tag:theconversation.com,2011:/id/topics/universitas-42124/articlesUniversitas – The Conversation2024-02-26T02:07:23Ztag:theconversation.com,2011:article/2240962024-02-26T02:07:23Z2024-02-26T02:07:23ZIndividualisme yang berlebihan lemahkan kesadaran politik kaum terdidik<p>Beberapa bulan sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, latar belakang pendidikan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres), yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, yang semuanya merupakan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20231022192335-4-482679/dominasi-alumni-ugm-di-pentas-pilpres-2024-siapa-saja">alumni Universitas Gadjah Mada</a> (UGM) ramai dibicarakan di media sosial.</p>
<p>Mahfud MD merupakan <a href="https://ika.uii.ac.id/profile-alumni/detail/prof-dr-mohammad-mahfud-md-s-h-s-u-m-i-p-1">Guru Besar</a> Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, sementara Anies Baswedan adalah mantan Rektor Universitas Paramadina sekaligus mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Latar belakang akademik tersebut dianggap mampu <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231209165211-617-1035125/survei-indikator-pemilih-anies-kalangan-terdidik-prabowo-lulusan-smp">menarik minat pemilih terdidik, yaitu pemilih dengan tingkat pendidikan tinggi, mengenyam bangku perkuliahan atau bahkan sudah lulus S3</a>. </p>
<p>Namun, <a href="https://www.kompas.id/baca/riset/2024/02/17/dukungan-pemilih-berpendidikan-tinggi-tertuju-pada-prabowo-gibran"><em>exit polls</em></a> yang dilakukan Litbang Kompas pada hari pencoblosan, 14 Februari 2024, menunjukkan sebaliknya. Pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka justru lebih unggul dan mampu menarik 44% pemilih dengan latar belakang pendidikan tinggi, disusul Anies-Muhaimin sebesar 33,4% dan Ganjar-Mahfud sebesar 12,5%.</p>
<p>Padahal, Prabowo-Gibran bukan dari kalangan akademisi. Prabowo merupakan alumni Akademi Militer (dulu AKABRI) Magelang, sementara Gibran adalah lulusan dari Management Development Institute Singapura. Di luar dunia politik, <a href="https://www.cnbcindonesia.com/entrepreneur/20230911101247-25-471270/nih-rahasia-prabowo-sukses-bisnis-di-usia-tua-punya-rp-2-t">Prabowo</a> dan <a href="https://www.liputan6.com/bisnis/read/5430516/kisah-jatuh-bangun-gibran-dari-pengusaha-katering-jadi-cawapres-indonesia">Gibran</a> lebih dikenal sebagai pengusaha.</p>
<p>Perlu dicatat bahwa menjelang hari pencoblosan, sejumlah guru besar UGM mengeluarkan <a href="https://ugm.ac.id/id/berita/akademisi-ugm-sampaikan-petisi-bulaksumur-soal-dinamika-perpolitikan-nasional/">pernyataan sikap</a> terkait keresahan para akademisi atas dugaan pelanggaran etika dan nilai-nilai demokrasi yang terjadi selama perhelatan Pemilu 2024-yang diyakini menguntungkan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/articles/c0kdv2x5qvzo">Prabowo-Gibran.</a> Pernyataan sikap serupa juga disampaikan oleh para guru besar <a href="https://nasional.tempo.co/read/1829668/nyatakan-sikap-atas-melencengnya-demokrasi-ini-daftar-perguruan-tinggi-yang-bergerak">kampus-kampus lainnya di seluruh Indonesia.</a></p>
<p>Tapi tampaknya, isu pelanggaran etika dan pengingkaran atas nilai-nilai demokrasi tidak semudah itu mengubah preferensi politik. Terbukti, mayoritas pemilih berpendidikan tinggi tetap memilih Prabowo-Gibran.</p>
<p>Kelompok berpendidikan tinggi pernah menjadi <a href="https://ecommons.cornell.edu/server/api/core/bitstreams/8085d708-af11-456a-b766-af6098107b15/content">tulang punggung perjuangan kemerdekaan</a> karena kesadaran politik mereka. Karena itu, menarik untuk ditelisik bagaimana kesadaran tersebut perlahan hilang setelah Indonesia merdeka.</p>
<p>Untuk memahami perilaku pemilih berpendidikan tinggi di Indonesia ini, saya menggunakan pendekatan <em>hyper-individualisme</em> (individualisme berlebih) di Amerika Serikat (AS) yang <a href="https://brill.com/display/book/9789004444836/BP000044.xml">didefiniskan</a> oleh Zachary A. Casey, <em>associate professor</em> dan Ketua Studi Pendidikan di Rhodes College, AS, sebagai kecenderungan aktor-aktor sosial untuk memandang dirinya sebagai entitas yang terpisah dari kelompok dan lembaga yang lebih besar di sekitarnya.</p>
<h2>‘Hyper-individualisme’ dan misi individu</h2>
<p>Dalam konteks pendidikan di AS, sikap <em>hyper-individualisme</em> ini sejalan dengan <a href="https://intapi.sciendo.com/pdf/10.2478/jped-2013-0003">neoliberalisme</a> yang menempatkan pendidikan sebagai ladang pencapaian pribadi, terutama dalam konteks ekonomi.</p>
<p>Hal ini pada gilirannya menciptakan krisis kesepian dan kesehatan mental, yang diakibatkan oleh <a href="https://www.city-journal.org/article/the-problem-of-hyper-individualism">hilangnya keterkaitan individu dengan komunitas.</a></p>
<p>Di AS, dengan <em>hyper-individualisme</em>, individu dianggap memiliki kebebasan penuh untuk memenuhi hajat hidupnya sendiri. Ini menjelaskan sulitnya upaya <a href="https://indianacapitalchronicle.com/2023/04/04/hyper-individualism-is-the-disease-keeping-us-from-addressing-deadly-gun-violence/">pembatasan kepemilikan senjata api</a> di AS dengan dalih kebebasan individu.</p>
<p>Di sisi lain, <em>hyper-individualisme</em> juga telah berkontribusi pada <a href="https://www.huffpost.com/entry/donald-trump-our-individualist-nightmare-hero_b_9464610">kemenangan Donald Trump.</a> Trump adalah simbol populisme yang <a href="https://www.latimes.com/entertainment-arts/story/2020-10-30/how-toxic-individuality-is-tearing-the-u-s-apart">mengabaikan bukti-bukti ilmiah</a> selama penanganan pandemik. Gagasan <a href="https://scholarworks.arcadia.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1049&context=agsjournal"><em>America First</em></a> yang digaungkan Trump juga telah melemahkan multikulturalisme yang berbasis komunitas dan melahirkan kebijakan-kebijakan antiimigran yang memperkuat individualisme.</p>
<h2>‘Hyper-individualisme’ di Indonesia: terlalu sibuk untuk berpolitik</h2>
<p>Kecenderungan <em>hyper-individualisme</em> di Indonesia bisa dilacak melalui kebijakan ekonomi pada awal Orde Baru yang diinisasi oleh <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Berkeley_Mafia">para ekonom</a> alumni University of California, Berkeley, AS: Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Emil Salim, J.B. Sumarlin, Ali Wardhana, dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. </p>
<p>Terkenal sebagai <a href="https://la.utexas.edu/users/hcleaver/357L/357LRansomBerkeleyMafiaTable.pdf">mafia Berkeley,</a> para ekonom ini bertujuan meniru pola pembangunan AS di Indonesia di era 1960-an yang fokus ke pembangunan ekonomi kapitalis <a href="https://repository.library.brown.edu/studio/item/bdr:841073/PDF/?embed=true">berbasis pasar bebas.</a> </p>
<p><strong>1. Memaksa individu fokus kuliah saja</strong></p>
<p>Pola pembangunan berbasis pasar bebas yang dibawa oleh para mafia Berkeley kemudian diikuti oleh <a href="https://www.kompas.id/baca/arsip/2022/06/25/normalisasi-kampus-diserahkan-sepenuhnya-kepada-departemen-pk">normalisasi kehidupan kampus (NKK)</a> pada tahun 1977-1978 yang bertujuan untuk melumpuhkan organisasi kemahasiswaan.</p>
<p>Praktis, selama era 1980an, pola pembangunan ini telah melahirkan kaum terdidik yang sejahtera dan efektif bekerja, tetapi abai terhadap <a href="https://ecommons.cornell.edu/server/api/core/bitstreams/a75bca4e-8049-4fda-9a84-e7f361348e0f/content">ketimpangan dan masalah-masalah sosial</a> di sekitarnya.</p>
<p>Dalam <em>Identity and Pleasure: the Politics of Indonesian Screen Culture</em>, Ariel Heryanto menggambarkan bagaimana penghilangan atau penghapusan kegiatan politik (depolitisasi) juga dilakukan dengan <a href="https://www.jstor.org/stable/j.ctv1qv1rz">menayangkan film dan serial AS di bioskop dan televisi,</a> sebagai upaya untuk memperkuat nilai individualisme anak muda di era Orde Baru.</p>
<p><strong>2. Harus cepat lulus karena kuliah mahal</strong></p>
<p>Gerakan mahasiswa memang sempat menguat kembali pada dekade 1990-an. <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1748-3131.2007.00058.x">Krisis ekonomi di Asia tahun 1997</a> memunculkan kesadaran mengenai kesenjangan sosial yang terjadi selama tiga dekade Orde Baru berkuasa. <a href="http://www.jeremywallach.com/wp-content/uploads/2008/09/Rock&Reformasi.pdf">Gerakan mahasiswa</a> di kampus menjadi tulang punggung lahirnya era reformasi pada tahun 1998.</p>
<p>Lalu muncul tantangan baru, yaitu arus komersialisasi pendidikan melalui pembentukan <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Perguruan_Tinggi_Negeri_Badan_Hukum">Badan Hukum Milik Negara (BHMN)</a> pada tahun 2000. Empat Perguruan Tinggi Negeri (PTN), yakni UI, UGM, ITB, dan IPB diberikan <a href="https://www.itb.ac.id/files/focus_file/orasi_bhmn.html">kewenangan penuh pengelolaan keuangan.</a> </p>
<p>Pembentukan BHMN ini menempatkan pendidikan tinggi sebagai lembaga yang <a href="https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1013&context=amj">ditentukan oleh pasar,</a> tidak lagi sepenuhnya didanai oleh negara, sehingga biaya kuliah menjadi semakin mahal.</p>
<p><strong>3. Harus cepat lulus supaya bisa segera bekerja</strong></p>
<p>Pemerintah cenderung menjadikan perguruan tinggi sebagai tempat untuk <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00074918.2021.1909692">mendapatkan kualifikasi pendidikan yang dibutuhkan di lapangan kerja.</a></p>
<p><a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2019/11/22/nadiem-modernization-and-islamization-of-education.html">Pengangkatan Nadiem Makarim,</a> <em>co-founder</em> GoJek lulusan kampus bergengsi AS yang dikenal dengan sebutan <em>Ivy League</em>, sebagai Menteri Pendidikan pada tahun 2019 mengindikasikan keinginan pemerintah untuk menjadikan ekonomi digital sebagai tulang punggung pembangunan bangsa.</p>
<p>Sayangnya, program Kampus Merdeka yang dicanangkan Nadiem pada 2020 <a href="https://www.kompas.id/baca/opini/2023/01/09/guncangan-kampus-merdeka">hanya fokus menyiapkan sarjana yang siap kerja,</a> mengabaikan penguatan keilmuan dan kesadaran politik yang semestinya dimiliki oleh kaum terdidik. Pragmatisme pendidikan semacam ini sangat mirip dengan fenomena <em>hyper-individualisme</em> yang menggerogoti <a href="https://www.judithkirscht.com/judith-kirscht-authors-blog/3088/hyper-individualism-and-higher-education/">pendidikan tinggi di AS.</a></p>
<p><strong>4. Krisis lapangan kerja membuat individu enggan berpolitik</strong></p>
<p>Sebelum pandemi COVID-19, digitalisasi dianggap sebagai penggerak ekonomi yang utama, terutama dengan munculnya berbagai <em>start-up</em> bergaya Amerika di Indonesia. Faktanya, kesenjangan sosial dan keterbatasan akses pendidikan tinggi, menyebabkan <a href="https://www.thejakartapost.com/longform/2020/01/22/underprivileged-millennials-being-young-and-poor-in-jakarta.html">ekonomi digital hanya menguntungkan segelintir kalangan kaum terdidik.</a></p>
<p>Selain itu, sektor ini juga dinilai tidak bisa memberikan <a href="https://www.hukumonline.com/berita/a/menyoroti-lemahnya-perlindungan-tenaga-kerja-di-industri-startup-lt62bbede70dcd6/">kepastian hukum</a> bagi pekerja. Terdapat kesenjangan antara kualifikasi pendidikan dan kepuasan di tempat kerja. <a href="https://www.kompas.id/baca/opini/2022/09/01/isu-kesehatan-mental-di-kalangan-start-up">Krisis kesehatan mental</a> yang terjadi di AS juga membayangi pekerja terdidik di Indonesia.</p>
<p>Hal ini diperburuk oleh tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selama pandemi yang tidak hanya menyasar <a href="https://www.thejakartapost.com/opinion/2022/03/25/post-covid-recovery-scratching-the-surface-of-millennial-start-ups.html">pekerja kerah biru,</a> tetapi juga mereka dengan kualifikasi pendidikan tinggi. Bagi kaum terdidik, krisis lapangan kerja semakin menggerus kemampuan mereka untuk <a href="https://dissertations.gla.ac.uk/id/eprint/353/1/2018KusumawardhanaMSc_dissertation.pdf">berserikat dan berkesadaran politik.</a> </p>
<h2>Apa solusinya?</h2>
<p>Harus diakui, Pemilu 2024 telah mengantarkan kita kepada babak baru demokrasi di Indonesia. Forum-forum kampanye seperti <a href="https://www.cnnindonesia.com/internasional/20240104112856-106-1045163/media-asing-soroti-cara-anies-gaet-pemilih-muda-pakai-desak-anies">“Desak Anies”</a> dan <a href="https://nasional.sindonews.com/read/1294443/12/momen-ganjar-debat-dengan-anak-muda-di-demokreasi-1704762111">“Demokreasi”</a> menunjukkan kematangan para kandidat politik dalam berdemokrasi.</p>
<p>Di luar dinamika paslon, platform seperti <a href="https://www.bijakmemilih.id/">Bijak Memilih</a> dan <a href="https://kawalpemilu.org/">Kawal Pemilu</a> menunjukkan tingginya partisipasi publik pada Pemilu 2024.</p>
<p>Sayangnya, kecenderungan <a href="https://www.newmandala.org/symptoms-of-anti-intellectualism-in-indonesian-democracy/">antiintelektualisme,</a> <a href="https://www.economist.com/asia/2024/02/01/tiktok-is-a-key-battleground-in-indonesias-election">pengaruh media sosial TikTok,</a> dan disinformasi dengan <a href="https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/26418/viral-video-soeharto-muncul-kampanye-pemilu-2024-di-instagram/2">penggunaan kecerdasan buatan</a> dalam Pemilu 2024, menjadi tantangan terbesar bagi demokrasi di Indonesia saat ini.</p>
<p>Untuk mengembalikan kesadaran politik kaum terdidik, perlu dilakukan langkah sistematis untuk menghentikan komersialisasi pendidikan tinggi.</p>
<p>Krisis Uang Kuliah Tunggal (UKT) di <a href="https://bandung.kompas.com/read/2024/02/01/120813778/duduk-perkara-itb-gandeng-pinjol-untuk-bayar-ukt-tetap-berlanjut-meski-tuai?page=all">Institut Teknologi Bandung (ITB)</a> menunjukkan darurat penanganan keuangan perguruan tinggi. Gagasan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20240130141401-4-510170/sri-mulyani-kaji-sistem-student-loan-lpdp-seperti-as"><em>student loan</em></a> yang sangat Amerika-sentris harus ditolak karena akan semakin memperkuat kecenderungan <em>hyper-individualisme</em>.</p>
<p>Di sisi lain, pemerintah melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), mengelola dana abadi sebesar <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20240116181052-532-1050329/alasan-pemerintah-buka-peluang-setop-aliran-dana-rp20-t-ke-lpdp">Rp136 triliun</a>, untuk pendidikan pascasarjana dalam dan luar negeri. <a href="https://www.thejakartapost.com/opinion/2021/11/30/lpdp-overseas-scholarship-needs-rethinking.html">Alih-alih memperkaya kampus di luar negeri,</a> pemerintah perlu memikirkan opsi untuk mengalokasikan dana abadi sebesar itu untuk memperbaiki pendidikan tinggi di dalam negeri.</p>
<p>Dengan demikian, kita bisa bersama-sama mengembalikan fungsi universitas sebagai tempat untuk memupuk <a href="https://www.kompas.id/baca/english/2024/02/07/akademisi-tolak-intimidasi-pada-kebebasan-akademik?open_from=Translator_Mark">semangat berkumpul, berserikat, dan mengemukakan pendapat</a> di kalangan kaum terdidik.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/224096/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Asep Muizudin Muhamad Darmini tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kelompok berpendidikan tinggi pernah menjadi tulang punggung perjuangan kemerdekaan karena kesadaran politik mereka. Tapi belakangan, kesadaran ini semakin berkurang. Mengapa?Asep Muizudin Muhamad Darmini, Lecturer in Media and Communication, Binus UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2222872024-02-12T06:22:16Z2024-02-12T06:22:16ZDemi merawat demokrasi, universitas mesti bebas dari intervensi pemimpin negara yang otoriter<p>Setelah <a href="https://kabar24.bisnis.com/read/20240205/15/1738509/daftar-kampus-dan-akademisi-tuntut-jokowi-netral-jelang-pemilu-2024">beberapa universitas di Indonesia menyampaikan deklarasi</a> terkait Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang dianggap gagal menjaga netralitas Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, <a href="https://www.detik.com/jogja/berita/d-7182285/heboh-kampus-diminta-bikin-video-apresiasi-jokowi-warek-ugm-ironi">sejumlah rektor mengaku menerima intervensi dari beberapa pihak.</a></p>
<p>Berbagai bentuk intervensi kebebasan akademik universitas tidak jarang terjadi di Indonesia, mulai dari <a href="https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/05/30/kebebasan-akademis-indonesia-dalam-ancaman">ancaman dan intimidasi</a>, hinggga <a href="https://fh.unair.ac.id/en/merosotnya-kebebasan-akademik-sebagai-akibat-dari-adanya-intervensi-kekuasaan/">pembubaran diskusi dan seminar. </a>. Terbaru, muncul <a href="https://rilpolitik.com/acara-nobar-dan-diskusi-dirty-vote-di-mbloc-space-batal-izin-dicabut-mendadak/">pelarangan nonton bareng</a> film dokumenter investigasi <em>Dirty Vote</em>, yang mengungkap kecurangan pemilu 2024. </p>
<p>Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mengungkap bahwa <a href="https://news.republika.co.id/berita/qifatv396/lp3es-ungkap-4-tanda-indonesia-semakin-otoriter">Indonesia menunjukkan tanda-tanda semakin otoriter</a>. Ini contohnya terlihat dari <a href="https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/08/08/ruang-kebebasan-sipil-di-indonesia-semakin-sempit">makin masifnya pembatasan kebebasan sipil</a> melalui <a href="https://www.kominfo.go.id/index.php/content/detail/4419/Menkominfo%3A+Pasal+27+Ayat+3+UU+ITE+Tidak+Mungkin+Dihapuskan/0/berita_satker">UU ITE</a>, pengabaian <a href="https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/11/12/pejuang-lingkungan-masih-rentan-mengalami-kekerasan">kekerasan terhadap aktivis</a>, hingga pelanggaran komitmen demokrasi dengan adanya <em>conflict of interest</em> <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230606130341-617-958225/jokowi-cawe-cawe-itu-kewajiban-moral-saya-sebagai-presiden">Jokowi yang ingin terlibat atau <em>“cawe-cawe”</em> dalam Pemilu</a>.</p>
<p>Otoritarianisme <a href="https://www.tni.org/en/publication/understanding-and-challenging-authoritarianism">ditandai dengan tingginya keinginan negara</a> untuk mengontrol masyarakat, dengan membatasi kebebasan individu dan institusi, untuk menjaga kekuasaan dalam tangan mereka sendiri</p>
<p>Menurut Ernesto Gallo, Profesor Hubungan Internasional dari University of Birmingham, Inggris, yang biasanya terjadi di negara demokrasi adalah <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/10245294211038425">“neoliberalisme otoriter”</a>. Artinya, pemerintah bisa menerapkan kebijakan ekonomi neoliberal, tetapi sembari membatasi kebebasan politik dan sipil. Hal ini dapat dilihat dalam konteks UU Cipta Kerja (Omnibus) di Indonesia, <a href="https://news.detik.com/kolom/d-5204654/uu-cipta-kerja-neoliberalisme-dan-deregulasi">yang mempermudah investasi asing</a>, <a href="https://www.walhi.or.id/uu-ck-skandal-legislasi-paling-barbar">namun memangkas hak-hak buruh</a>. </p>
<p><a href="https://www.icnl.org/wp-content/uploads/Uni-restrictions-rpt-final-March-2019.pdf">Studi</a> Kirsten Roberts Lyer dan Aron Suba dari UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR) menemukan bukti-bukti tindakan pemerintah yang restriktif dan represif terhadap universitas di lebih dari 60 negara. Termasuk di antaranya campur tangan struktur kepemimpinan dan tata kelola universitas, kriminalisasi dan pemecatan akademisi, sekuritisasi kampus, intimidasi keluarga, pembatasan pemberian jatah hibah dan beasiswa, hingga sensor buku dan publikasi topik tertentu.</p>
<h2>Pembatasan kebebasan akademik di berbagai negara</h2>
<p>Indonesia tidak sendirian. Dalam beberapa tahun terakhir, kecenderungan <a href="https://www.voanews.com/a/report-authoritarianism-on-the-rise-as-democracy-weakens/6856151.html">otoritarianisme juga meningkat di berbagai belahan dunia</a>. </p>
<p>Di Turki, <a href="https://www.bbc.com/news/world-middle-east-44519112">5.000 akademisi dan 33 ribu guru kehilangan pekerjaan</a>, <a href="https://www.aljazeera.com/news/2018/11/19/turkey-academic-jailed-after-raids-on-professors-and-activists">ratusan profesor dan lulusan bergelar magister dan doktoral dipenjara</a> karena terlibat dalam aksi protes pemerintah hingga dituduh berafiliasi dengan <a href="https://www.aljazeera.com/news/2022/7/15/turkeys-failed-coup-attempt-explainer">pencobaan kudeta presiden</a>. </p>
<p>Di <a href="https://www.france24.com/en/20181016-hungary-gender-studies-ban-draws-university-anger">Hungaria</a>, pemerintah melarang pengajaran mata kuliah studi gender hingga mengambil alih kontrol penuh terhadap Hungarian Academy of Social Science.</p>
<p>Sementara <a href="https://reliefweb.int/report/occupied-palestinian-territory/rights-civil-society-members-are-being-violated-all-entities-israel-and-occupied-palestinian-territory-un-commission-inquiry-says-israeli-government-restrictions-intrinsically-linked-occupation-enarhe">di Israel</a>, terdapat undang-undang antimasyarakat sipil dan universitas yang bertujuan untuk menghentikan dan meminimalkan protes terhadap pemerintah.</p>
<h2>Dampak otoritarianisme terhadap universitas</h2>
<p>Universitas yang beroperasi di bawah intervensi pemerintah yang otoriter sering <a href="https://eprints.whiterose.ac.uk/184563/">menghadapi tantangan</a> dalam menjaga kebebasan dan kemandirian akademik dalam riset, sumber daya, hingga kurikulum. Hal ini berdampak negatif pada kemampuan akademisi untuk mempertahankan kebebasan akademik dan menegakkan integritas kelembagaan.</p>
<p><a href="https://www.brookings.edu/articles/why-are-states-banning-critical-race-theory/">Beberapa pemimpin negara bagian di AS melarang pengajaran teori kritis tentang rasisme dan seksisme</a>, hingga membuat <a href="https://iowastartingline.com/2023/01/30/gop-bill-wants-iowans-to-report-teachers-violation-of-divisive-concepts-levy-fines/"><em>hotline</em> atau situs web untuk melaporkan tenaga pengajar yang melanggar</a>. Aturan pemerintah yang sangat keras ini dilakukan <a href="https://www.codastory.com/rewriting-history/floridas-university-restrictions/">agar universitas negeri fokus untuk mempromosikan sejarah dan filosofi peradaban Barat daripada peradaban ras yang lain.</a></p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0148296318303539?via%3Dihub">Penelitian</a> telah menunjukkan bahwa kebijakan negara yang sering mengintervensi kebebasan akademik dapat menimbulkan rasa takut dan sikap diam yang defensif di antara kalangan dosen dan mahasiswa, sehingga menghambat daya kritis dan kreativitas di lingkungan universitas.</p>
<p>Selain itu, pembatasan terhadap masyarakat sipil secara tidak langsung dapat memengaruhi universitas yaitu dapat <a href="https://www.journals.uchicago.edu/doi/10.1086/660741">membatasi peluang</a> untuk kolaborasi, pendanaan, dan advokasi pada isu-isu yang berkaitan dengan pendidikan dan penelitian.</p>
<h2>Universitas harus terus merawat demokrasi</h2>
<p>Sebagai pusat pengetahuan, inovasi, dan pemikiran kritis, universitas perlu mengambil berbagai langkah strategis untuk mendukung demokrasi dan melawan upaya pemerintah dalam membatasi kebebasan akademis dan sipil.</p>
<p>Bagaimana caranya?</p>
<p><strong>1. Pendidikan dan penelitian</strong></p>
<p>Universitas dapat menggunakan peran sebagai pusat penelitian dan pendidikan untuk menganalisis dan mengkritik kebijakan pemerintah yang otoriter. Melalui konferensi, publikasi, dan diskusi akademik, universitas juga dapat menyediakan platform untuk kritik intelektual dan pengembangan ide-ide alternatif. </p>
<p>Dari segi mahasiswa, universitas memainkan peran penting dalam mendidik mahasiswa tentang nilai-nilai demokrasi, kritis terhadap informasi, dan pentingnya partisipasi sipil dalam pemerintahan. Ini dapat dianggap sebagai bentuk perlawanan jangka panjang terhadap otoritarianisme.</p>
<p><strong>2. Aktivisme</strong></p>
<p>Mahasiswa dan dosen di Indonesia memiliki sejarah panjang keterlibatan dalam gerakan sosial politik untuk menentang pemerintahan otoriter. Demonstrasi, mogok kuliah, dan bentuk protes lainnya sering digunakan untuk mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap kebijakan otoriter. </p>
<p>Dengan kemajuan teknologi, aktivisme melalui universitas dan sivitas akademika bisa menggunakan platform digital untuk menyebarkan informasi, mengorganisir protes, dan membangun jaringan solidaritas untuk menghindari sensor pemerintah.</p>
<p>Salah satu universitas di Turki, misalnya, mencari dukungan internasional melalui <a href="https://www.insidehighered.com/news/2019/07/01/about-700-academics-have-been-criminally-charged-turkey-their-signatures-petition">petisi</a> dan <a href="https://www.ipetitions.com/petition/the-purge-of-academic-institutions-in-Turkey">surat terbuka</a> sebagai respons atas tindakan pemerintah Turki yang melakukan pemecatan besar-besaran terhadap akademisi yang dituduh terlibat upaya <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44206395">kudeta 2016</a>. </p>
<p><strong>3. Kerja sama internasional</strong></p>
<p>Universitas dapat mencari dukungan dan solidaritas dari mitra internasional untuk melawan tekanan dari pemerintah otoriter. Ini bisa melalui pernyataan bersama, pertukaran akademisi, dan kolaborasi penelitian yang menunjukkan dukungan untuk kebebasan akademis.</p>
<p>Hal ini pernah dilakukan oleh <a href="https://neweasterneurope.eu/2021/06/11/attacks-on-academic-freedom-in-belarus-impossible-to-remain-silent/">universitas-universitas di Belarus untuk merespons tindakan keras pemerintah yang memecat akademisi</a> yang berpartisipasi dalam protes massal. Mereka <a href="https://www.timeshighereducation.com/hub/nawa-polish-national-agency-academic-exchange/p/solidary-belarus-how-world-changing">mencari dukungan internasional</a> untuk <a href="https://welcome.uw.edu.pl/scholarships-and-support-for-students-and-researchers-from-belarus/">memberikan beasiswa pada para akademisi</a>, dan membuat <a href="https://byeducationusa.info/en/">platform agar mereka terus mengajar dan melakukan penelitian.</a></p>
<p><strong>4. Penyelesaian perselisihan hukum</strong></p>
<p>Setiap lembaga pendidikan tinggi memilih cara yang berbeda-beda dalam merespons fenomena pemerintahan otoriter. Beberapa universitas mungkin mengambil posisi yang lebih aktif dalam menentang kebijakan atau tindakan yang dianggap otoriter, sementara yang lain mungkin memilih untuk pasif atau bahkan terpaksa mendukung, tergantung pada tekanan politik dan kebutuhan lembaga.</p>
<p>Di beberapa kasus, universitas mungkin memilih untuk beradaptasi dengan kondisi politik untuk memastikan kelangsungan operasional mereka. Ini bisa berarti menghindari kritik langsung terhadap pemerintah atau mematuhi beberapa kebijakan yang dianggap kontroversial.</p>
<p>Namun, profesor dan mahasiswa sebenarnya bisa mengajukan gugatan hukum terhadap kebijakan atau tindakan pemerintah yang dianggap melanggar konstitusi atau hak-hak akademis. Misalnya melalui <a href="https://www.tribunnews.com/mata-lokal-memilih/2023/09/17/3-mahasiswa-uin-gugat-ke-mk-minta-agar-kampus-dan-fasilitas-pemerintah-tak-jadi-lokasi-kampanye"><em>Judicial Review</em> di Mahkamah Konstitusi jika tindakan pemerintah dianggap bertentangan dengan UUD 1945</a>.</p>
<p>Akademisi dan Mahasiswa juga dapat mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk kebijakan atau tindakan yang bersifat pelanggaran administratif.<a href="https://www.hukumonline.com/klinik/a/subjek-hukum-yang-dapat-menggugat-ke-ptun-lt57183550b88c2">PTUN mengadili sengketa antara orang atau badan hukum dengan badan atau pejabat pemerintah dalam konteks tata usaha negara.</a></p>
<p>Dengan mengambil langkah-langkah ini, universitas tidak hanya melindungi dan memperkuat fondasi demokrasi di dalam kampus tetapi juga berkontribusi pada masyarakat yang lebih luas. Kita mesti belajar dari pengalaman, <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-58048425">penanganan Pandemi COVID-19 yang terlambat karena pemerintah mengabaikan analisis akademisi, pakar dan peneliti</a>. Universitas sudah seharusnya menjadi pusat kekuatan dalam merawat demokrasi yang bebas intervensi dan menyelamatkan bangsa ini dari bencana.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/222287/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ayu Anastasya Rachman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Berbagai bentuk intervensi kebebasan akademik semakin marak terjadi di universitas-universitas di Indonesia. Apa yang sebaiknya dilakukan?Ayu Anastasya Rachman, Head of the International Relations Study Program, Universitas Bina Mandiri GorontaloLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2183742023-11-27T11:57:01Z2023-11-27T11:57:01ZSupaya lulusan cepat dapat kerja, ini 3 hal yang perlu dilakukan universitas<p><em>Survei Agenda Warga dari New Naratif mengundang lebih dari 1.400 orang dari seluruh Indonesia untuk menyampaikan aspirasi mereka tentang apa saja isu yang dianggap paling penting bagi masyarakat. Artikel ini merupakan kolaborasi The Conversation Indonesia dan New Naratif untuk menanggapi hasil survei tersebut.</em></p>
<hr>
<p>Dalam survei Agenda Warga yang dilakukan sepanjang 2023, isu soal kesejahteraan tenaga kerja dan pendidikan menjadi salah satu topik yang dianggap paling mendesak, terutama dalam kaitannya dengan tingkat pengangguran dan peran institusi pendidikan untuk mengatasinya.</p>
<p>Menurut data dari <a href="https://www.bps.go.id/publication/2022/12/07/a64afccf38fbf6deb81a5dc0/keadaan-angkatan-kerja-di-indonesia-agustus-2022.html">Badan Pusat Statistik (BPS)</a>, jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2022 mencapai 8,24 juta orang. Sedangkan, Tingkat Pengangguran Terbuka (TBT) di Indonesia pada Agustus 2022 mencapai 5,86%.</p>
<p>Angka ini turun menjadi 5,32% per Agustus 2023. Namun, jumlah <a href="https://www.antaranews.com/berita/3809649/bps-catat-9468-persen-angkatan-kerja-indonesia-terserap-pasar-kerja">tingkat pengangguran masih relatif lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi COVID-19 atau Agustus 2019</a>.</p>
<p>Tingkat pengangguran yang tinggi ini juga dipengaruhi oleh rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi, terutama dalam menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat. <a href="https://www.nu.or.id/ketenagakerjaan/penyediaan-lapangan-kerja-jadi-tantangan-besar-indonesia-dAs2z">Pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung lebih kepada padat modal daripada padat karya</a>, sehingga angka pengangguran terbuka dan tingkat kemiskinan terus meningkat.</p>
<p>Pada Februari 2023, <a href="https://www.bps.go.id/id/publication/2023/06/16/ddcaf3b4a35c8be03f8c7ac5/indikator-pasar-tenaga-kerja-indonesia-februari-2023.html">Rasio Penduduk Bekerja Terhadap Jumlah Penduduk Usia Kerja (<em>Employment to Population Ratio</em> / EPR) mencapai 65,52%</a>, naik 0,49 poin dibandingkan Februari 2022 maupun Agustus 2022. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan penyerapan penduduk bekerja pada setahun terakhir.</p>
<p>Namun, <a href="https://www.jurnal.yappsu.org/index.php/skylandsea/article/view/156">perkembangan teknologi digital</a> telah menciptakan disrupsi ekonomi secara global dan bisa meningkatkan jumlah pengangguran karena banyak pekerjaan yang bisa diambil alih oleh teknologi.</p>
<p><a href="https://tekno.tempo.co/read/1718440/tvone-perkenalkan-presenter-avatar-dan-klaim-media-berbasis-ai">Sebuah stasiun televisi</a>, misalnya, mulai menggunakan kecerdasan buatan sebagai pengganti pembaca beritanya. Hal ini menyebabkan tenaga kerja di Indonesia menghadapi tantangan baru, semisal <a href="https://www.beritasatu.com/ekonomi/347414/apindo-sebut-dua-hal-ini-penyebab-phk-massal-panasonis-dan-toshiba">pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan teknologi</a> karena modernisasi mesin perusahaan yang tidak lagi mengandalkan sumber daya manusia.</p>
<h2>Solusi dari hulu</h2>
<p>Perguruan tinggi menjadi salah satu penyedia terbesar tenaga kerja terdidik selain sekolah menengah kejuruan. Jika masalah pengangguran dan ekonomi tidak diantisipasi, maka perguruan tinggi akan menjadi salah satu penyumbang terbesar pengangguran terdidik di Indonesia. </p>
<p>Sayangnya, masih ada lulusan perguruan tinggi negeri yang tidak mampu mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Sebagai contoh, berdasarkan <a href="https://alumni.ui.ac.id/wp-content/uploads/2022/03/TSUI-2021.pdf">survei alumni Universitas Indonesia (UI) tahun 2021</a>, sebanyak 9% lulusan mereka masih atau sedang mencari kerja dan belum bekerja setelah dua tahun lulus. Sementara itu, <a href="https://tracer.itb.ac.id/uploads/report/Infografis%20Sarjana%20-%20Tracer%20Study%20-%202022.pdf">laporan dari Institut Teknologi Bandung (ITB)</a>, menunjukkan bahwa masih ada 5% mahasiswa angkatan 2015 yang sudah lulus tapi belum bekerja pada tahun 2022.</p>
<p>Persentase ini akan terakumulasi jika ditambahkan dengan lulusan tahun-tahun sebelumnya yang masih mencari kerja. Fenomena ini juga banyak ditemukan pada perguruan tinggi lain dengan persentase yang bervariasi.</p>
<p>Apa yang bisa dilakukan oleh universitas?</p>
<p><strong>1. Menyediakan lembaga persiapan dan pengembangan karir</strong></p>
<p>Perguruan tinggi perlu mempunyai lembaga yang mewadahi persiapan dan pengembangan karir calon lulusannya. Lembaga tersebut dapat berbentuk pusat karir atau <em>Career Development Center (CDC)</em>. </p>
<p>Berdasarkan jumlah keanggotaan <a href="https://indonesiacareercenter.id/anggota/"><em>Indonesia Career Center Network</em> (ICCN)</a>, organisasi pusat karir perguruan tinggi Indonesia, hanya 139 pusat karir di perguruan tinggi di Indonesia yang tergabung dalam organisasi ini. Hal ini menandakan bahwa masih banyak perguruan tinggi di Indonesia yang belum peduli terhadap keberadaan dan pentingnya pusat karir.</p>
<p>Bahkan, meskipun pusat karir tersebut telah ada, di beberapa universitas, lembaga tersebut hanya diurus oleh beberapa orang dan tidak mendapat dukungan penuh oleh pimpinan perguruan tinggi. Hal ini terbukti dari keluhan dari beberapa anggota ICCN yang mengikuti kegiatan <a href="http://cdc.unas.ac.id/indonesia-career-center-network-iccn-summit-tahun-2023-universitas-mataram-lombok-1-4-november-2023/">ICCN Summit 2023</a> yang diadakan di Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, beberapa waktu lalu. </p>
<p><a href="https://id.linkedin.com/in/hotpascaman">Hotpascaman Simbolon</a> dari pusat karir Universitas HKBP Nommensen, Medan, Sumatera Utara, mengatakan bahwa dia hanya sendirian dalam mengurus program pengembangan karir di universitasnya. Pernyataan tersebut didukung juga oleh pegiat pusat karir dari perguruan tinggi lain.</p>
<p>Padahal, pusat karir dapat bertanggung jawab dalam melakukan <a href="https://tracerstudy.kemdikbud.go.id/"><em>tracer study</em></a>. Data hasil <em>tracer study</em> dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengembangan kurikulum, rekomendasi kebijakan, pengadaan kegiatan pengembangan karir, dan hal-hal penting lainnya. </p>
<p>Selain itu, pusat karir juga dapat difungsikan sebagai penyedia pelatihan dan pembekalan karir bagi calon lulusan dalam mempersiapkan diri sebelum menghadapi masa setelah studi. </p>
<p>Universitas Andalas, Sumatra Barat, contohnya, berhasil menurunkan jumlah lulusan mereka yang belum bekerja sebanyak <a href="http://karir.unand.ac.id/content/view?id=482&t=-">7%</a> selama setahun (2022-2023) dengan berbagai macam program, salah satunya adalah kegiatan <a href="http://karir.unand.ac.id/content/view?id=485&t=pembekalan-karir-wisudawan-periode-v-september-2023">pembekalan karir</a> bagi calon wisudawan yang akan lulus di setiap periode wisuda.</p>
<p><strong>2. Integrasi mata kuliah praktik dengan magang</strong></p>
<p>Strategi lain yang bisa dilakukan adalah mengintegrasikan mata kuliah praktikum di laboratorium atau lapangan dengan kondisi sebenarnya ketika magang. Contohnya pada bidang ilmu biologi, teknis dan teori yang didapatkan oleh mahasiswa selama praktikum di laboratorium kampus bisa diaplikasikan dan dikembangkan dengan magang di laboratorium pemerintah atau swasta seperti <a href="https://www.brin.go.id/en">Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)</a>, <a href="https://www.balurannationalpark.id">Taman Nasional Baluran</a>, <a href="https://www.biotrop.org">Seameo Biotrop</a>, <a href="https://www.burung.org">Burung Indonesia</a>, <a href="https://www.sintas.or.id">Sintas Indonesia</a>. Integrasi tersebut bisa dilakukan jika kurikulum yang dikembangkan mengakomodasi kegiatan pembelajaran di luar kampus. </p>
<p>Program pemerintah yang ada sekarang yaitu <a href="https://kampusmerdeka.kemdikbud.go.id/program">Merdeka Belajar Kampus Merdeka</a> sudah mewadahi kebutuhan ini. Namun, kendala yang dihadapi oleh perguruan tinggi di tingkat program studi (prodi) adalah lemahnya kemampuan dalam mengadopsi kebijakan tersebut. Dengan Merdeka Belajar, prodi harus merombak sistem (kurikulum) yang sudah mapan sehingga membutuhkan energi dan sumber daya yang cukup. Selain itu, masih terdapat kurangnya pemahaman prodi dalam menyusun konsep dan struktur kurikulum. Sehingga, revisi kurikulum menjadi salah satu cara di tingkat program studi untuk mengakomodasi kebijakan-kebijakan nasional tersebut agar terimplementasikan dengan lebih baik.</p>
<p><strong>3. Kemitraan dengan pengguna lulusan</strong></p>
<p>Hal lain yang dapat menjadi strategi adalah membangun kemitraan dengan pengguna lulusan baik di sektor pemerintahan maupun swasta. Kemitraan dengan industri dan lembaga pengguna lulusan lainnya perlu diperbanyak sehingga membuka peluang mahasiswa untuk lanjut bekerja setelah magang. </p>
<p>Sebagai contoh, <a href="https://www.sintas.or.id/about/our-team/">Vika Widya</a> yang dulu magang di Sintas Indonesia ketika mahasiswa, sekarang menjadi staf biodiversitas di lembaga yang sama setelah lulus.</p>
<p>Selain itu, banyak <em>stakeholder</em> dan lembaga pencari tenaga kerja yang saat ini mensyaratkan sertifikasi kompetensi dari lembaga nasional seperti <a href="https://bnsp.go.id/">Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP)</a>, bagi calon tenaga kerja. Sebagai contoh, berdasarkan <a href="https://jdih.kemnaker.go.id/katalog-242-Peraturan%20Menteri%20Tenaga%20Kerja.html">Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No.2 Tahun 1992</a> terdapat kebutuhan ahli keselamatan dan kesehatan kerja (K3 Umum) yang tersertifikasi. Peraturan ini menyebutkan bahwa perusahaan yang memiliki pegawai lebih dari 100 orang atau memiliki risiko pekerjaan yang tinggi, wajib mempunyai minimal seorang ahli K3 umum untuk memastikan keamanan dan keselamatan kerja.</p>
<p>Keberadaan sertifikat semacam ini memudahkan calon tenaga kerja membuktikan kompetensinya sesuai kebutuhan perusahaan. Universitas, melalui prodi, bisa membangun kerja sama dengan lembaga sertifikasi sehingga lulusan mereka mempunyai sertifikasi yang dibutuhkan sebelum lulus.</p>
<p>Dengan mengintegrasikan semua solusi di atas, perguruan tinggi dapat menciptakan lulusan yang mempunyai masa tunggu bekerja yang singkat dan mendapatkan pekerjaan sesuai kualifikasi. Sehingga, jumlah pengangguran terdidik bisa berkurang dan adaptasi terhadap disrupsi ekonomi dan digital pun bisa terlaksana dengan cepat.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/218374/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Saya merupakan pegiat/pengurus Pusat Karir Universitas Andalas yang aktif berdiskusi tentang best practice pengelolaan pusat karir dengan teman-teman pegiat pusat karir lainnya yang tergabung di dalam Indonesia Career Center Network.
