Menu Close

Ideologi ibuisme: dulu alat kontrol negara, kini bisa jadi alat kuasa perempuan untuk mencegah kekerasan seksual pada anak

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memberikan paket khusus ibu dan anak kepada pemudik saat berkunjung di Stasiun Pasar Senen, Jakarta. Sigid Kurniawan/Antara Foto

Sudah beberapa tahun terakhir ini Indonesia berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual anak.

Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) menyebutkan sebanyak 56,9% korban kekerasan seksual di Indonesia merupakan anak-anak. Sepanjang 2019 hingga 2021, kekerasan seksual anak meningkat dalam jumlah kasus yang dilaporkan, yaitu 6.454 kasus pada 2019, 6.980 kasus pada 2020 dan 8.730 kasus pada 2022.

Kasus yang dilaporkan itu jumlahnya pasti tidak persis merefleksikan kenyataan di lapangan. Banyak keluarga yang memilih tidak melaporkan kekerasan seksual terhadap anak karena menganggap ini adalah masalah domestik keluarga yang tidak perlu diketahui oleh orang lain.

Beragam respons hingga revisi kebijakan terkait perlindungan anak dilakukan guna penanganan dan pencegahan kekerasan seksual terhadap anak. Namun, belum ada cara yang efektif untuk menanganinya.

Sebagai akademisi dan peneliti bidang sosiologi yang berfokus pada kajian gender dan seksualitas, saya mengkaji bahwa ada ideologi yang disebut ibuisme – sebuah ideologi kultural – yang dapat menjadi sebuah metode alternatif bagi pencegahan kekerasan seksual terhadap anak.

Ideologi ibuisme tumbuh dan berkembang bermula dari lembaga keluarga, yang menjadi pendidikan utama bagi anak-anak.

Sejarah ideologi ibuisme

Awalnya, ibuisme merupakan ideologi yang mendukung setiap tindakan yang diambil oleh perempuan untuk mengurus keluarga, kelompok, kelas, atau negaranya tanpa menuntut kekuasaan atau privilese sebagai imbalan.

Ideologi ibuisme ini dikenalkan oleh Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis dalam tulisannya berjudul “Ibuism and Priyayisation: Pat to Power?” yang dimuat dalam buku “Indonesia Women in Focus: Past and Present Notions”.

Ideologi ini bercirikan tuntutan bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan tinggi untuk mendukung suami dan perkembangan anak-anak mereka agar hidup sejahtera. Perempuan juga dianggap harus mampu memberikan “penghasilan tambahan” untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sekaligus menjaga status sosial keluarga.

Pada era Orde Baru, ideologi ibuisme menjadi bagian dari cara negara menciptakan stabilitas secara terstruktur. Contohnya adalah Dharma Wanita Persatuan dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Perempuan seakan diberi ruang untuk eksis dalam organisasi. Namun, jika dianalisis lebih jauh, perempuan bisa mendapat ruang tersebut karena mengikuti jabatan dan karier suaminya.

Aktivis gender dan penulis Julia Suryakusuma, dalam bukunya yang berjudul “Ibuisme Negara”, menyebutkan ada konstruksi sosial keperempuanan selama masa Orde Baru. Pada masa ini, konsep ibuisme selalu mendefinisikan perempuan sebagai makhluk yang tidak dapat eksis atas dirinya sendiri dan selalu berhubungan erat dengan keluarga, komunitas, negara serta anak, suami, dan bapak.

Ibuisme negara menjadi ideologi gender dan seksualitas yang kerap dipergunakan pemerintah Orde Baru sebagai bentuk kontrol sosial terhadap perempuan.

Ideologi ibuisme negara melembagakan keperempuanan ke dalam narasi melayani suami, keluarga, kelompok dan negara. Tujuan domestikasi perempuan ini tidak lain adalah bentuk penjinakan, depolitisasi (penghapusan dari peran politik), dan segregasi (upaya pemisahan) perempuan.

Dari alat kontrol negara menjadi alat kuasa perempuan

Pada masa sekarang ini, ideologi ibuisme bisa saja dibuat tidak lagi menjadi “kontrol sosial negara” seperti pada masa Orde Baru, melainkan menjadi perspektif baru bagi pergerakan perempuan dan metode yang progresif untuk mencapai kesetaraan.

Apalagi dengan adanya pengesahan UU Nomor 68 Tahun 1958 tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Perempuan dan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

Contoh praktiknya adalah pembentukan aliansi kelompok perempuan Indonesia yang berfokus pada visi jangka panjang mencapai kesetaraan gender dan mewujudkan keberdayaan perempuan. Ada pula Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang menjadi bukti nyata bahwa gerakan progresif perempuan dapat menjadi alat kuasa perempuan untuk melakukan kontrol di tingkat nasional.

