Perubahan ini semestinya dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas data, di samping mendekatkan produsen dengan konsumen. </p>
<p>Jika pemerintah memiliki informasi yang akurat tentang potensi dan realisasi produksi pangan, maka pemerintah akan mampu menghasilkan kebijakan serta intervensi yang lebih efektif.</p>
<p><strong>Pemenang sesi ini: Jokowi</strong>. </p>
<p>Jokowi menguasai pentas semalam. Dia punya pemahaman yg lebih baik terkait pentingnya impor sebagai instrumen untuk menstabilkan harga pangan. Jokowi juga paham peran infrastruktur dalam menekan biaya logistik dan juga peran industri digital dalam membuat rantai pasok lebih efisien. Sementara itu, Prabowo terkesan terjebak dalam konsep yang belum jelas bentuk realisasinya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/111975/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Chairil Abdini adalah Sekretaris Jenderal Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan staf ahli anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Eniya Listiani Dewi merupakan anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Raynaldo Sembiring terafiliasi dengan Indonesian Center for Environmental Law</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Sonny Mumbunan terafiliasi dengan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dan World Resources Institute Indonesia.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Bisuk Abraham dan Martin Daniel Siyaranamual tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Capaian yang disampaikan oleh Joko Widodo tidak mampu dikritisi oleh Prabowo Subianto yang cenderung bicara pada tataran prinsip saja.Chairil Abdini, Lecturer in Public Policy and Decision Analysis, Universitas IndonesiaBisuk Abraham, Researcher, Universitas IndonesiaEniya Listiani Dewi, Professor of Electrochemical Process, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)Martin Daniel Siyaranamual, Lecturer, Universitas PadjadjaranRaynaldo Sembiring, Researcher, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Sonny Mumbunan, Economist and research scientist at the Research Centre for Climate Change, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1102012019-01-21T13:40:46Z2019-01-21T13:40:46ZHasil debat pilpres I: Baik Jokowi ataupun Prabowo, masa depan HAM di Indonesia akan suram<p>Putaran pertama debat presiden minggu lalu fokus pada masalah hak asasi manusia (HAM), korupsi, hukum dan terorisme. Namun, kedua kandidat presiden–petahana Joko “Jokowi” Widodo dan Prabowo Subianto–hanya menyentuh isu HAM di permukaan saja melalui retorika mereka. </p>
<p>Selama debat, baik Jokowi dan Prabowo gagal untuk mendiskusikan kasus HAM baik yang baru saja terjadi maupun kasus-kasus di masa lalu. Tidak ada yang menyebutkan <a href="https://www.hrw.org/world-report/2018/country-chapters/indonesia">kasus kekerasan di Papua</a>, <a href="http://thelookofsilence.com/wp-content/uploads/Komnas-HAM-1965-TAPOL-translation.pdf">tragedi 1965</a>, dan <a href="https://lib.ohchr.org/HRBodies/UPR/Documents/session13/ID/Komnas_Perempuan_UPR_IDN_S13_2012_KomnasPerempuan_Annex6_E.pdf">kerusuhan tahun 1998 </a> ataupun yang menyebut keputusan pemerintah atas hukuman mati dan pelanggaran HAM kelompok minoritas, termasuk <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2013/07/11/komnas-ham-finds-human-rights-violations-ahmadi-refugee-case.html">kelompok Ahmadiyah</a>.</p>
<p>Keengganan kedua calon membicarakan HAM menunjukkan bahwa siapapun yang memenangkan pemilihan presiden (pilpres) masa depan penegakan HAM di Indonesia akan tetap suram. Jokowi bisa saja mengklaim dia bukan pelanggar HAM seperti lawannya. Tapi rekam jejak Jokowi menunjukkan bahwa komitmennya untuk menyelesaikan kasus-kasus hanyalah omong kosong belaka. </p>
<h2>Menelaah Prabowo</h2>
<p>Berharap Prabowo menegakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan menyelesaikan pelanggaran masa lalu adalah semacam fantasi. Mantan Komandan Pasukan Khusus (Kopassus) ini pernah terlibat dalam berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia. Dia telah dituduh melakukan penculikan dan penyiksaan terhadap <a href="https://www.nytimes.com/2014/03/27/world/asia/indonesia-candidate-tied-to-human-rights-abuses-stirs-unease.html">23 aktivis pada akhir 1990-an</a>.</p>
<p>Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
<a href="https://tbinternet.ohchr.org/Treaties/CCPR/Shared%20Documents/IDN/INT_CCPR_NGO_IDN_14684_E.pdf">menuntut</a> penyelidikan atas peran Prabowo dalam kasus penculikan tersebut. Dia juga diduga mengetahui pembunuhan ratusan rakyat sipil di <a href="https://www.insideindonesia.org/prabowo-and-human-rights">Santa Cruz</a>, di Timor Timur.</p>
<p>Keengganannya menangani kasus-kasus di atas <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/01/18/seven-key-moments-in-first-presidential-debate.html">terlihat jelas</a> saat debat berlangsung. Dia tidak mendiskusikan kasus-kasus HAM masa lalu maupun berkomitmen untuk memecahkannya. Ketika dia berkata bahwa dia akan menegakkan HAM ketika dia terpilih, rakyat mungkin akan sulit mempercayainya karena dia tidak bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. </p>
<p>Sementara itu, solusi akhir yang ditawarkan untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM dengan melalui kebijakan ekonomi juga tidak jelas. </p>
<h2>Menelaah Jokowi</h2>
<p>Jokowi tahu benar keunggulannya dibanding Prabowo. Dia dengan tegas mengatakan bahwa dia tidak memiliki rekam jejak pelanggaran HAM. Namun, perlu kita ingat bahwa selama kepemimpinannya, Jokowi juga tidak berbuat banyak dalam penegakan HAM di Indonesia. </p>