Beberapa orang yang saya sebutkan di dalam artikel pernah saya temui, Bapat Hotpascaman Simbolon di ICCN Summit 2023 dan Vika Widya merupakan lulusan Biologi Universitas Andalas.</span></em></p>Jika masalah pengangguran dan ekonomi tidak diantisipasi, perguruan tinggi akan menjadi salah satu penyumbang terbesar pengangguran terdidik di Indonesia. Apa solusinya?Robby Jannatan, Lecturer of Biology, Universitas AndalasLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2113742023-08-18T02:13:54Z2023-08-18T02:13:54ZApa yang membuat mahasiswa merasa diterima dan menjadi bagian dari universitas?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/542148/original/file-20230731-6515-zd7sfx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=98%2C73%2C8081%2C5383&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Rasa memiliki, atau <em>sense of belonging</em> adalah perasaan diterima, disertakan, dan dihargai.</p>
<p><a href="https://doi.org/10.1007/s10648-021-09633-6">Penelitian menunjukkan</a> jika mahasiswa merasa diterima di universitas mereka, hal itu memainkan peran penting dalam kesejahteraan, harga diri, dan motivasi mereka secara keseluruhan untuk belajar.</p>
<p>Seperti yang diungkap dalam <a href="https://www.education.gov.au/australian-universities-accord/resources/accord-interim-report">laporan sementara</a> dari <a href="https://www.education.gov.au/australian-universities-accord"><em>Australian Universities Accord</em></a>, sebuah nota kesepakatan universitas di Australia yang dibuat untuk mendorong reformasi langgeng dan transformatif dalam sistem pendidikan tinggi Australia, universitas memiliki “kewajiban kepada mahasiswa untuk mengembangkan rasa memiliki”.</p>
<p>Rancangan laporan itu juga mencatat “terlalu sedikit” warga Australia yang menyelesaikan gelar universitas, dengan penyelesaian gelar sarjana pertama “paling rendah sejak 2014”.</p>
<p>Selain memastikan kampus menjadi <a href="https://theconversation.com/more-obviously-needs-to-be-done-how-to-make-australian-universities-safe-from-sexual-violence%20-210057">tempat yang aman dan inklusif untuk belajar</a>, <a href="https://doi.org/10.1080/03075079.2023.2238006">penelitian baru</a> kami melihat faktor apa saja yang dapat memprediksi rasa memiliki mahasiswa.</p>
<h2>Bagaimana tren rasa memiliki mahasiswa terhadap universitas?</h2>
<p><a href="https://www.qilt.edu.au/surveys/student-experience-survey-(ses)">Survei Pengalaman Mahasiswa</a> tahunan melacak rasa memiliki mahasiswa Australia terhadap institusi mereka.</p>
<p>Pada tahun 2022, hanya 46,5% mahasiswa S1 di Australia yang mengatakan bahwa mereka mempunyai rasa memiliki di universitas. Meskipun ini sedikit lebih tinggi dari tahun 2021 (42,1%), tapi tetap jauh lebih rendah dibandingkan sebagian besar pengalaman mahasiswa lainnya. Misalnya, mahasiswa Australia menilai keseluruhan pengalaman universitas mereka sebesar 75,9%.</p>
<p>Pandemi dan perpindahan ke lebih banyak pengajaran daring tentu saja <a href="https://doi.org/10.53761/1.18.4.2">berdampak</a> pada rasa memiliki. Meskipun masalah ini telah terjadi sebelum tahun 2020 dan <a href="http://dx.doi.org/10.1080/13562517.2015.1122585">tidak unik</a> untuk Australia, tren ini penting untuk direspons.</p>
<p>Mengapa? Karena merasa menjadi bagian dari universitas dapat membantu mahasiswa mengatasi tantangan dan kesulitan serta mencegah mereka <a href="https://researchrepository.rmit.edu.au/esploro/outputs/journalArticle/A-sense-of-belonging-Improving-student/9921862552801341">tidak menyelesaikan</a> kuliah.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1684015959877595136"}"></div></p>
<h2>Studi kami</h2>
<p>Riset kami menggunakan data dari <a href="https://www.qilt.edu.au/surveys/student-experience-survey-(ses)">Survei Pengalaman Mahasiswa</a> di Australia antara tahun 2013 dan 2019. Kami mengamati lebih dari 1,1 juta mahasiswa sarjana dan pascasarjana selama periode tersebut.</p>
<p>Menggunakan <a href="https://www.ibm.com/topics/machine-learning"><em>machine learning</em></a> – suatu bentuk kecerdasan buatan yang menggunakan data dan algoritma untuk meningkatkan kualitasnya secara progresif (sama seperti kemampuan Netflix untuk merekomendasikan film berdasarkan pengalaman menonton sebelumnya) - kami menanyakan apa yang sebenarnya menentukan rasa memiliki mahasiswa?</p>
<p>Hasil analisis beberapa variabel dari survei pengalaman mahasiswa Australia menunjukkan beberapa penyebab dan hubungan.</p>
<h2>Mahasiswa ingin bantuan menyesuaikan diri</h2>
<p>Mahasiswa ingin tahu bahwa mereka ‘diterima’ di universitas sejak awal. Penelitian kami menemukan bahwa dukungan untuk menetap adalah faktor penting yang perlu dimiliki.</p>
<p>Dukungan ini bisa berarti induksi, orientasi, dan peluang terstruktur untuk bertemu orang. Ini bisa juga terlihat dalam program pendampingan sebaya dan untuk siswa internasional, mobilisasi bantuan dari organisasi komunitas etnis dan agama.</p>
<p>Penting juga bagi universitas untuk memiliki tempat bagi mahasiswa untuk berinteraksi di kampus, sebagaimana juga klub dan acara-acara khusus. Selain itu, staf pengajar universitas dapat melakukan pelatihan tentang cara memfasilitasi hubungan sosial antarmahasiswa.</p>
<p>Studi kami menemukan bahwa kemudahan dan bantuan dari pendaftaran dan sistem administrasi tidak sepenting hubungan antarmanusia itu sendiri.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/the-job-ready-graduates-scheme-for-uni-fees-is-on-the-chopping-block-but-what-will-replace-it-209974">The Job-ready Graduates scheme for uni fees is on the chopping block – but what will replace it?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mahasiswa membutuhkan koneksi yang bermakna</h2>
<p><a href="https://doi.org/10.1080/03075079.2023.2238006">Penelitian kami</a> juga menunjukkan bahwa mahasiswa ingin berinteraksi dengan teman sebayanya, terutama interaksi di luar kelas. Ini mungkin karena peluang koneksi mahasiswa di dalam kelas buruk, atau mereka menganggap bersosialisasi di kampus lebih mudah tanpa tekanan akademis.</p>
<p>Studi tersebut menemukan bahwa penting bagi semua mahasiswa - domestik atau internasional - untuk berinteraksi dengan mahasiswa lokal karena mereka sudah mengetahui tempat-tempat penting, peristiwa dan sub-budaya suatu daerah. Interaksi ini mungkin sesederhana berbagi informasi di mana mendapatkan kopi terbaik atau <em>takeaway</em> termurah, tetapi membantu mahasiswa merasa menjadi bagian dari komunitas.</p>
<h2>Kerja kelompok dan kebersamaan</h2>
<p>Meskipun mahasiswa ingin berinteraksi di luar kelas, kami menemukan bahwa beberapa interaksi di kelas tetap penting. Penelitian kami menunjukkan bahwa kerja sama di kelas membantu mahasiswa merasa menjadi bagian tim dan memberikan kesempatan berinteraksi dengan teman sebayanya.</p>
<p>Namun, keterampilan lain seperti pemecahan masalah, pemikiran kritis, pengetahuan mata pelajaran, dan kesiapan kerja tidak terlalu penting dalam hal rasa memiliki mahasiswa.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Empat siswa bekerja di meja dengan buku dan laptop." src="https://images.theconversation.com/files/540078/original/file-20230731-231213-cfre87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/540078/original/file-20230731-231213-cfre87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/540078/original/file-20230731-231213-cfre87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/540078/original/file-20230731-231213-cfre87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/540078/original/file-20230731-231213-cfre87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/540078/original/file-20230731-231213-cfre87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/540078/original/file-20230731-231213-cfre87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Mempelajari keterampilan kerja tim bedampak positif pada rasa kepemilikan siswa.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Demografis tidak terlalu berpengaruh</h2>
<p>Menurut penelitian, <a href="https://repository.uel.ac.uk/download/dc56b48c783cc329d81aef8b2390a4a8871b0fc19166434dc4bd98c8205bbebc/121028/Vol_4_Issue_1_Floya_Anthias.pdf">identitas</a> pribadi mahasiswa adalah prasyarat penting dari rasa memiliki. Artinya, kita mungkin lebih mudah menjadi bagian dari mereka yang memiliki karakteristik yang sama dengan kita.</p>
<p>Dalam penelitian kami, kami menemukan bahwa usia, jenis kelamin dan jenis pendaftaran mahasiswa kurang signifikan dalam pembentukan rasa memiliki. Yang lebih penting adalah ketika mahasiswa dapat berinteraksi dengan mahasiswa lain, terlepas apapun demografisnya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/uncapping-uni-places-for-indigenous-students-is-a-step-in-the-right-direction-but-we-must-do-much-more-208918">Uncapping uni places for Indigenous students is a step in the right direction, but we must do much more</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mengapa temuan ini penting</h2>
<p>Sementara pengembangan keterampilan dan keahlian mata pelajaran sangat penting untuk hasil akademik, penelitian kami menunjukkan bahwa dalam hal rasa memiliki, mahasiswa membutuhkan kesempatan nyata untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan universitas dan berteman.</p>
<p>Dalam laporan sementaranya, <em>Australian Universities Accord</em> tidak melihat proses permulaan atau orientasi bagi mahasiswa. </p>
<p>Untuk laporan akhirnya di bulan Desember nanti, kesempatan untuk meningkatkan rasa memiliki – dan dengan demikian retensi – dengan berfokus pada bagaimana kampus dapat mengikutsertakan dan melibatkan mahasiswa sejak awal studi tidak boleh dilewatkan.</p>
<p>Jika <em>Australian Universities Accord</em> melakukannya, penelitian kami menunjukkan bahwa hal ini akan memiliki manfaat jangka panjang.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211374/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Joseph Crawford tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Rasa memiliki, atau sense of belonging adalah perasaan diterima, disertakan, dan dihargai. Penelitian menunjukkan jika mahasiswa merasa diterima di universitas mereka, hal itu memainkan peran penting dalam…Joseph Crawford, Senior Lecturer, Management, University of TasmaniaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2089542023-07-04T05:51:26Z2023-07-04T05:51:26Z‘Teman belajar’ yang memunculkan ‘pertanyaan serius’: bagaimana mahasiswa sikapi AI pada semester pertamanya pakai ChatGPT<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/535448/original/file-20230704-24-mniw5c.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Markus Spiske/Pexels</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Saat ChatGPT mulai menuai sorotan pada November tahun lalu, muncul <a href="https://theconversation.com/the-dawn-of-ai-has-come-and-its-implications-for-education-couldnt-be-more-significant-196383">spekulasi</a> yang gencar terkait dampak teknologi ini bagi pengajaran dan pembelajaran di perguruan tinggi.</p>
<p>Ada kepanikan terkait dampak ChatGPT bagi praktik kecurangan. Ada pula antusiasme terkait potensinya dalam membantu mahasiswa dalam belajar dan dosen dalam mengajar.</p>
<p>Namun, bagaimana realitasnya di lapangan seiring universitas kembali menjalankan pembelajaran?</p>
<p><a href="https://education.unimelb.edu.au/__data/assets/pdf_file/0010/4677040/Generative-AI-research-report-Ziebell-Skeat.pdf">Studi</a> terbaru kami mengamati bagaimana mahasiswa dan akademisi di Australia – tempat saya mengajar – menyikapi ChatGPT pada semester pertama mereka setelah keluarnya teknologi baru ini.</p>
<h2>Yang terkini terkait ChatGPT</h2>
<p>Ketika ChatGPT rilis pada akhir 2022, para akademisi cukup “<a href="https://www.theguardian.com/technology/2022/dec/04/ai-bot-chatgpt-stuns-academics-with-essay-writing-skills-and-usability">tercengang</a>” setelah menyadari betapa mudahnya teknologi ini bisa menulis esai tingkat universitas dan lolos sejumlah tes. Hasil garapan tersebut juga <a href="https://theconversation.com/we-pitted-chatgpt-against-tools-for-detecting-ai-written-text-and-the-results-are-troubling-199774">sebagian besar sulit dibedakan</a> dengan karya mahasiswa sungguhan.</p>
<p>Hal ini langsung memicu kekhawatiran terkait potensi kecurangan dan isu integritas akademik, meskipun beberapa orang berharap bahwa ChatGPT maupun teknologi serupa lainnya bisa memperbaiki kualitas <a href="https://theconversation.com/chatgpt-and-cheating-5-ways-to-change-how-students-are-graded-200248">pengajaran, pembelajaran, dan asesmen</a>. Para ahli beranggapan bahwa AI generatif bisa mendukung pembelajaran yang lebih mendalam bagi murid serta membantu dosen <a href="https://theconversation.com/as-uni-goes-back-heres-how-teachers-and-students-can-use-chatgpt-to-save-time-and-improve-learning-199884">menghemat waktu</a> dalam menyiapkan perkuliahan.</p>
<p>Di tengah perdebatan ini, ada seruan untuk lebih memperhatikan <a href="https://theconversation.com/please-do-not-assume-the-worst-of-us-students-know-ai-is-here-to-stay-and-want-unis-to-teach-them-how-to-use-it-203426">perspektif para mahasiswa dan murid</a>. Pada akhirnya, merekalah yang ada di tengah-tengah perubahan ini.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1658263650774179841"}"></div></p>
<h2>Penelitian kami</h2>
<p>Antara akhir April dan Mei akhir tahun 2023, kami bertanya kepada akademisi dan mahasiswa di Australia lewat survei daring.</p>
<p>Sebanyak 110 responden (78 mahasiswa dan 32 akademisi) merepresentasikan seluruh negara bagian dan teritori di Australia, serta beragam program studi dan bidang ilmu.</p>
<p>Artikel ini hanya membahas terkait hasil dari para mahasiswa.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/we-need-to-change-the-way-universities-assess-students-starting-with-these-3-things-203048">We need to change the way universities assess students, starting with these 3 things</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pada titik ini, banyak mahasiswa TIDAK memakai ChatGPT</h2>
<p>Pada tahapan awal ini, hampir setengah dari responden mahasiswa belum mencoba atau memakai AI generatif.</p>
<p>Dalam kelompok ini, sebanyak 85% tidak berniat memakai teknologi ini selama kuliah tahun ini. Survei kami menemukan bahwa mahasiswa di Australia bisa jadi khawatir bahwa pemakaiannya akan dianggap sebagai kecurangan.</p>
<p>Kelompok mahasiswa yang tidak memakai AI ini secara kuat menghubungkan penggunaan teknologi generatif ini sebagai kecurangan dalam proses asesmen (85%). Sentimen ini jauh lebih banyak ketimbang mereka yang pernah memakai AI (41%).</p>
<p>Dalam respons tertulis mereka, beberapa mahasiswa juga menyiratkan bahwa mereka menghindari penggunaannya karena terasa kurang etis. Salah satu mahasiswa mengatakan:</p>
<blockquote>
<p>Although current AI is harmless, I think there are serious questions about whether future advancements will be safe for humanity.</p>
<p>(Meski AI saat ini tidak berdampak buruk, menurut saya ada pertanyaan-pertanyaan serius terkait apakah perkembangannya di masa depan akan aman untuk umat manusia.)</p>
</blockquote>
<p>Para mahasiswa juga menyebutkan kekhawatiran lain, seperti masalah informasi yang kurang bisa diandalkan:</p>
<blockquote>
<p>Information given may be biased. [It’s] very difficult to fact check – as generative AI can often not properly say where it got its information from. For similar reasons, plagiarism and breaches of copyright.</p>
<p>(Informasi yang diberikan bisa jadi bias. Sangat sulit melakukan cek fakta – mengingat AI generatif tidak bisa benar-benar menjelaskan dari mana ia mengambil informasi tersebut. Untuk alasan yang serupa, ada juga isu plagiarisme dan pelanggaran hak cipta.)</p>
</blockquote>
<h2>‘Sangat membantu’</h2>
<p>Para mahasiswa yang memakai AI generatif menceritakannya sebagai semacam “titik awal pencarian”, untuk mengeksplor ide-ide, serta memahami lebih dalam terkait suatu topik atau menulis suatu struktur esai.</p>
<blockquote>
<p>I use it to summarise lengthy articles […] I use it for feedback and suggestions for improvement. </p>
<p>(Saya memakainya untuk merangkum artikel-artikel yang panjang […] Saya memakainya sebagai proses timbal balik dan memperoleh rekomendasi untuk memperbaiki diri.)</p>
</blockquote>
<p>Mereka menggarisbawahi sifat interaktif dari program semacam ChatGPT. Kata mereka, rasanya seperti punya “teman” belajar. Seorang mahasiswa mengatakan:</p>
<blockquote>
<p>I feel like it’s super useful (especially with COVID impairing face-to-face learning, peer study groups etc). It’s a nice study partner or support. </p>
<p>(Saya merasa teknologi ini sangat membantu (terutama dengan COVID yang menghambat pembelajaran tatap muka, kelompok belajar mahasiswa, dll). Ia menjadi teman atau bentuk dukungan belajar yang baik.</p>
</blockquote>
<p>Sementara, mahasiswa lain mengatakan:</p>
<blockquote>
<p>It leads to a more efficient use of time and energy. It makes me feel less stressed and anxious about assessments, as I almost feel as though I have a study buddy or friends to help me through.</p>
<p>(Ia membuat penggunaan waktu dan energi menjadi lebih efisien. Rasanya, stres dan kecemasan saya terkait asesmen menjadi berkurang, karena saya hampir merasa seakan punya teman belajar untuk melewati itu semua.)</p>
</blockquote>
<p>Dalam hal ini, kita bisa melihat AI generatif digunakan sebagai carai untuk mengelola stres. Ini penting, mengingat <a href="https://edintegrity.biomedcentral.com/articles/10.1007/s40979-021-00093-7">riset</a> sebelumnya mengatakan bahwa peningkatan stres bisa mendorong hasrat mahasiswa untuk melakukan kecurangan. </p>
<h2>Para mahasiswa juga bingung</h2>
<p>Para mahasiswa melaporkan kebingungan terkait bagaimana teknologi ini bisa dan “sebaiknya” digunakan.</p>
<p>Misalnya, mereka cukup terbelah soal apakah universitas sebaiknya mengizinkan penggunaan AI generatif dalam proses asesmen. Sebanyak 46% setuju, 36% tidak setuju, dan 16% tidak yakin.</p>
<p>Hampir seperempat mahasiswa melaporkan bahwa mereka kurang yakin terkait penggunaan AI generatif dalam konteks perkuliahan secara umum, dan hanya ada 8% yang merasa sangat positif terkait teknologi ini.</p>
<p>Kebingungan ini tidak mengejutkan – banyak universitas belum menyediakan panduan yang jelas terkait ini. Kurang dari sepertiga dari 500 unversitas top dunia memberikan jawaban yang jelas (baik positif ataupun negatif) terkait kehadiran ChatGPT <a href="https://arxiv.org/abs/2305.18617">ketika kebijakan mereka direviu</a> pada Mei tahun ini.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1624976833077993472"}"></div></p>
<h2>Lalu, apa yang akan terjadi sekarang?</h2>
<p>Seiring AI generatif terus berkembang, teknologi ini menawarkan peluang untuk mengeksplor batasan-batasan baru dalam pendidikan tinggi. Indikasi awalnya adalah bahwa ia tak sepenuhnya menakutkan atau buruk.</p>
<p>Namun, riset kami menunjukkan bahwa sebagian mahasiswa bisa jadi tak ingin memakai teknologi ini jika tidak ada kejelasan mengenai cara yang “benar” dalam memakainya, dan akses maupun penggunaannya adil dan etis.</p>
<p>Seiring kita melangkah ke depan, suara dari para pekerja juga akan menjadi penting seiring para lulusan universitas memasuki lapangan kerja di era AI. Namun, kita juga perlu untuk terus mendengarkan perspektif mahasiswa.</p>
<p>Studi kami akan terus memantau bagaimana mahasiswa dan akademisi memakai AI generatif memasuki semester selanjutnya.</p>
<p>Kami mengundang para mahasiswa di Australia untuk menyumbangkan perspektif. Survei kami bersifat anonim dan bisa diakses <a href="https://melbourneuni.au1.qualtrics.com/jfe/form/SV_eOEPpqNtNqm9gma">di sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/208954/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Beragam spekulasi beredar tentang apa dampak ChatGPT terhadap perkuliahan. Namun, apa yang sebenarnya terjadi di lapangan? Survei baru kami melihat semester pertama mahasiswa memakai teknologi ini.Jemma Skeat, Senior Lecturer, Health Professions Education (Assessment), School of Medicine, Deakin UniversityNatasha Ziebell, Senior Lecturer, Melbourne Graduate School Of Education, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2069942023-06-27T13:23:59Z2023-06-27T13:23:59ZAgar punya bekal memperjuangkan nasibnya, dosen perlu lebih banyak meneliti politik, tata kelola, dan kebijakan perguruan tinggi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/534298/original/file-20230627-27-bar9c7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/studying-climbing-book-stack-concept-education-2313538109">(JD8/Shutterstock)</a></span></figcaption></figure><p>Munculnya seruan agar <a href="https://theconversation.com/bersyukur-atau-berkumpul-menilik-urgensi-serikat-dosen-di-indonesia-204149">dosen berserikat</a> tidak lepas dari keprihatinan terkait nasib dosen di Indonesia. Beragam kajian telah menggambarkan bagaimana banyak dari mereka <a href="https://theconversation.com/berapa-gaji-dosen-berikut-hasil-survei-nasional-pertama-yang-memetakan-kesejahteraan-akademisi-di-indonesia-203854">bergaji rendah</a>, dibebani <a href="https://theconversation.com/lebih-dari-sepertiga-dosen-indonesia-tidak-menerbitkan-riset-3-solusi-memperbaikinya-140248">tugas-tugas administratif</a> yang berat, hingga terbelenggu ribetnya <a href="https://theconversation.com/ribetnya-karier-dosen-di-indonesia-monopoli-pemerintah-dan-logika-birokrasi-perguruan-tinggi-yang-mengakar-sejak-era-penjajahan-203683">birokrasi perguruan tinggi</a> oleh negara.</p>
<p>Namun, satu aspek yang masih jarang terkuak melalui riset adalah lemahnya posisi dosen dalam relasinya dengan negara. Sejak di hulu, kepentingan dosen dan perguruan tinggi tampak terpinggirkan dari agenda riset.</p>
<p>Dengan kata lain, dosen selama ini berlimpah pengetahuan tentang ilmu alam dan sosial – kecuali mengenai dirinya sendiri.</p>
<p>Sebagai gambaran awal, kami melacak sejauh mana topik-topik terkait profesi dosen dan tata kelola perguruan tinggi dibahas di jurnal-jurnal yang terindeks di basis data publikasi ilmiah <a href="https://sinta.kemdikbud.go.id">SINTA</a>, sebagai representasi agenda riset dominan di Indonesia. Khususnya, kami mengamati jurnal-jurnal ilmu politik dengan kategori kualitas teratas SINTA 1 dan 2.</p>
<p>Kami melakukan pencarian sederhana di lima jurnal ilmu politik nasional yakni <a href="https://www.scopus.com/sourceid/21101017895">Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik</a> (Universitas Gadjah Mada), <a href="https://scholarhub.ui.ac.id/politik/">Jurnal Politik</a> (Universitas Indonesia), <a href="https://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/index">POLITIKA</a> (Universitas Diponegoro), <a href="http://jurnal.unpad.ac.id/wacanapolitik/index">Jurnal Wacana Politik </a> (Universitas Padjajaran), serta <a href="https://e-journal.unair.ac.id/MKP">Masyarakat, Kebudayaan dan Politik</a> (Universitas Airlangga).</p>
<p>Pilihan kata kunci meliputi “tata kelola universitas”, “politik perguruan tinggi”, “serikat dosen”, “marjinalisasi dosen”, hingga “beban administratif dosen.” Sayangnya, kami tidak menemukan artikel jurnal tentang topik di atas. </p>
<p>Artikel-artikel yang lebih mudah ditemukan, misalnya, lebih menyangkut tema seperti “reformasi birokrasi”, “gerakan sosial”, “pemilu”, “desentralisasi”, “konflik agraria”, hingga “<em>corporate social responsibility</em>” (CSR).</p>
<p>Tentu, minimnya riset dan publikasi berbagai topik mengenai profesi dosen dan perguruan tinggi tidak dapat dibebankan pada pundak pengelola jurnal. Kami memilih jurnal semata karena artikel-artikelnya bisa menggambarkan tren dan perkembangan topik-topik penelitian dunia akademik Indonesia. </p>
<p>Namun, paling tidak, bukti ini dapat menjadi indikasi awal betapa diskusi terkait profesi dosen dan perguruan tinggi bak tamu di rumah sendiri. </p>
<h2>Riset tentang perdosenan masih minim: apa implikasi politiknya?</h2>
<p>Keterasingan dosen dari topik-topik yang berkaitan langsung dengan profesinya dan tata kelola perguruan tinggi membuat mereka minim pengetahuan perihal berbagai masalah yang bersumber dari politik dan kebijakan publik. </p>
<p>Selain itu, upaya advokasi guna merespons berbagai masalah tersebut – baik lewat komunikasi politik dengan pembuat kebijakan maupun pembentukan agenda kebijakan (<em>agenda setting</em>) melalui komunikasi ilmiah populer kepada publik – menjadi tak memiliki amunisi bukti <em>(evidence)</em> yang memadai.</p>
<p>Mari kita ambil contoh soal pembangunan kesadaran kolektif para dosen sebagai sebuah kelompok kepentingan (<em>interest group</em>). </p>
<p>Akademisi universitas berpengalaman meneliti dan melakukan advokasi tentang kebijakan sosial dan program kesejahteraan. Namun, kajian ilmiah untuk menguji hubungan antara program kesejahteraan yang dinikmati para dosen, dengan potensi terbentuknya identitas kolektif mereka sebagai dosen, misalnya, tidak pernah dilakukan.</p>
<p>Padahal, banyak studi menemukan korelasi antara kesejahteraan, dengan penguatan identitas kolektif, bagi kelompok penerimanya.</p>
<p>Profesor ilmu politik Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Amerika Serikat (AS), <a href="https://press.princeton.edu/books/paperback/9780691122502/how-policies-make-citizens">Andrea L. Campbell</a>, salah satunya, menjelaskan bagaimana para pensiunan di AS – yang menerima uang dari program jaminan sosial (<em>social security</em>) – berubah menjadi kelompok warga negara yang paling solid dan berdaya dalam politik.</p>
<p>Para pensiunan ini paling aktif mencoblos saat pemilu legislatif dan presiden. Mereka pun kelompok yang paling berkomitmen membayar iuran keanggotaan hingga mempekerjakan perusahaan lobi profesional untuk rutin melobi para anggota Kongres AS.</p>
<p>Mengapa demikian?</p>
<p>Selain untuk meningkatkan kualitas dan cakupan program kesejahteraan untuk pensiunan, tujuannya juga untuk membentengi berbagai program tersebut dari rongrongan politik apapun yang berupaya menghapusnya.</p>
<p>Survei dari sekelompok dosen <a href="https://theconversation.com/berapa-gaji-dosen-berikut-hasil-survei-nasional-pertama-yang-memetakan-kesejahteraan-akademisi-di-indonesia-203854">tentang kesejahteraan akademisi di Indonesia</a> yang terbit di The Conversation Indonesia pada awal Mei lalu tentu merupakan inisiatif yang amat baik.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/berapa-gaji-dosen-berikut-hasil-survei-nasional-pertama-yang-memetakan-kesejahteraan-akademisi-di-indonesia-203854">Berapa gaji dosen? Berikut hasil survei nasional pertama yang memetakan kesejahteraan akademisi di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Namun, sebagai kajian awal, studi tersebut belum menjangkau dinamika-dinamika di atas. Masih perlu lebih banyak lagi riset yang membongkar politik kesejahteraan dan pembentukan identitas kolektif para dosen di Indonesia.</p>
<p>Upaya advokasi untuk mengubah kebijakan perdosenan merupakan ikhtiar berlanjut dan berjangka panjang. Karenanya, suplai pengetahuan yang diperoleh dari penelitian ilmiah sebagai amunisi gagasan kebijakan dan inovasi, amat kita butuhkan.</p>
<h2>Pentingnya suplai pengetahuan</h2>
<p>Pengetahuan dari hasil penelitian akademik yang membedah beragam sisi dari isu ini, dan diakumulasi terus menerus, diperlukan guna mendukung upaya advokasi kebijakan tentang kesejahteraan dosen.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, advokasi ke dalam (<em>inward looking</em>).</p>
<p>Akumulasi pengetahuan ini berperan penting sebagai bahan diskusi hingga pembentukan narasi dan diskursus yang diperlukan bagi penguatan identitas sesama sejawat dosen.</p>
<p>Sebelum bisa bersepakat bergabung sebagai anggota serikat dosen, misalnya, seorang dosen perlu menyepakati secara gagasan (<em>epistemic</em>) tentang pentingnya serikat pekerja dalam mematahkan dominasi pemerintah dalam mengatur dosen hingga membela ketidakberdayaan dosen. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bersyukur-atau-berkumpul-menilik-urgensi-serikat-dosen-di-indonesia-204149">Bersyukur atau berkumpul? Menilik urgensi serikat dosen di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><strong>Kedua</strong>, advokasi ke luar (<em>outward looking</em>), yakni kepada publik, pengambil kebijakan, dan kelompok kepentingan lainnya. </p>
<p>Stok pengetahuan merupakan “suplai materi” sosialisasi ide sekaligus upaya menyatukan visi para pekerja pengetahuan, kependidikan, dan kelompok masyarakat lainnya yang relevan.</p>
<p>Politik memang tak seluruhnya soal adu gagasan opini publik. Namun, tanpa itu, para dosen akan sulit meraih dukungan masyarakat. Mereka akan sulit membentuk wacana dalam meraih dukungan publik luas untuk mendorong reformasi karier dosen dan tata kelola perguruan tinggi.</p>
<h2>Apa yang bisa dilakukan?</h2>
<p>Lalu, bagaimana menjadikan topik politik, kebijakan, dan tata kelola perguruan tinggi dan profesi dosen menjadi tuan rumah di kampus? </p>
<p>Meski berangkat dari hal-hal kecil dan masih perlu strategi yang lebih komprehensif, berikut beberapa rekomendasi kami.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, pemangku kebijakan universitas dan dosen bisa berinisiatif untuk membuat semacam kuota hibah (<em>affirmative actions</em>) yang khusus diperuntukkan bagi topik-topik yang berkaitan dengan kebijakan dan tata kelola profesi dosen dan perguruan tinggi.</p>
<p>Bahkan, selain kuota, penting juga untuk memastikan bahwa penelitian tentang tata kelola perguruan tinggi dan profesi dosen tak berhenti di tahap riset saja. <a href="https://hibahriset.fisipol.ugm.ac.id/">Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada (UGM)</a>, misalnya, mengharuskan penerima hibah riset terkait suatu topik pada periode sebelumnya untuk kembali mengikuti seleksi hibah terkait advokasi kebijakan pada periode berikutnya.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, guna memperoleh dukungan lintas universitas, kita juga bisa memberdayakan beragam asosiasi program studi yang berbeda untuk mengangkat topik-topik terkait politik, kebijakan dan tata kelola perguruan tinggi dan profesi dosen.</p>
<p>Kolaborasi lintas disiplin amat bermanfaat – baik dalam menjangkau lebih banyak akademisi maupun merangkul lebih banyak perspektif – untuk membuat penelitian tentang kebijakan perdosenan lebih komprehensif, multidisiplin, dan interdisiplin.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, skema kolaborasi dengan beragam organisasi nasional dan internasional, baik entitas publik maupun nonprofit, juga penting untuk kita manfaatkan untuk memperluas dukungan terhadap agenda riset dan advokasi ini.</p>
<p>Bagaimanapun, manfaat reformasi kebijakan dan tata kelola profesi dosen maupun perguruan tinggi tidak hanya dinikmati dosen semata. Kebijakan dan tata kelola yang lebih baik, misalnya, secara jangka panjang bisa membuat pendidikan tinggi dan riset-risetnya <a href="https://theconversation.com/insularitas-akademis-membuat-indonesia-tertatih-dalam-dunia-riset-sosial-79196">lebih relevan dan berkontribusi dalam pembangunan dan menjawab masalah publik</a>.</p>
<hr>
<p><em>Rifqi Rachman, kandidat MSc di The University of Edinburgh, Skotlandia, dan Dini Kusumaningrum, peneliti di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berkontribusi sebagai penelaah naskah awal tulisan ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/206994/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kajian ilmiah terkait profesi dosen dan perguruan tinggi bak tamu di rumah sendiri.Laila Kholid Alfirdaus, Chair of Doctoral Program in Social Sciences, Universitas DiponegoroAshari Cahyo Edi, Lecturer, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2025192023-05-24T08:49:47Z2023-05-24T08:49:47Z3 cara pejabat universitas bisa memanfaatkan AI untuk meningkatkan manajemen dan layanan kampus<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/527729/original/file-20230523-15-n4m8ko.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-vector/abstract-graduation-cap-form-lines-triangles-1054224182">(Shutterstock/Illus Man)</a></span></figcaption></figure><p>Selama beberapa tahun terakhir, beragam asisten virtual berbentuk <em>chatbot</em> telah bermunculan dan membantu mendampingi mahasiswa dalam proses pendaftaran, persiapan pembelajaran, hingga perkuliahan <a href="https://www.forbes.com/sites/michaeltnietzel/2020/03/12/how-colleges-can-chatbot-their-way-to-better-student-retention/?sh=4692adfa6b34">di beberapa kampus dunia</a>.</p>
<p>Rilisnya model kecerdasan buatan (<a href="https://www.nature.com/news/can-we-open-the-black-box-of-ai-1.20731"><em>artificial intelligence</em></a>, AI) buatan perusahaan OpenAI, yakni ChatGPT, yang viral sejak akhir tahun lalu semakin menggencarkan adopsi ini. Kini, semakin banyak diskusi dan perdebatan tentang penggunaan AI <a href="https://theconversation.com/the-dawn-of-ai-has-come-and-its-implications-for-education-couldnt-be-more-significant-196383">di lingkungan kampus</a> – dari <a href="https://theconversation.com/chatgpt-students-could-use-ai-to-cheat-but-its-a-chance-to-rethink-assessment-altogether-198019">metode asesmen</a>, <a href="https://theconversation.com/chatgpt-our-study-shows-ai-can-produce-academic-papers-good-enough-for-journals-just-as-some-ban-it-197762">publikasi karya ilmiah</a>, hingga pengasahan kemampuan <a href="https://theconversation.com/to-succeed-in-an-ai-world-students-must-learn-the-human-traits-of-writing-152321">penulisan</a> dan <a href="https://theconversation.com/debate-chatgpt-offers-unseen-opportunities-to-sharpen-students-critical-skills-199264">berpikir kritis</a>.</p>
<p>Tapi, tak hanya dalam konteks belajar dan riset, pemanfaatan AI dengan tepat bisa membantu perguruan tinggi meningkatkan pengelolaan sumber daya serta kualitas layanan maupun pembelajaran mahasiswa.</p>
<p>Penggunaan AI di perguruan tinggi pun dapat mengurangi beban administrasi, membantu pengambilan keputusan, hingga meningkatkan efisiensi pengelolaan kampus. </p>
<h2>1. Mendukung layanan akademik untuk mahasiswa</h2>
<p>Sebelumnya, sistem pengelolaan pembelajaran (<em>learning management system</em>, LMS) seperti Moodle dan Google Classroom untuk mahasiswa, ataupun platform kursus daring terbuka massal (<em>Massive Open Online Course</em> MOOCs) untuk pendaftar umum, sudah banyak digunakan oleh perguruan tinggi untuk mengelola data dan materi secara <em>online</em>. </p>
<p>Tapi, <a href="https://www.researchgate.net/publication/265297666_MOOCs_and_Open_Education_Implications_for_Higher_Education">kajian tahun 2013</a> dari lembaga Centre for Educational Technology, Interoperability, and Standards (CETIS) di Inggris menemukan bahwa tingkat penyelesaian (<em>completion rate</em>) kelas-kelas dalam platform-platform daring tersebut cukup rendah karena dinilai kurang interaktif. Di Indonesia, persentasenya bahkan <a href="https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9780429398919-8/massive-open-online-courses-tian-belawati">hanya 16%</a>.</p>
<p>Dosen dan tenaga administrasi memiliki keterbatasan waktu dalam mendampingi mahasiswa secara <em>online</em>. Interaksi melalui LMS yang dianggap kurang personal dan “bermakna” ini adalah hal yang coba dikoreksi melalui asisten virtual berbasis AI.</p>
<p><a href="https://www.edsights.io/bethel-university-case">Bethel University</a> di AS mengadopsi <em>chatbot</em> AI bernama “Wilhelm” buatan perusahaan EdSight yang memberikan rekomendasi modul sesuai kebutuhan dan kemampuan mahasiswa. </p>
