Menu Close
Seorang warga melihat api yang membakar hutan di desa Trikora, Bintan, Kepulauan Riau. Feri/Antara

Indonesia belum siap hadapi panasnya suhu Juli yang picu kekeringan dan kebakaran hutan

Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional (Oceanic and Atmospheric Administration/NOAA) Amerika Serikat mencatat bulan lalu sebagai Juli yang terpanas selama 142 tahun terakhir.

Catatan NOAA yang berasal dari hasil pemantauan Pusat Informasi Lingkungan Nasional (National Centers for Environment Information/NCEI) menyatakan, suhu global pada Juli lalu lebih tinggi 0,98 C dari suhu rata-rata di bulan yang sama selama lebih dari seabad, sebesar 15,8 C.

Tingginya tingkat emisi dianggap menjadi biang keladi terjadinya perubahan iklim yang berimbas pada kenaikan suhu global. Panasnya suhu dunia pada Juli menyebabkan kebakaran di berbagai wilayah: mulai dari Italia hingga Rusia.

Kenaikan suhu turut meningkatkan kadar air dalam atmosfer yang melonjakkan curah hujan. Banjir akhirnya terjadi di banyak negara.

Ancaman peningkatan kebakaran hutan

Ahli perubahan iklim dan lingkungan Universitas Indonesia, Mahawan Karuniasa, mengemukakan kenaikan suhu bumi hingga 1,5 derajat bisa terjadi pada empat tahun mendatang. Jika risiko itu terjadi, maka kebakaran hutan dan lahan bisa lebih sering melanda Indonesia.

Dia mengapresiasi tren kebakaran yang menurun sejak beberapa tahun terakhir. Upaya pemerintah menahan laju deforestasi dan memulihkan lahan gambut juga sudah intens.

Namun, langkah itu belum cukup. Mahawan menilai Indonesia belum sepenuhnya siap jika kebakaran hebat terjadi di banyak tempat. Pasalnya, Indonesia masih mengandalkan proyeksi citra satelit untuk memantau titik api (hotspot).

Padahal, ketika suhu semakin panas, titik api itu lebih cepat menyebar. Sementara, petugas maupun masyarakat setempat belum tentu tiba di lokasi tepat waktu.

Upaya pencegahan kebakaran yang belum efektif juga terjadi karena persoalan di lapangan. Hal ini terbukti di Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Selatan.

Studi yang dipublikasi pada 2018 menemukan, petugas pencegahan kebakaran hutan Mantangai tidak melaksanakan patroli pemantauan api secara rutin. Para petugas justru lebih sering meminta informasi kebakaran dari kepala desa melalui pesan WhatsApp.

Adapun tugas tersebut tidak terlaksana lantaran anggaran patroli yang sangat kecil, sehingga aparat tak memiliki cukup dana untuk membeli bahan bakar minyak.

Mahawan mengingatkan bahwa persoalan kebakaran hutan bukan hanya urusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tapi juga pemerintah provinsi hingga otoritas desa. Upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran harus menjadi prioritas bersama di tengah suhu global yang terus memanas.

Selain upaya pengendalian kebakaran, pemerintah juga perlu memperkuat indikator baru, misalnya tingkat kelembapan tanah di lahan gambut.

Pemerintah dapat memantau kondisi lahan gambut secara langsung. Nantinya, jika kelembapan tanah di suatu lahan gambut berkurang drastis, otoritas dapat menerjunkan tim untuk memulihkannya.

“Kelembapan gambutnya harus dipetakan,” kata dia.

Mahawan mengatakan, tanpa pencegahan dan pengendalian yang efektif, maka kebakaran hutan dapat terjadi sehingga berisiko meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK).

Pada 2015, emisi GRK Indonesia sempat melonjak ke 2,3 juta gigaton setara CO2 (Gg CO2e) dibanding tahun sebelumnya 1,5 juta Gg CO2e. Kenaikan itu disumbang oleh kebakaran hutan dan lahan seluas 2,6 juta hektare.

Risiko kekeringan ekstrem

Guru besar ilmu pertanian Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa, menyatakan tahun ini Indonesia tidak terdampak kenaikan suhu secara langsung karena mengalami tahun basah akibat La Nina.

“Tahun basah itulah yang membuat produktivitas pertanian Indonesia tidak menurun,” ujar Dwi.

Kendati begitu, tren kenaikan suhu bumi harus menjadi perhatian serius pemerintah. Pemanasan global dapat berdampak pada kekeringan ekstrem. Sementara, sistem pengairan untuk mengairi lahan pertanian saat ini belum optimal.

Dwi menyarankan pemerintah menggenjot pembuatan embung di sekitar kawasan pertanian supaya para petani tak bergantung pada curah hujan. Harapannya, risiko panjangnya kekeringan tak berdampak langsung pada aktivitas pertanian.

Dampak lainnya dari kenaikan suhu adalah serangan hama yang dapat semakin intens karena cuaca yang panas. Menurut Dwi, masih banyak petani lokal yang belum siap yang menghadapi ancaman ini karena kurangnya penyuluhan pemerintah.

“Kalau (tanaman) terus disemprot pestisida, justru merusak lingkungan,” kata Dwi.

Dia mengharapkan pemerintah kembali menggalakkan program sekolah pengendalian hama terpadu. Dalam program ini, petani dididik untuk menghadapi serangan hama dengan cara alami, misalnya melalui upaya budi daya tanaman sehat.

Selain dua hal tersebut, upaya jangka panjang yang mesti diperbanyak adalah sekolah lapangan untuk perubahan iklim.

Kelompok tani, Dwi bertutur, harus mengetahui kondisi bumi yang berubah, serta upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapinya.


Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now