<p>Pada pilpres 2014, Jokowi memenangkan hati para pemilih salah satunya karena janjinya untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM di masa lalu, termasuk tragedi 1965, kerusuhan Mei 1998, Trisakti & Semanggi I-II dan kekerasan di Papua. Namun memasuki lima tahun pemerintahannya, kasus-kasus tersebut belum juga terpecahkan. </p>
<p>Di bawah pemerintahan Jokowi, Kejaksaan Agung telah <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46822119">menolak</a> laporan investigasi dari Komnas HAM terkait kasus 1965, 1998, dan lainnya. </p>
<p>Banyak yang percaya Jokowi juga enggan menemukan pembunuh aktivis HAM Munir Said Thalib saat Pengadilan Tata Usaha Negara <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2017/02/16/government-doesnt-need-to-disclose-munir-assassination-findings-court.html">membatalkan</a> keputusan Komisi Informasi Publik yang mengharuskan negara untuk mengungkap laporan dari tim pencari fakta kasus Munir. </p>
<p>Dalam debat, Jokowi mengakui bahwa tidak mudah mengusut kasus HAM masa lalu karena berbagai alasan teknis, termasuk fakta bahwa kasusnya sudah terjadi lama sekali. </p>
<p>Saat ini, aktivis HAM telah mengkritik Jokowi dalam penggunaan kekerasan yang berlebihan dalam penegakan hukum terkait kasus pengedaran narkotik seperti penembakan di tempat bagi para pengedar maupun pemberian hukuman mati. Setidaknya ada <a href="https://www.amnesty.org/en/latest/news/2017/08/indonesia-at-least-60-killed-as-police-shootings-of-drug-suspects-skyrocket/">98 orang</a> yang dibunuh di tempat oleh polisi karena diduga mengedarkan narkotik pada tahun 2017. Angka tersebut meningkat drastis dibanding 18 pada 2016. </p>
<p>Jokowi juga menyebutkan bahwa dirinya tidak mau turut campur dalam proses penegakan hukum. Namun, sudah merupakan tanggung jawabnya untuk memimpin badan-badan penegak hukum di bawah kekuasaannya agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik. </p>
<p>Menurut <a href="https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/remedyandreparation.aspx">hukum HAM internasional</a>, apa yang terjadi di bawah pemerintahan Jokowi juga merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Aturan dalam hukum HAM internasional menyatakan bahwa jika seseorang gagal mencegah pelanggaran hak asasi manusia atau menghukum pelaku pelanggaran HAM, maka orang tersebut dianggap telah melanggar HAM juga karena kelalaiannya.</p>
<h2>Hasilnya sama saja baik Prabowo maupun Jokowi</h2>
<p>Baik para aktivis dan akademisi di bidang HAM maupun para korban dan keluarga kasus HAM akan terus menghadapi tantangan di bawah kedua calon. Fakta-fakta dan teori yang ada telah menunjukkan bahwa keduanya adalah pelanggar HAM dengan caranya sendiri dan rakyat Indonesia tampaknya tidak punya banyak pilihan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/110201/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span> Asmin Fransiska menerima dana beasiswa S2 dari Fulbright dan S3 dari The Catholic Academic Exchange Service (KAAD) - Germany.</span></em></p>Joko “Jokowi” Widodo bisa saja mengklaim dia bukan pelanggar HAM seperti lawannya, Prabowo Subianto. Tapi rekam jejak Jokowi menunjukkan bahwa komitmennya untuk menyelesaikan kasus-kasus hanyalah omong kosong belaka.Asmin Fransiska, Lecturer in Human Rights, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1097752019-01-17T07:51:36Z2019-01-17T07:51:36ZCek Fakta: Apakah benar setiap anak Indonesia tanggung utang negara Rp13 juta?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/254300/original/file-20190117-32837-l89zmy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=2%2C0%2C995%2C561&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Calon wakil presiden Sandiaga Uno menghadapi para wartawan bulan September yang lalu</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/jakarta-indonesia-september-18-2018-journalists-1183794136?src=CwQ1m4iuMl3fXDIN2gjqsQ-1-0">www.shutterstock.com/Creativa Images</a></span></figcaption></figure><p>Beberapa waktu yang lalu, calon wakil presiden dari kubu oposisi, Sandiaga Uno, mengeluarkan pernyataan bahwa setiap anak di Indonesia menanggung utang negara sebesar <a href="https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4368487/sandiaga-setiap-anak-di-ri-tanggung-utang-rp-13-juta">Rp 13 juta</a>.</p>
<p>Pernyataan tersebut digunakan oleh kubu Prabowo Subianto untuk menyerang kinerja calon presiden petahana Joko “Jokowi” Widodo.</p>
<p>Tapi apakah klaim yang disampaikan benar?</p>
<h2>Respons dari pihak Prabowo-Sandiaga</h2>
<p>The Conversation menghubungi tim media dari pasangan Prabowo-Sandiaga untuk menanyakan penjelasan di balik pernyataan Sandiaga. Mereka mengatakan bahwa pernyataan Sandiaga merujuk pada data Kementerian Keuangan. <a href="https://ekonomi.kompas.com/read/2017/04/17/141229726/sri.mulyani.satu.penduduk.indonesia.tanggung.utang.negara.rp.13.juta">Menteri Keuangan Sri Mulyani</a> mengungkapkan data tersebut pada 2017. </p>
<p>Untuk memeriksa lebih lanjut kebenaran klaim Sandiaga, The Conversation menghubungi dosen dan peneliti dari Universitas Padjadjaran Teguh Santoso.</p>
<hr>
<h2>Analisis</h2>
<p>Pada dasarnya, dalam konsep ekonomi makro tidak dikenal adanya istilah utang per kapita. </p>
<p>Hanya saja, secara konsep penghitungan, bisa saja dihitung utang per penduduk. </p>
<p>Penghitungan utang per jumlah penduduk sendiri digunakan untuk menggambarkan beban rakyat atas utang yang dimiliki oleh negara. Utang yang dimaksud di sini adalah tentu saja utang sektor publik, yang terdiri dari utang luar negeri dan utang domestik. </p>