<p>Wilhelm dipakai untuk mempelajari kendala mahasiswa, seperti masalah kesehatan mental dan emosional mereka, hambatan mereka secara akademik, kekurangan sumber daya, dan seterusnya. Dosen dan staf kemudian membantu mereka dengan layanan yang sesuai agar tidak <em>drop out</em> dan menyelesaikan pendidikan dengan lancar. Setelah satu semester, penggunaan Wilhelm <a href="https://www.forbes.com/sites/michaeltnietzel/2020/03/12/how-colleges-can-chatbot-their-way-to-better-student-retention/?sh=3540cecd6b34">membuat daya retensi mahasiswa untuk tetap melanjutkan kuliah meningkat 4%</a>.</p>
<p>Di Indonesia, <a href="https://www.researchgate.net/publication/358273402_PENGEMBANGAN_PORTAL_PEMBELAJARAN_ONLINE_BERBASIS_ARTIFICIAL_INTELLIGENCE_DALAM_KERANGKA_TEAM-BASED_LEARNING">penelitian tahun 2020</a> dari Binus University di tiga provinsi – DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta – dengan sampel 262 siswa menemukan bahwa portal pembelajaran daring berbasis AI mampu memprediksi gaya belajar dan pola aktivitas mereka dalam menggunakan platform. Data ini kemudian dapat digunakan pendidik untuk meningkatkan rata-rata hasil belajar secara signifikan. </p>
<h2>2. Mengurangi beban administrasi dosen</h2>
<p>AI dapat membantu mengurangi <a href="https://jogja.tribunnews.com/2018/11/12/beban-administrasi-membelenggu-dosen-dan-peneliti">tugas-tugas administrasi yang selama ini memakan banyak waktu dan tenaga dosen</a>. AI dapat mengotomasikan tugas-tugas yang berulang seperti mengisi daftar presensi, membuat berita acara perkuliahan, membuat rencana pembelajaran semester, atau setidaknya membuat proses-proses ini lebih efisien.</p>
<p>Georgia Institute of Technology di AS, misalnya, sejak 2016 telah mengembangkan AI bernama “<a href="https://ic.gatech.edu/news/631545/jill-watson-ai-pioneer-education-turns-4">Jill Watson</a>”. AI ini secara mandiri merespons pertanyaan mahasiswa, mengunggah pengumuman akademik dan nonakademik, hingga penilaian otomatis yang mempersingkat waktu evaluasi beberapa jenis tugas dan ujian.</p>
<p>Jill dalam satu semester <a href="https://singularityhub.com/2016/05/11/ai-teaching-assistant-helped-students-online-and-no-one-knew-the-difference">membantu menjawab 10.000 pesan online dari 300 mahasiswa di satu kelas saja</a>, jumlah yang hampir tidak mungkin ditangani dosen biasa. Berdasarkan wawancara dengan profesor Georgia Tech yang menciptakannya, yakni <a href="https://slate.com/technology/2016/05/a-teaching-assistant-at-georgia-tech-was-actually-an-artificial-intelligence.html">Ashok Goel</a>, bersama <em>The Wall Street Journal</em>, “meskipun jumlah mahasiswa meningkat, namun jumlah pertanyaan yang berbeda tidak terlalu banyak.”</p>
<p>Oleh karena itu, mereka kemudian mengisi memori AI Jill Watson dengan puluhan ribu pertanyaan (serta jawabannya) berdasarkan pola dari semester-semester sebelumnya. Dengan data-data yang semakin banyak, Jill belajar mengurai konteks pertanyaan mahasiswa dan menjawabnya secara akurat.</p>
<p>AI berpotensi mengurangi beban administratif dosen, sehingga mereka bisa melakukan pekerjaan yang lebih bermakna yang tidak bisa digantikan oleh AI. Ini termasuk memotivasi dan membantu memecahkan permasalahan pembelajaran mahasiswa di kampus. </p>
<h2>3. Membantu menyediakan informasi cepat untuk pengambilan keputusan</h2>
<p>Untuk perguruan tinggi mana pun, komunikasi yang cepat dan informasi yang lengkap berpengaruh dalam keputusan mahasiswa untuk mendaftar. AI bisa digunakan untuk memberi informasi penting kepada mahasiswa baru hingga memberi rekomendasi pemilihan program studi kepada calon mahasiswa yang sesuai dengan minat dan bakat mereka</p>
<p>Dengan <em>chatbot</em> mereka yang bernama “<a href="https://onigroupglobal.com/case-studies/virtual-assistant-chatbot-ntu/">Ask Lyon</a>”, Nanyang Techonological University (NTU) di Singapura memungkinkan mahasiswa baru untuk mendapatkan informasi atas pertanyaan-pertanyaan umum mengenai kampus, mata kuliah, fasilitas, akomodasi, dan banyak hal lainnya. Ask Lyon melibatkan input mahasiswa dari berbagai latar belakang dalam modelnya sehingga jawabannya sesuai dengan nuansa lokal yang unik di NTU. </p>
<p>Di tingkat manajemen kampus di Indonesia, ada juga masalah pengambilan keputusan yang sering kali masih berdasarkan data yang diambil secara manual – misalnya analisis kebutuhan <a href="https://www.antaranews.com/berita/809676/menristekdikti-minta-kampus-tutup-program-studi-tidak-produktif">pembukaan dan penutupan program studi yang tidak produktif</a>. </p>
<p>Ini punya keterbatasan karena biasanya mengandalkan intuisi, terhambat alur birokrasi yang panjang, pemanfaatan sumber daya yang tidak efisien, berbasis data yang belum diperbarui, rentan menghasilkan kesalahan operasional, belum lagi diperparah dengan adanya pola <a href="https://theconversation.com/kasus-suap-rektor-unila-korupsi-penerimaan-mahasiswa-baru-semakin-subur-di-tengah-kapitalisme-akademik-189226">korupsi di dalam kampus</a>. </p>
<p>Perencanaan strategis pendidikan merupakan proses yang memakan waktu dan tenaga, yang melibatkan banyak pertemuan, konsultasi, dan pengulangan. Para pemimpin kampus sering kali <a href="https://www.atlantis-press.com/proceedings/mmet-22/125977728">membuat keputusan tanpa bisa mengakses semua informasi</a>.</p>
<p>AI punya potensi besar untuk membantu memberikan pilihan skenario dan hasil berdasarkan data masa lalu dan tren saat ini. Ini termasuk mengidentifikasi perubahan demografi mahasiswa, kemajuan teknologi, perencanaan kepegawaian, hingga permintaan pasar kerja yang terus berkembang.</p>
<h2>Masa depan AI di dunia perguruan tinggi Indonesia</h2>
<p>Universitas Muhammadiyah (UM) Malang, melalui <em>chatbot</em> mereka bernama SAM PRI, tercatat mampu <a href="https://informatika.umm.ac.id/id/berita/gunakan-dan-kembangkan-chatbot-sam-pri-prodi-informatika-umm-mampu-layani-ribuan-mahasiswa-24-jam-setiap-hari.html">melayani ribuan mahasiswa</a> 24 jam setiap harinya. Harapannya, kisah positif transformasi digital semacam ini bisa semakin banyak lagi dengan penerapan AI.</p>
<p>Teknologi <em>chatbot</em>, misalnya, bisa di integrasikan dengan AI untuk memperluas fungsinya tak hanya untuk menjawab pertanyaan, namun juga merekomendasikan program studi, modul pembelajaran sesuai dengan gaya belajar mahasiswa, hingga mempelajari masalah kesehatan mental baik dosen, staf, ataupun mahasiswa. </p>
<p>Tapi, ambisi transformasi digital di kampus tetap harus berimbang dengan upaya negara untuk menghapus kesenjangan akses internet dan literasi digital di Indonesia. Penggunaan AI di kampus pun harus dibekali dengan keamanan dan privasi data. Pihak kampus harus memastikan bahwa data mahasiswa dan staf aman dari potensi pelanggaran siber.</p>
<p>Bisa jadi ada sejumlah pihak yang menganggap bahwa AI hanyalah teknologi gimik. Namun, dengan penerapan yang tepat, AI terbukti dapat memaksimalkan layanan pendidikan di berbagai negara. </p>
<p>Selamat datang pendidikan tinggi masa depan!</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/202519/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ayu Anastasya Rachman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Tak hanya dalam konteks belajar dan riset, pemanfaatan AI dengan tepat bisa membantu perguruan tinggi meningkatkan pengelolaan sumber daya serta kualitas layanan kampus.Ayu Anastasya Rachman, PhD Student in International Relations, Diplomacy and Education Political Economy, Universitas PadjadjaranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2002362023-05-20T07:17:15Z2023-05-20T07:17:15ZKursus online makin menjamur sejak pandemi, tapi belum ada regulasi yang jelas untuk menjamin kualitasnya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/527312/original/file-20230519-27-2xppc5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/elearning-online-education-concept-learn-on-2056510169">(Shutterstock)</a></span></figcaption></figure><p>Pandemi COVID-19 lalu mendongkrak pertumbuhan industri pendidikan daring. Perusahaan data pasar Statista memproyeksikan pendapatan industri ini di Indonesia akan <a href="https://www.statista.com/outlook/dmo/eservices/online-education/indonesia">mencapai US$1,8 miliar</a> (Rp 27,7 triliun) pada 2023. Ini jauh lebih tinggi dari 2019 yang <a href="https://theravenry.com/wp-content/uploads/2020/08/i360-Report-Edutech-Industry-in-Indonesia.pdf">hanya sebesar US$112 juta</a> (Rp 1,7 triliun).</p>
<p>Salah satu faktornya adalah maraknya kursus daring yang ditawarkan perusahaan teknologi pendidikan (“<em>edutech</em>”), terutama di sektor nonformal. Di antaranya termasuk <a href="https://revou.co/">RevoU</a>, <a href="https://v2.myskill.id/">My Skill</a>, hingga <a href="https://www.hacktiv8.com/">Hacktiv8</a>.</p>
<p>Bahkan setelah <em>lockdown</em> berakhir, kursus daring terus berkembang karena tetap menawarkan <a href="https://www.academia.edu/51261787/The_role_of_massive_open_online_courses_during_the_COVID_19_era_Challenges_and_perspective">fleksibilitas tempat dan waktu pembelajaran</a> serta harga yang relatif terjangkau. </p>
<p>Para penyedia mengiklankan dan mengklaim bahwa kursus mereka menjamin peserta mendapatkan pekerjaan. Kursus-kursus ini, misalnya, banyak fokus pada pengembangan karier era modern seperti pemasaran digital dan sains data.</p>
<p>Oleh karena itu, kita pun bisa menemui banyak penyedia kursus daring yang menerbitkan sertifikat. Jika melihat media sosial profesional seperti LinkedIn, tak perlu waktu lama untuk menemukan unggahan mengenai sertifikat kursus dari berbagai institusi. </p>
<p>Namun, bagaimana standar kualitas dari banyaknya sertifikasi atau kursus tersebut?</p>
<p>Ketentuan terkini mengenai kursus daring di Indonesia termuat dalam suatu <a href="https://repositori.kemdikbud.go.id/11752/1/jukniskursusonline2018.pdf">petunjuk teknis</a> dari Kementerian Pendidikan (Kemdikbudristek) yang terbit pada 2018.</p>
<p>Sayangnya, instrumen tersebut bukanlah ketentuan hukum yang kuat – kerap disebut “<em>soft regulation</em>” – sehingga belum mampu mengatur kualitas para penyedia kursus daring dengan baik. Petunjuk teknis tersebut baru berfokus pada teknis pelaksanaan seperti spesifikasi perangkat dan hanya sedikit memuat ketentuan substantif seperti pengaturan konten dan instruktur.</p>
<h2>Masalah kualifikasi dan kualitas lulusan kursus</h2>
<p><a href="https://www.researchgate.net/publication/319013030_Issues_and_Challenges_for_Teaching_Successful_Online_Courses_in_Higher_Education_A_Literature_Review">Reviu literatur</a> di Amerika Serikat (AS) sebelum pandemi menemukan beberapa permasalahan dalam kursus daring, baik terkait pembelajar, instruktur, maupun konten pembelajarannya.</p>
<p>Misalnya, banyak instruktur hanya berbekal materi lawas yang tidak diadaptasi untuk kelas daring hingga akhirnya kesulitan menangkap sinyal nonverbal dan gestur dari pembelajar. Ini juga menyebabkan banyak pembelajar merasa “terisolasi” karena instruktur tidak menerapkan <a href="https://theconversation.com/cara-menciptakan-kelas-online-yang-interaktif-di-tengah-pandemi-covid-19-pelajaran-dari-singapura-140738">pengajaran interaktif yang penting dilakukan</a> saat mengajar secara daring.</p>
<p>Indonesia pun tidak terlepas dari permasalahan ini. Beragam kajian mencatat <a href="https://repository.unugha.ac.id/622/1/20.pdf">kurangnya interaktivitas</a> dalam pembelajaran yang cenderung searah, konten video dan fitur pembelajaran sosial yang <a href="https://www.researchgate.net/publication/362614765_Portraying_the_Performance_of_Indonesian's_Massive_Open_Online_Course_Facilitators">jarang diperbarui</a>, hingga konsep “belajar sendiri” yang sering membuat <a href="https://www.researchgate.net/publication/313831255_USER_ANALYSIS_OF_MASSIVE_OPEN_ONLINE_COURSES_MOOCS_BASED_E-LEARNING_SYSTEM_TO_ENSURE_EQUAL_ACCESS_TO_EDUCATION_AT_HIGHER_EDUCATION">motivasi rendah karena kurangnya dorongan eksternal</a>.</p>
<p>Dari segi asesmen, kursus online cenderung <a href="https://www.researchgate.net/publication/282705816_MOOCs_and_Quality_Issues_A_Student_Perspective">tidak memiliki standar dan kriteria penilaian yang pasti</a>. Hal ini akan berdampak pada kualitas lulusannya.</p>
<p>Apalagi, baik sebelum ataupun setelah pandemi, industri kerja masih cenderung memilih lulusan dengan pendidikan tradisional.</p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/03634520500343376">Kajian</a> tahun 2005 dari Florida State University, misalnya, menunjukkan 96% dari 258 perusahaan lebih memilih kandidat dengan gelar pendidikan tradisional karena punya kemampuan interaksi, reputasi, keterampilan, dan pengalaman yang lebih sesuai.</p>
<p>Sementara, yang lebih terkini, <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/2332858420973577">studi tahun 2020</a> dari Vanderbilt University yang menyurvei sekitar 1.000 perekrut di suatu situs pasar pekerja lepas menemukan bahwa mereka konsisten menganggap kualifikasi pendidikan tinggi formal di AS – sarjana, diploma, bahkan <em>community college</em> – lebih unggul dari sertifikat kursus daring.</p>
<p>Tanpa regulasi yang kuat untuk mengantisipasi masalah-masalah ini, industri kursus online di Indonesia berpotensi hanya jadi pabrik sertifikat dan bahan pamer di media sosial tanpa manfaat pendidikan yang jelas bagi lulusannya.</p>
<h2>Standardisasi melalui regulasi</h2>
<p>Sebenarnya, masalah di atas adalah kendala yang <a href="https://theconversation.com/pembelajaran-jarak-jauh-masih-akan-tetap-di-sini-kita-harus-buat-kualitasnya-setara-sekolah-tatap-muka-164397">juga muncul dalam pendidikan formal di Indonesia</a>. Ini terjadi terutama seiring sekolah dan guru beralih ke pembelajaran daring.</p>
<p>Berbagai kebijakan berupaya mengatasi masalah di sektor formal ini. <a href="https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/bsnp/Permendikbud119-2014PJJ-Dikdasmen.pdf">Permendikbud Nomor 119 Tahun 2014</a> mengatur secara detail mengenai pembelajaran jarak jauh (PJJ) di tingkat sekolah dasar dan menengah. Sejak 2020, muatan mengenai PJJ <a href="http://ppid.unp.ac.id/wp-content/uploads/2020/02/Permendikbud-No-7-Tahun-2020.pdf">dimasukkan dalam kebijakan tentang keberlangsungan pendidikan tinggi</a>.</p>
<p>Sayangnya, hal yang sama tidak terlihat dalam konteks pendidikan nonformal. Perlu regulasi dari Kemdikbudristek untuk mengatur standar dan kualitas kursus daring – yang sama kuatnya dengan regulasi di pendidikan daring formal.</p>
<p>Kebijakan ini nantinya perlu mengatur beberapa komponen penting.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, kualifikasi instruktur perlu dipertegas demi memastikan bahwa materi yang disampaikan memang berdasarkan kebutuhan dan realitas di lapangan.</p>
<p>Memang ada <a href="https://bpm.unair.ac.id/wp-content/uploads/2021/01/permendikbud-no-90-tahun-2014.pdf">Permendikbud Nomor 90 Tahun 2014</a> yang menjelaskan kualifikasi minimal untuk menjadi instruktur. Untuk kursus berbasis keilmuan, merak harus memiliki kualifikasi pendidikan S1/D4, sertifikat kompetensi, dan sertifikat instruktur. Sedangkan untuk kursus berbasis teknis praktis, terdapat syarat pendidikan setara SMA, pengalaman mengajar 3 tahun, dan sertifikasi instruktur.</p>
<p>Namun, aturan ini belum menyebutkan format kursus daring. </p>
<p>Di berbagai negara, <a href="https://media.neliti.com/media/publications/221971-certification-for-teachers-and-lecturers.pdf">instruktur wajib memegang kualifikasi magister atau sertifikasi terakreditasi</a> untuk mengajar kursus di bidang tertentu seperti advokat dan akuntan. Bagi kursus dengan fokus kemampuan teknis-praktis, instruktur butuh pengalaman kerja yang cukup lama untuk menguasai bidang tertentu secara mendalam.</p>
<p>Uni Eropa memiliki sistem <a href="https://europa.eu/europass/en/europass-tools/european-qualifications-framework">European Qualifications Framework</a> (EQF). Kerangka ini menggolongkan sertifikasi ke dalam tujuh level yang berbeda – dari Level 1 untuk kemampuan dan pengetahuan dasar hingga Level 8 untuk tingkat doktoral. Sebagai contoh, sertifikasi teknis yang didapatkan melalui <em>apprenticeship</em> dalam bidang seperti akuntansi dikategorikan sebagai Level 3.</p>
<p>Pemerintah dapat menerapkan kerangka serupa untuk mengatur kualifikasi instruktur kursus daring di Indonesia sesuai dengan karakter kursus yang mereka ampu.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, perlu ada syarat muatan dan metode penyampaian materi.</p>
<p>Saat ini banyak kursus daring hanya berjalan dengan sesi konferensi video rutin. Bahkan, ada juga yang hanya menggunakan rekaman. Padahal, setiap jenis pembelajaran memiliki fungsi dan dampaknya masing-masing.</p>
<p>Metode <em>synchronous</em> (ada interaksi langsung dengan pengajar) baik diterapkan untuk pembelajaran yang bersifat diskusi atau berupa presentasi dan praktik. Namun, metode ini memerlukan keberadaan instruktur dan para peserta dalam waktu bersamaan. Sementara, metode <em>asynchronous</em> (berbasis rekaman atau materi saja) memungkinkan peserta belajar dengan waktu dan kecepatannya sendiri-sendiri.</p>
<p>Sejak pandemi tiba di Indonesia, berbagai institusi pendidikan formal seperti <a href="https://fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1056/2020/08/Panduan-Pembelajaran-Jarak-Jauh-FISIPOL-UGM.pdf">Universitas Gadjah Mada (UGM)</a> mengambil langkah melaksanakan pembelajaran jarak jauh dengan mengintegrasikan sesi <em>synchronous</em> dan <em>asynchronous</em>. </p>
<p>Institusi-institusi pendidikan di negara Barat sudah banyak mengembangkan dan menerapkan teknik pengajaran baru untuk metode daring.</p>
<p>Harvard University di AS, misalnya, menyediakan <a href="https://teachremotely.harvard.edu/best-practices">panduan</a> tentang praktik-praktik baik ketika mengajar secara daring. Dalam panduan tersebut, mereka memberikan rekomendasi terkait proporsi yang tepat antara pembelajaran interaktif dan rekaman, tergantung karakter dari materi yang berbeda-beda. </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, kursus yang menerbitkan sertifikasi perlu memiliki komponen asesmen yang sesuai pada akhir masa belajar.</p>
<p>Hingga kini, baru <a href="https://peraturanpedia.id/peraturan-menteri-pendidikan-dan-kebudayaan-nomor-70-tahun-2008/">Permendikbud Nomor 70 Tahun 2008</a> yang mengatur uji kemampuan untuk pendidikan nonformal, termasuk kursus-kursus. Peraturan tersebut mengatur asesmen secara garis besar dan menyebutkan adanya standar operasional untuk setiap sektor atau bidang keahlian seperti kesehatan atau teknik. </p>
<p>Namun, lagi-lagi, belum ada ketentuan khusus untuk kursus daring.</p>
<p>Pembelajaran daring, misalnya, membuat proses pembelajaran menjadi <a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/feduc.2022.851019/full">lebih menantang</a>. Oleh karenanya, metode asesmen kursus daring perlu dibuat secara khusus sehingga dapat memastikan bahwa peserta kursus benar-benar memahami materi pada level yang sebanding dengan pembelajaran tatap muka.</p>
<p>Australian Skills Quality Authority (ASQA) memberikan contoh baik mengenai peran pemerintah dalam menjamin kualitas pembelajaran daring agar tidak timpang dengan kelas fisik.</p>
<p><a href="https://www.asqa.gov.au/rtos/users-guide-standards-rtos-2015">Standar tahun 2015</a> yang mereka terbitkan untuk organisasi pengajar yang terdaftar (<em>Registered Training Organisations</em> atau RTO) berfungsi sebagai tolok ukur penyedia kursus atau pelatihan dari awal hingga akhir.</p>
<p>ASQA mengatur prinsip-prinsip asesmen, bukti kompetensi yang harus ditunjukkan peserta, hingga persyaratan pelaksanaan penilaian oleh penyedia kursus. Dalam aturan ini, kursus daring juga terikat <a href="https://www.asqa.gov.au/guidance-resources/online-learning">beberapa kriteria tambahan yang perlu dipenuhi</a> berdasarkan klasifikasinya – misalnya kursus yang sepenuhnya online, campuran (<em>blended learning</em>), jarak jauh (<em>distance learning</em>), dan lain-lain. </p>
<p>Terdapat banyak ruang untuk memajukan kualitas kursus yang ada di Indonesia. Hal tersebut dapat dilakukan baik melalui regulasi yang tegas seperti peraturan menteri, maupun standar lainnya yang berlaku secara nasional. Ini penting untuk memperbaiki medan liar kursus daring yang kini menjamur di Indonesia.</p>
<hr>
<p><em>Rafsi Albar, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, serta pendiri dan CEO <a href="https://www.flashcampus.com">FlashCampus</a>, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/200236/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Haekal Al Asyari tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Tanpa regulasi yang kuat, industri kursus online di Indonesia berpotensi hanya jadi pabrik sertifikat dan bahan pamer di media sosial tanpa manfaat pendidikan yang jelas bagi lulusannya.Haekal Al Asyari, Lecturer, Universitas Gadjah Mada and Ph.D. Candidate, University of DebrecenLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1971042023-05-11T11:25:09Z2023-05-11T11:25:09ZModus ‘mark up’ laporan kegiatan mahasiswa: bibit dan peluang korupsi di lingkungan kampus<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/525633/original/file-20230511-17-xmsbg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/man-calculate-domestic-bills-home-using-2036033156">(Shutterstock/Chayanuphol)</a></span></figcaption></figure><p>Dalam dunia administrasi, istilah “<em>mark up</em>” – yang secara kebahasaan bermakna “menaikkan” atau “menambahkan” – diartikan sebagai kegiatan penggelembungan suatu nilai atau anggaran.</p>
<p>Kasus <em>mark up</em> ini marak ditemukan dalam aktivitas penyelenggaraan negara. Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), misalnya, ada <a href="https://antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/200914-Laporan%20Tren%20Penindakan%20Kasus%20Korupsi%20SMT%20I%202020.pdf">33 kasus</a> yang dilakukan oleh pihak swasta, Aparatur Sipil Negara (ASN), dan kepala desa di Indonesia saat proses pengadaan barang dan jasa selama semester I tahun 2020. Nilai kerugiannya sebesar Rp 509 miliar (sekitar Rp 15,4 miliar per kasus). </p>
<p>Menariknya, modus ini ada tidak hanya di kalangan pemerintahan saja, melainkan juga berpotensi terjadi di lingkungan pendidikan.</p>
<p>Laporan lain dari ICW menyebutkan bahwa dari 240 kasus korupsi sektor pendidikan dan pendidikan tinggi selama 2016-2021, sebanyak <a href="https://antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/2021%20ICW%20-%20Tren%20Penindakan%20Korupsi%20Sektor%20Pendidikan.pdf">14,2% merupakan <em>mark up</em> laporan finansial</a>.</p>
<p>Tak hanya itu, praktik <em>mark up</em> ini juga bisa dilakukan oleh mahasiswa. </p>
<p>Meski belum ada data atau statistik mengenai prevalensinya, sejumlah <a href="https://books.google.es/books?hl=en&lr=&id=XkNTEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA23&dq=indonesia+laporan+mahasiswa+markup+lpj&ots=1TU7vuQ1IG&sig=L_vHOca2rRkHsjCaPNLXGlcW5Yg#v=onepage&q&f=false">buku</a> dan <a href="https://ojs.stiem-bongaya.ac.id/BJRA/article/view/268/228">karya</a> <a href="https://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/download/4540/3980">akademik</a> telah menjelaskan bagaimana praktik <em>mark up</em> di kalangan mahasiswa sudah menjadi <a href="https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Persepsi/20221202-menyelamatkan-mahasiswa-dari-lingkaran-setan-korupsi-di-kampus">rahasia umum</a>.</p>
<p>Hal ini, misalnya, sering terjadi dalam konteks acara dan organisasi kemahasiswaan. Proses pelaporan ajang-ajang tersebut sering menjadi tempat dan kesempatan mahasiswas melakukan tindak korupsi. Bagaimana wujudnya?</p>
<h2>Modus <em>mark up</em> laporan pertanggungjawaban acara mahasiswa</h2>
<p>Kami menyaksikan langsung modus <em>mark up</em> ini ketika dulu menjadi anggota himpunan mahasiswa di suatu universitas di Depok, Jawa Barat.</p>
<p>Biasanya, ketika para mahasiswa yang menjadi anggota organisasi semacam ini menyelenggarakan suatu program kerja, mereka awalnya harus melakukan permohonan melalui suatu proposal acara. Di dalamnya, terdapat rancangan anggaran – rincian apa saja dan total harga dari barang dan jasa yang diperlukan.</p>
<p>Ketika program kerja selesai, para mahasiswa perlu membuat laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepada bagian keuangan fakultas atau program studi mereka.</p>
<p>LPJ ini berfungsi sebagai dokumen tertulis yang merinci hasil pelaksanaan sekaligus bahan evaluasi kegiatan kemahasiswaan, serta menjadi bukti bahwa kegiatan tersebut sudah dilaksanakan. Pihak keuangan kampus kemudian dapat mengembalikan (<em>reimburse</em>) dana pribadi mahasiswa yang terpakai dalam kegiatan tersebut.</p>
<p>Modus <em>mark up</em> biasanya terjadi ketika pengeluaran acara tersebut berbeda jauh dari rencana anggaran awal dalam proposal acara. Tentu ini bukanlah masalah selama bisa dibuktikan kebenarannya – beda lagi jika pembengkakan tersebut adalah akibat kenaikan pengeluaran yang fiktif.</p>
<p>Yang kerap terjadi, misalnya, adalah mahasiswa mencantumkan barang-barang atau jasa fiktif yang dibeli dengan nota belanja palsu. Bisa juga, mereka membeli barang sesuai realitas pengeluaran acara, tapi harganya dibuat lebih tinggi dengan mengubah angka dalam nota atau bukti transaksi palsu tersebut.</p>
<p>Para mahasiswa kemudian mengantongi selisihnya.</p>
<p>Studi yang memotret praktik ini di lapangan, termasuk motivasi mahasiswa melakukan kecurangan, masih minim. Namun, <a href="https://ojs.stiem-bongaya.ac.id/BJRA/article/view/268/228">riset kualitatif mahasiswa dari Universias Kristen Satya Wacana (UKSW)</a> terhadap suatu perguruan tinggi swasta (PTS) di Jawa Tengah pada 2021, menemukan bahwa tekanan dari organisasi atau rekan sejawat untuk mengadakan acara pembubaran panitia bisa menjadi salah satu faktor penyebab. </p>
<p>Dorongan untuk membuat ajang semacam itu sebagai bentuk “selebrasi” atau “<em>reward</em>” bisa memicu mahasiswa untuk memanipulasi bukti pembayaran demi mendapat uang sisa setelah acara selesai. Banyaknya panitia acara yang melakukan ini, ditambah arahan dari senior yang diwariskan secara turun temurun, kemudian seolah mewajarkan praktik <em>mark up</em> ini sebagai hal yang lazim (rasionalisasi).</p>
<p>Dalam studi tersebut, dan juga <a href="https://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/download/4540/3980">riset mahasiswa lainnya dari Universias Brawijaya pada 2018</a> terhadap suatu perguruan tinggi negeri (PTN) di Jawa Timur, peluang melakukan <em>mark-up</em> juga muncul karena pengecekan laporan keuangan dari pihak fakultas atau universitas pun sangat minim.</p>
<p>Adanya faktor-faktor tersebut, yakni tekanan, rasionalisasi, dan peluang – atau yang disebut sosiolog dan kriminolog Donald Cressey serta profesor akuntansi W. Steve Albrecht sebagai “<a href="https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/JFC-12-2018-0136/full/html"><em>fraud triangle</em></a>” – berpotensi besar melanggengkan praktik ini di antara mahasiswa di berbagai perguruan tinggi.</p>
<h2>Mencegah kampus jadi ladang belajar korupsi</h2>
<p>Agar organisasi kemahasiswaan tidak menjadi ladang bagi mahasiswa untuk belajar korupsi, perlu tindakan tegas dari perguruan tinggi. </p>
<p>Dalam praktik korupsi mahasiswa di ranah global, yang umumnya berwujud penyuapan seleksi masuk universitas hingga pemalsuan data dan nilai ijazah, berbagai hal ini sering terjadi karena <a href="https://www.universityworldnews.com/post.php?story=20200624152823873">lemahnya kesadaran, aturan, dan kebijakan</a> dari pemangku kepentingan mengenai pencegahan korupsi di perguruan tinggi. </p>
<p>Perguruan tinggi bisa membuat dan/atau memperbaiki regulasi yang sudah ada terkait pengawasan aliran keuangan yang lebih kuat – namun tidak menyulitkan sehingga <a href="https://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/download/4540/3980">malah membuat mahasiswa rentan memanipulasi</a> – dari pihak kampus kepada organisasi kemahasiswaan maupun pelaporannya.</p>
<p>Ketika mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan melanggar ketentuan ini, perguruan tinggi perlu menegakkan sanksi secara tegas, untuk menumbuhkan budaya antikorupsi di lingkungan kampus.</p>
<p>Organisasi kemahasiswaan juga bisa melakukan perbaikan sistem di dalamnya. Misalnya, pelaporan laporan keuangan kepada kampus sebaiknya hanya dilakukan melalui satu pintu, yakni bendahara dan diawasi langsung ketua organisasi, untuk mencegah melebarnya peluang korupsi. Para pimpinan organisasi juga sebaiknya gencar melakukan sosialisasi kepada seluruh anggota terkait integritas pelaporan keuangan dan regulasi kampus yang ada.</p>
<p>Terakhir, perguruan tinggi juga bisa menerapkan kanal khusus untuk melaporkan dugaan korupsi (<em>whistleblowing system</em>) dalam lingkungan kampus ataupun organisasi kemahasiswaan. </p>
<hr>
<p><em>Hernu Aulia Farhan, seorang associate di firma hukum yang berbasis di Jakarta, juga berkontribusi dalam penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/197104/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Arianda Lastiur Paulina tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Praktik ‘mark up’ laporan kegiatan mahasiswa telah menjadi rahasia umum yang terjadi di perguruan tinggi, serta menjadi bibit dan peluang korupsi di lingkungan kampus.Arianda Lastiur Paulina, Asisten Peneliti Indonesia Judicial Research Society, Indonesia Judicial Research Society Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2041102023-04-19T09:40:03Z2023-04-19T09:40:03ZMengapa perguruan tinggi perlu kembali menggunakan ujian lisan pada era AI dan ChatGPT<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/521814/original/file-20230419-26-cdi7lt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/panel-speaker-on-stage-presenting-vision-1223620837">(Shutterstock/Life and Times)</a></span></figcaption></figure><p>Bayangkan skenario berikut.</p>
<p>Kamu adalah seorang murid dan kamu memasuki suatu ruangan atau ruang pertemuan Zoom. Suatu panel penguji yang telah membaca esaimu atau melihat kinerjamu sedang menunggu di dalam ruangan.</p>
<p>Kemudian, kamu menjawab serangkaian pertanyaan seiring mereka menjajaki pengetahuan dan kemampuanmu. Kamu lalu pergi meninggalkan ruangan. Para penguji lalu mengulas nilai awal sebelum berjalannya ujian lisan dan menimbang-nimbang apakah perlu melakukan penyesuaian nilai ke atas atau ke bawah.</p>
<p>Kamu dipanggil kembali ke dalam ruangan untuk menerima nilai akhir.</p>
<p>Metode penilaian semacam ini – yang juga dikenal sebagai <em>viva voce</em> dalam bahasa Latin – adalah bentuk asesmen pembelajaran yang telah teruji.</p>
<p>Tak perlu duduk di aula ujian, tak perlu takut akan <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s10734-022-00875-z">tuduhan plagiarisme</a> atau khawatir bahwa ada <a href="https://theconversation.com/how-chatgpt-robs-students-of-motivation-to-write-and-think-for-themselves-197875">murid</a> yang mengumpulkan esai buatan aplikasi kecerdasan buatan (AI). Integritas 100% terjamin dengan cara yang adil, andal, dan <a href="https://theconversation.com/chatgpt-students-could-use-ai-to-cheat-but-its-a-chance-to-rethink-assessment-altogether-198019">otentik</a>. Asesmen ini juga mudah digunakan untuk menguji banyak individu ataupun tugas kelompok.</p>
<p>Seiring layanan seperti <a href="https://theconversation.com/au/topics/chatgpt-130961">ChatGPT</a> terus tumbuh baik dalam hal kapabilitas maupun tingkat penggunaannya – termasuk dalam ranah pendidikan dan riset – apakah kini saatnya perguruan tinggi kembali menggunakan ujian lisan?</p>
<h2>Jatuh bangun ujian lisan</h2>
<p>Ujian lisan punya sejarah panjang bahkan sejak zaman <a href="https://theconversation.com/twitter-town-square-what-elon-musk-could-learn-from-aristotle-184766">Yunani kuno</a> lebih dari 2.000 tahun lalu. Para filsuf membela pengetahuan dan argumen mereka melalui tradisi orasi publik.</p>
<p>Pada abad ke-10, ujian lisan juga merupakan alat penting dalam pengembangan ilmu hukum dan medis di dunia Islam. Mereka yang merupakan ahli dalam <a href="https://www.newageislam.com/islamic-q-a/kaniz-fatma-new-age-islam/-munazara-islam-good-manners-during-munazara/d/124745"><em>munâẓara</em></a> (istilah Islam untuk perdebatan atau argumentasi) dianggap terhormat.</p>
<p>Di University of Paris zaman pertengahan pada abad ke-13, para mahasiswa berguru pada seorang master. Ketika dianggap siap, mahasiswa harus melalui suatu <em>viva</em> publik supaya bisa lulus. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/519827/original/file-20230406-26-v3cau0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/519827/original/file-20230406-26-v3cau0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/519827/original/file-20230406-26-v3cau0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/519827/original/file-20230406-26-v3cau0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/519827/original/file-20230406-26-v3cau0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/519827/original/file-20230406-26-v3cau0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/519827/original/file-20230406-26-v3cau0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/519827/original/file-20230406-26-v3cau0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Selama berabad-abad, University of Oxford menyelenggarakan pengujian <em>viva voce</em> di gedung Convocation House.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/divinity-school-university-oxford-oxfordshire-england-1674563479">(Shutterstock/ReoromART)</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Namun, penggunaan ujian lisan terus menurun seiring universitas <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/09695940120033243">mulai beralih ke ujian tertulis</a> pada tahun 1700-an.</p>
<p>Para akademisi pada waktu itu menganggap ujian tertulis lebih efisien, dengan peluang lebih mudah menilai mahasiswa satu persatu secara kuantitatif. Ini bertolak belakang dengan suatu sistem asesmen ujian lisan yang rumit, yang menempatkan mahasiswa dalam kategori-kategori kelas yang luas untuk merefleksikan performa orasi mereka.</p>
<p>Pengujian karya tertulis juga merupakan proses yang hening dan tidak menimbulkan suara. Proses ini memberikan penguji banyak waktu untuk melakukan penilaian secara nyaman di rumah mereka masing-masing.</p>
<h2>Kembali menemukan relevansi</h2>
<p>Meski demikian, masih ada sejumlah negara dan institusi yang masih mengadopsi <em>viva</em> pada era kontemporer.</p>
<p>Seperti yang saya jelaskan dalam buku saya, <a href="https://link.springer.com/book/10.1007/978-3-319-64016-7"><em>Assessing the Viva in Higher Education</em></a> yang terbit pada 2018, Norwegia masih menggunakan <em>viva</em> dalam program-program pascasarjana. Hingga beberapa waktu lalu, ujian lisan juga mereka gunakan dalam pendidikan sarjana.</p>
<p>Murid sekolah menengah juga harus melalui setidaknya satu ujian lisan dalam satu mata pelajaran secara acak. Ini dilakukan pada kelas 10 (setara SMP) dan kelas 13 (setara SMA). </p>
<p>Saya merekam sejumlah pertemuan penguji dalam pra-ujian lisan, proses ujiannya, dan diskusi penilaian setelah ujian. Berdasarkan hasil analisis kebahasaan dan gestur tubuh, saya memandang bahwa <em>viva</em> adalah bentuk asesmen yang kaya. Proses ini mempertimbangkan kualitas konten dan kemampuan menjawab dari para murid.</p>