Dengan tercapainya kesetaraan dan keadilan gender, distribusi kasus kekerasan berbasis gender akan mampu ditekan.

Dalam kaitannya dengan kekerasan seksual terhadap anak, ibuisme dapat menjadi alat kuasa perempuan untuk melakukan pencegahan, ini karena narasi ibuisme berkorelasi dengan aspek afeksi keperempuanan dalam keluarga.

Walaupun disebut afeksi keperempuanan, tapi konstruksi ibuisme bisa, bahkan sudah semestinya, diturunkan kepada laki-laki juga.

Contoh praktiknya, di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, ada program Kelurahan Ramah Perempuan dan Anak yang menjadikan warga (semua kalangan) sebagai satuan tugas dalam mencegah kekerasan seksual anak.

Contoh lainnya adalah implementasi program desa/kelurahan ramah perempuan dan peduli anak (DRPPA) di Desa Kepundungan, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Kader PKK di sana sebelumnya tidak aktif bermusyawarah, tapi kini seluruhnya pro aktif menjadi agen sosialisasi dan pencegahan kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak di desa tersebut.

Gerakan SAPA (Sahabat Perempuan dan Anak) Kementerian PPA juga merupakan contoh langkah strategis yang ditujukan untuk membangun modal sosial di masyarakat sehingga ada perubahan sikap dan perilaku positif terhadap situasi responsif gender. Kader-kader SAPA ini adalah contoh konkret hadirnya narasi ibuisme hingga di masyarakat pedesaan.

Ketika pemerintah mampu mengorganisasi dan mendorong kelembagaan perempuan untuk aktif dalam politik dan ruang publik, maka mereka juga semestinya mampu menekan kelembagaan tersebut untuk menjadi agen dan promotor pencegahan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia.

Hukuman bagi predator anak belum beri efek jera

Sejak 2014, para pembuat kebijakan telah berupaya merevisi Undang-Undang Perlindungan Anak agar lebih komprehensif. Poin tentang kekerasan seksual terhadap anak menjadi yang paling penting dalam pembahasannya.

Larangan melakukan kekerasan seksual terhadap anak tercantum dalam Pasal 76 Undang-Undang (UU) Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 82 ayat 1 menegaskan sanksi berupa pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. Ada tambahan pidana berupa pengumuman identitas pelaku, rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik, hingga kebiri kimiawi.

Hukuman tambahan berlaku jika kekerasan seksual dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama.

Meski demikian, pemberatan ancaman pidana ternyata belum cukup efektif untuk memberikan efek jera bagi pelaku.

Hingga saat ini, hanya sebagian kecil orang tua yang sudah memahami pentingnya pendidikan seksual untuk anak mereka. Kebanyakan belum memahami bagaimana cara melakukan, bahkan memulai, pendidikan seksual untuk anak mereka.

Padahal, menurut catatan tahunan Komnas Perempuan, pelaku kekerasan seksual terhadap anak lebih banyak dilakukan oleh orang terdekat, termasuk keluarga. Artinya, keluarga yang menjadi tulang punggung pendidikan utama, justru menjadi tempat paling mengerikan bagi anak-anak.

Oleh karena itu, perlu pendekatan untuk mengembalikan lembaga keluarga sebagai tumpuan pendidikan masa depan anak. Ideologi ibuisme yang berkorelasi terhadap hubungan negara-keluarga, dapat menjadi harapan baru.

Ibuisme bukan hanya bagi perempuan

Melalui pendekatan ibuisme, baik laki-laki maupun perempuan dapat menjadi agen perubahan dalam masyarakat untuk mencegah kekerasan seksual terhadap anak dengan cara menyampaikan pesan-pesan preventif, kemudian anak-anak belajar mengenai hak-hak atas tubuh dan privasi mereka, serta batasan dalam interaksi sosial dan hubungan antarpribadi.

Namun, untuk mengoptimalkan potensi pendekatan ini, diperlukan upaya meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pencegahan kekerasan seksual terhadap anak dan peran orang tua dalam mencegah kekerasan tersebut.

Selain itu, dibutuhkan dukungan dan koordinasi antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah dalam menjalankan program-program pencegahan kekerasan seksual terhadap anak, termasuk pendekatan yang berideologi ibuisme.

Meskipun begitu, perlu diingat bahwa ibuisme bukanlah satu-satunya jalan keluar dan solusi dalam pencegahan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Diperlukan upaya yang holistik dan terintegrasi dari seluruh pihak untuk mencegah kekerasan seksual terhadap anak dan memperkuat perlindungan bagi anak-anak Indonesia, terutama kesadaran masyarakat dan regulasi yang lebih ketat.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now