<p>Jika memang pernyataan yang disampaikan Sandiaga Uno mengacu pada <a href="https://ekonomi.kompas.com/read/2017/04/17/141229726/sri.mulyani.satu.penduduk.indonesia.tanggung.utang.negara.rp.13.juta">pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani</a>, maka angka utang per kapita yang dimaksud mengacu pada posisi utang tahun 2016. </p>
<p>Dari data Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik, maka benar utang per kapita pada tahun tersebut adalah sekitar Rp 13 juta per penduduk.</p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/BWC6S/2/" scrolling="no" frameborder="0" width="100%" height="240"></iframe>
<p>Namun, perlu diluruskan bahwa pernyataan Sri Mulyani mengacu pada angka utang per <strong>penduduk</strong> bukan per <strong>anak</strong>. Jika memang dihitung per anak, maka jumlah utang yang dimaksud tentu akan lebih besar jumlahnya karena jumlah anak pada tahun 2016 menurut data dari <a href="https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/25/1587/profil-anak-indonesia-tahun-2017">Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak</a> hanya sepertiga dari jumlah penduduk yang berjumlah 258 juta penduduk.</p>
<p>Tapi terlepas dari masalah angka, saya melihat istilah ini dipolitisasi. Sama seperti dengan utang per kapita, istilah utang per anak juga tidak lazim digunakan dalam ranah ekonomi. </p>
<p><a href="https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4372768/kemenkeu-bandingkan-kondisi-utang-ri-dengan-3-negara-ini-aman-mana?tag_from=wp_nhl_cta_2">Perhitungan utang per kapita tidak ada hubungannya dengan utang per manusia Indonesia yang baru lahir</a>. Hal ini bukan berarti bahwa tiap penduduk Indonesia harus membayar utang tersebut, karena utang tersebut tetap dibayarkan oleh pemerintah dan tidak dikelola oleh masing-masing penduduk Indonesia. </p>
<p>Perlu ditekankan juga penghitungan utang per kapita tidak ada hubungannya dengan kemampuan membayar utang. Kemampuan membayar utang dilihat dari pendapatan sebuah negara yang dikenal dengan istilah Produk Domestik Bruto (PDB). </p>
<p>Dari data terkini, rasio utang dan PDB Indonesia per September 2018 masih berada pada kisaran <a href="https://www.liputan6.com/bisnis/read/3669782/utang-pemerintah-capai-rp-4416-triliun-hingga-september-2018">30,47%</a> dan masih dalam batas aman. Batas aman rasio utang terhadap PDB yang ditetapkan oleh <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/17183/node/120/uu-no-17-tahun-2003-keuangan-negara">Undang-Undang No. 17 tahun 2003</a> adalah di bawah 60%.</p>
<h2>Kesimpulan</h2>
<p>Pernyataan yang diungkapkan Sandiaga Uno tidak sepenuhnya salah. Namun tidak sepenuhnya benar juga. Istilah utang per anak itu tidak ada dan hanya diciptakan untuk kepentingan politis. Hal ini karena istilah utang per anak tidak mencerminkan yang kondisi yang sebenarnya. Penghitungan rasio utang terhadap rasio PDB—ukuran yang lumrah digunakan dalam ekonomi—yang terkini menunjukkan posisi utang Indonesia saat ini masih dalam kondisi wajar. — <strong>Teguh Santoso</strong></p>
<hr>
<h2>Penelaahan sejawat tertutup (<em>blind review</em>)</h2>
<p>Saya sepakat dengan analisis yang disampaikan. Saya berpendapat cara berpikir yang digunakan Sandiaga Uno menyesatkan. Utang per kapita ditafsirkan bahwa setiap kepala ikut menanggung utang. Lebih parah lagi, dia menggunakan istilah utang per anak, yang mengesankan bayi yang baru lahir juga sudah mewarisi utang.</p>
<p>Cara berpikir ini berbahaya bila digunakan untuk menyusun kebijakan. Logika yang keliru akan membuat kebijakan jadi absurd dan tidak efektif. </p>
<p>Misalnya dengan menggunakan logika yang sama, apakah berarti untuk menurunkan utang per kapita adalah cukup dengan menaikkan jumlah penduduk? — <strong>Haryo Kuncoro</strong></p>
<hr>
<p><em>The Conversation mengecek kebenaran klaim dan pernyataan calon presiden menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2019. Pernyataan mereka dianalisis oleh para ahli di bidangnya. Analisis kemudian diberikan ke ahli lainnya untuk ditelaah. Telaah dilakukan tanpa mengetahui siapa penulisnya (blind review)</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/109775/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Apa klaim calon wakil presiden Sandiaga Uno yang menyatakan bahwa setiap anak Indonesia menanggung utang negara Rp 13 juta benar?Teguh Santoso, Lecturer and researcher at the Department of Economics, Padjadjaran University, Universitas PadjadjaranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1099462019-01-16T06:43:03Z2019-01-16T06:43:03ZDebat calon presiden penuh muslihat-siasat dari ahli bahasa bagi pemirsa<p>Rencana <a href="https://nasional.kompas.com/read/2018/12/19/17590871/ini-jadwal-debat-pilpres-2019-dari-tanggal-hingga-tema">debat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Indonesia</a> 2019 menyita perhatian masyarakat luas. </p>
<p>Calon pemilih tampaknya berharap forum itu bisa menjadi acuan untuk menetapkan pilihan.</p>
<p>Namun sejumlah <a href="https://pdfs.semanticscholar.org/fad2/f717d5007a9e834b895adee81a2b3f86eba9.pdf">penelitian</a> menunjukkan bahwa forum debat rentan rekayasa. Hal ini didorong oleh keinginan para kandidat untuk mempesona calon pemilih. Mereka bermuslihat dengan menggunakan kata-kata untuk menonjolkan hal-hal baik meskipun belum tentu benar.</p>
<p>Sebagai pengamat bahasa, saya akan membedah cara-cara yang biasa digunakan para kandidat presiden dalam menjebak pemilihnya dan bagaimana kita bisa menghindari jebakan tersebut dengan berpikir jernih.</p>
<h2>Debat penuh muslihat</h2>
<p>Skandal debat <a href="https://larouchepub.com/eiw/public/1983/eirv10n28-19830726/eirv10n28-19830726_054-debategate_a_threat_to_us_nation.pdf">(<em>debategate</em>)</a> di Amerika pada 28 Oktober 1980 antara calon presiden Ronald Reagan dan Jimmy Carter, menjadi bukti bahwa debat tidak selalu menggambarkan kualitas gagasan dan pribadi calon pemimpin. </p>