<p>Ujian lisan juga menawarkan kesempatan bagi murid untuk menjelaskan dan mengklarifikasi apa yang sebelumnya sudah mereka kumpulkan. Hal ini tidak memungkinkan dalam suatu asesmen yang murni tertulis.</p>
<p>Yang menarik dalam studi saya adalah, saya tak pernah sekalipun menjumpai kasus kecurangan. Tidak ada murid yang meniru pekerjaan temannya, menyembunyikan kertas berisi jawaban dalam baju mereka, atau menulis contekan di lengan.</p>
<p>Senada dengan itu, <a href="https://www.loom.com/share/e1414f15cf4649be9169997dfad10006">Ken Purnell</a>, profesor pendidikan Central Queensland University di Australia, mencontohkan bagaimana murid bisa diberi tugas untuk mencitpakan suatu jurnal reflektif dan membagikannya secara lisan. Misalnya, murid-murid dapat menerapkan hasil belajar dalam bidang neurosains pendidikan dalam praktik mereka.</p>
<p>Layanan <em>chatbot</em> AI tidak bisa mereplikasi tugas semacam ini, sehingga orisinalitas murid terjamin.</p>
<p>Rekan lain di universitas saya juga menceritakan bagaimana ia dan rekan dosennya memperkenalkan <em>viva</em> untuk pertama kalinya.</p>
<p>Mereka menguji 600 ujian lisan kurang dari seminggu dalam suatu mata kuliah tingkat sarjana untuk mahasiswa keguruan tahun pertama. Selain tidak adanya masalah integritas atau kecurangan, dosen juga bisa menikmati akhir pekan terbebas dari tumpukan esai yang harus mereka nilai.</p>
<p>Apakah metode ini melelahkan bagi para penguji? Tentu saja. Namun, mereka puas, karena bisa mengamati mahasiswa mengolah pemikiran-pemikiran mereka menjadi kata-kata.</p>
<p>Bagi para murid dalam studi saya, pengalaman <em>viva</em> ini cukup menegangkan dan penuh dengan emosi. Para murid mengingat pengalaman <em>viva</em> mereka dengan jelas, termasuk atmosfer ujian dan pertanyaan-pertanyaan yang harus mereka hadapi. Serupa dengan wawancara pekerjaan, mereka juga merasakan kelegaan dan perasaan berhasil menguasai materi setelah melaluinya.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/519841/original/file-20230406-14-ugamda.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/519841/original/file-20230406-14-ugamda.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/519841/original/file-20230406-14-ugamda.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/519841/original/file-20230406-14-ugamda.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/519841/original/file-20230406-14-ugamda.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/519841/original/file-20230406-14-ugamda.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/519841/original/file-20230406-14-ugamda.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/519841/original/file-20230406-14-ugamda.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Bagi para murid, pengalaman <em>viva</em> cukup menegangkan dan penuh dengan emosi – tapi pada akhirnya bermanfaat dan memuaskan.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/young-female-leader-asia-people-lady-2002948553">(Shutterstock/Chay Tee)</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Proses ini terukir dalam memori mereka. Bagi mereka, ujian tersebut juga menjadi peluang untuk berkembang sebagai individu.</p>
<p>Saya berargumen bahwa kini sudah saatnya untuk mengubah dialog kita menjadi lebih tentang asesmen yang benar-benar melibatkan “dialog”.</p>
<p>Menulis akan tetap menjadi aspek yang penting. Namun, kita perlu belajar untuk kembali mengapresiasi pentingnya seorang murid untuk bisa berbicara terkait pengetahuan dan kemampuan yang mereka peroleh.</p>
<p>Kesuksesan menempuh <em>viva</em> bisa kembali menjadi ciri khas lulusan-lulusan kita, sebagaimana yang pernah kita lakukan selama berabad-abad lalu.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/204110/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Stephen Dobson tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penggunaan ujian lisan punya sejarah panjang bahkan sejak 2.000 tahun lalu – dan bisa kembali menjadi solusi bagi perguruan tinggi untuk menguji pengetahuan mahasiswa.Stephen Dobson, Professor and Dean of Education and the Arts, CQUniversity AustraliaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2014092023-03-08T13:33:05Z2023-03-08T13:33:05Z4 langkah untuk mempercepat pembentukan satgas antikekerasan seksual di perguruan tinggi Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/514199/original/file-20230308-16-is0csn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/surakarta-indonesia-february-23-2023-poster-2265736609">(Karim Jabbar/Shutterstock)</a></span></figcaption></figure><p>Dalam satu dekade terakhir, upaya global untuk memberantas kekerasan seksual di sektor pendidikan tinggi terus meningkat. Upaya ini melibatkan partisipasi mahasiswa, staf universitas, hingga pemerintah.</p>
<p>Di Nigeria, misalnya, menyusul <a href="https://www.youtube.com/watch?v=we-F0Gi0Lqs">film dokumenter</a> yang mengungkap pelanggaran dan pelecehan seksual dari dua dosen di University of Lagos, tekanan publik berhasil memaksa pemerintah menerbitkan <a href="https://edition.cnn.com/2020/07/08/africa/nigeria-sexual-harassment-bill/index.html">Undang-Undang Pelecehan Seksual (SB-77)</a> pada tahun 2020 yang menyasar pelecehan di lingkungan pendidikan tinggi.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/we-F0Gi0Lqs?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Pada Februari 2022, tiga mahasiswa S3 menuntut Harvard University di Amerika Serikat (AS) karena mengabaikan laporan mereka terkait pelecehan seksual dari seorang profesor antropologi. Para profesor fakultas tersebut berujung <a href="https://www.nytimes.com/2022/02/09/us/harvard-sexual-harassment-letter.html">menarik dukungan awal yang sempat mereka berikan</a> kepada rekan mereka, dan <a href="https://www.reuters.com/legal/us-backs-students-claiming-harvard-ignored-professors-sexual-harassment-2022-09-07/">Departemen Hukum AS</a> menyatakan dukungan terhadap gugatan ketiga mahasiswa.</p>
<p>Pengalaman-pengalaman di atas bisa jadi inspirasi untuk menggencarkan upaya-upaya serupa di seluruh dunia, termasuk Indonesia.</p>
<p>Indonesia adalah rumah bagi sekitar 4.500 perguruan tinggi dan sekitar 7 juta mahasiswa – jumlah <a href="https://www.share-asean.eu/sites/default/files/SHARE%20Infographic%20HE%20in%20ASEAN_Apr%202019.pdf">terbesar di Asia Tenggara</a>.</p>
<p>Beberapa bulan sebelum sahnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (<a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/207944/uu-no-12-tahun-2022">UU TPKS</a>) pada tahun 2022, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (<a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/188450/permendikbud-no-30-tahun-2021">Permendikbudristek PPKS</a>). Ini adalah upaya merespons munculnya berbagai kasus pelecehan dan pemerkosaan – segelintir puncak dari <a href="https://theconversation.com/not-only-in-america-sexual-violence-on-campuses-is-widespread-in-indonesia-108511">gunung es kekerasan seksual</a> – di kampus-kampus Indonesia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/permendikbudristek-ppks-apa-manfaatnya-bagi-pemberantasan-kekerasan-seksual-di-kampus-172698">Permendikbudristek PPKS: apa manfaatnya bagi pemberantasan kekerasan seksual di kampus?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Ada dua komponen kunci dalam Permendikbudristek PPKS. Pertama, pembuatan panel seleksi yang kemudian akan membentuk dan menetapkan suatu “<a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/188450/permendikbud-no-30-tahun-2021">Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual</a>” (Satgas PPKS) di setiap perguruan tinggi. Kedua, baik panel seleksi maupun satgas harus melibatkan tak hanya dosen dan staf, tapi juga mahasiswa.</p>
<p>Sayangnya, <a href="https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/pengumuman/">catatan Kemendikbudristek</a> menunjukkan bahwa para perguruan tinggi di Indonesia masih lamban dalam membentuk panel seleksi dan satuan tugas. Dari sekitar 4.500 institusi, baru 189 (kurang dari 5%) yang telah membuat panel seleksi. Kurang dari setengahnya telah mendirikan Satgas PPKS.</p>
<p>Meski angka ini masih sangat kecil, prosesnya cukup baik dalam menggandeng beragam pemegang kepentingan – termasuk 432 mahasiswa, 640 staf pengajar, dan 311 staf administratif (per Desember 2022).</p>
<p>Berbekal pelibatan dan kolaborasi lintas pihak semacam ini, kami merekomendasikan empat hal yang bisa dilakukan pemerintah dan perguruan tinggi untuk mempercepat implementasi Permendikbudristek PPKS.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, Kemendikbudristek harus menggencarkan sosialisasi terhadap ribuan universitas, sekolah tinggi, hingga politeknik yang belum membentuk Satgas PPKS.</p>
<p>Pemerintah harus lebih agresif dalam mengkomunikasikan urgensi dari regulasi yang ada melalui diskusi, lokakarya (<em>workshop</em>), atau <a href="https://www.youtube.com/watch?v=5R4NOdH0L6Q">seminar</a>. Mereka perlu menggarisbawahi langkah-langkah awal yang bisa segera diambil institusi.</p>
<p>Seiring terungkapnya <a href="https://koran.tempo.co/read/nasional/473224/menunggu-ketok-palu-sanksi-administratif-dari-menteri-terhadap-pelaku-kekerasan-seksual">kasus demi kasus</a> kekerasan seksual di lingkungan kampus sepanjang 2021 hingga 2022, Inspektur Jenderal Kemendikbudristek, Chatarina Girsang, menginisiasi lokakarya dengan beberapa universitas dan menekankan pentingnya <a href="https://itjen.kemdikbud.go.id/web/sosialisasikan-ppks-irjen-kasus-kekerasan-seksual-di-kampus-timbulkan-luka-dalam-bagi-penyintas">merespons kasus kekerasan seksual</a> secara cepat dan adil. Lokakarya tersebut juga menjelaskan bagaimana Satgas PPKS bisa membantu upaya tersebut.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, di level kampus, para rektor bisa menawarkan insentif kepada pengajar dan staf universitas untuk mempercepat pembentukan satgas.</p>
<p>Salah satu caranya adalah menghitung kontribusi mereka sebagai jam atau poin tambahan dalam pengabdian masyarakat – salah satu dari tiga mandat <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/40266/uu-no-14-tahun-2005">Tri Dharma Perguruan Tinggi</a> selain mengajar dan meneliti.</p>
<p>Tapi, pimpinan universitas juga wajib memastikan bahwa panel dan satgas tersebut diisi oleh orang-orang dengan rekam jejak yang bersih dan komitmen yang kuat dalam melawan kekerasan seksual. </p>
<p>Sejumlah kecil akademisi dan mahasiswa, misalnya, telah <a href="https://news.detik.com/berita/d-5815353/ragam-suara-mahasiswa-soal-permen-ppks-isu-seks-bebas-jadi-sorotan">menyuarakan</a> <a href="https://lpminstitut.com/2021/11/22/menangkis-logika-penolak-permendikbud-ppks/">penolakan</a> atau keraguan terhadap Permendikbudristek PPKS. Mereka beranggapan bahwa aturan tersebut sebaiknya tak hanya menjerat tindak pelecehan dan pemerkosaan yang bersifat “tanpa persetujuan”, tapi juga hubungan seks konsensual dengan dalih interpretasi keagamaan.</p>
<p>Universitas Negeri Jakarta (UNJ) cukup <a href="https://radioedukasi.kemdikbud.go.id/read/3220/unj-resmi-bentuk-satgas-sementara-ppks.html">cepat dalam mengadopsi</a> komponen-komponen kunci dalam Permendikbudristek PPKS. Namun, di saat yang sama, perguruan tinggi tersebut menggelar webinar tentang “<a href="https://fis.unj.ac.id/universitas-negeri-jakarta-menggelar-webinar-nasional-kampus-sehat-bebas-lgbt-dan-free-sex/">kampus sehat yang bebas dari LGBT dan seks bebas</a>”. Hal ini berlawanan dengan semangat antidiskriminasi dalam peraturan tersebut.</p>
<p>Kami juga berbicara dengan aktivis hak perempuan dari <a href="https://politikal.id/dukung-kemendikbudristek-ri-jaringan-muda-setara-luncurkan-kanal-cerita-permen-ppks">Jaringan Muda Setara</a>, yang sejak 2015 telah berjuang mendorong regulasi antikekerasan seksual di lingkungan kampus. Mereka menemukan bahwa beberapa penentang Permendikbudristek PPKS justru duduk di panel seleksi atau satuan tugas kampus mereka.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, mahasiswa bisa mengorganisasi diri untuk secara kolektif mengawasi komitmen dan upaya yang telah dilakukan oleh pimpinan universitas.</p>
<p>Tahun lalu, Korps Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)-Wati atau disingkat <a href="https://www.suarahimpunan.com/kabar/surati-perguruan-tinggi-kohati-gorontalo-desak-terapkan-permendikbud-penanganan-kekerasan-seksual/2/">KOHATI di Gorontalo, Sulawesi Utara</a>, bersama dengan <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2022/09/01/12094641/bem-ui-desak-rektor-ari-kuncoro-bentuk-satgas-ppks-ini-tanggapan-pihak?page=all">Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia</a> “menyentil” lambannya aksi rektor perguruan tinggi mereka dalam menerapkan Permendikbudristek PPKS. Mereka mengumpulkan dukungan melalui petisi dan juga menggelar demonstrasi di lingkungan kampus.</p>
<p><strong>Keempat</strong>, organisasi hak perempuan yang bergerak di bidang pemberantasan kekerasan seksual bisa mengambil peran penting.</p>
<p>Berbagai <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200210135051-20-473253/kemendikbud-didemo-soal-kekerasan-seksual-di-kampus">demonstrasi dan pawai (<em>march</em>)</a> yang mereka lakukan menjadi salah satu alasan kunci yang membuat media dan pemerintah mulai menaruh perhatian pada isu kekerasan seksual kampus secara serius. Para organisasi ini berperan mengumpulkan momentum yang pada akhirnya berujung pada penerbitan Permendikbudristek PPKS.</p>
<p>Pada tahun 2022, organisasi seperti <a href="https://www.instagram.com/p/CjxxhJZPt4l/?utm_source=ig_web_copy_link">Perempuan Mahardhika</a> melanjutkan upaya ini dengan mengadakan serangkaian lokakarya dengan komunitas kampus tentang implementasi Permendikbudristek PPKS. <a href="https://www.suarakeadilan.org/publikasi/36-suara-keadilan/235-kolaborasi-uu-tpks-dan-permendikbud-30-tahun-2021">Universitas Gadjah Mada (UGM)</a> dan <a href="https://www.ibn.ac.id/pelatihan-satgas-pencegahan-dan-penanganan-kekerasan-seksual/">Universitas Multimedia Nusantara (UMN)</a> juga mengadakan seminar, berkolaborasi dengan kelompok hak perempuan serta pemerintah.</p>
<p>Kemendikbudristek pun bisa terus berkolaborsi dengan pihak-pihak di atas untuk membantu dalam pelaporan dan penilaian terkait kualitas Satgas PPKS yang beroperasi di tiap perguruan tinggi. Dengan begini, para organisasi ini bisa membantu menjadi perpanjangan tangan dan “mata” di lapangan, serta menyediakan informasi langsung yang tidak bisa didapat hanya dari balik meja kementerian.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/201409/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sabina Puspita menerima dana dari Institutes For Advanced Research (IFAR) dan Yayasan Monash University, Indonesia untuk melakukan penelitian. Sabina Puspita juga pernah bertugas sebagai Analis Kebijakan Kemendikbudristek dari Maret 2020 hingga Desember 2021.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Muhammad Fajar menerima dana dari Institute for Advanced Research-Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. </span></em></p>Upaya meberantasan kekerasan seksual di lingkungan kampus memerlukan inisiatif dari para perguruan tinggi, aksi dari pemerintah, dan aktivisme di level akar rumput.Sabina Puspita, Monash Herb Feith Indonesian Engagement Centre Associate Director and IFAR Research Fellow, Monash UniversityMuhammad Fajar, Research fellow, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1962402023-02-23T10:31:05Z2023-02-23T10:31:05Z4 hal yang harus diperhatikan oleh perguruan tinggi saat ingin membuka kampus cabang di luar negeri<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/511931/original/file-20230223-22-pyldey.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.freepik.com/free-photo/diverse-group-students-walking-school_3274288.htm#query=foreign%20campus&position=13&from_view=search&track=ais">(Freepik/Rawpixel)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Praktik pembukaan kampus cabang di luar negeri telah dilakukan berbagai universitas dunia. Ini termasuk University of Nottingham dari Inggris (UK) melalui cabang di <a href="https://www.nottingham.edu.my/index.aspx">Malaysia</a> dan <a href="https://www.nottingham.edu.cn/en/index.aspx">Cina</a>, hingga Monash University dari Australia yang belum lama ini hadir di <a href="https://www.monash.edu/indonesia">Indonesia</a>.</p>
<p>Pada <a href="https://news.ums.ac.id/id/10/2022/kado-harijadi-ke-64-ums-resmi-buka-cabang-di-korea-selatan/">Oktober 2022</a>, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengumumkan bahwa mereka hendak menyusul langkah pembukaan cabang asing melalui kerjasama dengan Tongmyong University (TU) di Busan, Korea Selatan. Dilansir media, <a href="https://www.antaranews.com/berita/3200393/ums-gandeng-tongmyong-university-mantapkan-eksistensi-internasional">skema ini</a> akan mengizinkan mahasiswa UMS kuliah dua tahun di Indonesia, dilanjutkan dua tahun di Korea.</p>
<p>Meski demikian, selama ini perguruan tinggi lain di Indonesia telah banyak melakukan <a href="https://www.detik.com/edu/perguruan-tinggi/d-6379286/8-kampus-indonesia-ini-punya-program-pertukaran-pelajar-ke-luar-negeri">program pertukaran</a> serta program <a href="https://www.detik.com/edu/perguruan-tinggi/d-6061661/5-ptn-yang-buka-program-double-degree-tertarik-daftar">gelar ganda</a> (<em>double-degree</em>/<em>joint-degree</em>) dengan universitas luar negeri.</p>
<p>Untuk benar-benar mendirikan hingga menjalankan kampus cabang fisik di luar negeri beserta seluruh aktivitasnya – layaknya kampus Nottingham di Semenyih, Malaysia atau kampus Monash di Tangerang, Indonesia – butuh persiapan dan perhitungan yang lebih matang lagi.</p>
<p>Walau cabang luar negeri bisa jadi tonggak pencapaian, perguruan tinggi harus hati-hati agar tak hanya mengejar keuntungan publisitas atau komersial belaka. Institusi pendidikan tinggi manapun yang punya aspirasi hadir di luar negeri perlu memperhatikan faktor-faktor keberhasilan kampus asing.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/apakah-membuka-pintu-untuk-universitas-asing-ide-bagus-bagi-indonesia-123922">Apakah membuka pintu untuk universitas asing ide bagus bagi Indonesia?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Praktik pembukaan kampus cabang luar negeri</h2>
<p>Praktik pendidikan tinggi lintas wilayah telah ada <a href="https://aleteia.org/2020/02/05/the-oldest-university-in-the-americas-is-in-lima-peru/">sejak 1551</a>. Raja Spanyol, Charles V kala itu menandatangani dekrit kerajaan untuk mendirikan universitas di Benua Amerika, yaitu National University of San Marcos di Lima, Peru.</p>
<p>Sementara, <a href="https://www.researchgate.net/publication/313408490_International_Branch_Campuses_Evolution_of_a_Phenomenon">literatur akademik</a> mengakui kampus cabang luar negeri tertua saat ini adalah School of Advanced International Studies (SAIS) Bologna di Italia yang merupakan cabang dari SAIS John Hopkins University di AS.</p>
<p>Meningkatnya praktik pembukaan kampus asing secara global tidak lepas dari iklim kapitalisme akademik. </p>
<p><a href="https://roderic.uv.es/bitstream/handle/10550/80600/148363.pdf?sequence=1">Riset tahun 2019</a> dari tim peneliti Spanyol menemukan alasan pembukaan kampus asing – baik dari sisi kampus asal maupun kampus cabang – utamanya adalah untuk mengejar prestise sebagai “<a href="https://theconversation.com/pemeringkatan-kampus-praktik-imperialisme-budaya-yang-menjebak-perguruan-tinggi-dalam-perlombaan-kosong-178536">perguruan tinggi kelas dunia</a>”, serta membuka sumber pendapatan baru. </p>
<p>Beberapa akademisi juga berpendapat <a href="https://www.timeshighereducation.com/campus/what-determines-success-international-branch-campus">ledakan permintaan pendidikan tinggi di negara lain</a> dapat mendorong perguruan tinggi untuk mendirikan kampus cabang asing – apalagi jika pasokan pendidikan tinggi di negara asal mereka melamban.</p>
<p><a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1098483.pdf">Pada 1990-an di Malaysia</a>, misalnya, ada peningkatan jumlah kelompok usia populasi yang memenuhi syarat kuliah. Pada saat yang sama, pertumbuhan universitas domestik lambat karena keterbatasan anggaran pemerintah. Akibatnya, celah ini dipasok kampus cabang dari Inggris, AS, dan Australia.</p>
<p>Namun, profesor kebijakan pendidikan tinggi RMIT University Australia Gavin Moodie menjelaskan pembukaan kampus cabang luar negeri juga disertai <a href="https://theconversation.com/branching-out-why-universities-open-international-campuses-despite-little-reward-46129">risiko finansial dan reputasi</a>.</p>
<p>Jarak yang jauh dengan kampus asal serta lingkungan asing dapat menjadi bumerang terhadap reputasi perguruan tinggi jika gagal memberikan kualitas yang sama, bahkan yang lebih baik, di negara tempat kampus cabang mereka.</p>
<h2>Faktor kesuksesan upaya internasionalisasi</h2>
<p><a href="https://link.springer.com/content/pdf/10.1007/s11162-022-09674-y.pdf?pdf=button">Penelitian tahun 2020</a> tentang 33 kampus cabang luar negeri di 76 negara menemukan selama 1948-2016, kesuksesan kampus cabang asing sangat bergantung pada situasi sosio-ekonomi dan tingkat permintaan pendidikan tinggi global.</p>
<p><a href="https://www.timeshighereducation.com/campus/what-determines-success-international-branch-campus">Nigel Haeley</a>, profesor pendidikan tinggi internasional di University of Limerick Irlandia mengidentifikasi beberapa kampus cabang yang berhasil. Di antaranya adalah Monash University di Malaysia, University of Nottingham di Malaysia dan Cina, serta Heriot-Watt University di Dubai. </p>
<p>Sebaliknya, beberapa kampus lain yang menurutnya tidak berhasil adalah University of New South Wales (UNSW) di Singapura dan George Mason University di Ras al-Khaimah, Uni Emirat Arab.</p>
<p>Haeley menyebutkan ciri umum keberhasilan universitas cabang luar negeri meliputi setidaknya empat hal:</p>
<p><strong>1. Model bisnis yang jujur dan kritis</strong></p>
<p>Mendirikan universitas asing seringkali berawal dari ambisi reputasi global. Namun, banyak yang gagal menerjemahkannya menjadi hal-hal teknis – seperti skema biaya kuliah yang tidak matang dan kegagalan memperkirakan jumlah mahasiswa pendaftar.</p>
<p>Kampus cabang Reading University di Malaysia, misalnya, <a href="https://www.timeshighereducation.com/news/reading-ignored-warning-signals-over-malaysia-branch-campus">nyaris tutup setelah hanya satu semester</a>. Universitas asal minim pengalaman dengan lingkungan di Malaysia, sehingga melebih-lebihkan pendaftaran dan meremehkan dinamika lokal. Ditambah lagi, laporan menemukan akuntabilitas dan transparansi yang lemah atas perencanaan bisnis dan proyeksi keuangan mereka. </p>
<p>Sebaliknya, universitas dengan pengawasan eksternal yang ketat oleh lembaga atau perusahaan audit, biasanya mampu memasuki pasar luar negeri dengan <a href="https://www.reading.ac.uk/finance/-/media/project/functions/finance/documents/tas-document/financial-statements/b27309-financial-statements-2020-2021-fr-v10-digital.pdf">pemahaman yang jauh lebih baik</a> tentang <a href="https://www.monash.edu/__data/assets/pdf_file/0008/1761272/19P-0093-Annual-Report-FA-Digital-v2.pdf">risiko-risiko yang mungkin timbul</a>. </p>
<p><strong>2. Komitmen jangka panjang dan dukungan pimpinan</strong></p>
<p>Universitas memiliki budaya dan identitas organisasi – dua hal yang butuh waktu untuk berkembang. </p>
<p>Sejak berdiri pada 1096, Oxford University konsisten berkomitmen untuk <a href="https://www.ox.ac.uk/sites/files/oxford/media_wysiwyg/Oxford%20Blue%20LR.pdf">unggul di setiap bidang pengajaran dan penelitian</a>. Meski punya sejarah sebagai universitas bagi bangsawan Inggris, Oxford modern telah menginisiasi transformasi jangka panjang untuk mewujudkan <a href="https://www.ft.com/content/aa993a10-7b1a-11e9-81d2-f785092ab560">budaya yang lebih inklusif</a>, misal dengan menerima mahasiswa dari berbagai latar belakang. </p>
<p>Universitas cabang luar negeri yang sukses memiliki tim manajemen di kampus asal yang berpikir secara jangka panjang dalam hitungan dekade, bukan tahunan. </p>
<p><strong>3. Peran penting pemangku kepentingan</strong></p>
<p>Salah satu sumber risiko terbesar untuk kampus cabang luar negeri adalah minimnya dukungan pemangku kepentingan.</p>
<p>Tanpa dukungan pemangku kepentingan yang besar dan bersifat lintas generasi – baik kebijakan lokal atau insentif finansial untuk mempertahankan keberlanjutan kampus asing – perubahan struktur pejabat kampus dapat dengan mudah menutup kampus cabang luar ngeri. </p>
<p>Ini terjadi dengan cabang UNSW Asia di Singapura yang ditutup oleh wakil rektor yang baru menjabat. UNSW Asia <a href="https://www.smh.com.au/national/red-faces-millions-lost-as-uni-closes-campus-20070524-gdq7ti.html">gagal mendapat paket dukungan pendanaan dari pemerintah Singapura</a> untuk menyelamatkan kampus tersebut di tengah jumlah mahasiswa yang terlalu sedikit. </p>
<p><strong>4. Penyelarasan tujuan universitas: riset dan pengajaran</strong></p>
<p>Tujuan universitas tak lain adalah penciptaan pengetahuan baru (penelitian) dan transfer pengetahuan (pengajaran). Tanpa pengembangan keunggulan penelitian, kampus cabang luar negeri hanyalah <a href="https://www.researchgate.net/publication/333908693_International_Branch_Campuses_as_an_Entry_Mode_to_the_Foreign_Education_Market">unit komersialisasi kampus</a> dengan kualitas seadanya untuk menghasilkan pendapatan dari mahasiswa asing.</p>
<p>University of Notthingham berhasil menciptakan <a href="https://www.nottinghampost.com/news/local-news/university-thats-one-nottinghams-best-705704">pusat keunggulan penelitian di cabang Malaysia dan Cina</a>, bahkan mendapatkan dukungan dana dari pemerintah negara tuan rumah. </p>
<p>Perguruan tinggi tersebut <a href="https://www.nottingham.ac.uk/aglobaluniversity/documents/foreignuniversitiesinchinaacasestudy.pdf">mewujudkan komitmen mereka terhadap penelitian</a> – misalnya dengan merekrut staf unggul, membentuk komite penelitian kampus, berinvestasi dalam administrasi penelitian untuk mendukung staf melalui hibah, serta mendorong kunjungan dan konferensi akademik.</p>
<h2>Membangun mutu dan keunggulan</h2>
<p>Sebenarnya, <a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1267563.pdf">suatu perguruan tinggi lebih mudah mendapatkan mahasiswa secara domestik</a>, ketimbang bersaing dengan universitas di luar negeri untuk mendapatkan mahasiswa di negara tersebut.</p>
<p>Ditambah lagi, saat ini universitas-universitas di Indonesia tidak hanya bersaing dengan sesama kampus dalam negeri. <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/140709/permen-ristekdikti-no-53-tahun-2018">Sejak 2018</a>, mereka bersaing dengan <a href="https://www.monash.edu/indonesia">Monash University</a> yang buka cabang di Indonesia.</p>
<p>Sebelum berbondong-bondong mengikuti tren pembukaan kampus asing, perguruan tinggi Indonesia perlu fokus untuk membangun mutu, keunggulan, serta program studi yang unik untuk menarik mahasiswa asing ke Indonesia.</p>
<p>Dengan begitu, reputasi kampus akan mulai terbangun di kalangan publik internasional. Nantinya, ini bisa memunculkan permintaan pembukaan kampus cabang di luar negeri – layaknya <a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1098483.pdf">yang terjadi di Malaysia</a> pada akhir 1990-an dan awal 2000-an.</p>
<p>Para perguruan tinggi bisa melakukan ini dengan membangun keunggulan penelitian yang khas. Memanfaatkan faktor demografi yakni berada di negara dengan populasi Muslim terbesar, misalnya, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), berupaya memikat atensi akademik global dengan menggunakan <a href="https://theconversation.com/menjejaki-impian-uiii-untuk-jadi-pusat-kajian-islam-moderat-di-dunia-128915">daya tarik kajian <em>Islam wasatiyyah</em></a> (Islam moderat khas Indonesia).</p>
<p>Perguruan tinggi juga perlu melakukan <a href="https://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/rgs_dissertations/RGSD300/RGSD354/RAND_RGSD354.pdf">kajian kelayakan (<em>feasibility</em>) yang komprehensif</a> untuk memahami dan mengantisipasi potensi risiko dari pembukaan universitas cabang di negara yang mereka sasar, agar tidak berakhir ditutup. </p>
<p>Langkah-langkah ini penting agar agar kampus Indonesia tak terjebak euforia publisitas dan mencari pemasukan dari mahasiswa luar negeri belaka, namun benar-benar merasakan manfaatnya sesuai tujuan Tri Dharma Perguruan Tinggi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/196240/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ayu Anastasya Rachman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Walau membuka kampus cabang asing bisa jadi pencapaian, universiats harus hati-hati agar tak hanya mengejar keuntungan publisitas atau komersial belaka. Ada setidaknya 4 faktor penentu keberhasilan.Ayu Anastasya Rachman, PhD Student in International Relations, Diplomacy and Education's Political Economy, Universitas PadjadjaranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1985912023-02-03T08:12:45Z2023-02-03T08:12:45ZMaraknya ‘joki’ di dunia pendidikan mengancam integritas akademik mahasiswa Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/508041/original/file-20230203-2044-2va8nz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/hgFY1mZY-Y0">(Unsplash/Siora)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Jika kamu adalah seorang mahasiswa dan menghabiskan banyak waktu di internet, kemungkinan besar kamu pernah menjumpai akun atau situs yang menawarkan jasa berbayar untuk mengerjakan tugas kuliah.</p>
<p>Beberapa dari layanan tersebut merupakan bisnis yang tertata, sementara beberapa lainnya adalah operasi perorangan. Apapun bentuknya, jasa “joki” atau yang dikenal secara global sebagai “<a href="https://scholar.google.co.id/citations?view_op=view_citation&hl=en&user=lViA0GAAAAAJ&citation_for_view=lViA0GAAAAAJ:IjCSPb-OGe4C"><em>contract cheating</em></a>” – istilah yang diperkenalkan dalam studi tahun 2006 dari peneliti Inggris, Thomas Lancaster dan Robert Clarke – adalah ketika pelajar menyewa pihak ketiga untuk menyelesaikan tugas akademik mereka.</p>
<p>Layanan-layanan ini menawarkan keahlian dalam meriset, menulis, atau bahkan jasa teknis seperti membuat perangkat lunak, dan bekerja sesuai permintaan sang pelajar yang membayar. Bisnis-bisnis ini bisa menuai <a href="https://kumparan.com/kumparannews/joki-tugas-kuliah-dan-skripsi-bertebaran-di-medsos-harga-mulai-rp-80-ribu-1zEC6ok1Zwe/4">ratusan ribu hingga jutaan rupiah</a> sekali transaksi. </p>
<p>Data terkait layanan joki di Indonesia maupun seberapa sering mahasiswa mengandalkan mereka, masih sangat terbatas. Tapi, untuk memberikan sedikit konteks global, suatu <a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/feduc.2018.00067/full">riset tahun 2018</a> dari Swansea University di Inggris mengungkap bahwa sekitar 15% mahasiswa di seluruh dunia pernah menyewa seseorang untuk menyelesaikan setidaknya salah satu tugas mereka.</p>
<p>Di Indonesia, ada kenaikan dalam prevalensi ketidakjujuran akademik oleh mahasiswa. Hal ini pun terlihat dari <a href="https://psikologi.ugm.ac.id/en/academic-integrity-of-indonesian-lecturers-facts-measurements-and-optimization-efforts/">melejitnya luaran riset dan literatur</a> yang membahas pentingnya menjaga integritas pelajar di lingkup pendidikan.</p>
<p>Ini terutama sangat tampak dalam lingkungan pendidikan tinggi yang menjadi tempat mahasiswa menjalani pembekalan untuk masuk ke lapangan kerja. Mereka pun diharapkan untuk mulai memiliki rasa tanggung jawab layaknya orang dewasa.</p>
<p>Bahkan, beberapa peluang bisnis yang paling menjanjikan bagi penyedia jasa joki tak hanya meliputi ujian masuk untuk perguruan tinggi negeri atau tugas saat kuliah, tapi juga proses rekrutmen bersama di instansi pemerintah setelah mahasiswa lulus. Saking ketatnya kompetisi masuk ke instansi-instansi tersebut, beberapa orang memilih mencari bantuan pihak ketiga. Pada awal tahun ini, misalnya, <a href="https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6517105/fakta-viral-kabar-joki-tes-rekrutmen-bumn">muncul laporan</a> tentang penggunaan joki dalam proses rekrutmen bersama Badan Usaha Milik Negara (BUMN).</p>
<h2>Mengapa joki marak</h2>
<p>Industri joki ada untuk memenuhi kebutuhan para pelajar.</p>
<p>Banyak dari bisnis tersebut memanfaatkan mahasiswa yang <a href="https://www.kompasiana.com/zefanyaedenna8701/638574016e14f13d92523373/joki-tugas-dikalangan-anak-muda">kehilangan kepercayaan diri untuk meraih nilai tinggi</a> dalam mata kuliah tertentu. Ini bisa semakin diperparah oleh ekspektasi atau bahkan tekanan dari teman sejawat atau keluarga. Beberapa penyedia jasa lainnya bisa juga melayani klien yang kehilangan gairah untuk memenuhi standar akademik, atau tengah <a href="https://news.detik.com/x/detail/spotlight/20221025/Jerat-Pidana-Sarjana-Jalur-Joki/">berkutat dengan tanggung jawab di luar sekolah</a> seperti pekerjaan paruh-waktu yang telah menyita waktu dan tenaga mereka.</p>
<p>Ada juga aspek psikologis yang berperan. Para joki kerap mengiklankan jasa mereka dengan dalih “layanan pendukung” atau dengan memakai strategi pemasaran yang menjanjikan mahasiswa lebih banyak waktu untuk bersenang-senang karena beban akademik mereka menjadi berkurang.</p>
<p>Pada esensinya, mereka berupaya memanipulasi mahasiswa untuk menginternalisasi bahwa bertindak curang itu hal yang lumrah. Pasar jasa joki yang terus berkembang juga seolah menciptakan kesan di antara para pelajar bahwa mereka tidaklah berbuat curang, namun sekadar mengikuti tren akademik layaknya teman-teman mereka.</p>
<p>Seperti berbagai bisnis lain, kesukesan komersial dari para penyedia jasa joki bergantung pada kemampuan mereka untuk menawarkan beragam jenis layanan serta memenuhi kebutuhan spesifik para klien. Bahkan, iklan joki <a href="https://www.kompasiana.com/islahul005/62ac73f3fdcdb417e97e2802/munculnya-jasa-joki-tugas-kuliah-online-sejak-awal-pandemi">sangat mudah kita temui</a> lintas media sosial maupun platform belanja daring (<em>e-commerce</em>).</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/506526/original/file-20230126-24850-t4ybn4.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/506526/original/file-20230126-24850-t4ybn4.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/506526/original/file-20230126-24850-t4ybn4.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=227&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/506526/original/file-20230126-24850-t4ybn4.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=227&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/506526/original/file-20230126-24850-t4ybn4.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=227&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/506526/original/file-20230126-24850-t4ybn4.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=285&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/506526/original/file-20230126-24850-t4ybn4.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=285&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/506526/original/file-20230126-24850-t4ybn4.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=285&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Contoh jasa joki yang bisa kita temui di media sosial.</span>
<span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Di media sosial, para penyedia jasa bahkan kerap tak segan-segan menandai (<em>tag</em>) akun resmi institusi dan himpunan mahasiswa. Ditambah lagi, penggunaan layanan joki telah tumbuh pesat <a href="https://www.voaindonesia.com/a/joki-pendidikan-panen-di-masa-pandemi/6331913.html">sejak pandemi COVID-19</a>. Seiring kegiatan pendidikan tatap muka berhenti dan juga ujian rekrutmen institusi pemerintah berubah menjadi daring, penyedia jasa joki punya kebebasan lebih untuk semakin memperkokoh kehadiran mereka dan beroperasi secara diam-diam.</p>
<h2>Ketidakjelasan aturan</h2>
<p>Penawaran dan permintaan (<em>supply and demand</em>) bukanlah satu-satunya hal yang memuluskan jalan para bisnis joki. Pengaturan layanan semacam ini dalam hukum Indonesia pun masih abu-abu.</p>
<p>Saat ini, tidak jelas apakah penyedia jasa joki maupun klien mereka bisa dihukum.</p>
<p><a href="https://www.hukumonline.com/berita/a/hati-hati--ini-konsekuensi-hukum-jika-tugas-akhir-dikerjakan-orang-lain-lt59df058f16fc3">Pengamat hukum berpendapat</a> bahwa mahasiswa yang mengumpulkan tugas yang dikerjakan orang lain di bawah nama mereka, bisa jadi telah melakukan suatu bentuk pelanggaran kekayaan intelektual. Namun, ini kemungkinan tak berarti banyak mempertimbangkan bahwa joki bersifat transaksional dan logikanya, para penyedia jasa tak mungkin menuntut kekayaan intelektual mereka mengingat mereka telah dibayar.</p>
<p>Sementara, beberapa pihak lain beranggapan bahwa mereka yang curang <a href="https://www.hukumonline.com/berita/a/hati-hati--ini-konsekuensi-hukum-jika-tugas-akhir-dikerjakan-orang-lain-lt59df058f16fc3">bisa dituntut atas penipuan atau pemalsuan</a> di bawah <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/234935/uu-no-1-tahun-2023">Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)</a> karena telah mengakui karya orang lain sebagai miliknya demi keuntungan pribadi.</p>
<p>Meski logis, hal ini patut membuat kita bertanya: apakah kriminalisasi adalah solusi yang terbaik? Saat ini, misalnya, masih ada ketidakjelasan terkait definisi spesifik dari <em>contract cheating</em> atau kecurangan akademik menggunakan joki, maupun apakah hukumannya menjerat para penyedia layanan dan/atau pelajar yang membayar.</p>
<p>Selain itu, di tengah maraknya kecurangan berbasis joki yang beroperasi dalam skala kecil maupun besar, sulit membayangkan bahwa aparat penegak hukum akan menggunakan sumber daya mereka yang terbatas untuk mengejar setiap penyedia jasa.</p>
<p>Oleh karena itu, tidak mengagetkan jika praktik-praktik yang serupa dengan joki juga masih ada di negara-negara Persemakmuran yang bahkan telah menerbitkan aturan hukum yang melarangnya. Australia menerbitkan legislasi semacam ini pada 2020 – namun hingga 2022 <a href="https://www.timeshighereducation.com/news/judge-contract-cheating-law-culture-change-not-prosecutions">hanya ada satu penetapan pengadilan (<em>injunction</em>)</a> yang dilayangkan terhadap suatu “pabrik esai” di luar negeri.</p>
<p>Mekanisme dan kerangka etika akademik di Indonesia pun belum sepenuhnya mengakui kecurangan berbasis joki. Istilah terdekat yang digunakan dalam beberapa peraturan menteri adalah “plagiarisme” – yang didefinisikan sebagai pengakuan karya orang lain sebagai karya sendiri.</p>
<p>Tapi plagiarisme dan <em>contract cheating</em> adalah dua konsep yang berbeda; plagiarisme tidak berorientasi pada kesepakatan transaksi jasa dan uang antara kedua pihak.</p>
<p>Plagirasime bisa saja masuk sebagai bagian dalam pengerjaan tugas oleh joki – misalnya ketika joki amatiran mengolah kembali karya mereka untuk berbagai klien berbeda – yang kemudian bisa membuat para mahasiswa ketahuan lewat suatu sistem pengecekan plagiasi kemudian dihukum secara akademik. Tapi, para penyedia jasa joki kini semakin ahli dalam mengantisipasi ini, dan membuat layanan mereka semakin sulit dideteksi.</p>
<p>Meski aturan hukum yang lebih spesifik terkait kecurangan berbasis joki bisa saja membantu, ia tak akan sepenuhnya menghilangkan akar masalahnya. Walaupun hukum bisa jadi mencegah bisnis untuk mengiklankan layanan ilegal dan tidak etis, regulasi tak serta merta mengubah cara pikir atau budaya pelajar dalam melakukan ketidakjujuran akademik.</p>
<h2>Yang bisa dilakukan perguruan tinggi</h2>
<p>Terlepas dari kompleksitas membasmi kecurangan berbasis joki, ada cara-cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi prevalensinya.</p>
<p>Pelanggaran akademik harus diregulasi dengan jelas di level universitas, ditambah dengan layanan konseling mahasiswa yang dapat diandalkan, agar mereka bisa mengkomunikasikan berbagai kegelisahan akademik ketimbang mencari bantuan eksternal. Institusi juga bisa membuat suatu sistem laporan pelanggaran (<em>whistleblowing system</em>) untuk mengidentifikasi kejadian kecurangan.</p>
<p>Terakhir, penting bagi lingkungan pendidikan tinggi Indonesia untuk mempertimbangkan lebih banyak metrik pengukuran capaian mahasiswa, dan mengeksplorasi beragam metode yang bisa mengevaluasi pemahaman mereka terkait suatu topik – misalnya melalui ujian presentasi (<em>oral exam</em>) – serta melatih kemampuan praktis mereka sehingga bisa sukses menjalani kehidupan setelah lulus.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/198591/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Di Indonesia, para penyedia jasa joki bisa semakin marak akibat kombinasi budaya akademik yang penuh kompetisi, ketidakjelasan hukum, dan berpindahnya berbagai ujian dan penugasan ke ranah daring.Haekal Al Asyari, Lecturer, Universitas Gadjah Mada and Ph.D. Cancidate, University of DebrecenFelicity Salina, Researcher in Criminal Justice and Human Rights, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1962382022-12-21T11:03:14Z2022-12-21T11:03:14ZBagaimana universitas dunia memakai gelar doktor kehormatan (honoris causa) sebagai alat politik dan diplomasi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/502338/original/file-20221221-22-641r01.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.freepik.com/free-photo/mortar-board-graduation-diploma_3276349.htm#query=phd&position=17&from_view=search&track=sph">(Freepik/Rawpixel)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Pada November 2022, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/11/07/15383421/puan-maharani-raih-gelar-doktor-honoris-causa-di-korsel-megawati-beliau">menerima gelar doktor kehormatan</a> atau <em>Doctor Honoris Causa</em> (Dr HC) dari Pukyong National University (PKNU) Korea Selatan. </p>
<p>Ibunya, mantan Presiden <a href="https://www.detik.com/edu/edutainment/d-6229366/deretan-gelar-megawati-doktor-hingga-profesor-kehormatan">Megawati Soekarnoputri</a> sejauh ini mengoleksi 11 gelar kehormatan, termasuk dari universitas Jepang dan Korea. Kakeknya, <a href="https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6117287/bung-karno-punya-26-gelar-doktor-honoris-causa-dari-mana-saja">Presiden Soekarno</a> bahkan punya 26 gelar serupa – mayoritas dari perguruan tinggi luar negeri termasuk Universitas Al Azhar di Mesir dan Columbia University di AS.</p>
<p>Sederet politikus lainnya pun tercatat <a href="https://nasional.tempo.co/read/1471253/deretan-nama-politikus-yang-pernah-menerima-doktor-honoris-causa">pernah mendapatkan penghargaan sejenis dari berbagai perguruan tinggi</a> baik di dalam maupun di luar negeri.</p>
<p>Tapi sebenarnya kenapa banyak universitas seolah “mengobral” gelar ini?</p>
<p>Melalui artikel ini, saya ingin menjelaskan motif politik pemberi maupun penerima Dr HC, serta bagaimana universitas memanfaatkannya sebagai instrumen kekuasaan, transaksi politik, dan diplomasi budaya dalam hubungan internasional.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pemberian-gelar-doktor-kehormatan-atau-honoris-causa-yang-rawan-kepentingan-politik-sakiti-integritas-akademik-143448">Pemberian gelar doktor kehormatan atau 'Honoris Causa' yang rawan kepentingan politik sakiti integritas akademik</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Lahirnya tradisi gelar kehormatan</h2>
<p>Tradisi pemberian gelar Dr HC muncul pada abad ke-15 dari dua universitas tertua di Inggris: <a href="https://www.jstor.org/stable/41821425">Oxford dan Cambridge</a> (‘Oxbridge’). Gelar ini bahkan ada sebelum gelar doktor filsafat (PhD) melalui penelitian, yang pertama berkembang di Jerman pada abad ke-17.</p>
<p>Namun, awalnya, pemberian Dr HC di Inggris lebih banyak memakai prinsip “<em>jure dignitatis</em>” – yaitu sebagai bentuk pengakuan atas jabatan, status, dan kelas sosial, ketimbang prestasi.</p>
<p>Banyak gelar HC berujung disematkan pada tokoh terkemuka seperti anggota keluarga kerajaan, pimpinan negara lain, hingga pendeta.</p>
<p>Kini universitas di Inggris – terutama sejak <a href="https://www.nationalarchives.gov.uk/education/resources/twenties-britain-part-two/education-act-1921">reformasi pendidikan pada 1920-an</a> – dan di seluruh dunia meninggalkan konsep <em>jure digitatis</em>. Pemberian gelar kepada individu yang belum tentu unggul dalam keilmuan dianggap tidak adil bagi mereka yang meraihnya dengan kerja keras intelektual. </p>
<p>Banyak perguruan tinggi kemudian mengembalikan proses pemberian gelar kehormatan kepada tujuan awalnya, yakni pengakuan kepada individu yang dianggap berkontribusi di berbagai bidang.</p>
<p>Tapi benarkah yang terjadi demikian?</p>
<h2>Instrumen politik dan kekuasaan</h2>
<p>Dalam riset peneliti Inggris, Michael Heffernan dan Heike Jöns, selama 1999-2000, Oxbridge sebagai <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0002716207311699">aktor non-negara dalam hubungan internasional</a> menggunakan gelar doktor kehormatan <a href="https://www.jstor.org/stable/41821425">sebagai instrumen politik secara global</a> – baik membangun aliansi maupun diplomasi nilai dan budaya.</p>
<p>Pada tahun 1941, ketika Perang Dunia II, misalnya, Oxford memberi gelar Dr HC pada Perdana Menteri Portugal, <a href="https://www.jstor.org/stable/41821425">Oliveira Salazar</a> agar mencegah aliansi antara negaranya dan kekuatan poros (Jerman-Italia-Jepang) yang mengancam Inggris. </p>
<p>Sejak <a href="https://www.globaltimes.cn/content/828625.shtml">2013-2020</a>, banyak universitas di Australia juga menganugerahkan gelar kehormatan kepada Aung San Suu Kyi. Ia dianggap sebagai ikon demokrasi dan advokat perlawanan tanpa kekerasan (<em>non-violent resistance</em>) dalam menghadapi rezim militer di Myanmar. </p>
<p>Selain bentuk dukungan, gelar Dr HC digunakan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan, hingga menghalau ideologi yang dianggap bertentangan dengan kepentingan negara. </p>
<p>Misalnya, Anglia Ruskin University di Inggris mencabut gelar kehormatan yang telah diberikannya kepada anggota parlemen Hong Kong, <a href="https://www.scmp.com/news/hong-kong/politics/article/3035297/british-university-strips-pro-beijing-lawmaker-junius-ho">Junius Ho Kwan-yiu</a> karena haluan politiknya yang pro-Beijing dan juga <a href="https://hongkongfp.com/2019/10/29/uk-university-strips-hong-kong-pro-beijing-lawmaker-junius-ho-honorary-degree-citing-concerning-conduct/">seksisme</a>.</p>
<h2>Citra, uang, atau publisitas?</h2>
<p>Banyak akademisi juga <a href="https://theconversation.com/why-award-honorary-doctorates-and-what-do-the-choices-say-about-our-universities-179300">telah mengkritik</a> gelar kehormatan yang tak sepenuhnya berbasis prestasi dan justru menjadi alat pemasaran dan publisitas universitas. </p>
<p>Di Indonesia, pemberian gelar Dr HC terlihat transaksional. Beberapa universitas memberi gelar kehormatan untuk <a href="https://www.universityworldnews.com/post.php?story=20220201085420582">menyenangkan yang berkuasa dan membuka pintu masuk dana atau proyek</a> dari kantor penerima gelar. </p>
<p>Dasar hukum HC di Indonesia, yakni <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/66646/pp-no-43-tahun-1980">Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1980 </a> dan <a href="http://kopertis3.or.id/v2/wp-content/uploads/65.-SALINAN-PERMENRISTEKDIKTI-NOMOR-65-TAHUN-2016-TENTANG-GELAR-DOKTOR-KEHORMATAN.pdf">Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi No 65 Tahun 2016</a>, memiliki kriteria yang karet – “berjasa dan berkarya pada ilmu pengetahuan, teknologi dan umat manusia/kemanusiaan”.</p>
<p>Regulasi ini tidak mengatur hubungan afiliasi politik dari calon penerima. Satu-satunya rujukan netralitas universitas hanya asas netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014.</p>
<p>Celah hukum ini dimanfaatkan untuk memberikan gelar <em>honoris causa</em> pada politikus, <a href="https://www.republika.co.id/berita/qfz7cr335/unj-akan-beri-gelar-doktor-hc-pada-wapres-dan-erick-thohir">menteri</a>, hingga <a href="https://nasional.tempo.co/read/1433558/rektor-unnes-sebut-gelar-doktor-honoris-causa-nurdin-halid-sesuai-prosedur">residivis </a></p>
<p>Selain itu, dalam Permenristekdikti No 65 Tahun 2016, universitas yang bisa memberi gelar Dr HC hanyalah yang berakreditasi A. Sayangnya, banyak universitas malah <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/10/19/12004811/unj-ubah-aturan-di-tengah-penolakan-gelar-doktor-honoris-causa-maruf-amin">membuat aturan internal sendiri </a>agar tetap bisa memberi gelar kehormatan kepada politikus berpengaruh. Ini disayangkan karena universitas adalah mimbar akademik, yang seharusnya berhati-hati agar tidak terjebak kepentingan politik golongan.</p>
<p>Banyak universitas besar di luar negeri, termasuk Inggris, juga tampak memberi gelar kehormatan secara transaksional.</p>
<p>Oxford secara tradisional dipandang sebagai universitas yang sibuk secara politik, didominasi seni dan humaniora, serta dekat dengan kekuatan politik dan dana pemerintah. Mereka masih banyak memberikan gelar kehormatan pada pemimpin negara dan politikus dalam upacara tahunan <a href="https://www.ox.ac.uk/news-and-events/The-University-Year/Encaenia">“Enceania”</a>.</p>
<p>Di sisi lain, Cambridge sering dianggap didominasi sains dan terpisah dari dunia kotor politik.</p>
<p>Mereka membatasi pemberian gelar Dr HC hanya untuk individu dengan <a href="https://www.cam.ac.uk/about-the-university/how-the-university-and-colleges-work/processes/honorary-degrees">prestasi luar biasa di bidangnya</a>, memperkuat otoritas budaya dan intelektual, dan menegaskan kemandirian politik.</p>
<p>Namun keduanya sama-sama turut menggunakan gelar kehormatan untuk mengapresiasi orang yang berkontribusi secara signifikan terhadap kegiatan universitas – termasuk para dermawan dan donor (<em>benefactor</em>).</p>
<p>Penyangkalan adanya motif citra, uang, dan publisitas di balik pemberian gelar Dr HC menutup percakapan tentang batas-batas etis dari penggunaannya sebagai instrumen untuk mencapai tujuan tertentu. </p>
<h2>Puan dan Korea Selatan</h2>
<p>Pada 2015, Presiden Bostwana Ian Khama menerima gelar Dr HC di bidang politik dari Universitas Konkuk di Korea Selatan.</p>
<p>Beberapa hari setelahnya, Presiden Korea Selatan Park Geun-hye bertemu Khama dalam pertemuan bilateral untuk menyepakati proyek investasi Korea Selatan bernilai US$ 2,6 triliun (sekitar Rp 40,5 triliun) dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga panas matahari, batu bara, serta pemasangan jaringan pipa air di <a href="https://www.korea.net/NewsFocus/policies/view?articleId=130690">Bostwana</a>.</p>
<p>Dalam politik internasional, aliansi dan ideologi seringkali lebih penting daripada kebenaran. </p>
<p>Pada 2015, misalnya, suatu lembaga di Cina memberi penghargaan Confucius Peace Prize <a href="https://www.theguardian.com/world/2015/oct/22/zimbabwes-robert-mugabe-awarded-chinas-nobel-peace-prize">kepada mantan Perdana Menteri Zimbabwe Robert Mugabe</a>, meski Mugabe memiliki rekam jejak otoritarian. Penghargaan ini semata-mata hanya untuk menjaga pengaruh Cina di Zimbabwe.</p>
<p>Berkaitan dengan pemberian gelar Dr HC dari universitas luar negeri kepada politikus Indonesia, termasuk Puan Maharani, ada beberapa implikasi.</p>
<p>Bagi tokoh politik besar, masa-masa menjelang 2024 adalah momentum yang baik untuk mendongkrak citra politik, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi, karena bisa membantu elektabilitas.</p>
<p>Sebagai gantinya, gelar Dr HC dari Pukyong National University (PKNU) Korea Selatan membawa keuntungan yang lebih berwujud bagi Korea Selatan berupa akses investasi dan pasar. Riset menemukan salah satu kunci keberhasilan Korea Selatan untuk keluar dari jebakan kelas menengah adalah <a href="https://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/view/5730">investasi dan ekspor teknologi</a>, sehingga agenda ini akan selalu diutamakan.</p>
<p>Dengan posisi strategis Puan sebagai Ketua DPR, pemberian gelar ini bisa menguatkan posisi tawar Korea Selatan. Pada ajang G20 lalu, misalnya, DPR RI dan Parlemen Korea Selatan berjumpa dalam Pertemuan Bilateral Forum P20 – sekitar seminggu setelah Puan menerima gelar kehormatannya.</p>
<h2>Bergerak dalam rasionalitas</h2>
<p>Pada akhirnya, gelar <em>honoris causa</em> akan condong bersifat <em>jure digtatis</em> ketimbang pengakuan penelitian dan ilmu pengetahuan.</p>
<p>Jika perguruan tinggi, terutama di Indonesia, tetap ingin berpartisipasi dalam budaya ini, mereka harus memastikan tujuannya untuk misi diplomasi budaya dan nilai-nilai keunggulan, ketimbang misi pribadi universitas atau negara.</p>
<p>Universitas yang memberikan gelar ini harus penuh pertimbangan, kehati-hatian, dan seleksi ketat hanya kepada individu yang layak mendapatkannya karena capaian atau perjuangan mereka. Kesalahan pemberian juga bisa berdampak negatif bagi reputasi universitas, bahkan negara. </p>
<p>Sementara bagi penerima, khususnya politikus dan negarawan dengan jabatan strategis, gelar Dr HC tidak lepas dari permainan kepentingan universitas dan negara pemberi.</p>
<p>Berkaca pada kasus gelar Dr HC Ian Khama, pejabat negara tidak boleh hanya menjadi pion politik dalam perebutan pengaruh antara Cina dan Korea Selatan di kawasan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/196238/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ayu Anastasya Rachman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Banyak perguruan tinggi dunia memberikan gelar kehormatan dengan dalih memberi pengakuan kepada individu yang dianggap berkontribusi di bidangnya. Tapi benarkah realitasnya demikian?Ayu Anastasya Rachman, PhD Student in International Relations, Diplomacy and Education's Political Economy, Universitas PadjadjaranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1938512022-12-09T03:42:02Z2022-12-09T03:42:02ZRiset ungkap Ilmu Komunikasi di Indonesia statis, bahkan setelah 20 tahun lebih era Reformasi dan meluasnya kebebasan akademik<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/499924/original/file-20221209-24715-s12rbl.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.semanticscholar.org/paper/Ferments-in-the-Field%3A-Introductory-Reflections-on-Fuchs-Qiu/767aa61f2d02e3cd74394b2d6a687648fe72ddfc">C. Fuchs dan J. Qiu (2018)</a></span></figcaption></figure><p>Runtuhnya sistem politik otoriter Orde Baru pada 1998, yang membuat iklim akademik menjadi relatif lebih bebas, ternyata tidak mendorong inovasi pada struktur program studi atau jurusan, terutama di bidang Ilmu Komunikasi yang saya tekuni. </p>
<p>Inovasi hanya terjadi secara terbatas, yakni pada dimensi muatan kurikulum atau mata kuliah tertentu.</p>
<p><a href="https://jurnalaspikom.org/index.php/aspikom/article/download/1127/300">Riset terbaru yang saya lakukan bersama tim peneliti Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM)</a> menunjukkan situasi akademik Ilmu Komunikasi di Indonesia dari 1998 hingga 2021 – lebih dari 20 tahun – stagnan alias jalan di tempat. Keadaannya tidak berbeda jauh dengan era sebelum 1998.</p>
<p>Riset secara umum menemukan, di tengah kecenderungan spesialisasi program studi di level global, berbagai universitas di Indonesia masih mempertahankan nomenklatur (tata penamaan) program studi yang sifatnya umum seperti Ilmu Komunikasi, Jurnalistik, dan Hubungan Masyarakat. Nama-nama itu dilanggengkan karena populer di mata calon mahasiswa dan orang tua.</p>
<p>Memang ada sedikit perubahan kurikulum, misalnya dengan memasukkan mata kuliah Komunikasi Pemasaran Digital dan Kecerdasan Buatan (AI). Tapi keputusan ini lebih dipengaruhi oleh tren revolusi teknologi komunikasi digital, bukan oleh kebutuhan inovasi ilmu pengetahuan.</p>
<h2>Kuantitas makin banyak, tapi statis</h2>
<p>Data riset kualitatif ini berasal dari formulir profil program studi Ilmu Komunikasi yang diisi oleh sekitar 60 anggota ASPIKOM. Peneliti melengkapinya dengan wawancara tidak terstruktur dengan ahli komunikasi dan pimpinan asosiasi sarjana Ilmu Komunikasi. Tim peneliti juga menganalisis berbagai dokumen kebijakan pemerintah yang terkait dengan pengembangan program studi.</p>
<p>Hasilnya, riset ini menunjukkan adanya tiga kecenderungan menarik, yaitu terkait (1) pilihan minat, (2) pilihan nomenklatur program studi atau jurusan, dan (3) fakultas yang menaungi bidang ilmu komunikasi. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-banyak-konferensi-akademik-di-indonesia-tak-memenuhi-standar-ilmiah-sering-hadirkan-pejabat-sponsor-komersial-hingga-trip-wisata-184650">Riset: banyak konferensi akademik di Indonesia tak memenuhi standar ilmiah, sering hadirkan pejabat, sponsor komersial, hingga trip wisata</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Tiga minat studi yang dominan adalah Ilmu Komunikasi (bersifat umum dan holistik), serta Jurnalistik dan Ilmu Hubungan Masyarakat (Humas) yang lebih spesifik. Dari ketiganya, minat kajian Humas mendapat pilihan posisi tertinggi, disusul Ilmu Komunikasi.</p>
<p>Sementara itu, minat kajian di luar ketiganya yang bercorak kritis atau integratif dengan disiplin ilmu lain tampak rendah. Minat kajian seperti itu hanya merupakan pengembangan minor dari ketiga kajian sebelumnya. Tampak bahwa pendekatan yang dipakai masih monodisiplin, atau hanya fokus bidang ilmu Komunikasi. Pendekatan lintas disiplin apalagi interdisiplin belum jamak. </p>
<p>Adapun nomenklatur jurusan atau program studi paling banyak adalah Ilmu Komunikasi. Ini menunjukkan kondisi kajian akademis yang statis dan minim spesialisasi. </p>
<p>Beberapa universitas memang menawarkan program studi yang lebih mikro seperti Hubungan Masyarakat atau Manajemen Komunikasi. Namun program studi ini hanya dapat terjadi jika Ilmu Komunikasi menjadi fakultas tersendiri, yang jumlahnya masih sedikit.</p>
<p>Selanjutnya, ada indikasi berkurangnya jumlah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) sebagai ‘rumah besar’ program studi Ilmu Komunikasi. Di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, misalnya, <a href="https://komunikasi.uin-suka.ac.id/">Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora</a> menjadi organisasi yang membawahi Komunikasi. </p>
<p>Sedangkan di beberapa universitas negeri atau swasta di luar UIN, Prodi Ilmu Komunikasi berada di bawah payung berbagai fakultas yang tidak hanya terbatas pada ilmu sosial dan ilmu politik. Di antaranya adalah <a href="https://telkomuniversity.ac.id/fakultas-komunikasi-dan-bisnis/">Fakultas Komunikasi dan Bisnis</a> di Telkom University atau <a href="https://www.unesa.ac.id/page/akademik/fakultas-ilmu-sosial-dan-hukum">Fakultas Sosial dan Hukum</a> di Universitas Negeri Surabaya. </p>
<p>Tabel berikut ini meringkas berbagai temuan di atas.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/499744/original/file-20221208-18-s12rbl.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/499744/original/file-20221208-18-s12rbl.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/499744/original/file-20221208-18-s12rbl.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/499744/original/file-20221208-18-s12rbl.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/499744/original/file-20221208-18-s12rbl.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/499744/original/file-20221208-18-s12rbl.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/499744/original/file-20221208-18-s12rbl.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tabel di atas menunjukkan bahwa setelah 1998, studi-studi komunikasi cenderung statis, memihak pada pasar dan menjadi ‘<em>good boy</em>’ (anak baik) industri informasi digital yang bisnisnya meledak pasca tumbangnya rezim Orde Baru, ketimbang berposisi sebagai ilmu sosial yang memiliki kajian epistemologi yang ketat. </p>
<p>Ilmu Komunikasi masih (hanya) dianggap sebagai penyedia pekerja terlatih dalam berbagai bidang informasi dan industri terkait, seperti praktisi humas, komunikasi pemasaran, dan jurnalis. </p>
<h2>Birokratisasi akademik dan liberalisasi universitas</h2>
<p>Jika dibandingkan dengan sebelum reformasi 1998, minat studi pada Ilmu Komunikasi tidak berubah secara signifikan. Pada era Orde Baru ketika politik pendidikan tinggi berperan mendukung “pembangunan-isme”, ketiga pilihan minat studi tersebut sudah ada. </p>
<p>Situasi ini berlanjut hingga pasca Orde Baru dan pada era digital hari ini. Mengapa? </p>
<p>Setidaknya ada dua faktor penyebab stagnasi Ilmu Komunikasi di Indonesia. Pertama, iklim yang disebut ahli studi organisasi dari University of Technology Sydney (UTS) <a href="https://www.amazon.com/Dark-Academia-How-Universities-Die/dp/0745341063">Peter Fleming</a> sebagai penguatan kembali otoritarianisme birokratik (<em>authoritarian turn</em>) dalam dunia akademik. </p>
<p>Kedua, fenomena sindrom selebritas (<em>academic star syndrome</em>) di kalangan akademisi pasca terbukanya ruang publik digital. Kedua fenomena ini cenderung mengubur sikap menahan diri dan rendah hati yang seharusnya dimiliki para akademisi.</p>
<p>Fleming menulis sebuah buku baru berjudul <a href="https://www.amazon.com/Dark-Academia-How-Universities-Die/dp/0745341063"><em>Dark Academia: How Universities Die (2021</em>)</a>. Buku ini telah memantik diskursus masa depan akademisi dan ilmu pengetahuan dalam lingkungan perguruan tinggi yang semakin mengalami korporatisasi dan terpapar pola pikir birokratik dalam tata kelola pengajaran dan penelitian.</p>
<p>Fleming menyebutkan kemunculan <em>dark academia</em> (kegelapan hidup kaum akademis) di antara universitas di Inggris, Amerika Serikat, dan Australia. Para akademikus bekerja sebagai buruh, mengalami eksploitasi dalam pola relasi kerja korporasi universitas, sehingga tidak menjadi kaum intelektual yang otonom. </p>
<p>Stagnasi produksi ilmu pengetahuan terjadi akibat model manajemen universitas yang memegang semangat <em>edufactory</em> (pabrik pendidikan), pemenuhan kebutuhan pasar, bukan pusat inovasi pengetahuan. Hal serupa terjadi di Indonesia.</p>
<p>Selaras dengan Fleming, studi terbaru dari ahli studi Asia Tenggara Universitas Melbourne <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00472336.2021.2010120">Andrew Rosser tentang tata kelola universitas di Indonesia</a> menemukan krisis di perguruan tinggi ini dipicu tiga faktor yang saling terkait: neoliberalisasi universitas, praktik birokratisasi dalam tata kelolanya, dan peminggiran idealisme peran universitas sebagai inovator ilmu pengetahuan.</p>
<p>Neoliberalisme, menurut Rosser, bercirikan orientasi yang tinggi pada pemeringkatan perguruan tinggi dan <a href="https://www.topuniversities.com/university-rankings/world-university-rankings/2023">perlombaan meraih predikat <em>world class</em> (kampus tingkat dunia)</a>. Mengikuti pola pikir ini, kinerja dosen diukur oleh pergerakan angka statistik publikasi, sitasi dan ranking yang dikerjakan lembaga korporasi internasional, bukan pengakuan sosial dari masyarakat.</p>
<p>Rosser mengamati bahwa tradisi birokratisasi universitas sebagai warisan Orde Baru masih langgeng. Hal itu diikuti <a href="https://kolom.tempo.co/read/1467366/aroma-tak-sedap-pemilihan-rektor-dan-dekan-universitas-negeri">politisasi pemilihan pimpinan perguruan tinggi</a>, dan <a href="https://theconversation.com/efek-kobra-dosen-indonesia-terobsesi-pada-indeks-scopus-dan-praktik-tercela-menuju-universitas-kelas-dunia-105808">kuantifikasi kinerja akademik para dosen</a>, baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta.</p>
<p>Struktur perguruan tinggi yang makin birokratik pun tidak kondusif bagi para dosen Ilmu Komunikasi yang baru meraih gelar doktor untuk mengembangkan pusat studi atau peta jalan risetnya, karena kewajiban mereka kini terlalu fokus pada mengelola birokrasi. </p>
<p>Jabatan seperti dekan, kepala jurusan, atau rektor membuat mereka harus menekan kesempatan membangun fondasi kompetensi ilmu, mengelola minat riset dan publikasi jurnal.</p>
<p>Glorifikasi kelulusan S-3 yang kemudian menjadi pejabat kampus juga memperkuat argumentasi ini. Meski belum ada riset yang komprehensif terkait beban kinerja non-akademik dosen di Indonesia, informan studi ini mengakui bahwa birokratisasi akademik mengurangi bahkan mengalihkan tugas utama mereka sebagai produsen ilmu.</p>
<p>Adapun fenomena <em>academic star syndrome</em> muncul dalam bentuk kehadiran <a href="https://blogs.lse.ac.uk/impactofsocialsciences/2019/12/16/from-hermits-to-celebrities-how-social-media-is-reshaping-academic-hierarchies-and-what-we-can-do-about-it/">para akademisi di media sosial yang bersifat semu</a>. Fenomena ini adalah kelanjutan dari perlombaan akademisi untuk diundang atau hadir di layar televisi serta memberikan pendapat sebagai strategi pencitraan personal mereka. </p>
<p>Dalam upaya ini, akademisi dituntut menyesuaikan diri dengan budaya layar <em>talkshow</em> yang lebih menegaskan aspek penampilan, intonasi bicara, ketimbang substansi gagasan yang disampaikan. </p>
<p>Tren sindrom bintang akademik juga terwujud dalam tradisi mobilitas dosen untuk studi banding ke luar negeri, mencari pekerjaan konsultan di luar kampus, pembicara seminar, hingga mengerjakan proyek pemerintah. </p>
<p>Solusi atas masalah ini sangat tergantung pada keberanian universitas dalam mengubah tata kelolanya. Pemerintah juga memerlukan perubahan kebijakan agar Ilmu Komunikasi lebih dinamis dan inovatif dalam kurikulum, nama program studi, dan kultur akademik.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/193851/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Masduki tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Struktur perguruan tinggi yang makin birokratik tidak kondusif bagi para dosen Ilmu Komunikasi yang baru meraih gelar doktor untuk mengembangkan pusat studi.Masduki, Pengajar dan Peneliti Kebijakan Media di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia (UII) YogyakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1938642022-11-04T05:01:14Z2022-11-04T05:01:14ZSebuah universitas di Australia menghilangkan tenggat waktu pengumpulan tugas. Ini yang terjadi kemudian.<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/493231/original/file-20221103-20-4l6w1k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Eliott Reyna/Unsplash</span></span></figcaption></figure><p>Saat para mahasiswa di seluruh negeri menyelesaikan ujian akhir dan ujian penilaian mereka di tahun ini, ide untuk menghapus tanggal tenggat waktu mungkin terdengar sangat menarik.</p>
<p>Menjadi lebih terbuka mengenai tanggal penyerahan tugas mungkin terlihat seperti langkah masuk akal yang dapat diambil oleh universitas. Bahkan sebelum COVID-19, universitas telah mencari cara untuk membuat pembelajaran lebih fleksibel. Hal ini umumnya dilakukan dengan menawarkan unit secara daring atau dalam <a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1264410.pdf">model hibrida</a>, yang memungkinkan beberapa unit untuk dilakukan secara langsung dan beberapa secara daring. Namun, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/0309877X.2022.2106125?journalCode=cjfh20">apakah ini benar-benar fleksibel</a> jika hanya tempatnya yang berubah?</p>
<p>Tren yang muncul di sektor pendidikan adalah “<a href="https://www.erudit.org/en/journals/irrodl/2018-v19-n1-irrodl03927/1050875ar.pdf">pembelajaran mandiri</a>,” yaitu ketika siswa tidak diwajibkan untuk menyesuaikan pembelajaran mereka dengan semester di universitas dan mungkin ada tenggat waktu penilaian yang fleksibel.</p>
<p>Dengan kata lain, para siswa dengan akses internet dan laptop dapat belajar di waktu dan tempat yang dapat disesuaikan dengan keinginan mereka.</p>
<p>Di Central Queensland University, Australia ini dikenal sebagai <em>“hyperflexible learning”</em> atau “pembelajaran hiperfleksibel”. Universitas kami telah menawarkan <a href="https://www.cqu.edu.au/courses/study-modes/online/be-different-online">unit pascasarjana hiperfleksibel</a>.</p>
<p>Kami ingin mengetahui pengalaman yang didapatkan para mahasiswa dan staf jika konsep hiperfleksibel ini dilakukan di tingkat S1. </p>
<h2>Studi kami</h2>
<p>Dalam studi percontohan tahun 2021, kami memperhatikan empat unit studi sejarah dan komunikasi sarjana. Rumpun humaniora cocok untuk uji coba ini karena mereka menarik banyak siswa, tidak memiliki tes atau ujian, dan memiliki lebih sedikit batasan seperti akreditasi eksternal.</p>
<p>Kami menawarkan unit dalam mode tradisional dan mode hiperfleksibel. Dalam mode hiperfleksibel, mahasiswa memiliki akses ke semua konten unit, dapat mengatur kecepatan sendiri, dan tidak memiliki tanggal tenggat waktu untuk ujian tertulis dan lisan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Siswa membaca di bangku." src="https://images.theconversation.com/files/491847/original/file-20221026-4274-lt2ynt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/491847/original/file-20221026-4274-lt2ynt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/491847/original/file-20221026-4274-lt2ynt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/491847/original/file-20221026-4274-lt2ynt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/491847/original/file-20221026-4274-lt2ynt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/491847/original/file-20221026-4274-lt2ynt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/491847/original/file-20221026-4274-lt2ynt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Dalam upaya untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan mahasiswa, universitas menjadi semakin fleksibel.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Alexis Brown/Unsplash</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Konten unit dilakukan secara mandiri, melalui video rekaman pendek dan <a href="https://h5p.org/">modul pembelajaran interaktif</a>, bukan kuliah tradisional. Meski tidak wajib, mahasiswa memiliki kesempatan untuk belajar dengan siswa lain (seperti melalui tutorial langsung di Zoom).</p>
<p>Dari kelompok tersebut, 27 mahasiswa memilih untuk mengambil opsi hiperfleksibel. Kami mewawancarai mereka dan tiga koordinator unit sebelum semester dimulai dan sesudah semester berakhir tentang pengalaman mereka. Kami juga mensurvei 12 staf humaniora untuk mengetahui persepsi mereka tentang pembelajaran yang hiperfleksibel.</p>
<p>Walaupun ukuran sampelnya kecil, kami menemukan adanya risiko dan manfaat dari jenis penelitian ini melalui mahasiswa dan staf tersebut.</p>
<h2>‘Saya mungkin tidak akan lulus’: apa yang dikatakan para mahasiswa?</h2>
<p>Secara keseluruhan, para mahasiswa yang mengikuti pembelajaran hiperfleksibel memiliki pengalaman positif. Bahkan ada yang berkata:</p>