<p>Sejumlah <a href="https://www.jstor.org/stable/pdf/2748949.pdf?seq=1#page_scan_tab_contents">analis</a> sepakat bahwa kemenangan Reagan dalam pemilihan presiden Amerika Serikat waktu itu sebagai buah kesuksesannya memenangkan debat pada bulan Oktober. </p>
<p>Dalam debat itu, Reagan dinilai tampil lebih komunikatif. Ia dinilai mampu menjelaskan program dengan bahasa yang lebih membumi dan emosional. Meski lebih menguasai substansi persoalan, lawannya, Carter, dianggap kurang memiliki pesona panggung karena lebih banyak menggunakan istilah teknis yang kurang menggugah.</p>
<p>Namun penulis Laurence Barrett dalam buku <a href="https://books.google.co.id/books/about/Gambling_with_history.html?id=jhh5AAAAMAAJ&redir_esc=yhttps://books.google.co.id/books/about/Gambling_with_history.html?id=jhh5AAAAMAAJ&redir_esc=y"><em>Gambling With History: Reagan in the White House</em></a> mengungkap bahwa Reagan ternyata melakukan kecurangan dengan mengantongi catatan Carter sebelum debat dimulai. Bocoran itu membuat Reagan tahu siasat yang akan dipakai Carter sekaligus tahu cara menghadapinya. </p>
<p>Kasus itu membuktikan, pemimpin dengan kualitas bagus tidak selalu unggul dalam debat dan sebaliknya. Dalam debat presiden lebih berlaku hukum panggung di mana orang yang terampil tebar pesonalah yang berpeluang menang. Siapa pun yang dapat menyiasati hukum panggung, dia berpeluang lebih besar untuk menang.</p>
<h2>Bahasa adalah kunci</h2>
<p>Hukum panggung yang berlaku pada debat presiden membuat keterampilan berbahasa jadi modal yang penting untuk memenangkan debat. Padahal keterampilan memainkan kata-kata bisa sama sekali tidak relevan dengan kecakapan mengatasi persoalan bangsa.</p>
<p>Dalam buku <em><a href="http://www.acsu.buffalo.edu/%7Ejcampbel/documents/GreensteinOverviewPresSQ.pdf">The Qualities of Effective Presidents</a></em>, profesor politik Freed Greensteinndari Princeton University mengungkapkan ada enam kualitas yang harus dimiliki presiden. Enam kualitas tersebut adalah komunikasi publik, kapasitas organisasi, kemampuan politik, visi, gaya kognitif, dan kecerdasan emosional. </p>
<p>Berdasarkan daftar itu, bisa disimpulkan bahwa keahlian komunikasi dari calon presiden adalah salah satu kunci untuk memenangkan debat. Meski lebih penting, lima kualitas lainnya kurang terakomodasi di panggung. </p>
<h2>Siasat kandidat presiden dalam debat</h2>
<p>Logika panggung mendorong para kandidat untuk tampil sempurna. Untuk mencapai tujuan itu, kandidat memanfaatkan berbagai strategi.</p>
<p>Berdasarkan pengamatan pada debat calon presiden Indonesia 2014 lalu dan juga <a href="https://www.researchgate.net/publication/311588853_Trump's_and_Clinton's_Style_and_Rhetoric_During_the_2016_Presidential_Election/download">debat calon presiden Amerika tahun 2016</a>, ada beberapa siasat bahasa yang biasanya digunakan para kandidat untuk memenangkan debat presiden. </p>
<p><strong>1. Penggunaan metafora</strong></p>
<p>Metafora sering dipakai dalam debat karena mampu menyederhanakan konsep yang ruwet menjadi lebih konkret. Metafora juga bisa membuat pernyataan yang kering menjadi seolah-olah punya jiwa. </p>
<p>Dalam debat 2014 lalu, Presiden Joko Widodo memakai beberapa metafora. Misalnya, dia menggunakan frasa “revolusi mental” untuk menyebut perubahan cara berpikir. Ia juga menggunakan “tol laut” untuk menyebut sistem transportasi antarpelabuhan yang lebih lancar dan murah.</p>
<p>Lawannya, Prabowo Subianto, menggunakan metafora “bocor” untuk menggambarkan hilangnya potensi pendapatan negara. Adapun untuk menggambarkan keunggulan bangsa ia menggunakan frasa “macan Asia”. Kata “bocor” membangkitkan afeksi negatif, adapun “macan” sebaliknya.</p>
<p><strong>2. Penggunaan kata ganti orang</strong></p>
<p>Meski tampak sederhana, penggunaan kata ganti bisa berdampak besar. Penggunaan kata ganti orang yang tepat bisa menjelaskan tidak hanya hubungan pembicara dan pendengarnya tapi juga keberpihakan pembicara.<br>
Saat menyampaikan kabar baik, kandidat cenderung menggunakan kata ganti orang pertama: saya, kami, atau kita. Sebaliknya, <a href="http://www.diva-portal.org/smash/get/diva2:531167/fulltext01.pdf">saat menyampaikan kondisi buruk mereka cenderung menggunakan kata ganti orang ketiga: dia atau mereka.</a> </p>
<p>Secara kognitif, strategi ini bisa memanipulasi pikiran publik agar meyakini pembicara adalah pribadi baik dan lawan sebaliknya. </p>
<p><strong>3. Pengaturan rima</strong></p>
<p>Penelitian <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3620903/">yang dilakukan oleh ahli kejiwaan Amerika Serikat Blake Myers-Schulz</a> menunjukkan bahwa bunyi bahasa dapat mempengaruhi emosi lawan bicara.</p>
<p>Dalam penelitian tersebut, vokal “a” dan “o” ternyata cenderung berdampak lebih positif secara psikologis dibandingkan vokal “i”. Kecenderungan ini terjadi karena vokal “i” memiliki rentang frekuensi lebih panjang (240-2400 Hertz). Adapun vokal “a” memiliki rentang frekuensi yang pendek (850-1.680 Hertz).</p>
<p>Memang tidak mutlak, tetapi kecenderungan itu cenderung konsisten. Karena itu, bunyi akhir “a” sering dipakai untuk mendeskripsikan diri dan vokal “i” cocok untuk mendeskripsikan pihak lawan. </p>
<h2>Siasat atas muslihat</h2>
<p>Sosiolog asal Kanada <a href="https://www.thoughtco.com/erving-goffman-3026489">Erving Goffman</a> menyodorkan teori dramaturgi untuk memahami bagaimana panggung bekerja. Salah satu gagasan penting dalam teori dramaturgi yang dikemukakannya adalah kecenderungan manusia bermain di dua panggung sekaligus: panggung depan dan panggung belakang. </p>