<blockquote>
<p>Jika bukan karena hiperfleksibel, mungkin saya tidak akan lulus.</p>
</blockquote>
<p>Beberapa dari mereka mengatakan bahwa tenggat waktu penilaian merupakan sumber stres yang signifikan. Ini juga membantu mereka untuk menikmati kebebasan dalam menyesuaikan studi dengan kehidupan mereka, daripada sebaliknya. Beberapa mengatakan bahwa ini membuat mereka lebih mudah untuk mengakomodasi pekerjaan dan komitmen keluarga mereka.</p>
<p>Seorang mahasiswa mengatakan bahwa ia merasa senang ketika mengetahui adanya opsi hiperfleksibel karena:</p>
<blockquote>
<p>Saya merupakan seorang siswa yang sangat cemas, dan tenggat waktu benar-benar membuat saya stres.</p>
</blockquote>
<p>Mahasiswa lain menunjukkan bahwa kualitas pembelajaran mereka menjadi lebih baik dalam model hiperfleksibel karena mereka dapat “mendalami” topik yang sesuai dengan minat mereka dan tidak perlu menjadikannya cadangan untuk satu minggu tertentu. Kami menemukan bahwa unit hiperfleksibel memungkinkan mereka untuk “belajar dengan cara yang lebih intensif”.</p>
<p>Akan tetapi, para mahasiswa juga menyuarakan kekhawatiran mereka. Beberapa mengatakan bahwa pembelajaran hiperfleksibel membuat mereka “merasa sedikit terisolasi” dan “terputus”, seperti mereka adalah “satu-satunya mahasiswa yang melakukannya” dan mereka tidak “berpartisipasi dalam pengalaman perkuliahan”.</p>
<p>Yang lainnya khawatir mereka mungkin tidak menerima tingkat umpan balik yang sama dari staf dan mungkin ada godaan untuk “meninggalkan semuanya sampai menit terakhir.”</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/university-fees-are-poised-to-change-a-new-system-needs-to-consider-how-much-courses-cost-and-what-graduates-can-earn-192023">University fees are poised to change – a new system needs to consider how much courses cost and what graduates can earn</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Melakukan dua pekerjaan: apa yang dikatakan staf?</h2>
<p>Staf universitas umumnya lebih berhati-hati tentang manfaat pembelajaran hiperfleksibel. Umumnya, mereka khawatir jika mahasiswa akan kehilangan rasa menjadi bagian dari kelompok, merasa tersesat atau kewalahan, membiarkan tugas menumpuk, dan pada akhirnya putus sekolah.</p>
<p>Para staf juga khawatir jika beban kerja mereka meningkat karena tidak adanya tanggal tenggat waktu. Mereka mengatakan bahwa kebebasan mereka untuk mengambil cuti atau menghadiri konferensi akan berkurang jika mereka tidak dapat mengira-ngira waktu tenggat waktu penilaian. Bahkan ketika siswa diajari konten yang sama, ada tantangan baru yang mereka hadapi dan seperti yang dikatakan salah satu anggota staf:</p>
<blockquote>
<p>Saya merasa seolah-olah saya mengelola dua kelompok.</p>
</blockquote>
<p>Anggota staf sebenarnya juga melihat adanya manfaat dalam pembelajaran hiperfleksibel dan sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa mereka bersedia untuk bereksperimen dengan pembelajaran ini. Beberapa mengakui adanya potensi bagi mahasiswa untuk lebih termotivasi untuk menyelesaikan gelar mereka lebih cepat. Salah satu anggota staf mengatakan bahwa sekarang telah mengajar unit hiperfleksibel:</p>
<blockquote>
<p>Saya yakin bahwa sebagian besar mahasiswa pada akhirnya akan memilih unit hiperfleksibel.</p>
</blockquote>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/its-not-just-australian-students-who-need-more-food-university-staff-are-also-going-hungry-192928">It's not just Australian students who need more food, university staff are also going hungry</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Sekarang bagaimana?</h2>
<p>Studi kami menemukan bahwa menghapus tanggal tenggat waktu dari unit sarjana berpotensi membuat studi universitas lebih mudah diakses dan tidak kaku, sekaligus mengurangi stres siswa.</p>
<p>Salah satu isu utama adalah bagaimana mahasiswa dapat mempertahankan rasa kebersamaan dalam kelompok, menerima dukungan, dan merasakan adanya koneksi dengan universitas mereka.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Seorang anak muda yang belajar sendiri di malam hari." src="https://images.theconversation.com/files/491848/original/file-20221026-21-3r2eme.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/491848/original/file-20221026-21-3r2eme.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/491848/original/file-20221026-21-3r2eme.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/491848/original/file-20221026-21-3r2eme.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/491848/original/file-20221026-21-3r2eme.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=500&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/491848/original/file-20221026-21-3r2eme.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=500&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/491848/original/file-20221026-21-3r2eme.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=500&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Beberapa siswa melaporkan bahwa mereka merasa terisolasi ketika belajar tanpa tenggat waktu.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Max Shilov/Unsplash</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Bagi tenaga pendidik, pembelajaran hiperfleksibel merupakan bentuk pengajaran yang berbeda dan anggota staf perlu dilatih dan didukung secara memadai. Cara pengajaran ini bersifat individualistis dan berusaha menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan setiap siswa. Sampai batas tertentu, ini bertentangan dengan cita-cita universitas sebagai komunitas belajar.</p>
<p>Meskipun program percontohan ini sebagian besar mendapatkan tanggapan positif, masih banyak yang perlu kami ketahui tentang dampak penghapusan tanggal tenggat waktu dan tekanan waktu. Misalnya, meskipun tanggal tenggat waktu telah dihapus, siswa masih harus menyelesaikan penilaian mereka dalam semester – karena kebijakan universitas dan pemerintah.</p>
<p>Selain itu, pendekatan ini mungkin cocok dengan humaniora yang berfokus pada penilaian, tetapi kami tidak tahu bagaimana ini dapat dilakukan dalam disiplin ilmu yang lebih didorong oleh ujian (seperti ilmu kesehatan dan teknologi informasi).</p>
<p>Pada akhirnya, risiko yang terkait dengan pembelajaran hiperfleksibel dan dampaknya pada staf dan siswa perlu dipertimbangkan dengan cermat sebelum mengadopsi pendekatan ini untuk mahasiswa sarjana.</p>
<p>Jadi, maaf untuk para mahasiswa – sepertinya kalian masih harus menyelesaikan tugas esai kalian minggu ini.</p>
<hr>
<p><em>Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/193864/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Penelitian ini didanai oleh CQUniversity Learning and Teaching Research Development Grant.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Benjamin T. Jones tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Para siswa mengatakan bahwa stres mereka mengenai tenggat waktu berkurang, tetapi beberapa staf universitas khawatir tidak adanya tanggal tenggat waktu akan meningkatkan beban kerja mereka.Benjamin T. Jones, Senior Lecturer in History, CQUniversity AustraliaAmy Johnson, Lecturer, CQUniversity AustraliaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1909792022-10-24T05:58:13Z2022-10-24T05:58:13ZSistem pemeringkatan kampus punya banyak kekurangan – tapi ini alasan untuk memperbaikinya, bukan menghapusnya<p>Sistem pemeringkatan universitas secara global sering menjadi bahan perdebatan dan menuai kritik dari akademisi.</p>
<p>Dalam <a href="https://theconversation.com/pemeringkatan-kampus-praktik-imperialisme-budaya-yang-menjebak-perguruan-tinggi-dalam-perlombaan-kosong-178536">artikel <em>The Conversation Indonesia</em> (TCID)</a> yang terbit awal tahun ini, misalnya, beberapa akademisi Indonesia mengkritik kriteria pemeringkatan kampus global yang menguntungkan dan fokus pada <a href="https://www.google.co.id/books/edition/Global_University_Rankings_and_the_Polit/ePIxEAAAQBAJ?hl=en&gbpv=0">model perguruan tinggi Barat</a>, menimbulkan banyak <a href="https://www.google.co.id/books/edition/University_Rankings/F8KZxONuGXQC?hl=en&gbpv=1&printsec=frontcover">praktik tak terpuji</a>, serta <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/17508487.2014.949811">mengkerdilkan makna keberagaman</a> nilai, filosofi, dan tujuan kampus-kampus Indonesia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pemeringkatan-kampus-praktik-imperialisme-budaya-yang-menjebak-perguruan-tinggi-dalam-perlombaan-kosong-178536">Pemeringkatan kampus: praktik imperialisme budaya yang menjebak perguruan tinggi dalam perlombaan kosong</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Tapi, apakah ini berarti kita sebaiknya menghapus saja sistem pemeringkatan kampus?</p>
<p>Para kritikus, misalnya, kerap menyerukan bahwa pemeringkatan kampus tidak boleh lagi menjadi ajang perlombaan dan sekadar tujuan akhir, melainkan harus jadi semangat untuk meningkatkan mutu perguruan tinggi.</p>
<p>Tetapi dunia pendidikan tinggi dunia pun telah sejak dulu berupaya menyambut ajakan ini.</p>
<p>Banyak kampus, termasuk di dunia Barat, kini mulai mengakui pentingnya melihat <a href="https://theconversation.com/tak-hanya-produktivitas-riset-kesejahteraan-mahasiswa-harus-jadi-bagian-penting-dari-akreditasi-dan-ranking-universitas-183982">mutu universitas dari beragam perspektif</a> – termasuk kualitas pengajaran, kesejahteraan mahasiswa, dan dampak kampus terhadap masyarakat – yang tak melulu sebagai ajang meraup prestise. Para lembaga dan pemerhati pemeringkatan <a href="https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=sCdfZMxf8usC&oi=fnd&pg=PA7&dq=the+university+ranking+the+many+sides+of+debates&ots=aOwsGZngLW&sig=yBEU6QnM6t7c3pzUmOB5bxO-fuY&redir_esc=y#v=onepage&q=the%20university%20ranking%20the%20many%20sides%20of%20debates&f=false">juga banyak melakukan perubahan</a> terhadap metodologi penilaian mereka supaya lebih inklusif dan memperhatikan keragaman kampus dunia. </p>
<p>Hal ini menunjukkan bahwa kekurangan dan kelemahan dari sistem pemeringkatan universitas adalah argumen untuk memperbaikinya, bukan menghapusnya.</p>
<h2>Pemeringkatan kampus kini lebih menyeluruh</h2>
<p>Banyak pengkritik menganggap pemeringkatan terlalu fokus pada prestise kampus dan tidak merefleksikan komitmen universitas pada layanan kepada masyarakat.</p>
<p>Tetapi, beberapa pemeringkatan sebenarnya telah memasukkan dampak sosial perguruan tinggi sebagai kriteria penting.</p>
<p>Salah satu kriteria dalam <a href="https://www.timeshighereducation.com/world-university-rankings/world-university-rankings-2022-methodology">Times Higher Education Ranking</a>, misalnya, adalah survei reputasi terkait kualitas pengajaran yang dirasakan mahasiswa maupun penyedia lapangan kerja – termasuk dunia usaha, organisasi sosial masyarakat, ataupun lembaga pemerintahan. </p>
<p>Ini seiring dengan makin gencarnya tuntutan dunia akademik supaya penjaminan mutu universitas mempertimbangkan apakah mahasiswa <a href="https://theconversation.com/tak-hanya-produktivitas-riset-kesejahteraan-mahasiswa-harus-jadi-bagian-penting-dari-akreditasi-dan-ranking-universitas-183982">merasa dilayani dengan baik atau bahagia menjalani hidup di kampus</a>. Jika survei menunjukkan kepuasan, maka peringkat kampus akan tinggi.</p>
<p>Beberapa pemeringkatan seperti <a href="https://www.topuniversities.com/university-rankings/employability-rankings/2022">QS Employability Ranking</a> juga menilai apakah luaran (<em>output</em>) suatu universitas – dari publikasi riset hingga kualitas lulusannya – dapat berkontribusi dalam dunia usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ini tentu termasuk pekerjaan-pekerjaan pelayanan publik seperti oleh organisasi nirlaba.</p>
<p>Banyak sistem pemeringkatan kini bahkan melakukan penilaian terhadap seberapa baik pembelajaran di suatu kampus.</p>
<p><a href="https://www.qilt.edu.au">Quality Indicators for Learning and Teaching</a> (QILT) di Australia, misalnya, melakukan pengukuran yang lebih holistik (menyeluruh) dengan mengirim survei kepada dosen, mahasiswa, hingga pengguna jasa untuk melihat kualitas luaran perguruan tinggi. Indonesia perlu melakukan pengukuran serupa untuk melihat komitmen pengajar di universitas.</p>
<p>Selain itu, Organisasi Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) sejak tahun 2006 telah memperingatkan bagaimana sistem pemeringkatan <a href="https://www.oecd.org/education/imhe/39802910.pdf">merugikan kampus yang minim dana</a>. Keterbatasan sumber daya ini kerap membuat kampus-kampus kecil kalah dengan kampus kaya di negara maju dalam hal performa riset – kriteria utama banyak sistem pemeringkatan.</p>
<p>Merespons isu ini, organisasi nirlaba yang bergerak di bidang pemeringkatan kampus, International Ranking Expert Group (IREG) merilis panduan <a href="http://ireg-observatory.org/en_old/berlin-principles">Berlin Principles on Ranking of Higher Education Institutions</a> agar para pemeringkat bertanggungjawab atas metodenya. Salah satunya, mendorong pemeringkat untuk memperhatikan konteks sejarah, ekonomi, budaya, dan bahasa dalam penilaiannya.</p>
<p>Contoh-contoh di atas adalah gambaran bagaimana lembaga pemeringkatan telah memperbaiki metode penilaian mereka – dan terus berupaya berbenah.</p>
<p>Kajian dari UNESCO menceritakan bagaimana Times Higher Education, menyusul kritik dari dunia pendidikan tinggi global, <a href="https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000220789">sejak 2009 merombak metode pemeringkatannya</a> agar lebih inklusif dan mempertimbangkan kondisi kampus di negara non-Barat.</p>
<p>Ini termasuk menerapkan <a href="https://www.timeshighereducation.com/impact-rankings-2021-gender-equality-sdg-5-methodology">pembedaan bobot di kriteria-kriteria tertentu</a> – seperti penyesuaian paritas daya beli (<em>purchasing power parity</em>) per negara untuk kriteria pendapatan universitas, serta penyesuaian volume sitasi riset secara regional bagi kampus di negara non-Bahasa Inggris yang lebih susah menerbitkan riset di jurnal-jurnal internasional terbaik.</p>
<p>Mereka juga menerbitkan <a href="https://www.timeshighereducation.com/rankings/impact/2021/overall">pemeringkatan dampak (<em>impact ranking</em>) kampus untuk 17 kategori Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)</a>. Dalam pemeringkaan untuk <a href="https://www.timeshighereducation.com/rankings/impact/2021/gender-equality">kesetaraan gender</a>, misalnya, Times Higher Education menilai seberapa berimbang proporsi perempuan yang terakomodasi oleh universitas.</p>
<h2>Menjawab kritik: benarkah sistem pemeringkatan adalah bentuk imperialisme?</h2>
<p>Sejauh ini, nampaknya tuntutan para kritikus pemeringkatan sekilas sama dengan yang sedang dilakukan lembaga pemeringkat itu sendiri.</p>
<p>Tetapi, semangat pembebasan dari imperialisme kultural yang kerap mereka gaungkan, kemudian melebar ke <a href="https://theconversation.com/pemeringkatan-kampus-praktik-imperialisme-budaya-yang-menjebak-perguruan-tinggi-dalam-perlombaan-kosong-178536">kritik terhadap dominasi Bahasa Inggris sebagai privilese kampus Barat</a> dalam pemeringkatan.</p>
<p>Apakah artinya pemeringkatan harus kita perbaiki agar lebih memperhatikan publikasi yang terbit dalam bahasa lain? Ataukah sebaiknya menghilangkan sistem ini karena menimbulkan <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s11192-021-03967-2">“<em>Matthew effect</em>”</a>, ketika kampus kaya akan terus mengakumulasi kapital untuk menjadi universitas terbaik dan kampus yang miskin modal akan terus berada di level bawah?</p>
<p>Inilah yang harus diperjelas oleh para kritikus.</p>
<p>Bahasa utama yang dipakai dunia pendidikan tinggi Jepang, misalnya, bukanlah bahasa Inggris. Namun, Tokyo University <a href="https://www.topuniversities.com/universities/university-tokyo">meraih posisi tinggi</a> di banyak sistem pemeringkatan. Ini adalah contoh bahwa dengan membenahi kapasitas perguruan tinggi untuk mengkomunikasikan keilmuan secara global, kampus-kampus Asia bisa menjadi pemimpin kolaborasi riset dengan Bahasa Inggris sebagai medianya.</p>
<p>Alih-alih menganggap Bahasa Inggris sebagai imperialisme bahasa, kampus-kampus Indonesia dapat menggunakan Bahasa Inggris sebagai alat pembebasan dan <a href="https://www.degruyter.com/document/doi/10.1515/jelf-2021-2054/html?lang=en"><em>lingua franca</em> (bahasa penyatu) dalam diskursus akademik</a>, serta memimpin riset kolaborasi dengan kampus lain.</p>
<p>Universitas Mataram di Nusa Tenggara Barat (NTB), tempat saya mengajar, misalnya, dapat mengkomunikasikan penelitian tentang keragaman spesies di daerah Wallacea dengan publik internasional – tentu harus dengan mengambil peran sentral atau setidaknya <a href="https://theconversation.com/riset-gaya-helikopter-siapa-yang-untung-dari-riset-internasional-di-indonesia-102166">setara dengan kolaborator global</a>.</p>
<p>Terakhir, ada juga argumen bahwa pemeringkatan <a href="https://theconversation.com/pemeringkatan-kampus-praktik-imperialisme-budaya-yang-menjebak-perguruan-tinggi-dalam-perlombaan-kosong-178536">tidak memperhatikan keragaman nilai dan filosofi perguruan tinggi</a> di Indonesia.</p>
<p>Dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/39063/uu-no-12-tahun-2012">UU No 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi</a>, dua asas tertinggi adalah kebenaran ilmiah dan penalaran. Perguruan tinggi yang berlandaskan agama pun tetap menghormati kedua asas ini karena kampus adalah pusat pemikiran. Wujud asas ini bisa kita ukur – salah satunya adalah luaran berupa hasil riset yang sesuai dengan kebenaran ilmiah dan penalaran.</p>
<p>Ini adalah kriteria penting dalam sistem pemeringkatan. </p>
<p>Filsafat dan nilai lain yang tidak terlihat (<em>intangible</em>) seperti aspek spiritualitas tentu saja merupakan hal yang penting. Tetapi, karena sifatnya yang tidak terlihat, memasukkannya sebagai alat untuk melihat kekurangan dari pemeringkatan adalah hal yang tidak tepat.</p>
<p>Pemeringkatan universitas adalah sesuatu yang harus terus kita perbaiki. Ia bukan pula satu-satunya <a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2020/01/14/plan-to-study-abroad-university-ranking-is-not-everything.html">pertimbangan untuk menilai kualitas kampus</a>.</p>
<p>Sikap antagonisme terhadap perguruan tinggi Barat dalam wacana pemeringkatan, budaya publikasi internasional, atau dominasi Bahasa Inggris dalam komunikasi ilmiah, menurut saya adalah kesalahpahaman yang berlebihan. Ketimbang mengecap sistem pemeringkatan kampus sebagai wujud penindasan, berbekal kritik dari dunia akademik, kita justru punya peluang untuk memperbaikinya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/190979/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ahmad Junaidi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ketimbang mengecap sistem pemeringkatan kampus sebagai wujud penindasan, berbekal kritik dari dunia akademik, kita justru punya peluang untuk memperbaikinya.Ahmad Junaidi, Lecturer at the Faculty of Education, Universitas MataramLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1915222022-09-29T05:33:04Z2022-09-29T05:33:04ZKuliah bisa saja berlangsung di metaverse, tapi beberapa tantangan berikut harus diatasi terlebih dahulu<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/487164/original/file-20220928-24-d0c7hl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Bagaimana jadinya jika kuliah berlangsung di _metaverse_?</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/young-man-or-teenager-in-a-white-t-shirt-wearing-royalty-free-image/1351845630?adppopup=true">(Getty Images/Iryna Veklich)</a></span></figcaption></figure><p>Pendidikan tinggi di Amerika Serikat (AS), tempat saya saat ini mengajar, tengah menghadapi masalah besar. <a href="https://www.cnbc.com/2021/03/14/fewer-kids-going-to-college-because-of-cost.html">Biaya kuliah yang semakin meroket</a> dan juga adanya <a href="https://bipartisanpolicy.org/download/?file=/wp-content/uploads/2021/11/Student-Debt-and-the-Federal-Budget.pdf">krisis pinjaman mahasiswa</a> berpotensi membatasi akses pendidikan tinggi hanya untuk mereka yang kaya.</p>
<p>Sebagai upaya memangkas pengeluaran dan meredam kenaikan biaya kuliah, kampus AS semakin banyak <a href="https://www.aft.org/sites/default/files/adjuncts_qualityworklife2020.pdf">mengandalkan dosen tidak tetap</a> yang dibayar rendah, dilimpahi beban mengajar yang berat, dan kerap tidak diberi jaminan pekerjaan atau kesehatan.</p>
<p>Banyak institusi juga <a href="https://psc-cuny.org/clarion/class-size-members-speak">menambah kuota mahasiswa per kelas</a> dan <a href="https://www.aeaweb.org/articles?id=10.1257/aer.p20151024">memindahkan pembelajaran ke ruang daring</a> supaya hemat. Tentu mahasiswa tidak senang: <em>online learning</em> <a href="https://oneclass.com/blog/featured/177356-7525-of-college-students-unhappy-with-quality-of-elearning-during-covid-19.en.html">tidak sepopuler pembelajaran tatap muka</a>, dan selama pandemi, ketidakpuasan terhadap gaya belajar ini terus meningkat.</p>
<p>Tak hanya itu, berbagai program juga banyak bermunculan, dari program-program magang yang menawarkan pengalaman kerja nyata (<a href="https://www.unleash.ai/multiverses-euan-blair-on-apprenticeships-as-the-future/"><em>apprenticeship</em></a>) hingga pelatihan intensif (<em>boot-camp</em>), yang mulai mempertanyakan apakah ijazah formal khas pendidikan tinggi <a href="https://inews.co.uk/news/education/euan-blair-apprenticeships-business-tony-blair-160m-multiverse-1446275">benar-benar berhubungan dengan kesuksesan</a> di dunia profesional.</p>
<p>Di sini, konsep <a href="https://www.wired.com/story/what-is-the-metaverse/"><em>metaverse</em></a> – beragam teknologi realitas virtual (VR) maupun semi virtual (AR) yang menawarkan pengalaman yang lebih terasa “nyata” – bisa membantu kampus-kampus untuk mengatasi berbagai masalah ini dan merevolusi pembelajaran jarak jauh.</p>
<p>Tapi, tim kami di <a href="https://www.umb.edu/ethics">Pusat Etika Terapan UMass Boston, AS</a>, menemukan dalam riset kami bahwa menyelesaikan masalah menggunakan kecerdasan buatan (AI) atau teknologi serupa justru kerap menciptakan masalah-masalah lain.</p>
<p>Kami menemukan bahwa AI punya potensi untuk <a href="https://doi.org/10.1515/mopp-2021-0026">melemahkan kapasitas manusia untuk membuat keputusan-keputusan sederhana</a>, seperti memilih tontonan film, maupun keputusan yang lebih berat, seperti siapa yang layak mendapat promosi di tempat kerja. Kami juga menemukan bahwa AI bisa berujung meremehkan <a href="https://youtu.be/98AFjakd1RA">peran dan dampak positif dari “<em>serendipity</em>”</a> – kejadian-kejadian yang kebetulan dan tak terduga di dunia nyata – serta <a href="https://youtu.be/LiZHyQQUVWQ">memudarkan kepercayaan masyarakat</a> terhadap pentingnya hak asasi manusia (HAM).</p>
<p>Apakah <em>metaverse</em> akan membawa kabar baik bagi pendidikan tinggi? Bisa jadi. Tapi untuk membangun kampus-kampus unggul di dalam <em>metaverse</em>, para pakar dan insinyur komputer, pimpinan perguruan tinggi, serta pembuat kebijakan harus menyelesaikan beberapa tantangan terlebih dahulu.</p>
<p>Berikut merupakan lima aspek yang menurut saya perlu segera diselesaikan.</p>
<h2>1. Kebebasan akademik</h2>
<p>Kebebasan akademik – sejauh mana para dosen, peneliti, hingga mahasiswa bisa membahas dan mengkaji topik apa pun yang mereka anggap penting – selama ini belum tentu dijamin dalam platform privat/swasta. Jika pengajaran kampus dan interaksi intelektual akan berlangsung di suatu platform yang dimiliki perusahaan, bagaimana jadinya jika diskusi-diskusi ini nantinya memicu kontroversi?</p>
<p>Apakah platform seperti Meta dan Zoom akan berkomitmen untuk memfasilitasi kebebasan akademik, meski hal tersebut bisa jadi suatu saat berdampak buruk terhadap harga saham mereka?</p>
<p>Sejarah menunjukkan kemungkinan tidak. Misalnya, pada 2020, Zoom, Facebook, dan Youtube memblokir <a href="https://www.forbes.com/sites/siladityaray/2020/09/24/zoom-facebook-youtube-cancel-webinar-featuring-former-palestinian-hijacker/?sh=3fe1aad055ed">kuliah virtual</a> yang dihelat oleh San Francisco State University dan menampilkan Laila Khales, seorang anggota Front Populer untuk Kebebasan Palestina (PFLP) yang terlibat dalam pembajakan dua pesawat pada akhir 1960an dan awal 1970an.</p>
<p>Universitas tidak boleh memberi perusahaan media sosial kemampuan veto atas topik apa saja yang boleh didiskusikan oleh mahasiswa dan staf kampus. Ini akan membunuh kebebasan akademik. Jika kita akan menyelenggarakan pendidikan tinggi di <em>metaverse</em>, problem ini wajib diselesaikan.</p>
<h2>2. Fokus mahasiswa</h2>
<p>Pembelajaran yang sukses mengharuskan mahasiswa atau murid untuk fokus pada apa yang terjadi dalam kelas – setidaknya selama sejam atau dua jam. Saat ini saja, berbagai gawai seperti <em>smartphone</em> dan laptop membuat mahasiswa sangat susah fokus kuliah.</p>
<p>Bagaimana caranya membuat lingkungan pembelajaran yang sepenuhnya virtual, tapi tetap bisa kondusif terhadap konsentrasi belajar?</p>
<p>Berbagai video promosi Facebook terkait <em>metaverse</em>, yang penuh dengan <a href="https://www.youtube.com/watch?v=G2W9YVkkn9U">burung berdansa dan hewan warna-warni yang bikin pusing</a>, semakin menunjukkan masalah ini. </p>
<p>Lalu, bagaimana para perancang bisa memastikan bahwa <em>metaverse</em> tidak akan memperburuk tantangan fokus di kelas yang sudah cukup parah? Ada kalanya, mau sejago apapun seorang dosen, perangkat teknologi dengan segudang manfaatnya bisa membuat mahasiswa terdistraksi di kelas.</p>
<p>Seseorang bisa saja berpikir bahwa hal ini mudah untuk diatasi. Bukankah tinggal buat saja fitur di <em>metaverse</em> untuk membatasi distraksi-distraksi ini?</p>
<p>Tapi, hal ini pun sebenarnya bisa juga diterapkan pada distraksi yang berasal dari <em>smartphone</em> dan komputer mahasiswa saat ini. Kenyataannya, tidak semudah itu untuk membatasi mahasiswa supaya tidak melihat gawai mereka. Kampus bisa jadi takut dianggap melanggar privasi jika melakukan hal tersebut. </p>
<p>Sekarang, bayangkan saja, seberapa menggiurkannya berbelanja secara 3D saat kelas berlangsung?</p>
<h2>3. Komunikasi</h2>
<p>Komunikasi antarmanusia sebagian besar <a href="https://online.utpb.edu/about-us/articles/communication/how-much-of-communication-is-nonverbal/">terjadi secara nonverbal</a>; ekspresi wajah dan bahasa tubuh mengungkap berbagai niatan dan perasaan kita. Apakah avatar – representasi diri kita dalam bentuk kartun atau grafis – mengutarakan ekspresi wajah dan bahasa tubuh dengan cara yang sama?</p>
<p>Ini penting karena sebagian besar pembelajaran dalam kuliah di universitas, terutama kelas yang penuh dengan diskusi khas mata pelajaran humaniora, sangat bergantung pada komunikasi yang hidup dan spontan. Komunikasi tersebut melibatkan kemampuan mengirimkan dan menerima sinyal nonverbal.</p>
<p>Perancang <em>metaverse</em> <a href="https://doi.org/10.1145/3415246">baru akhir-akhir ini</a> memikirkan hal tersebut. Mereka harus bekerja lebih keras lagi sebelum masalah komunikasi nonverbal ini tuntas.</p>
<h2>4. Rasa kebersamaan</h2>
<p>Hal-hal yang mahasiswa banyak sukai tentang kampus – maupun sebagian besar hal yang mereka pelajari – terjadi di luar kelas.</p>
<p>Pengalaman kuliah yang terbaik haruslah membangun suatu <a href="https://doi.org/10.1353/csd.2020.0057">rasa kebersamaan</a>: mahasiswa bisa berkumpul secara informal, menjadi teman, saling belajar tentang satu sama lain, diri mereka sendiri, serta institusi politik yang mengatur kehidupan mereka.</p>
<p><a href="https://doi.org/10.1177/1521025120916433">Rasa kebersamaan yang penting ini</a> bisa berawal dari dalam kelas, tapi biasanya berkembang bahkan di luarnya.</p>
<p>Adakah cara supaya pengalaman ini, yang merupakan salah satu daya jual kehidupan kampus, bisa tereplikasi di <em>metaverse</em>? Dengan kata lain, apakah kita bisa menciptakan komunitas yang bermakna antara mahasiswa dan dosen mereka, maupun antara sesama mahasiswa, tanpa kehadiran fisik dari semua pihak yang kemungkinan besar ada di rumah dan memakai perangkat digital masing-masing?</p>
<h2>5. Kesenjangan digital</h2>
<p>Terakhir, pembuat kebijakan dan pengajar perlu bertanya kepada diri mereka sendiri apakah pendidikan tinggi di <em>metaverse</em> benar-benar akan membuat bangku kuliah lebih aksesibel.</p>
<p>Apakah berbagai teknologi ini akan menyuguhkan suatu pengalaman pendidikan yang menarik dengan harga yang lebih murah, ataukah hanya akan menciptakan kesenjangan digital baru – saat mahasiswa dari keluarga kaya bisa membayar pendidikan tinggi di universitas fisik sementara mereka yang miskin hanya bisa kuliah secara virtual?</p>
<p>Atau, lebih peliknya, bagaimana jika para kampus virtual ini (sebutlah “<em>metaversities</em>”) malah menciptakan suatu sistem tiga lapis: kuliah tradisional untuk orang kaya, pendidikan tinggi di ruang virtual untuk kelas menengah, dan pembelajaran jarak jauh yang sederhana – seperti yang banyak berlangsung saat ini – untuk mereka yang tidak punya uang?</p>
<p>Meski saat ini kampus-kampus menghadapi banyak masalah, perguruan tinggi masih menjadi institusi sosial yang penting demi pengembangan ilmu pengetahuan, pengembangan personal para mahasiswa dan sarjana, hingga tempat berlangsungnya perdebatan akademik yang menantang.</p>
<p>Jika suatu saat <em>metaverse</em> makin populer, dan kemudian masalah-masalah di atas bisa diatasi, ruang virtual bisa jadi arena baru pendidikan tinggi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/191522/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nir Eisikovits tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Meski metaverse menawarkan ruang virtual baru untuk perkuliahan di masa depan, masih ada banyak masalah filosofis yang bisa muncul.Nir Eisikovits, Associate Professor of Philosophy and Director, Applied Ethics Center, UMass BostonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1905762022-09-20T09:58:13Z2022-09-20T09:58:13ZReformasi seleksi masuk perguruan tinggi ala Menteri Nadiem: terobosan yang baik tapi masih banyak PR<p>Beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan (Mendikbudristek) Nadiem Makarim <a href="https://www.youtube.com/watch?v=fEuQ3ASlfVk">mengumumkan perubahan besar</a> terkait mekanisme seleksi pada tiga jalur masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia.</p>
<p>Ini mencakup perubahan kriteria seleksi pada jalur prestasi (SNMPTN), penggunaan tes tertulis yang fokus pada penalaran ketimbang hafalan mata pelajaran pada SBMPTN, dan penguatan transparansi pada seleksi jalur mandiri.</p>
<p>Beragam perubahan ini mulai <a href="https://www.kompas.com/edu/read/2022/09/11/101800671/perubahan-aturan-seleksi-masuk-ptn-2023-calon-mahasiswa-wajib-tahu?page=all">berlaku pada tahun 2023</a>.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/fEuQ3ASlfVk?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Mendikbudristek Nadiem Makarim mengumumkan serangkaian perubahan terkait proses seleksi mahasiswa baru di Indonesia melalui kanal Youtube kementeriannya.</span></figcaption>
</figure>
<p>Menteri Nadiem memaparkan bahwa kebijakan ini bertujuan meningkatkan inklusivitas, kualitas, dan transparansi proses seleksi mahasiswa baru di Indonesia.</p>
<p>Selama ini, misalnya, tes mata pelajaran pada SBMPTN membuat banyak orang tua <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220910180610-20-846062/alasan-nadiem-ubah-pola-masuk-ptn-termasuk-diskriminasi-bimbel">berlomba membayar jasa bimbingan belajar (bimbel)</a> demi meloloskan anaknya – ini dianggap merugikan pelajar dari keluarga kurang mampu. Kampus juga <a href="https://theconversation.com/kasus-suap-rektor-unila-korupsi-penerimaan-mahasiswa-baru-semakin-subur-di-tengah-kapitalisme-akademik-189226?utm_medium=email&utm_campaign=Nawala%20TCID%20-%20YouthEd&utm_content=Nawala%20TCID%20-%20YouthEd+CID_9c44a5bf1d6d273a001e30771221adf9&utm_source=campaign_monitor_id&utm_term=rentan%20terhadap%20komersialisasi%20dan%20kasus%20suap">rentan terhadap komersialisasi dan kolusi</a> dalam seleksi jalur mandiri yang selama ini minim standardisasi, seperti yang terjadi pada Universitas Negeri Lampung (UNILA) beberapa waktu lalu.</p>
<p>Tetapi, apakah beragam perubahan ini akan cukup efektif menangkal masalah-masalah tersebut?</p>
<p>Meski patut diapresiasi, saya berpendapat bahwa paket kebijakan ini masih menyisakan beragam celah yang harus segera diselesaikan Kemdikbudristek demi benar-benar mewujudkan seleksi masuk perguruan tinggi yang baik dan berkeadilan.</p>
<h2>1. SNMPTN lebih menghargai minat siswa, tapi perlu verifikasi prestasi</h2>
<p>Kemdikbudristek mengubah kriteria seleksi jalur prestasi atau SNMPTN dengan harapan mendorong siswa SMA belajar dengan lebih menyeluruh, sembari memberi ruang bagi mereka mengejar minat (<em>passion</em>).</p>
<p>Dalam <a href="https://www.youtube.com/watch?v=fEuQ3ASlfVk&feature=emb_imp_woyt">proses seleksi SNMPTN selama ini</a>, program studi yang bisa dipilih siswa biasanya terbatasi penjurusan mereka selama SMA – IPA (sains), IPS (ilmu sosial), atau bahasa. Prodi kampus juga biasanya hanya mempertimbangkan nilai dari sejumlah mata pelajaran tertentu yang dianggap paling relevan dengan keilmuan prodi tersebut.</p>
<p>Tradisi ini cenderung membuat siswa minim ruang untuk mengeksplorasi minat dan aspirasi karier mereka begitu sudah ‘terjebak’ pada penjurusan tertentu di SMA.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/banyak-pekerja-salah-jurusan-apa-yang-harus-diperbaiki-di-sistem-pendidikan-indonesia-173662">Banyak pekerja salah jurusan: apa yang harus diperbaiki di sistem pendidikan Indonesia?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Dalam regulasi baru SNMPTN, tiap prodi kini wajib mempertimbangkan nilai <em>seluruh</em> mata pelajaran dalam rapor siswa (minimal 50%). Mereka juga bisa menyeleksi berdasarkan komponen minat dan bakat seperti melihat prestasi atau portfolio seni (maksimal 50%).</p>
<p>Hal ini menawarkan fleksibilitas; siswa tak hanya terdorong untuk belajar seluruh bidang pelajaran, tapi juga lebih tenang mendaftar prodi tertentu karena tak lagi ‘dihakimi’ berdasarkan beberapa mata pelajaran saja. Selain itu, mereka lebih terdorong mengejar <em>passion</em> – misalnya lewat lomba, karya, dan konferensi – karena secara langsung berkontribusi pada peluang mereka dalam seleksi SNMPTN.</p>
<p>Akan tetapi, isu yang masih harus menjadi perhatian Kemdikbudristek adalah bagaimana melakukan verifikasi terhadap prestasi-prestasi tersebut. </p>
<p>Di berbagai kampus Amerika Serikat (AS), jalur prestasi untuk penerimaan atlet rentan terhadap pemalsuan dan persekongkolan.</p>
<p>Dalam <a href="https://www.espn.com/college-football/story/_/id/26240641/college-admissions-scandal-fake-athletes-alleged-bribes-aunt-becky">skandal ‘Varsity Blues’ yang sempat heboh di AS pada tahun 2019</a>, sebuah perusahaan konseling pendidikan tinggi membantu berbagai klien kaya – dari pebisnis hingga selebritas – memalsukan dokumen untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi terbaik.</p>
<p>Ini termasuk memalsukan profil dan prestasi sang anak, hingga partisipasi mereka dalam tim olahraga melalui foto rekayasa.</p>
<p>Ke depannya, ini menjadi PR bagi Kemdikbudristek dan dunia perguruan tinggi untuk mencegah praktik-praktik serupa.</p>