<p>Panggung debat adalah panggung depan. Di sini kandidat akan menampilkan diri sebagai pribadi cerdas, jujur, humoris, dan sifat positif lain. Sifat-sifat itu sama sekali berbeda dengan sifat yang dimainkan di panggung belakang. Di panggung belakang, orang cenderung memunculkan sifat aslinya karena tidak khawatir disaksikan orang.</p>
<p>Kesadaran tentang dua panggung ini mestinya jadi bekal bagi masyarakat yang akan menyaksikan debat 17 Januari besok. Publik perlu menghubungkan pernyataan-pernyataan dalam panggung depan dengan realitas di panggung belakang. Bekal ini dapat menghindarkan publik dari kenaifan. Sebab, betapa pun tampak mencerdaskan, debat tetaplah pertunjukan. Di sana ada sandiwara.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/109946/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Surahmat menerima dana dari pemerintah melalui skema penelitian dosen muda yang disalurkan melalui Universitas Negeri Semarang.</span></em></p>Debat calon presiden itu rentan muslihat. Ini tips dari seorang ahli bahasa untuk menyiasatinya.Surahmat, Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Peneliti di Pusat Kajian Budaya Pesisir, Universitas Negeri SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1023592018-09-03T08:32:06Z2018-09-03T08:32:06ZAncaman gerakan #2019GantiPresiden terhadap kubu Jokowi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/234201/original/file-20180830-195322-r8lu68.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=5%2C11%2C3988%2C2982&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Halaman Facebook untuk kampanye #2019GantiPresiden </span> <span class="attribution"><span class="source">The Conversation Indonesia</span></span></figcaption></figure><p>Meningkatnya popularitas kampanye #2019GantiPresiden di media sosial yang menentang pencalonan kembali Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo pada pemilihan presiden (pilpres) tahun depan memperoleh reaksi dari pendukung Jokowi dan kepolisian. </p>
<p>Beberapa kampanye gerakan ini yang diadakan di Pekanbaru, Riau dan Surabaya, Jawa Timur, <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2018/08/26/2019changepresident-events-in-pekanbaru-and-surabaya-lead-to-clashes.html">digagalkan</a> oleh pendukung Jokowi, Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur, dan Badan Intelijen Negara Daerah (BINDA). Akibatnya lembaga keamanan negara dituduh tidak netral.</p>
<p>Aksi pendukung Jokowi tersebut menunjukkan bahwa kubu Jokowi mulai merasa terancam dengan kemungkinan bahwa kampanye ini bisa mencegah Jokowi terpilih tahun depan.</p>
<p>Sejak diluncurkan pada Maret 2018, gerakan ini telah meluas dan siap untuk mengubah peta politik dukungan di tingkat akar rumput menjelang pemilihan presiden 2019.</p>
<p>Dengan demikian, memahami gerakan #2019GantiPresiden menjadi penting karena bisa saja gerakan tersebut mempengaruhi hasil pilpres tahun depan.</p>
<h2>Apa itu #2019GantiPresiden?</h2>
<p>Mardani Ali Sera, politikus dari partai oposisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), <a href="https://tirto.id/presiden-pks-mardani-ali-sera-pencetus-gerakan-2019gantipresiden-cHus">menginisiasi</a> gerakan #2019GantiPresiden melalui serentetan cuitan di Twitter pada Maret 2018. Motifnya adalah untuk mencari sosok alternatif selain Jokowi.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"978630767839334400"}"></div></p>
<p>Gerakan ini juga dibentuk untuk melawan kampanye “Jokowi Dua Periode” yang terlebih dahulu dideklarasikan oleh sebuah kelompok relawan yang mendukung pencalonan Jokowi. Kelompok yang dikenal sebagai <a href="https://news.detik.com/berita/2526168/seknas-siap-menangkan-jokowi-di-pilpres-2014?nd771104bcj=">Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi</a> ini memainkan peran penting dalam menentukan kemenangan Jokowi saat pilpres 2014.</p>
<p>Kampanye #2019GantiPresiden telah memperoleh dukungan dari partai-partai oposisi –Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto akan <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2018/04/12/its-official-prabowo-to-join-2019-race.html">bersaing kembali</a> dengan Jokowi dalam meraih kursi kepresidenan dalam pilpres 17 April 2019.</p>
<p>Dengan kembalinya Prabowo untuk berlaga di pilpres 2019, #2019GantiPresiden memberikan dukungannya kepada Prabowo. </p>
<p>Selain dukungan dari partai-partai politik, gerakan ini juga memperoleh dukungan finansial dari berbagai sumber. Gerakan tersebut telah menerima Rp40 juta (US$2,733) dari Neno Warisman, seorang mantan penyanyi yang kini menjadi politikus, dan kontribusi finansial dari simpatisan lainnya. Neno yang juga merupakan anggota PKS, telah menjadi seorang yang vokal di balik kampanye #2019GantiPresiden. Ia telah bepergian ke berbagai daerah di Indonesia untuk mempromosikan gerakan tersebut.</p>
<h2>Strategi dan dampak dari #2019GantiPresiden</h2>
<p>Para aktivis di balik kampanye #2019GantiPresiden telah meluncurkan berbagai strategi yang terorganisasi dan terstruktur untuk mengkritik pemerintahan Jokowi.</p>
<p>Mereka telah menggunakan isu agama dan ekonomi untuk menyerang Jokowi. Sebagai contoh, mereka menuduh Jokowi atas pembiaran terhadap <a href="https://tirto.id/para-politikus-di-belakang-layar-gerakan-0392019-ganti-presiden039-cJKx">penganiayaan ulama</a>, diskriminasi terhadap Muslim, dan <a href="https://politik.rmol.co/read/2018/07/22/348842/Hidup-Makin-Susah,-Alasan-Relawan-">kenaikan harga</a> bahan pokok.</p>
<p>Strategi lain melibatkan musik. Johny Alang sebagai komposer musik telah <a href="http://wartakota.tribunnews.com/2018/08/28/pencipta-lagu-2019gantipresiden-bantah-gerakan-mereka-ditunggangi-hti">menciptakan</a> tembang #2019GantiPresiden. Proses produksi lagu tersebut melibatkan beberapa politikus dari partai-partai politik oposisi. Simpatisan #2019GantiPresiden menyanyikan lagu ini secara lantang pada saat mereka berdemonstrasi.</p>