<h2>2. Hilangnya tes mapel SBMPTN: benarkah menghapus kesenjangan dan budaya bimbel?</h2>
<p>Pada SBMPTN tahun 2023, Kemdikbudristek memutuskan hanya akan memakai tes skolastik berbasis penalaran – mirip dengan <a href="https://www.princetonreview.com/college/sat-information">Scholastic Assessment Test (SAT)</a> di Amerika Serikat (AS) – dan menghapus tes mata pelajaran.</p>
<p>Selama ini, misalnya, tes mata pelajaran SBMPTN cenderung berbasis hafalan dan pemahaman yang dangkal, serta mendorong munculnya <a href="https://theconversation.com/mengapa-adanya-jasa-bimbel-bisa-sulitkan-pemerintah-ketahui-kualitas-pembelajaran-yang-sebenarnya-di-sekolah-115012">budaya bimbel</a>. Ini tentu merugikan keluarga kurang mampu yang tak bisa membayarnya.</p>
<p>Tapi, <a href="https://www.cnbc.com/2019/10/03/rich-students-get-better-sat-scores-heres-why.html">beragam</a> <a href="https://www.washingtonpost.com/news/wonk/wp/2014/03/05/these-four-charts-show-how-the-sat-favors-the-rich-educated-families/">studi</a> menunjukkan bahwa meski tes skolastik semacam SAT di AS memang bisa <a href="https://theconversation.com/college-rankings-might-as-well-be-student-rankings-122108">memprediksi potensi akademik</a> di perguruan tinggi, akurasinya juga cukup bervariasi terhadap <a href="https://www.researchgate.net/publication/280232788_Race_Poverty_and_SAT_Scores_Modeling_the_Influences_of_Family_Income_on_Black_and_White_High_School_Students'_SAT_Performance">latar belakang ekonomi mahasiswa</a>.</p>
<p>Sebagai contoh, semakin tinggi pendapatan keluarga dan pendidikan orang tua mahasiswa, semakin tinggi pula skor verbal dan penalaran matematika mereka. Ini bisa terjadi karena <a href="https://www.cnbc.com/2019/10/03/rich-students-get-better-sat-scores-heres-why.html">berbagai faktor</a>, termasuk menghadiri sekolah unggul dengan pendanaan yang baik, akses ke tutor pribadi, hingga mengikuti kelas persiapan tes yang berbayar.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-adanya-jasa-bimbel-bisa-sulitkan-pemerintah-ketahui-kualitas-pembelajaran-yang-sebenarnya-di-sekolah-115012">Mengapa adanya jasa bimbel bisa sulitkan pemerintah ketahui kualitas pembelajaran yang sebenarnya di sekolah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Keinginan negara memberantas budaya bimbel dengan biaya mencekik juga belum tentu bisa tercapai.</p>
<p>Siswa memang bisa mempelajari tes skolastik secara mandiri. Tapi, sebagai satu-satunya ujian pada jalur SBMPTN, tes skolastik ini bisa kembali mendorong orang tua untuk membayar biaya tinggi bagi kursus anaknya – sehingga tetap menyediakan ruang munculnya berbagai jasa persiapan tes. </p>
<h2>3. Penguatan transparansi pada jalur mandiri harus lebih menyeluruh</h2>
<p>Kemdikbudristek juga berupaya memperkuat transparansi seleksi jalur mandiri PTN dengan mewajibkan kampus mengumumkan kuota penerimaan, metode penilaian, hingga besaran biaya jauh sebelum peserta menjalani seleksi. Selain itu, kementerian juga membuka sistem <em>whistleblowing</em> untuk masyarakat melaporkan dugaan pelanggaran. </p>
<p>Hal in semakin jadi perhatian publik menyusul <a href="https://theconversation.com/kasus-suap-rektor-unila-korupsi-penerimaan-mahasiswa-baru-semakin-subur-di-tengah-kapitalisme-akademik-189226">kasus suap jalur mandiri akhir-akhir ini</a>, termasuk di UNILA.</p>
<p>Tapi, masalah seleksi jalur mandiri tak hanya pada minimnya transparansi kepada publik.</p>
<p>Di dalam internal kampus, ada praktik-praktik ‘transaksional’ lain yang sulit dideteksi. Ini termasuk rahasisa umum adanya ‘kuota dosen’ untuk jalur mandiri di beberapa kampus – meski belum ada riset yang bisa menggambarkannya dengan rinci.</p>
<p>Dalam <a href="https://theconversation.com/kasus-suap-rektor-unila-korupsi-penerimaan-mahasiswa-baru-semakin-subur-di-tengah-kapitalisme-akademik-189226">artikel yang saya tulis</a> untuk <em>The Conversation</em> bulan lalu, saya menyarankan reformasi sistemik untuk menutup ruang korupsi dan suap di perguruan tinggi.</p>
<p>Ini termasuk penguatan fungsi <a href="https://www.hukumonline.com/kamus/m/mwa/page/2/">Majelis Wali Amanat (UI)</a> untuk mengawasi jalur mandiri hingga penerapan kerangka kepatuhan anti-suap dan korupsi (<a href="https://www.ed.ac.uk/files/atoms/files/courtmembercode-app2antibriberyandcorruptionpolicy.pdf"><em>Anti-Bribery and Corruption Compliance</em></a>) bagi kampus.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kasus-suap-rektor-unila-korupsi-penerimaan-mahasiswa-baru-semakin-subur-di-tengah-kapitalisme-akademik-189226">Kasus suap Rektor Unila: korupsi penerimaan mahasiswa baru semakin subur di tengah kapitalisme akademik</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Membangun sistem seleksi yang akurat dan berkeadilan</h2>
<p>Selain beberapa masalah yang tersisa di atas, kampus juga perlu memahami bahwa esensi dari seleksi perguruan tinggi sebagai suatu sistem ‘penyaringan’, adalah menakar potensi akademik calon mahasiswa.</p>
<p><a href="https://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.223.227&rep=rep1&type=pdf">Riset dari College Board</a> (lembaga ujian masuk kampus) di AS menunjukkan bahwa tes skolastik dan nilai rapor sekolah, secara akumulatif berpengaruh sebesar 13%-19% terhadap Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mahasiswa di kampus. Jika tes skolastik saja, maka pengaruhnya hanya sebesar 6%.</p>
<p>Artinya, jika kampus ingin memastikan akurasi prediksi akademik dari calon mahasiswa, hasil tes sekolastik tetap memerlukan pertimbangan nilai rapor hingga prestasi mereka. Perlu sinergi yang lebih baik antara SMA/SMK/MA dengan perguruan tinggi untuk mewujudkan hal ini.</p>
<p>Sementara itu, untuk mewujudkan inklusivitas dalam seleksi mahasiswa baru, pemerintah juga perlu mengeluarkan kebijakan pendamping.</p>
<p>Misalnya, untuk mencegah diskriminasi, pemerintah dapat memberikan persiapan tes skolastik yang berkualitas untuk siswa yang tidak mampu. Lebih baik lagi, pemerintah <a href="https://www.brookings.edu/research/act-sat-for-all-a-cheap-effective-way-to-narrow-income-gaps-in-college/">bisa mengintegrasikan materi berbasis penalaran ke dalam kurikulum</a> pendidikan menengah seperti di banyak negara, sehingga siswa tak perlu lagi mempersiapkannya di luar sekolah.</p>
<p>Reformasi seleksi kampus ala Menteri Nadiem adalah terobosan baik. Tapi, pemerintah bersama dunia perguruan tinggi perlu menyelesaikan berbagai masalah yang tersisa guna mewujudkan sistem seleksi perguruan tinggi yang akurat dan berkeadilan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/190576/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ayu Anastasya Rachman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Meski reformasi seleksi masuk perguruan tinggi ala Menteri Nadiem adalah terobosan yan baik, paket kebijakan ini masih menyisakan beragam celah dan pekerjaan rumah.Ayu Anastasya Rachman, PhD Student in International Relations, Diplomacy and Education's Political Economy, Universitas PadjadjaranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1880052022-09-06T11:54:15Z2022-09-06T11:54:15ZDosen susah dapat promosi: mengurai lika-liku proses kenaikan jabatan akademisi di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/483007/original/file-20220906-18-sqfqbp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(Unsplash/Suad Kamardeen)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Sama halnya dengan berbagai profesi lain, <a href="https://pddikti.kemdikbud.go.id/asset/data/publikasi/Statistik%20Pendidikan%20Tinggi%202020.pdf">lebih dari 300.000 dosen</a> di lingkungan perguruan tinggi Indonesia juga mengikuti beberapa tahapan jenjang karir.</p>
<p>Saat ini ada empat jenjang bagi karir seorang dosen dari yang paling rendah ke level yang paling tinggi: Asisten Ahli (<em>Junior Lecturer</em>), Lektor(<em>Assistant Professor</em>), Lektor Kepala (<em>Associate Professor</em>), dan Guru Besar (<em>Professor</em>).</p>
<p>Kenaikan jenjang ini mempengaruhi reputasi mereka dalam dunia riset serta jumlah insentif yang akan diterima. </p>
<p>Namun demikian, proses kenaikan jabatan ini telah banyak mengundang kritik dan bahkan <a href="https://news.detik.com/berita/d-5577732/gugat-uu-ke-mk-dosen-ui-tuding-ada-kartel-gelar-di-kemendikbudristek">gugatan hukum</a> dari komunitas akademik. </p>
<p>Saya mencoba menjabarkan beberapa masalah yang sering dihadapi dan mencoba menawarkan solusi dengan melibatkan pihak perguruan tinggi untuk memastikan kelancaran kenaikan jabatan ribuan dosen yang akhirnya dapat meningkatkan kinerja reformasi birokrasi perguruan tinggi.</p>
<h2>Jenjang karir dosen dan alur pengusulannya</h2>
<p>Sebelum kita membedah berbagai masalah yang ada dalam proses kenaikan jabatan dosen, ada baiknya kita memahami proses yang ada saat ini.</p>
<p>Secara operasional, promosi karir dosen merujuk kepada <a href="https://lldikti12.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2019/03/PO-PAK-2019_MULAI-BERLAKU-APRIL-2019.pdf">Pedoman Operasional PAK Kenaikan Jabatan Akademik/Pangkat Dosen (POPAK) tahun 2019</a> yang menilai empat komponen kegiatan dosen. Komponen ini mencakup Tridarma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat) serta ditambah kegiatan penunjang (misalnya partisipasi dalam pengelolaan perguruan tinggi atau keaktifan dalam organisasi profesi). </p>
<p>Kewenangan mempromosikan jabatan dosen dari Asisten Ahli sampai Lektor di perguruan tinggi negeri (PTN) dipegang oleh universitas saja. Tapi untuk perguruan tinggi swasta (PTS), prosesnya juga melibatkan Lembaga Layanan Dikti (LL Dikti) di tiap wilayah.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/482919/original/file-20220906-12-vyz04y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/482919/original/file-20220906-12-vyz04y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=270&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/482919/original/file-20220906-12-vyz04y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=270&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/482919/original/file-20220906-12-vyz04y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=270&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/482919/original/file-20220906-12-vyz04y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=340&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/482919/original/file-20220906-12-vyz04y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=340&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/482919/original/file-20220906-12-vyz04y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=340&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Alur pengusulan kenaikan pangkat/jabatan dosen (PTS/PTN/PTNBH)</span>
</figcaption>
</figure>
<p>Lalu kewenangan mempromosikan dosen ke jabatan Lektor Kepala dan ke Guru Besar bagi dosen baik di PTN dan PTS berada di tangan Kemendikbudristek.</p>
<p>Selama ini ada beberapa masalah dalam proses promosi jabatan dosen (di luar <a href="https://theconversation.com/jalan-evolusi-bibliometrik-indonesia-104781">masalah publikasi</a> yang sudah sering dibahas):</p>
<p><strong>Pertama</strong>, sulitnya mencari penilai karya ilmiah yang objektif untuk bidang-bidang tertentu.</p>
<p>Perlu diingat, bahwa meski kegiatan dosen mencakup Tridarma, unsur penelitian mendapatkan porsi yang terbesar dalam proses kenaikan jabatan.</p>
<p>Dalam proses kenaikan jabatan ke Guru Besar, misalnya, karya ilmiah wajib dinilai oleh dua orang Guru Besar. Namun, masalahnya sulit mencari dosen dengan kepakaran yang pas untuk melakukan peninjauan.</p>
<p>Bidang-bidang ilmu tertentu belum memiliki atau minim jumlah Guru Besar. Contoh adalah <a href="https://mediaindonesia.com/humaniora/367157/mikropaleontologi-ilmu-ningrat-yang-didalami-prof-rubiyanto">bidang mikropaleontologi</a>, serta bidang <a href="https://info.syekhnurjati.ac.id/guru-besar-bidang-hukum-langka-ditjen-dikti-cirebon-harus-bangga/">hukum, keagamaan, seni, dan ilmu humaniora</a>.</p>
<p>Pada akhirnya, peninjauan mungkin saja dilakukan oleh sosok dosen pakar yang bidangnya kurang relevan, sehingga prosesnya menjadi tidak objektif.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, sistem penilaian artikel ilmiah yang sangat bervariasi jenisnya – hingga <a href="https://docs.google.com/spreadsheets/d/1lEnkrcOelBy4ng5wWgGHJAbuY3nibkdmMd_8yYN_5v0/edit?usp=sharing">31 jenis</a> dari bab buku hingga makalah seminar – menjadikan kisaran pemberian skor sangat lebar dan bergantung kepada subjektivitas dosen penilai.</p>
<p>Kasta tertinggi dengan <a href="https://rianmantasa.staff.ugm.ac.id/files/2019/12/2019_Pedoman-PAK_Dosen_2019-1.pdf">skor maksimum 40</a> diberikan untuk makalah yang terbit di jurnal internasional tertentu. Sementara, kasta terendah (skor hanya 1) adalah untuk artikel populer seperti yang sedang Anda baca saat ini. </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, pemeriksaan berlapis-lapis yang rawan menimbulkan subjektivitas di tiap tingkatan.</p>
<p>Ini banyak terjadi terutama di perguruan tinggi yang sudah mapan dan gemuk organisasinya. Pemeriksaan terjadi di tingkat fakultas dan rektorat (atau lintas fakultas), kemudian lanjut hingga tingkat kementerian.</p>
<p>Yang membuat penilaian makin rawan adalah penilaian relevansi karya ilmiah dosen yang harus memenuhi prinsip <a href="http://www.kopertis12.or.id/wp-content/uploads/2014/08/Edaran-Dirjen-Dikti-Linieritas-Bidang-Ilmu-Dosen1.pdf">‘linearitas’ atau kesinambungan bidang riset</a>.</p>
<p>Asesmen ‘linearitas’ ini akan sangat bergantung kepada penafsiran tim penilai di tiap tingkatan – padahal bidang riset dunia akademik kini semakin lintas disiplin dan abu-abu. </p>
<p>Ada satu saja tim penilai yang menilai karya-karya ilmiah seorang dosen kurang ‘<em>nyambung</em>’, maka proses kenaikan jabatan seorang dosen bisa terancam.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/482926/original/file-20220906-12-ssuyti.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/482926/original/file-20220906-12-ssuyti.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/482926/original/file-20220906-12-ssuyti.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=424&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/482926/original/file-20220906-12-ssuyti.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=424&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/482926/original/file-20220906-12-ssuyti.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=424&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/482926/original/file-20220906-12-ssuyti.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=533&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/482926/original/file-20220906-12-ssuyti.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=533&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/482926/original/file-20220906-12-ssuyti.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=533&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Hambatan kenaikan karir dosen.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Dasapta Erwin Irawan)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Inovasi dari Dikti</h2>
<p>Pada tahun ini, terbit <a href="https://dikti.kemdikbud.go.id/pengumuman/kebijakan-penilaian-angka-kredit-dosen-pak/">Surat Edaran Dirjen Dikti pada tanggal 31 Mei 2022</a> tentang <a href="https://lldikti3.kemdikbud.go.id/v6/wp-content/uploads/2022/07/Kebijakan-Karier-Dosen-Dir.-Sumber-Daya-27-06-22.pdf">Kebijakan</a> <a href="https://youtu.be/dZP2HQI0_mw">PAK</a> berupaya mengurangi beberapa tantangan di atas, khususnya untuk prosedur promosi dosen ke jenjang Lektor Kepala dan Guru Besar.</p>
<p>Salah satunya, misalnya, adalah penyederhanaan proses penilaian usulan kenaikan jabatan ke Lektor Kepala dan Guru Besar.</p>
<p>Sebelumnya proses ini dilakukan berkali-kali dari tingkat internal kampus hingga Dikti. Kini, perguruan tinggi hanya perlu melakukan pemeriksaan berkas (validasi) sekali saja, sebelum diunggah ke Sistem PAK Dikti untuk dinilai oleh kementerian saja.</p>
<p>Kemudian, Dikti juga kini memiliki ‘Tim Penilai Angka Kredit (PAK) Nasional’ yang bertugas menilai karya ilmiah para dosen. Seluruh anggota tim ini berjabatan Guru Besar.</p>
<p>Ini adalah upaya untuk mengatasi krisis penilai, terutama untuk promosi ke jabatan Guru Besar pada bidang-bidang yang masih minim Guru Besar. Dengan kebijakan baru ini, Dikti akan mencarikan dan menugaskan anggota Tim PAK Nasional yang relevan bidangnya untuk menilai.</p>
<p>Tim PAK Nasional tersebut pun hanya akan melakukan pemeriksaan terkait relevansi kompetensi dosen dengan substansi karya ilmiah dan bidang riset jurnal, kesesuaian antara lingkup/subyek area jurnal dengan karya ilmiah yang diusulkan, serta kepastian tidak ada pelanggaran integritas akademik. </p>
<p>Sebelumnya, penilaian karya ilmiah sangat rinci (pada beberapa kasus dilihat sampai ke tata cara penulisan).</p>
<p>Penyederhanaan ini diharapkan dapat mengurangi subjektivitas tim penilai, terutama karena rentang nilai setiap jenis artikel (<a href="https://docs.google.com/spreadsheets/d/1lEnkrcOelBy4ng5wWgGHJAbuY3nibkdmMd_8yYN_5v0/edit?usp=sharing">total 31 jenis</a>) yang sangat lebar. </p>
<h2>Perguruan tinggi harus menyambut dengan kreativitas</h2>
<p>Dengan berbagai terobosan Dikti ini, kini bola ada di perguruan tinggi untuk bisa menanggapinya dengan inisiatif-inisiatif di tingkat internal kampus untuk memperbaiki proses promosi jabatan dosen.</p>
<p>Terlepas dari inovasi untuk memangkas birokrasi untuk kenaikan jabatan dosen, masih ada beberapa proses yang berbelit di dalam kampus. </p>
<p>Misal dari program studi, dilempar ke fakultas, kemudian dioper ke pusat – ini perlu disederhanakan menjadi sekali proses saja dengan melibatkan peninjau dari berbagai tingkatan yang berbeda. Bahkan, ada juga berbagai aplikasi sistem informasi yang tidak terkoneksi dengan aplikasi yang dibuat oleh Dikti. </p>
<p>Selain itu, untuk mengurangi subjektivitas, penyamaan persepsi tentang relevansi karya dengan bidang ilmu pengusul juga harus dilakukan di tingkat kampus.</p>
<p>Rujukan dari Dikti berupa Surat Edaran (SE) Dirjen Dikti <a href="http://www.kopertis12.or.id/wp-content/uploads/2014/08/Edaran-Dirjen-Dikti-Linieritas-Bidang-Ilmu-Dosen1.pdf">No. 696/E.E3/MI/2014</a> dan <a href="http://www.kopertis12.or.id/wp-content/uploads/2014/10/surat-edaran-dirjen-dikti-penjelasan-ttg-lineritas-Ilmu-1.pdf">No. 887/E.E3/MI/2014</a>, sebenarnya memberikan keleluasaan bagi perguruan tinggi – terutama antara kampus negeri dan swasta – untuk menyepakati persepsi tentang ‘linearitas’ ini.</p>
<p>Kreativitas berikutnya adalah terkait dengan penyederhanaan 31 jenis karya ilmiah dalam proses tinjauan promosi jabatan dosen.</p>
<p>Demi kemudahan penilaian di tingkat perguruan tinggi, saya menyarankan penyederhanaan menjadi cukup empat jenis kategori saja: buku (mencakup buku ajar dan buku referensi), jurnal internasional, jurnal nasional, dan makalah seminar atau publikasi daring lainnya. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/482921/original/file-20220906-25-7nixya.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/482921/original/file-20220906-25-7nixya.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/482921/original/file-20220906-25-7nixya.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=183&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/482921/original/file-20220906-25-7nixya.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=183&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/482921/original/file-20220906-25-7nixya.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=183&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/482921/original/file-20220906-25-7nixya.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=230&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/482921/original/file-20220906-25-7nixya.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=230&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/482921/original/file-20220906-25-7nixya.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=230&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Beberapa jenis karya ilmiah yang paling sering diusulkan untuk kenaikan pangkat/jabatan dosen.</span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sampai di sini jelas bahwa semangat Kampus Merdeka yang digaungkan Dikti perlu dijawab dengan inisiatif dan kreativitas di tingkat universitas. </p>
<p>Komunikasi antara Dikti dan perguruan tinggi perlu lebih cair lagi, sehingga pengelola kampus tidak perlu lagi menunggu petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis setiap kali akan mengambil langkah. Justru kampus bisa mengusulkan implementasi teknis yang lebih efektif dan efisien kepada Dikti.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/188005/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dasapta Erwin Irawan selain pernah menerima dana hibah penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dari Kemdikbud, juga pernah menerima dana hibah mikro (flashgrant) dari Shuttleworth Foundation tahun 2022. Selain menjadi dosen bidang hidrogeologi di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB), ia juga aktif mempromosikan praktik sains terbuka di Indonesia. Salah satunya adalah dengan mengelola server preprint RINarxiv. Saat ini Dasapta Erwin Irawan juga ditugaskan menjadi Ketua Tim Reformasi Birokrasi ITB, sebagai bagian dari Program KemenpanRB. </span></em></p>Proses kenaikan jabatan dosen telah banyak mengundang kritik dari komunitas akademik karena berliku-liku dan rawan akan subjektivitas.Dasapta Erwin Irawan, Lecturer at Department of Geology, Institut Teknologi BandungLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1892262022-08-27T14:10:40Z2022-08-27T14:10:40ZKasus suap Rektor Unila: korupsi penerimaan mahasiswa baru semakin subur di tengah kapitalisme akademik<p>Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Rektor Universitas Negeri Lampung (Unila), Karomani, bersama sejumlah pejabat kampus tersebut sebagai <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-62575407">tersangka kasus suap</a> seleksi mahasiswa jalur mandiri tahun 2022.</p>
<p>Rektor Unila diduga mematok “harga” <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/08/22/05000091/rektor-unila-libatkan-wakil-rektor-hingga-ketua-senat-untuk-terima-suap?page=all">Rp 100-350 juta</a> untuk meloloskan mahasiswa masuk ke kampusnya. Ia mengantongi total dana suap <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/08/23/11051621/kasus-suap-rektor-unila-ini-3-faktor-pemicu-sikap-korup-di-kampus?page=all">hingga Rp 5 miliar</a>.</p>
<p>Korupsi di perguruan tinggi negeri (PTN) dengan kedok penerimaan jalur mandiri sudah lama <a href="https://www.tribunnews.com/nasional/2022/08/22/kpk-sebut-praktik-suap-mahasiswa-baru-di-indonesia-sudah-lama-terjadi#google_vignette">menjadi rahasia umum</a>. Proses seleksinya yang cenderung tertutup <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-62575407">membuka ruang</a> bagi kampus untuk menerapkan praktik “transaksional”.</p>
<p>Menurut <a href="https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/74647/icw-praktik-korupsi-kampus-rugikan-negara-rp218-miliar">laporan Indonesia Corruption Watch</a>, kasus suap penerimaan mahasiswa baru hanyalah 1 dari 12 pola korupsi perguruan tinggi di Indonesia.</p>
<p>Seleksi mahasiswa di berbagai belahan dunia memang rentan terhadap praktik korupsi dan suap.</p>
<p>Ini terlihat dari penyuapan masif di beberapa kampus top Amerika Serikat (AS) pada tahun 2019 yang dijuluki <a href="https://news.detik.com/internasional/d-4465282/menyuap-untuk-masuk-kampus-elite-as-50-orang-termasuk-aktris-ditahan">skandal “<em>Varsity Blues</em>”</a>, hingga <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-62575407">korupsi pimpinan Unila</a> di Indonesia. Keduanya bahkan memiliki kesamaan motif: aktor intelektual dengan pengaruh dan kekuasaan mengumpulkan biaya besar dari orang tua yang putus asa untuk memasukkan anak mereka ke universitas bergengsi.</p>
<p>Saya melihat bahwa praktik korupsi dalam rekrutmen mahasiswa baru, yang harusnya berbasis merit dan keadilan, kini semakin gencar di tengah meningkatnya iklim kapitalisme akademik. Demi menjaga marwah perguruan tinggi, kita perlu mendorong perubahan secara sistemik.</p>
<h2>Subjektivitas jalur mandiri</h2>
<p>Penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri berdasarkan pada <a href="https://lldikti8.ristekdikti.go.id/2019/02/05/undang-undang-republik-indonesia-nomor-12-tahun-2012-tentang-pendidikan-tinggi/">Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT)</a>. Tujuannya agar PTN memiliki jalur alternatif selain SNMPTN dan SBMPTN untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa tiap institusi.</p>
<p>Kriteria jalur ini memang diumumkan secara transparan. Namun, UU PT memberi ruang bagi PTN untuk mengatur seleksinya sesuai <a href="https://lldikti8.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2019/07/Permenristekdikti-90-2017-ttg-Penerimaan-Mahasiswa-Baru-Program-Sarjana-Pada-PTN.pdf">kepentingan pribadi institusi</a>, sehingga bisa memiliki subjektivitas tinggi dan kerap mengabaikan kriteria kompetensi.</p>
<p>Subjektifitas ini bisa kita lihat dalam kasus suap Unila tahun 2022. <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2022/08/21/163000265/sebegini-besaran-suap-rektor-unila-untuk-luluskan-calon-mahasiswa-baru?page=all">Karomani memerintahkan bawahannya</a> untuk menyeleksi calon mahasiswa baru secara personal, salah satunya dengan menimbang gaji dan kesanggupan orang tua mereka membayar sejumlah uang.</p>
<p>Ditambah dengan kuota yang terbatas (maksimal 30%) dan peminat yang membludak, penerimaan mahasiswa pada jalur ini seringkali berdasarkan favoritisme, kekerabatan, dan potensi pundi-pundi uang keluarga para mahasiswa.</p>
<p>Jalur mandiri di lingkup PTN terkadang juga mengandung berbagai skema khusus – seperti ‘Jalur Olimpiade/Olahraga’, ‘Jalur Afirmasi’, atau bahkan ‘Jalur Daerah 3T’.</p>
<p>Penelitian pakar sosiologi AS, <a href="https://www.researchgate.net/publication/281453332_The_Chosen_The_Hidden_History_of_Admission_and_Exclusion_at_Harvard_Yale_and_Princeton">Jerome Karabel </a>, mengungkap bahwa jalur penerimaan mahasiswa afirmasi dari berbagai latar belakang budaya, sosial, dan ekonomi kerap menjadi sekadar kedok untuk meningkatkan prestise institusi – ketimbang benar-benar sebagai bentuk komitmen kampus terhadap inklusivitas dan keberagaman.</p>
<h2>Gencarnya kapitalisme akademik</h2>
<p>Maraknya aksi aktor intelektual di balik korupsi penerimaan mahasiswa baru PTN juga muncul salah satunya akibat perguruan tinggi di Indonesia yang kini makin <a href="https://media.neliti.com/media/publications/252362-none-d24f9ec3.pdf">neoliberal</a> atau didekte oleh pasar. </p>
<p>Misanya, tuntutan pasar untuk <a href="https://theconversation.com/pemeringkatan-kampus-praktik-imperialisme-budaya-yang-menjebak-perguruan-tinggi-dalam-perlombaan-kosong-178536">menjadi ‘kampus kelas dunia’</a>, adanya <a href="https://jurnalhukumperatun.mahkamahagung.go.id/index.php/peratun/article/download/186/51/">pelimpahan kewenangan dari negara kepada PTN terutama yang berbadan hukum (PTN-BH)</a> untuk mengelola keuangan sendiri, serta berkurangnya alokasi <a href="https://www.kompasiana.com/mchmdabdlazs/573dd7fb509773200a739b21/dampak-berkurangnya-dana-boptn">dana hibah</a>, membuat banyak PTN mencari sumber dana alternatif untuk senantiasa berinvestasi demi meningkatkan keunggulan institusi.</p>
<p>Kondisi seperti inilah yang menurut peneliti pendidikan tinggi Sheila Slaughter dan Larry Leslie bisa mendorong kapitalisme akademik. </p>
<p>Universitas juga tersandera oleh budaya pemeringkatan global yang mendorong mereka pada <a href="https://theconversation.com/pemeringkatan-kampus-praktik-imperialisme-budaya-yang-menjebak-perguruan-tinggi-dalam-perlombaan-kosong-178536">praktik perlombaan kosong</a> untuk seakan-akan menaikkan daya saing.</p>
<p>Salah satu indikator keunggulan kampus pada <a href="https://www.universityrankings.ch/methodology/times">Times Higher Education</a>, misalnya, adalah pertumbuhan jumlah mahasiswa baru.</p>
<p>Banyak kampus kemudian membuka pendaftaran berbayar melalui jalur mandiri, bahkan <a href="https://pmb.iainpare.ac.id/detail-pengumuman/91/penerimaan-mahasiswa-baru-jalur-mandiri-gelombang-3-tahun-2022">berkali-kali dalam setahun</a>. Riset pun menemukan bahwa banyak kampus ternama di berbagai negara sengaja membatasi kuota jalur ini sekitar 10-15% saja, sehingga <a href="https://digitalcommons.law.byu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=3336&context=lawreview">mendongkrak eksklusivitas dan prestise institusi</a>, sekaligus menciptakan <a href="https://money.kompas.com/read/2021/12/18/110441326/pahami-pengertian-kelangkaan-dalam-ilmu-ekonomi?page=all">kelangkaan</a>, membuat <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2022/07/21/113507365/biaya-kuliah-jalur-mandiri-uns-undip-unpad-ui-dan-ub?page=all">biaya jalur mandiri</a> menjadi mahal, dan menaikkan hasrat masyarakat.</p>
<p>Tidak heran jika orang tua begitu putus asa dan terlibat dalam beragam bentuk korupsi, baik praktik suap maupun berbagai kedok sumbangan.</p>
<p>Orang tua kelas menengah akan menyuap kampus untuk mempertahankan status sosialnya. Sementara, orang miskin menjadi penonton para orang kaya yang menyuap orang kaya lainnya.</p>
<h2>Perlu perubahan sistemik</h2>
<p>Modus korupsi rektor Unila dan beberapa jajaran fakultas merupakan fenomena gunung es di Indonesia. Hal ini tidak akan bisa berhenti hanya dengan menangkap satu atau dua individu, atau hanya kasus per kasus.</p>
<p>Korupsi tumbuh dalam kegelapan dan kerahasiaan. Saya melihat setidaknya ada tiga perubahan yang bisa diterapkan oleh kampus untuk menutup ruang korupsi dan suap.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, perlu pendekatan struktural di dalam kampus supaya lebih transparan dan demokratis. </p>
<p>Kampus bisa meninjau kembali peran badan tertinggi di lingkup universitas, yakni <a href="https://old.ui.ac.id/tentang-ui/struktur-ui/majelis-wali-amanat.html">Majelis Wali Amanat (MWA)</a>, agar lebih independen dalam mengawasi PTN – termasuk dalam penerimaan mahasiswa baru.</p>
<p>Keanggotaan MWA PTN, yang berdasarkan <a href="https://www.hukumonline.com/kamus/m/mwa/page/2/">PP Nomor 51 tahun 2015</a> kini didominasi oleh unsur pimpinan kampus termasuk rektor, membuat identifikasi tindak korupsi unsur pimpinan kampus menjadi sulit. </p>
<p>Kewenangan MWA perlu diperkuat agar bisa memastikan seluruh proses dan aktivitas pimpinan kampus patuh terhadap hukum.</p>
<p>Jika perlu, ada pemisahan fungsi legislatif (mengangkat dan memberhentikan rektor, mengesahkan statuta, hingga mengusulkan anggaran) dengan fungsi yudikatif (pengawasan dan pengawalan terkait aturan dan anggaran), untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, sistem di dalam kampus juga terbentuk oleh pengaruh luar seperti kekuasaan dan uang. </p>
<p>Negara bisa memitigasi praktik korupsi dalam kampus dengan merevisi UU PT, terutama terkait jalur mandiri PTN, agar tidak kebablasan.</p>
<p>Dalam regulasi jalur mandiri, misalnya, pemerintah bisa mengadaptasi kerangka Kepatuhan Anti-Suap dan Korupsi <a href="https://www.ed.ac.uk/files/atoms/files/courtmembercode-app2antibriberyandcorruptionpolicy.pdf">(<em>Anti-Bribery and Corruption Compliance</em>) dari The Wolfsberg Group</a>, yang juga diterapkan oleh banyak kampus di dunia dalam mengembangkan standar keuangan untuk tindakan anti-korupsi dan pencucian uang. </p>
<p><a href="https://www.birmingham.ac.uk/documents/university/legal/bribery-policy.pdf">Universitas Birmingham</a> di Inggris, misalnya, telah menggunakannya untuk medefinisikan kategori kejahatan suap, serta menerapkan pencegahan dan penanganan yang berbasis risiko.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, dalam meredam iklim kapitalisme akademik, kampus sebaiknya <a href="https://www.huronconsultinggroup.com/insights/building-higher-education-future-business-model">beralih ke model bisnis yang berkelanjutan</a> dan menjauhi praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai akademik.</p>
<p>Misalnya, kampus dapat menerapkan model pendanaan berbasis kemitraan penelitian dengan melibatkan investasi dari <a href="https://www.researchgate.net/publication/338374442_THE_ACADEMIC_CAPITALISM_AND_THE_NEW_BUSINESS_MODEL_OF_THE_UNIVERSITIES">‘<em>triple-helix</em>’ (universitas-industri-pemerintah)</a>, ketimbang menaikkan uang kuliah mahasiswa. Sebab, tingginya biaya kuliah bisa <a href="https://theconversation.com/pakar-menjawab-kenapa-biaya-kuliah-naik-terus-lemahnya-model-bisnis-kampus-ancam-akses-pendidikan-tinggi-di-indonesia-188790">memperburuk akses pendidikan tinggi</a>.</p>
<p>Tiga hal di atas merupakan reformasi struktural yang harapannya dapat mengatasi masalah pengawasan dan dinamika pasar yang berperan dalam penyuapan penerimaaan mahasiswa.</p>
<p>Selain itu, orang tua dan mahasiswa juga harus berhenti membatasi diri mereka hanya sebagai konsumen PTN dengan nama dan fasilitas mewah.</p>
<p>Hadirnya berbagai perguruan tinggi swasta (PTS) di Indonesia dengan prodi yang lebih beragam, serta institusi yang telah banyak terakreditasi, bisa dilihat sebagai pilihan alternatif yang baik untuk menempuh pendidikan tinggi.</p>
<p>Masyarakat tidak boleh lagi terjebak pada pola korupsi akibat kapitalisme akademik yang digencarkan oleh beberapa kampus yang tidak bertanggung jawab.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/189226/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ayu Anastasya Rachman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Korupsi rekrutmen mahasiswa baru, yang harusnya berbasis merit dan keadilan, kini makin gencar di tengah kapitalisme akademik. Perlu perubahan sistemik demi menjaga marwah perguruan tinggi.Ayu Anastasya Rachman, PhD Student in International Relations, Diplomacy and Education's Political Economy, Universitas PadjadjaranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1893792022-08-25T12:06:15Z2022-08-25T12:06:15ZBiaya kuliah naik terus: perlunya kampus mencari model bisnis yang berkelanjutan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/480998/original/file-20220825-14-hqh4gf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> <span class="attribution"><a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><iframe style="border-radius:12px" src="https://open.spotify.com/embed/episode/5XtIeWLcwdEfZsPJtjTbBQ?utm_source=generator" width="100%" height="232" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture"></iframe>
<p>Tren kenaikan biaya kuliah (<em>tuition fee</em>) di Indonesia berpotensi mengancam akses pendidikan tinggi bagi masyarakat di masa depan.</p>
<p>Pada akhir Juli lalu, <a href="https://www.kompas.id/baca/investigasi/2022/07/27/orangtua-indonesia-makin-sulit-biayai-kuliah-anak">Harian Kompas melaporkan</a> bahwa laju kenaikan biaya kuliah per tahun – sekitar 1,3% untuk kampus negeri (PTN) dan 6,96% untuk kampus swasta (PTS) – sulit diimbangi oleh laju kenaikan pendapatan lulusan SMA (3,8%) maupun sarjana (2,7%).</p>