<p>Strategi lainnya adalah penggunaan platform media sosial. Melalui media sosial, para pendukung #2019GantiPresiden menyebarluaskan gambaran dan ilustrasi yang secara khusus menyerang kebijakan pemerintahan petahana. Secara bersamaan, mereka juga mempromosikan konten-konten yang dapat meningkatkan popularitas Prabowo.</p>
<p>Sementara keefektifan dari strategi-strategi yang digunakan oleh gerakan #2019GantiPresiden belum dapat dibuktikan, sebuah perusahaan “big data” Drone Emprit <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2018/05/01/why-an-anti-jokowi-hashtag-could-be-his-strongest-foe-so-far.html">menemukan</a> bahwa gerakan ini berhasil menarik lebih banyak perhatian pengguna media sosial dibandingkan kampanye Jokowi. </p>
<p>Para aktivis #2019GantiPresiden di tingkat nasional dan daerah telah melaksanakan pertemuan massal di berbagai daerah di Indonesia. Pertemuan <a href="https://nasional.tempo.co/read/1102841/orasi-2019gantipresiden-di-depan-markobar-ini-reaksi-pemiliknya">pertama</a> telah diadakan di Solo, Jawa Tengah. Beberapa minggu setelahnya, pertemuan massal diadakan di luar Pulau Jawa, termasuk Medan, Sumatra Utara; Makassar, Sulawesi Selatan; dan Batam, Kepulauan Riau.</p>
<p><a href="https://www.rsis.edu.sg/rsis-publication/idss/co18130-2019-indonesian-presidential-election-the-2019changepresident-campaign-tightening-the-screws/#.W3Ps_iQzaM8">Temuan terbaru</a> saya menunjukkan bahwa keberhasilan pertemuan yang dilaksanakan di <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2018/07/29/jokowi-supporters-try-to-prevent-anti-jokowi-activist-from-entering-batam.html">Batam</a> disebabkan oleh kolaborasi yang solid antara aktivis #2019GantiPresiden dengan seorang ulama lokal di Batam.</p>
<p>Kesuksesan pertemuan #2019GantiPresiden juga terjadi di <a href="https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/07/22/pc9cxr414-deklarasi-dua-kubu-relawan-di-medan-tanpa-gesekan">Medan</a> dan <a href="http://makassar.tribunnews.com/2018/08/12/berikut-politisi-sulsel-di-deklarasi-2019gantipresiden-makassar">Makassar</a>. Hal ini juga disebabkan adanya kerja sama yang kuat antara beberapa politikus dari Gerindra, PAN, dan PKS dengan pemimpin-pemimpin di tingkat lokal.</p>
<h2>Reaksi dari kubu Jokowi</h2>
<p>Berbeda dengan gerakan #2019GantiPresiden, kubu Jokowi terlihat lebih pasif. Sekretariat Nasional Jokowi mengumumkan kampanye #Jokowi2Periode pada Februari 2018. Kendati demikian, belum terdapat gerakan pada tingkat akar rumput untuk mempromosikan kampanye tersebut.</p>
<p>Selain promosi aktif yang dilakukan di media sosial, kampanye dari kubu Jokowi tidak memiliki koordinasi yang baik dan tidak seefektif #2019GantiPresiden. Selain #Jokowi2Periode, kubu Jokowi juga membuat berbagai <em>hashtag</em>, seperti #2019TetapJokowi, #DiaSibukKerja, dan #JokowiTetapPresiden2019. Hal ini menunjukkan inkonsistensi dalam penyampaian pesan politik kepada publik.</p>
<p>Pendukung Jokowi juga tidak memiliki dukungan politik yang substantif dari partai-partai politik. Partai Golkar adalah satu-satunya partai politik yang telah <a href="https://nasional.tempo.co/read/1070425/golkar-bentuk-relawan-gojo-untuk-pemenangan-jokowi-di-pilpres/full&Paging=Otomatis">membentuk</a> sebuah kelompok berbasis relawan untuk pemenangan pencalonan Jokowi. Mereka menamakannya Relawan Golkar-Jokowi (Relawan GoJo).</p>
<p>Pada mulanya, Jokowi memandang remeh gerakan #2019GantiPresiden. Dalam sebuah <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2018/04/10/lawmakers-officials-react-differently-to-fiery-jokowi-speech.html">pidato yang berapi-api</a>, ia menyampaikan bahwa kampanye yang kotor tersebut tidak cukup kuat untuk mengalahkannya.</p>
<p>Namun, saat gerakan #2019GantiPresiden semakin meluas, kubu Jokowi memulai menggelar pertemuan-pertemuan tandingan untuk menantang lawannya.</p>
<p>Melalui pertemuan massal tandingan, pendukung Jokowi berhasil menggagalkan kampanye musuh politik mereka di beberapa kota. <a href="https://nasional.kompas.com/read/2018/08/27/22130021/menurut-bin-jika-neno-warisman-tetap-di-pekanbaru-kericuhan-akan-meluas">Sebuah pertemuan di Pekanbaru</a> berakhir dengan pengiriman kembali aktivis-aktivis #2019GantiPresiden, termasuk Neno, ke Jakarta.</p>
<p>Pertemuan-pertemuan lainnya berakhir ricuh. <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2018/08/26/2019changepresident-events-in-pekanbaru-and-surabaya-lead-to-clashes.html">Kericuhan yang baru-baru ini terjadi</a> di Surabaya dan Pekanbaru memaksa pihak kepolisian untuk mengintervensi. Polisi menghentikan acara #2019GantiPresiden di beberapa kota atas dasar alasan keamanan.</p>
<p>Pendukung Jokowi dari kalangan perempuan yang membentuk kelompok Emak-Emak Militan Jokowi baru-baru ini <a href="https://nasional.tempo.co/read/1117096/emak-militan-jokowi-laporkan-neno-warisman-ke-bareskrim-polri">mengajukan gugatan</a> melawan gerakan #2019GantiPresiden. Para penggugat berpendapat bahwa kampanye tersebut melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena mengandung ujaran kebencian.</p>
<p>Reaksi-reaksi yang berbeda terhadap kampanye #2019GantiPresiden dari kubu Jokowi menunjukkan tidak adanya strategi-strategi yang komprehensif dari kubu Jokowi. Jika pun ada, strategi mereka terlihat terpecah-pecah.</p>
<h2>Pelajaran bagi pendukung Jokowi</h2>
<p>Ketika persaingan antar pendukung dari dua kubu semakin memanas, pendukung Jokowi perlu untuk menenangkan diri. Alih-alih terlibat dalam kekerasan untuk menghentikan kampanye dari pihak lawan, mereka perlu untuk mengkonsolidasikan gerakan mereka dengan cara membangun afiliasi dengan koalisi partai politik pendukung Jokowi dan membentuk narasi publik yang konsisten.</p>
<p>Bagi Jokowi, sebuah strategi yang lebih komprehensif untuk menyeimbangkan pengaruh dari #2019GantiPresiden sangat dibutuhkan. Tanpa strategi tersebut, gerakan #2019GantiPresiden berpotensi untuk mempengaruhi pendukung-pendukung pada tingkat akar rumput agar tidak kembali memilih Jokowi pada pilpres 2019.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/102359/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dedi Dinarto tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Memahami gerakan #2019GantiPresiden menjadi penting karena bisa saja gerakan tersebut memengaruhi hasil pilpres tahun depan.Dedi Dinarto, Research Associate with the Indonesia Programme, S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/922792018-02-26T10:18:36Z2018-02-26T10:18:36ZPolarisasi politik tak melulu buruk—asalkan dua syarat terpenuhi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/207472/original/file-20180222-152351-b1vp8l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=32%2C6%2C2122%2C1414&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kecenderungan polarisasi politik di Indonesia efek dari kampanye ketat dan brutal selama pemilihan presiden (Pilpres) 2014 lalu antara Presiden Joko Widodo (kiri) dan Prabowo Subianto. </span> <span class="attribution"><span class="source">REUTERS/Darren Whiteside/Beawiharta</span></span></figcaption></figure><p>Polarisasi politik di masyarakat, saat warga terbelah ke dalam dua kutub yang berseberangan atas sebuah isu, kebijakan, atau ideologi, telah membentuk wajah politik Indonesia belakangan ini. </p>
<p>Kecenderungan itu merupakan efek dari kampanye ketat dan brutal selama pemilihan presiden (pilpres) 2014 lalu antara Joko Widodo (Jokowi) yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Prabowo Subianto, mantan jenderal di era Soeharto yang mendirikan Partai Gerindra. </p>
<p>Tren polarisasi itu berlanjut pada pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017, dan tampaknya akan berlanjut pada pilpres 2019 nanti jika koalisi partai politik yang bertarung tidak banyak berubah.</p>
<p>Ada kekhawatiran besar bahwa menguatnya polarisasi politik akan merusak kepercayaan (<em>trust</em>) di masyarakat. Sikap saling percaya merupakan elemen dasar dari modal sosial bagi demokrasi. </p>
<p><a href="https://books.google.com/books?id=J93o05MH3v8C&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false;%20https://www.jstor.org/stable/pdf/3088895.pdf?refreqid=excelsior%3A7827474c172d451a8d964058887d54bd">Banyak penelitian telah membuktikan</a> bahwa sikap saling percaya antarwarga adalah fondasi mikro yang akan mendorong anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Lewat berbagai saluran sukarela, partisipasi politik itu pada akhirnya akan menyuburkan demokrasi. </p>
<p>Karena itu, terkikisnya sikap saling percaya warga dikhawatirkan akan berpengaruh pada keengganan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Rendahnya partisipasi politik, seperti rendahnya penggunaan hak pilih dan keterlibatan warga dalam kampanye maupun pengambilan kebijakan publik, berpengaruh pada <a href="https://books.google.co.id/books/about/Participation_in_America.html?id=9K5fdvfmGREC&redir_esc=y">rendahnya mutu demokrasi</a>. </p>
<p>Apakah polarisasi politik benar-benar mengkhawatirkan?</p>
<h2>Polarisasi massa</h2>
<p>Politik Amerika Serikat adalah contoh elite dan warganya terbelah antara kaum liberal dan konservatif, Partai Republik dan Partai Demokrat. Inggris adalah contoh lain yang mengalami polarisasi politik dalam spektrum kiri-kanan, terutama direpresentasikan oleh Partai Buruh dan Partai Konservatif. </p>
<p>Namun, polarisasi tidak hanya dibentuk oleh ideologi. Menurut ilmuwan politik <a href="https://books.google.com/books?id=B82_x2v_CGQC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false">James Q. Wilson (2012)</a>, komitmen kuat terhadap kandidat dalam pemilu dapat berpengaruh pada terbentuknya polarisasi di kalangan pemilih.</p>
<p>Polarisasi politik adalah fenomena baru dalam perpolitikan Indonesia. Setidaknya, sejak rezim Soeharto menjalankan politik deideologisasi dan massa mengambang, di antaranya lewat kebijakan partai politik tidak boleh memiliki cabang di bawah tingkat kabupaten, indoktrinasi wajib Pancasila, dan undang-undang yang mewajibkan organisasi masyarakat berasas tunggal Pancasila, perdebatan dan kontestasi ideologis atas sebuah kebijakan absen dalam politik kita. </p>
<p>Keterbukaan di era demokrasi, sesudah lengsernya Soeharto, tak serta merta mendorong debat ideologis di masyarakat. Presidensialisme multi-partai yang kita anut pasca-reformasi justru mendorong munculnya pragmatisme politik: partai-partai politik berkoalisi berdasarkan kepentingan jangka pendek, seperti memperoleh kursi kabinet, tanpa mempertimbangkan ideologi. </p>
<p>Dalam banyak kasus, polarisasi umumnya merupakan perpanjangan perbedaan garis politik yang tumbuh di kalangan elite di legislatif, yang kemudian mempengaruhi perilaku politik warga. Misalnya, perbedaan posisi elite Partai Demokrat dan Republik di Amerika atas isu aborsi pada era 1990-an membuat publik Amerika terbelah dan mengadopsi posisi elite yang mereka dukung.</p>
<p>Namun, dalam politik mutakhir Indonesia, polarisasi lebih merupakan fenomena populer yang berkembang di tingkat massa, ketimbang elite politik. </p>