<p>Berbagai akademisi mengatakan bahwa naiknya biaya kuliah erat kaitannya dengan <a href="https://theconversation.com/pakar-menjawab-kenapa-biaya-kuliah-naik-terus-lemahnya-model-bisnis-kampus-ancam-akses-pendidikan-tinggi-di-indonesia-188790">meningkatnya biaya operasional</a> yang harus dikeluarkan kampus.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pakar-menjawab-kenapa-biaya-kuliah-naik-terus-lemahnya-model-bisnis-kampus-ancam-akses-pendidikan-tinggi-di-indonesia-188790">Pakar Menjawab: Kenapa biaya kuliah naik terus? Lemahnya model bisnis kampus ancam akses pendidikan tinggi di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><a href="https://eua.eu/downloads/publications/financially%20sustainable%20universities%20ii%20-%20european%20universities%20diversifying%20income%20streams.pdf">Dua komponen pengeluaran kampus yang terbesar</a>, yakni sumber daya manusia serta sarana dan prasarana, terus meningkat setiap tahunnya dan dapat mencapai sekitar 85% dari total anggaran. Sayangnya, banyak perguruan tinggi, terutama kampus swasta, masih <a href="https://theconversation.com/pakar-menjawab-kenapa-biaya-kuliah-naik-terus-lemahnya-model-bisnis-kampus-ancam-akses-pendidikan-tinggi-di-indonesia-188790">membebankan mayoritas pendapatannya</a> pada uang kuliah mahasiswa.</p>
<p>Bagaimana sebaiknya pimpinan kampus menyikapi kenaikan biaya kuliah? Langkah-langkah seperti apa yang bisa diambil kampus untuk membuat model bisnis mereka lebih berkelanjutan?</p>
<p>Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dalam episode podcast <em>SuarAkademia</em> kali ini, kami berbincang dengan <a href="https://theconversation.com/profiles/totok-amin-soefijanto-ed-d-1163845">Totok Amin Soefijanto</a>, rekan senior dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dan juga mantan wakil rektor Universitas Paramadina.</p>
<p>Totok menjelaskan menjelaskan bagaimana kampus terlalu bergantung pada <em>tuition fee</em>, berbagai skema diversifikasi pendapatan yang bisa dilakukan kampus, hingga pentingnya keberpihakan beasiswa kuliah pada warga miskin.</p>
<p>Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia – ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/189379/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Di episode SuarAkademia kali ini, kami berbincang dengan Totok Amin Soefijanto dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) tentang naiknya biaya kuliah di Indonesia.Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorMuammar Syarif, Podcast ProducerLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1873742022-08-05T06:21:35Z2022-08-05T06:21:35ZLanggengnya akun-akun ‘kampus cantik’: gejala pendisiplinan tubuh perempuan di tengah pendidikan tinggi Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/477799/original/file-20220805-1342-ecqjm8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(The Conversation/Wes Mountain)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Sejak beberapa tahun lalu, unggahan foto mahasiswi oleh berbagai akun ‘kampus cantik’ hadir di media sosial dan senantiasa mengundang kontroversi.</p>
<p>Berbagai diskusi mengkritik fenomena ini – dari masalah <a href="https://magdalene.co/story/akun-akun-mahasiswi-cantik-raup-untung-dari-objektifikasi-perempuan">komodifikasi dan komersialisasi konten</a> oleh akun kampus cantik hingga <a href="https://www.anakui.com/masuk-ui-cantik-malah-jadi-musibah-yuk-dengerin-curhatan-mereka-yang-fotonya-pernah-dicomot-akun-ini-bincang-ui-2/">pelanggaran privasi</a> yang kerap terjadi. </p>
<p>Misalnya, selama ini tak jarang akun-akun kampus cantik tersebut memuat foto <a href="https://www.instagram.com/p/Cfn-4nAvP5Z/?utm_source=ig_web_copy_link">tanpa persetujuan</a> mahasiswi yang bersangkutan.</p>
<p>Tapi, bukannya menutup akun, di tengah badai kritik ini banyak dari mereka yang sekadar mengunci profil sehingga tak mudah diakses publik. Akun <a href="https://www.instagram.com/uicantikid/">@uicantikid</a>, misalnya, bersifat privat dan hingga kini punya lebih dari 220 ribu pengikut, serta banyak memanfaatkan tagar agar publik bisa menemukan sejumlah besar foto mahasiswi.</p>
<p>Mereka tidak hilang, malah semakin tersembunyi dari pengawasan publik.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=292&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=292&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=292&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=367&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=367&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=367&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Akun-akun ‘kampus cantik’ yang memiliki banyak pengikut dan mengunci profil tidak hilang dari media sosial, dan justru makin tersembunyi dari pengawasan publik.</span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dalam kacamata kami, akun-akun ini merupakan wujud praktik pendisiplinan tubuh perempuan yang membentuk sebuah <a href="https://genderlitutopiadystopia.fandom.com/wiki/Definition_of_Hegemony">hegemoni (kekuatan dominan)</a> atas gender di lingkungan kampus. </p>
<p>Untuk mendalaminya, kami mengumpulkan data secara daring menggunakan perangkat lunak analisis NVivo (NCapture) untuk memahami diskursus yang terjadi pada beberapa akun kampus cantik. Kami juga melakukan wawancara dengan beberapa mahasiswa dan alumni perguruan tinggi negeri mengenai persepsi mereka terhadap akun-akun ini.</p>
<p>Meski tak dapat digunakan sebagai generalisasi fenomena kampus cantik, studi kami menemukan kentalnya budaya objektifikasi perempuan – baik dari mahasiswa laki-laki atau perempuan, atau bahkan kampus melalui pembiaran. Ini terjadi di lingkungan pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi ruang kritis.</p>
<h2>Pendisiplinan tubuh perempuan lewat <em>male gaze</em></h2>
<p>Pakar teori film Laura Mulvey memperkenalkan konsep <a href="https://www.filminquiry.com/film-theory-basics-laura-mulvey-male-gaze-theory/">‘<em>male gaze</em>’</a> untuk menggambarkan bagaimana laki-laki menggunakan sudut pandangnya untuk menciptakan wacana tentang perempuan dalam layar.</p>
<p>Wacana ini berupa citra yang dibuat untuk memenuhi kepuasan (<em>pleasure</em>) laki-laki dengan perempuan sebagai objek. Dalam <em>male gaze</em> ini, laki-laki mengikat perempuan sebagai simbol untuk memenuhi fantasi seksual mereka melalui berbagai citra yang menghapus kualitas perempuan, sehingga pandangan tentang perempuan seakan hanyalah tentang tubuhnya.</p>
<p>Di sini, akun kampus cantik memangkas perempuan menjadi ‘seonggok daging’. Tapi, pada saat yang sama, mereka juga melatih perempuan lain <a href="https://dbpedia.org/page/Phallogocentrism">menormalisasi sudut pandang</a> yang menempatkan mereka sendiri sebagai objek pemuas seks.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Fenomena akun kampus cantik adalah gejala budaya ‘<em>male gaze</em>’ di lingkup pendidikan tinggi.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Andy Simmons)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nd/4.0/">CC BY-ND</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Hal tersebut konsisten dengan data dalam studi ini. Baik laki-laki maupun perempuan memanfaatkan ruang yang disediakan akun kampus cantik untuk mereduksi keberadaan perempuan, sekaligus meminggirkan narasi tentang kemampuan akademik mereka. </p>
<p>Dulu kita menyalahkan media massa yang menyuguhkan konten-konten yang sesuai kepentingan mereka, termasuk konsep <em>sex sells</em> (seks itu menjual). Pada era digital, yang harapannya bisa mengangkat martabat perempuan, ternyata tak jauh berbeda dengan masa pra-digital. </p>
<p>Beragam komentar dari pengunjung laki-laki – seperti ‘<em>cantiknya</em>’, ‘<em>sensual banget</em>’, ‘<em>trauma sama yang tepos lur</em>’, ‘<em>angan-angan yang terlalu tinggi buatku yang ga sampai 170cm</em>’, ‘<em>dah kek tante aja</em>’, hingga ‘<em>cantik sama seksi beda ga bosque</em>?’ – menghiasi kolom komentar akun kampus cantik.</p>
<p>Sementara komentar dari pengunjung perempuan memperlihatkan bagaimana banyak dari mereka sendiri menormalisasi cara pandang tersebut. Tanpa sadar, perempuan menginternalisasi <em>male gaze</em> untuk memangkas keberadaan mahasiswi lain dengan berpartisipasi melalui komentar yang fokus pada penampilan.</p>
<p>Bagi saya, para perempuan ini seakan ‘meminjam mata laki-laki’ untuk mengobjektifikasi mahasiswi lain. </p>
<p>Ini memperlihatkan bagaimana laki-laki tak hanya berhasil menggunakan cara pandang mereka untuk mendisiplinkan tubuh perempuan. Laki-laki turut melibatkan perempuan untuk menciptakan sistem agar pendisiplinan tubuh perempuan terus berjalan. </p>
<h2>‘Rumah kenikmatan’ yang melanggengkan eksploitasi</h2>
<p>Fenomena akun kampus cantik mengingatkan saya juga pada buku <a href="https://archive.org/details/prostitutionofse00barrrich/page/n11/mode/2up"><em>The Prostitution of Sexuality</em></a>.</p>
<p>Sosiolog Kathleen Barry, sang penulis, menekankan segala praktik yang mereduksi perempuan sekadar jadi ‘seonggok daging’ adalah bentuk eksploitasi seksual. Akun kampus cantik, sebagai wacana maskulinitas, memajang wajah dan tubuh perempuan sebagai pusat perhatian di medsos, layaknya objek dalam etalase atau katalog.</p>
<p>Praktik tersebut menunjukkan adanya <a href="https://www.instagram.com/p/CeiuPHzBt_I/?utm_source=ig_web_copy_link">seksualisasi besar-besaran</a> terhadap mahasiswi. Kondisi ini pun didorong karakter media sosial yang memungkinkan terjadinya interaksi antar-partisipan, sehingga mereka sekaligus dapat membangun jejaring. </p>
<p>Pengunjung akun kampus cantik – yang mayoritasnya laki-laki – tak hanya menikmati atau memilah gambar tertentu, tapi juga dapat mencari, mengunduh, mengunggah, membandingkan, melakukan penilaian (<em>love</em> atau <em>rating</em>), dan memberi komentar. Berbagai aktivitas ini memudahkan pengunjung untuk semakin mengeksploitasi perempuan.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=344&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=344&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=344&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=433&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=433&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=433&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Akun kampus cantik memajang wajah dan tubuh perempuan sebagai pusat perhatian di medsos, layaknya objek dalam etalase atau katalog.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Flickr/Andrea44)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Wawancara kami dengan beberapa alumni kampus negeri memperlihatkan adanya beragam praktik kenikmatan laki-laki terkait foto mahasiswi dalam akun kampus cantik. Ini mulai dari sekadar kenikmatan melihat (<em>visual pleasure</em>) sampai kenikmatan seksual (<em>sexual pleasure</em>).</p>
<p>“<em>Awalnya cuma buat liat-liat, lama-lama buat bahan coli</em>,” ungkap salah satu responden.</p>
<p>Hasil wawancara ini konsisten dengan data yang kami tarik dari akun-akun tersebut. Kebanyakan komentar laki-laki yang kami kumpulkan mayoritas meminta nomor kontak WhatsApp, atau akun Instagram dan Twitter sang mahasiswi. Beberapa laki-laki nekat memberikan nomor kontak di kolom komentar dengan harapan mahasiswi yang dituju menghubungi nomor tersebut.</p>
<p>Komentar yang muncul menggambarkan bagaimana laki-laki mengkonstruksi seksualitas perempuan sebagai aset yang dapat diakses secara acak, gratis, dan semena-mena.</p>
<p>Simak saja komentar seperti ‘<em>yang kek gini nih bikin pengen kuliah offline</em>’, ‘<em>dijadiin bini seer nih</em>’, ‘<em>gemesin dan bikin ah sudahlah</em>’, hingga ‘<em>berapa semalam?</em>’.</p>
<p>Akun-akun kampus cantik ini berperan jadi suatu <a href="https://archive.org/details/prostitutionofse00barrrich/page/n11/mode/2up">‘rumah kenikmatan’ (<em>house of pleasure</em>)</a> – tempat untuk memangkas dan memarginalisasi peran seksual, sosial, dan politik perempuan. Sementara, industri dan media sosial berperan sebagai fasilitator kekuasaan patriarki yang mememberikan ruang seluas-luasnya bagi kenikmatan laki-laki.</p>
<h2>Institusi pendidikan, kekuasaan simbol, dan hegemoni</h2>
<p>Studi kecil yang kami lakukan menunjukkan bagaimana masyarakat – tak terkecuali mahasiswa laki-laki dan perempuan – melanggengkan budaya pendisiplinan tubuh perempuan, bahkan di lingkungan pendidikan tinggi. </p>
<p>Padahal, ada banyak sarjana, terutama feminis, yang menaruh harapan besar pada lembaga pendidikan tinggi untuk memberdayakan civitasnya. </p>
<p>Pembiaran penggunaan logo institusi pendidikan oleh akun kampus cantik juga tidak dapat dianggap sepele. Di balik setiap logo perguruan tinggi tersemat wacana kekuasaan yang bisa masyarakat artikan sebagai ‘legitimasi’ atas praktik objektifikasi dan pelanggaran privasi terhadap perempuan.</p>
<p>Sayangnya, belum ada kampus yang menyatakan keberatan secara resmi. Harus diakui, seringkali langkah ini adalah sesuatu yang mereka anggap dilematis. Mereka kerap menimbang antara ‘menjaga reputasi nama baik lembaga’ yang sudah dikenal, dengan komitmen untuk melindungi mahasiswi dari pencurian data dan eksploitasi. </p>
<p>Mereka lupa bahwa pembiaran ini pada akhirnya akan menormalisasi eksploitasi seksualitas perempuan.</p>
<p>Praktik-praktik akun cantik juga akan menjadi sebuah ladang yang menyuburkan praktik <a href="https://plato.stanford.edu/entries/beauvoir/#Bib">peliyanan (<em>othering</em>)</a> terhadap mahasiswi dan akademisi perempuan: apapun pencapaian mereka secara akademik, perempuan lahir hanya untuk menjadi objek seksual dan pemuas laki-laki. </p>
<p>Kampus seharusnya adalah lembaga yang yang memberi ruang sebesar-besarnya pada kemampuan akademis, bukan menyuburkan praktik yang memangkas keberadaan perempuan menjadi sebatas objek pemuas seksualitas laki-laki.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/187374/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Akun-akun ‘kampus cantik’ merupakan gejala budaya pendisiplinan tubuh perempuan di lingkungan kampus, tempat yang seharusnya menjadi ruang kritis.Endah Triastuti, Lecturer, Researcher, Universitas IndonesiaBilly Sarwono, Guru Besar di bidang Ilmu Komunikasi dan Gender, FISIP Universitas Indonesia, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1844912022-07-22T03:33:24Z2022-07-22T03:33:24ZLulusan hukum berperan penting dalam penyelesaian sengketa bisnis atau ‘arbitrase’, tapi kampus belum siapkan mereka dengan baik<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/475522/original/file-20220721-15018-rx92za.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/verkeorg/25102323896">(Flickr/verkeorg)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Ambisi Indonesia meraih <a href="https://ekonomi.bisnis.com/read/20190509/9/920475/visi-indonesia-2045-indonesia-targetkan-jadi-ekonomi-terbesar-kelima">pertumbuhan ekonomi terbesar kelima di dunia</a> pada 2025 memicu berbagai kebijakan yang <a href="https://katadata.co.id/pingitaria/finansial/5f7ddb0c60090/uu-cipta-kerja-buka-14-jenis-usaha-yang-sebelumnya-tertutup-bagi-asing">mendorong investasi dan transaksi bisnis</a>. Namun, seiring pertumbuhan transaksi, potensi munculnya sengketa bisnis pun bertambah.</p>
<p>Di sini, <a href="https://www.hukumonline.com/berita/a/7-hal-yang-perlu-diperhatikan-dalam-proses-arbitrase-nasional-lt60d4bf6c7f5c1/">arbitrase</a> – suatu jalur hukum yang lebih efisien dan transparan ketimbang pengadilan dengan menunjuk ahli hukum bisnis sebagai penengah – telah menjadi forum penyelesaian sengketa yang <a href="https://ekonomi.bisnis.com/read/20190709/12/1121965/sengketa-bisnis-perusahaan-indonesia-lebih-suka-memilih-arbitrase">kian populer di kalangan pebisnis</a>.</p>
<p>Menurut Ketua <a href="https://baniarbitration.org">Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)</a>, penyedia jasa arbitrase independen bentukan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), lembaganya setiap tahun menerima setidaknya 100 permintaan penyelesaian sengketa bisnis.</p>
<p>Masalahnya, meski kebutuhan terhadap arbitrase semakin meningkat, saya sebagai dosen hukum, dan juga BANI, memandang bahwa tidak banyak mahasiswa maupun sarjana hukum di lapangan yang memahami karakteristik, prinsip-prinsip penting, maupun tata cara dalam proses arbitrase.</p>
<p>Padahal, banyak lulusan hukum tersebut kelak mengemban peran penting dalam dunia arbitrase. Mereka menjadi penengah atau “arbiter” hingga menjadi advokat hukum yang mewakili para pihak yang bersengketa.</p>
<p>Ada beberapa kemungkinan yang bisa menyebabkan hal tersebut. Misalnya, tidak diberikannya pengertian yang komprehensif mengenai arbitrase di bangku kuliah, arbitrase tidak diberikan tempat yang penting dalam kurikulum, dan/atau para calon sarjana hukum belum memiliki minat terhadap arbitrase.</p>
<h2>Peran krusial lulusan hukum dalam arbitrase</h2>
<p>Kerahasiaan, kecepatan, profesionalisme, transparansi, dan kredibilitas suatu proses arbitrase, menjadi hal-hal krusial yang dibutuhkan dunia industri.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, salah satu subjek yang memegang peran krusial adalah sang ‘arbiter’. Arbiter tak hanya harus menuntut terselesaikannya sengketa, tapi juga memastikan resolusi konflik berlandaskan kebenaran dan keadilan.</p>
<p>Dalam pengamatan kami, banyak lulusan hukum yang menjadi arbiter sering terjebak dalam ‘<a href="https://journals.usm.ac.id/index.php/humani/article/view/853">positivisme</a>’. Artinya, mereka kerap hanya mempersoalkan apa kata hukum dan juga ketentuan dalam klausul perjanjian bisnis, tanpa memahami lika-liku konflik tersebut.</p>
<p>Padahal, seorang pemecah masalah harus melampaui apa yang ada di balik teks atau substansi dasar dalam sengketa. Seorang arbiter juga harus mengetahui persoalan bisnis, sebagai objek dari dunia arbitrase.</p>
<p>Hanya melihat hukum dan ketentuan dalam perjanjian tanpa memahami bisnisnya tidak akan mengarah pada penyelesaian yang adil dan baik.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, subjek yang juga penting adalah para pihak yang bersengketa maupun para advokat yang mewakilinya.</p>
<p>Kemungkinan besar, banyak di antara lulusan hukum nanti yang justru akan menjadi advokat ketimbang menjadi arbiter yang memang terbatas jumlahnya.</p>
<p>Aspek penting yang dijalankan lulusan hukum yang mengemban peran ini adalah pembelaan. Proses pembelaan yang baik harus bertumpu pada kebenaran dan keadilan dalam penyelesaian sengketa. Pembelaan harus dilandasi fakta-fakta yang valid dan objektif, bukan data-data yang palsu. </p>
<p>Aturan hukum – termasuk <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/43018/uu-no-18-tahun-2003">UU Nomor 18 Tahun 2003</a> tentang Kode Etik Advokat Indonesia – mengharuskan advokat hukum dalam arbitrase untuk menjalankan pembelaan secara <a href="https://www.hukumonline.com/klinik/a/perbedaan-idas-sollen-i-dengan-idas-sein-i-lt5acd738a592ef"><em>das sollen</em></a> (taat hukum) dan menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran. Bahkan, jika ada permintaan dari pebisnis yang mereka bela yang bertentangan dengan integritas tersebut, para advokat harus menolaknya (Pasal 3).</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/475525/original/file-20220721-14589-5m0m11.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/475525/original/file-20220721-14589-5m0m11.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/475525/original/file-20220721-14589-5m0m11.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/475525/original/file-20220721-14589-5m0m11.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/475525/original/file-20220721-14589-5m0m11.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/475525/original/file-20220721-14589-5m0m11.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/475525/original/file-20220721-14589-5m0m11.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/475525/original/file-20220721-14589-5m0m11.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Para lulusan hukum yang terlibat arbitrase harus memahami pentingnya kode etik arbiter dan advokat hukum.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/WdJkXFQ4VHY">(Unsplash/Ben Rosett)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sayangnya, menurut cerita Ketua BANI, di lapangan ada banyak advokat hukum yang seringkali melanggar prinsip sakral di atas.</p>
<p>Bahkan, <a href="https://kumparan.com/dzadit-taqwa/etika-pembelaan-dalam-penyelesaian-sengketa-1xsC3o4YzGP/2">persekongkolan</a> tak hanya antara pebisnis yang bersengketa dengan advokat mereka, tapi juga antara para pihak dengan sang arbiter sebagai penengah hukum.</p>
<p>Persekongkolan dan kolusi adalah hal terlarang dalam proses arbitrase – iktikad yang baik harus menjadi semangat utama. Para lulusan hukum harus diajarkan bahwa arbitrase harus fokus pada selesainya sengketa dengan adil, bukan 'menang’-nya sengketa.</p>
<h2>Fakultas hukum harus siapkan calon praktisi arbitrase dengan lebih baik</h2>
<p>Mengingat masih banyaknya masalah yang muncul di antara para lulusan hukum di atas, kami memandang bahwa fakultas hukum harus lebih baik lagi dalam mempersiapkan mahasiswa mereka guna menunjang iklim arbitrase di Indonesia.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, memastikan bahwa materi-materi terkait arbitrase mendapatkan perhatian dalam kurikulum pendidikan tinggi hukum.</p>
<p>Saat ini, tidak banyak perguruan tinggi hukum yang menjadikan mata kuliah arbitrase sebagai mata kuliah wajib fakultas.</p>
<p>Sepengetahuan kami, dari <a href="https://pddikti.kemdikbud.go.id/asset/data/publikasi/Statistik%20Pendidikan%20Tinggi%20Indonesia%202019.pdf">524 lembaga pendidikan tinggi</a> yang menyediakan program studi ilmu hukum, hanya <a href="https://www.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2012/07/01-F-HUKUM.pdf">Fakultas Hukum Universitas Padjajaran</a> yang menjadikan arbitrase sebagai mata kuliah wajib. Sebab, banyak guru-guru besar di sana fokus pada arbitrase. Di antaranya adalah Profesor <a href="https://scholar.google.co.id/citations?hl=en&user=Ud-afI51UAMC&view_op=list_works&sortby=pubdate">Huala Adolf</a>, Profesor <a href="https://scholar.google.com/citations?hl=en&user=n8ks_n4AAAAJ&view_op=list_works&sortby=pubdate">Ahmad Ramli</a>, dan Profesor <a href="https://mediaintegritas.com/content/prof-dr-mieke-komar-sh-mcl">Mieke Komar</a>.</p>
<p>Perguruan tinggi pun tak banyak yang menjadikan arbitrase sebagai mata kuliah wajib saat peminatan. Bahkan, arbitrase tidak mendapatkan kejelasan mengenai di bawah bidang studi hukum mana materi ini diampu.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, memastikan bahwa mahasiswa hukum memiliki pengetahuan substansi yang baik dalam memecahkan persoalan dalam dunia arbitrase.</p>
<p>Objek utama arbitrase adalah sengketa bisnis. Sekadar tahu prosedur arbitrase tanpa memahami industri, terutama lika-liku bisnis yang dipersengketakan, tidak akan berarti apa-apa. </p>
<p>Dalam pengajaran saat ini, misalnya, materi di berbagai fakultas hukum seringkali hanya berpusat pada aspek prosedural atau tata cara arbitrase sesuai yang tertera pada <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/45348/uu-no-30-tahun-1999">UU Nomor 30 Tahun 1999</a> tentang Arbitrase.</p>
<p>Fakultas hukum harus lebih banyak memasukkan silabus yang memperkuat wawasan mahasiswa akan dunia industri di Indonesia. Dosen pun bisa lebih banyak mengangkat kasus-kasus yang membantu mahasiswa <a href="https://theconversation.com/mata-uang-digital-hingga-hukum-luar-angkasa-dosen-hukum-harus-kreatif-siapkan-mahasiswa-hadapi-laju-teknologi-125890">memperdalam pemahaman akan lika-liku bisnis</a>.</p>
<p>Menurut pengalaman BANI, hal inilah yang justru menjadi kunci keberhasilan proses penyelesaian sengketa bisnis.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, memastikan lulusan hukum memiliki kemampuan penyelesaian sengketa berdasarkan keadilan dan kebenaran.</p>
<p>Pendidikan harus menjadi tempat bagi mahasiswa untuk berdebat mengenai makna keadilan dan kebenaran. Pendidikan tidak boleh menjadi tempat yang hanya sekadar mengajarkan konsep, tanpa akhirnya memperdebatkan konsep-konsep tersebut dalam dunia nyata.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/475529/original/file-20220721-9733-u66gg6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/475529/original/file-20220721-9733-u66gg6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/475529/original/file-20220721-9733-u66gg6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/475529/original/file-20220721-9733-u66gg6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/475529/original/file-20220721-9733-u66gg6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/475529/original/file-20220721-9733-u66gg6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/475529/original/file-20220721-9733-u66gg6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/475529/original/file-20220721-9733-u66gg6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Ruang kuliah harus menjadi tempat mahasiswa bisa saling memperdebatkan tentang makna keadilan dalam berbagai kasus dunia nyata.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Unsplash/Edwin Andrade)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://theconversation.com/mata-uang-digital-hingga-hukum-luar-angkasa-dosen-hukum-harus-kreatif-siapkan-mahasiswa-hadapi-laju-teknologi-125890">Menelusuri berbagai putusan</a>, misalnya, sebaiknya tak hanya sempit dalam konteks di Indonesia, tapi juga di luar negeri. Ini akan memberikan pengalaman bagi para mahasiswa mengenai bagaimana menimbang-menimbang keadilan.</p>
<p>Fakultas hukum dapat mengajak mahasiswa memperdebatkan kasus-kasus hipotetis, lalu meminta mereka menganalisis dan menyampaikan solusinya. Dengan kata lain, perdebatan yang ramai – ketimbang penyampaian satu arah – adalah cara yang lebih tepat mendidik mahasiswa hukum menjadi pemecah masalah.</p>
<p>Selain itu, prinsip keadilan juga berarti bahwa lulusan hukum yang menjadi praktisi arbitrase harus menjaga etika sebaik-baiknya.</p>
<p>Fakultas hukum harus lebih tegas menekankan pada mahasiswa tentang kode etik arbiter dan advokat hukum, serta dampaknya pada masyarakat jika hal tersebut mereka langgar.</p>
<p>Belum terpenuhinya berbagai hal ini, menurut kami, menjadi salah satu sebab banyaknya lulusan hukum memiliki wawasan arbitrase yang lemah di saat jalur ini telah menjadi forum penyelesaian sengketa yang paling sering dipilih.</p>
<hr>
<p><em>Anangga W. Roosdiono, Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), juga berkontribusi dalam penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/184491/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Muhamad Dzadit Taqwa tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Banyak lulusan hukum kelak berperan penting dalam penyelesaian sengketa bisnis – dari menjadi arbiter hingga advokat hukum bagi pihak yang bersengketa. Sudahkah kampus menyiapkan mereka dengan baik?Muhamad Dzadit Taqwa, Dosen Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1862042022-07-01T09:00:19Z2022-07-01T09:00:19ZTiga cara mencegah mahasiswa memakai joki untuk tugas kuliah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/472015/original/file-20220701-17-rz6v1g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/ghostly-hands-move-across-computer-keyboard-259310081?src=5JCyWu5ZKS3h2PcUyRl_bg-1-2">(Ian Grainger/Shutterstock)</a></span></figcaption></figure><p>Seberapa familier Anda dengan joki atau jasa penggarapan tugas kuliah di lingkungan pendidikan tinggi?</p>
<p>Menurut <a href="https://www.timeshighereducation.com/news/students-dont-understand-plagiarism-research-suggests">beberapa studi</a>, banyak mahasiswa tidak terlalu paham apa yang sebenarnya dimaksud dengan plagiarisme. Beberapa malah melakukan praktik-praktik yang kurang jujur dalam mengerjakan tugas. Di internet ada banyak sekali posting yang menawarkan jasa penulisan esai untuk berbagai topik, dan dengan harga yang masih masuk akal.</p>
<p>Tapi, jika mahasiswa mendapat penghargaan atau nilai untuk kerjaan yang bukan karya mereka, kualifikasi akademik seakan menjadi tidak bernilai. Ini juga bisa menggerus kepercayaan kita terhadap kualitas lulusan perguruan tinggi.</p>
<p>Suatu studi lawas yang pernah dilakukan dosen bisnis asal Inggris, Bob Perry, <a href="http://alh.sagepub.com/content/11/2/97">mempelajari seberapa parah dan apa saja alasan</a> yang mendorong praktik curang ini di antara 355 mahasiswa sarjana dan 122 mahasiswa pasca-sarjana di suatu kampus. Ia menemukan bahwa 14% mahasiswa sarjana dan 6% mahasiswa pasca-sarjana dalam studi tersebut mengaku pernah mencari jasa joki esai di internet. Sebanyak tujuh mahasiswa bahkan mengaku sudah pernah membeli dan mengumpulkan esai tersebut untuk tugas kuliah.</p>
<p>Saya ragu bahwa dosen di universitas selalu bisa mendeteksi esai pesanan seperti ini. Program seperti Turnitin hanya mencari kesamaan dengan sumber publikasi lain, sehingga belum mampu “<a href="http://turnitin.com/en_us/resources/blog/421-general/1643-does-turnitin-detect-plagiarism">menangkap</a>” tulisan pesanan yang dihasilkan seseorang yang bekerja di balik layar.</p>
<p>Meski dosen bisa saja menuding seorang mahasiswa yang mereka rasa memakai jasa joki, pada kenyataannya praktiknya tidak semudah itu. </p>
<p>Bisa jadi, dosen memandang suatu karya punya kualitas yang jauh lebih baik dari kapasitas mahasiswa yang mengumpulkannya. Misalnya suatu karya mengandung gaya bahasa yang ciamik dan jarang ditunjukkan mahasiswa penulisnya – lalu sang dosen menuduh mereka telah melakukan plagiasi atau memakai joki. Namun, saat menyampaikan ini ke mahasiswa, sehati-hati apapun dosen bertutur kata, omongan mereka bisa jadi terdengar seperti “kok Anda ternyata pintar”, atau “saya mengira Anda bodoh”.</p>
<p>Ini sama sekali bukan hal yang ingin saya katakan pada mahasiswa saya.</p>
<p>Lalu, jika kita punya dugaan bahwa beberapa mahasiswa memakai joki, tapi kita tidak bisa membuktikannya, apa hal realistis yang bisa kita lakukan? Berikut tiga rekomendasi saya.</p>
<h2>1. Langkah preventif</h2>
<p>Pertama, menggunakan metode-metode yang memastikan mahasiswa benar-benar menulis sendiri tugas mereka.</p>
<p>Tradisi klasik ujian lisan, di mana mahasiswa menunjukkan pemahaman mereka terkait materi, bisa jadi menangkap basah mereka yang mengandalkan joki. Tapi, dosen butuh waktu yang lama untuk menyelenggarakannya, kemudian menilai satu persatu ujian lisan dari ratusan mahasiswa. Bagi dosen yang mengajar kelas yang besar, solusi ini kurang praktis.</p>
<p>Sebagai alternatif, sebagaimana yang diusulkan Bob Perry, dosen bisa merancang tugas yang menihilkan peran joki. Saya membayangkan beberapa contoh. </p>
<p>Misalnya, tugas tersebut dapat melibatkan proyek praktik yang lebih banyak, di mana mahasiswa melakukan serangkaian kerjaan yang relevan dengan mata kuliah. Dalam mata kuliah kewirausahaan, tugas bisa berupa mendesain dan menjalankan acara amal sebagai bagian dari modul bisnis.</p>
<p>Namun demikian, tidak semua materi cocok dibawakan atau diuji dengan cara seperti ini mengingat keterbatasan waktu, kesempatan, atau sumber daya.</p>
<h2>2. Hindari esai tradisional</h2>
<p>Kedua, berhentilah memberikan penugasan individual yang bersifat tertulis. Ganti saja dengan metode penilaian yang tidak mudah diselesaikan oleh jasa joki.</p>
<p>Tugas kelompok, di mana mahasiswa bekerja secara kolaboratif untuk menghasilkan esai, laporan, atau karya unik lain juga bisa jadi opsi.</p>
<p>Menghapus tuntutan untuk menghasilkan karya yang seragam, ataupun mengurangi rasa khawatir mahasiswa karena mengerjakan karya tersebut seorang diri, harapannya bisa membuat mereka berhenti memikirkan jasa joki sebagai opsi.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/135206/original/image-20160823-30228-bf4m7x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/135206/original/image-20160823-30228-bf4m7x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/135206/original/image-20160823-30228-bf4m7x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/135206/original/image-20160823-30228-bf4m7x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/135206/original/image-20160823-30228-bf4m7x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/135206/original/image-20160823-30228-bf4m7x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/135206/original/image-20160823-30228-bf4m7x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Penugasan kelompok bisa mendorong mahasiswa berhenti memakai joki.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://www.shutterstock.com/pic-251095102/stock-photo-young-group-of-peoplearchitects-discussing-business-plans.html?src=C2PB7KcwYiMdrYRVh94pTA-1-1">(AstroStar/Shutterstock)</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tujuan akademik mahasiswa juga punya peran penting.</p>
<p><a href="http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1472811713000335">Riset saya bersama beberapa kolega</a> menemukan bahwa mahasiswa yang mengaku gemar belajar lebih suka dimasukkan ke kelompok dengan mahasiswa lain yang tidak mereka kenali. Sementara itu, mereka yang lebih ingin mengejar nilai lebih menyukai berada dalam kelompok berisi orang yang mereka kenal. </p>
<p>Berbekal hal ini, kita bisa mencoba meyakinkan mahasiswa bahwa cara terbaik untuk belajar dan mendapat nilai tinggi adalah untuk bekerja sama dalam tim dan menghindari joki.</p>
<p>Tetap saja, ujian tertulis mungkin memang alternatif terbaik untuk mencegah kecurangan – meski beberapa mahasiswa cenderung mendapat skor rendah saat mengikuti ujian. <a href="http://www.tandfonline.com.libaccess.hud.ac.uk/doi/abs/10.1080/02602930120105045">Studi telah menunjukkan</a> bahwa performa mahasiswa dalam menggarap penugasan bisa jauh lebih baik daripada suatu gelaran ujian. Jadi, menggunakan ujian ketimbang penugasan bisa jadi merugikan beberapa mahasiswa.</p>
<h2>3. Kolaborasi dosen dan mahasiswa</h2>
<p>Ketiga, dan ini adalah opsi yang paling saya sukai, dosen bisa lebih turun tangan dalam garapan mahasiswa mereka. </p>
<p>Dosen bisa merancang asesmen yang mencerminkan kolaborasi penugasan antara guru dan murid. Contoh yang bagus adalah semacam disertasi akhir atau proyek riset yang dihasilkan mahasiswa di bawah pengawasan dan arahan pembimbing.</p>
<p>Jika dosen menghabiskan lebih banyak waktu untuk membantu mahasiswa mengembangkan ide-ide, menyusun argumen, dan mengarahkan riset, maka dosen bisa lebih meyakini bahwa karya akhir tersebut memang hasil kolaborasi antara mereka dan mahasiswa.</p>
<p>Tantangannya adalah mencari mata kuliah dan waktu yang tepat untuk memberikan penugasan semacam ini.</p>
<p>Solusi-solusi ini tentu tidak sempurna. Beberapa di antaranya lebih tepat diterapkan pada konteks-konteks tertentu saja. Namun, patut diingat, lawan kita adalah joki. Jika kampus ingin meyakini kredibilitas lulusan mereka, maka mereka harus segera melakukan sesuatu.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ini pertama terbit dalam bahasa Inggris pada tahun 2016</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/186204/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Bejan Analoui tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Bagaimana caranya dosen memastikan bahwa tugas yang dikumpulkan mahasiswa adalah karya mereka sendiri?Bejan Analoui, Senior Lecturer in Leadership, People, Management and Organisations, The Business School, University of HuddersfieldLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.