<p>Kecenderungan non-ideologis politik kepartaian Indonesia membuat elite politik bisa bermanuver ke segala arah. Umumnya mereka bergerombol di kutub koalisi yang berkuasa. Tentu banyak motifnya, tapi mudah untuk menemukan dorongan keuntungan ekonomi dan politik di baliknya. </p>
<p>Misalnya, tidak lama setelah Jokowi memenangkan kursi presiden pada pilpres 2014, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan mengubah haluan koalisi menjadi pendukung Jokowi, yang membuat mereka memperoleh kursi di kabinet. Partai-partai ini meninggalkan Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera di kubu oposisi. </p>
<p>Perubahan koalisi ini tidak serta merta diikuti pendukungnya. Komitmen pemilih terhadap kandidat yang mereka dukung tampak lebih kuat ketimbang pragmatisme elite. </p>
<p>Komentar dan perdebatan politik para pengguna media sosial memperlihatkan jelas bagaimana polarisasi politik terus berlangsung. Para pendukung masing-masing calon presiden pada pilpres 2014 lalu tetap mempertahankan sikap antagonisme mereka hingga kini.</p>
<h2>Partisipasi politik</h2>
<p><a href="https://ir.uiowa.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=3391&context=etd;">Studi terbaru</a> tentang polarisasi politik mengungkap bahwa polarisasi justru mendorong peningkatan partisipasi politik masyarakat. <a href="https://books.google.com/books?id=LVHF3roJPU0C&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false">Sarjana politik Alan Abramowitz (2010)</a>, misalnya, menemukan bukti selama pemilihan presiden Amerika pada 2004 dan 2008, para pemilih termotivasi oleh polarisasi politik yang terjadi saat itu. Jumlah pemilih yang lebih tinggi dan keterlibatan dalam kegiatan kampanye adalah hasilnya. Abramowitz menyimpulkan bahwa mereka yang berpartisipasi adalah mereka yang terpolarisasi. </p>
<p>Banyak yang menyaksikan bahwa pilpres Indonesia 2014 telah membelah banyak ikatan keluarga dan teman. Namun, jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih mencapai 70%. Angka partisipasi itu cukup tinggi dibandingkan misalnya pengguna hak pilih di Amerika pada pilpres 2016 yang hanya 55%. </p>
<p>Begitu juga dengan pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta. Jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih dalam pilgub DKI 2017 mencapai <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Gubernur_DKI_Jakarta_2017#cite_note-48">78%</a> sementara <a href="https://kpujakarta.go.id/file_data/Hasil%20Penghitungan%20Suara%20Provinsi%20DKI%20Jakarta%20Pemilu%20Gubernur%20dan%20Wakil%20Gubernur%20Tahun%202012.pdf">pada 2012 66.7%</a>** </p>
<p>Selain itu, ada fakta penting lain yang muncul: banyak orang menjadi lebih sadar akan politik, ingin tahu tentang kandidat dan kebijakan yang mereka tawarkan, dan berpartisipasi dalam melakukan kampanye untuk kandidat yang mereka dukung. Singkatnya, polarisasi telah mengaktifkan mereka yang sebelumnya tidak terlibat dalam politik untuk lebih aktif dalam politik.</p>
<p>Para pemilih juga menjadi lebih aktif mengawasi kinerja pemerintah. Sementara pendukung Presiden Jokowi terus mendukung setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah, mereka yang sebelumnya tidak mendukungnya terus-menerus mengkritik setiap kebijakan yang diambil pemerintah. </p>
<p>Dengan bantuan media sosial, mudah bagi kedua kelompok untuk menyebarkan opini terkait kebijakan yang mereka setujui atau tidak setujui. Efeknya, pemerintah tidak hanya dituntut lebih transparan dan akuntabel, namun juga harus memiliki justifikasi yang rasional untuk tiap kebijakannya jika tidak ingin dikritik habis-habisan.</p>
<h2>Posisi kandidat</h2>
<p>Dampak lain dari menguatnya polarisasi massa adalah para kandidat terdorong untuk membedakan kebijakan yang mereka tawarkan kepada para pemilih. Bagi kandidat, itu penting untuk mempertahankan pendukung setia mereka. Bagi pemilih, polarisasi semacam itu akan membantu mereka memilih kandidat yang tepat. </p>
<p><a href="https://www.annualreviews.org/doi/abs/10.1146/annurev.polisci.9.070204.105138">Geoffrey C. Layman dkk</a> menegaskan bahwa perbedaan kebijakan yang lebih jelas antara kandidat akan memungkinkan warga untuk melihat perbedaan posisi kandidat atas suatu kebijakan, sehingga mendorong mereka memberi suara berdasarkan kebijakan. </p>
<p>Pendeknya, polarisasi politik tak melulu berefek buruk. Ia justru berpotensi meningkatkan partisipasi pemilih dan memperkuat dukungan partisan para kandidat. </p>
<p>Tentu saja, polarisasi politik akan memperkuat demokrasi dengan dua kondisi. Pertama, para elite tidak terdorong untuk terus mengeksploitasi politik identitas dan menggunakan kampanye negatif untuk menyerang kelemahan lawan. Upaya-upaya tersebut, seperti tampak pada pilpres 2014 dan pemilihan gubernur Jakarta 2017 lalu, hanya melahirkan kompetisi yang tidak sehat. </p>
<p>Kedua, publik tidak terus-menerus saling menebar kabar bohong dan ujaran kebencian lewat media sosial. Ini kontraproduktif bagi proses demokrasi. Penegakan hukum oleh aparat kepolisian boleh jadi satu cara mengurangi penyebaran kabar bohong dan ujaran kebencian. Kita berharap media massa, sebagai salah satu pilar demokrasi, juga institusi pendidikan dan keagamaan, dapat turut menanamkan kesadaran publik tentang perlunya bersikap etis dan kritis dalam politik. Bukan malah sebaliknya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/92279/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Testriono tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Asalkan eksploitasi politik identitas dihindari dan publik menahan diri dari menyebar kabar bohong, polarisasi bisa bermanfaat.Testriono, Researcher at the Center for the Study of Islam and Society (PPIM), Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah JakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.