Menu Close
Akar-akar pohon bakau.
Ekosistem mangrove memberikan manfaat bagi manusia, mulai dari penyedia sumber makanan hingga mengatasi dampak krisis iklim. Jonathan Wilkins/wikimedia

Indonesia masukkan mangrove dalam program rehabilitasi lahan, berikut dua masukan dari ahli

Para pakar dan penggiat mangrove menyambut baik pembentukan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove atau BRGM oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

BRGM merupakan kelanjutan dari Badan Restorasi Gambut (BRG), badan yang didirikan pada tahun 2016 untuk mengatasi kebakaran lahan gambut di Indonesia. Badan ini telah selesai masa kerja pada tahun 2019 lalu.

Sesuai dengan namanya, fokus BRGM kali ini juga mencakup rehabilitasi mangrove seluas 600,000 hektare di sembilan provinsi yaitu di Sumatra Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Papua dan Papua Barat, hingga tahun 2024.

Yaya Ihya Ulumuddin, peneliti mangrove, Kelompok Penelitian Bioekologi Vegetasi Laut, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, melihat berdirinya BRGM sebagai salah satu tumpuan harapan dalam restorasi mangrove di Indonesia dan tanda komitmen pemerintah akan perbaikan lingkungan.

“Masuknya mangrove ke dalam Perpres yang mengatur BRGM merupakan salah satu tumpuan untuk harapan kami dalam restorasi mangrove di Indonesia. Ini merupakan tanda komitmen pemerintah akan perbaikan lingkungan khususnya mangrove,” terang Yaya.

Kerusakan hutan mangrove di Indonesia terjadi akibat adanya aktivitas manusia, seperti budi daya perikanan, pertambakan, hingga perkebunan.

Data Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK) tahun 2017 menyebutkan bahwa dari total luas mangrove di Indonesia sebesar 3,49 juta hektare, hampir lebih dari setengahnya atau sekitar 1,82 juta hektare rusak.

Foto aeral pesisir hutan bakau dengan perkebunan kelapa sawit di sebelahnya.
Kerusakan kawasan penyangga cagar alam mangrove di pantai timur Sumatra yang sebagian telah beralih fungsi menjadi areal perkebunan kelapa sawit. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/wsj

Padahal mangrove memiliki banyak manfaat bagi masyarakat, mulai dari penyedia sumber makanan dan obat, proteksi dari badai dan gelombang, pencegah abrasi, tempat memijah ikan, hingga tempat wisata.

Selain itu, mangrove memiliki peran yang krusial dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.

Kehilangan hutan mangrove akan berdampak kepada masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir dan menggantungkan hidup mereka dari kawasan mangrove. Kebanyakan komunitas ini adalah kalangan menengah ke bawah.

Dua orang duduk di atas pohon bakau.
Hutan mangrove memiliki potensi sebagai salah satu destinasi wisata pesisir. ANTARA FOTO/Akbar Tado/17

Pemulihan mangrove adalah kerja bersama

Meski demikian, Yaya mengingatkan bahwa perlu ada sinergi dan pembagian tugas yang jelas karena usaha rehabilitasi sudah dilakukan oleh banyak pihak, terutama KLHK dan KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan).

“Mandat rehabilitasi mangrove seluas 600.000 [hektare] ini tidak dibebankan sepenuhnya ke BRGM. Tetapi, didistribusikan dengan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), dan pemerintah daerah. LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan masyarakat lokal juga dapat turut aktif dalam menyelesaikan rehabilitasi ini untuk mencapai area yang sudah ditargetkan,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia mengusulkan adanya pengecekan ulang terhadap peta lahan mangrove yang perlu dipulihkan dan pengumpulan data, seperti keterlibatan masyarakat, akses, kondisi biofisik, ketersediaan bibit, dan metode penanaman yang sesuai.

Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) memiliki target rehabilitasi mangrove seluas 600 ribu hektare hingga 2024. ANTARA FOTO/Ampelsa/ama

Sementara itu, I Nyoman Suryadiputra, direktur Wetlands Internasional Indonesia, sebuah organisasi nirlaba dengan fokus untuk konservasi dan restorasi lahan basah, mengingatkan perlu ada kesepakatan bersama terkait dengan definisi kritis bagi mangrove.

“Menurut saya, kritis tidak saja dinilai dari tingkat kerapatan mangrove, tapi dari adanya ancaman lahan pesisir yang di beberapa lokasi mengalami penurunan (subsidence) dan abrasi serta adanya kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim,” jelas Suryadiputra.

Dia juga menambahkan ancaman perubahan iklim bisa mempengaruhi keberhasilan rehabilitasi mangrove.

“Untuk jangka waktu 4 tahun, tergantung kesiapan dari pihak-pihak yang akan dilibatkan dan agar hasilnya berkelanjutan dan cepat nampak,” katanya.

Berbasis masyarakat dan tepat sasaran

Dietriech Bengen, Guru Besar Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan, IPB University, menegaskan bahwa rehabilitasi mangrove harus berbasis masyarakat guna menjamin keberlanjutan ekologi dan sosial-ekonomi masyarakat sebagai penerima manfaat.

“Sebaiknya fokus rehabilitasi harus berbasis desa sebagai unit terkecil dan melalui proses pengelolaan terpadu,” lanjut Dietriech yang memiliki pengalaman mengelola proyek kawasan pesisir sejak tahun 1997.

Lebih lanjut, ia mengatakan fokus rehabilitasi mangrove harus mulai di wilayah pesisir yang memiliki potensi besar tetapi mendapatkan tekanan besar akibat perkembangan pembangunan yang kurang mengindahkan prinsip-prinsip keberlanjutan.


Read more: Jika diteruskan, reklamasi Jakarta bisa rusak ekosistem dan perparah sampah pesisir


Suryadiputra mengatakan bahwa pemilihan daerah sudah tepat karena cukup representatif untuk keberadaan mangrove di Indonesia, mulai dari kawasan dengan mangrove yang sudah rusak (pantai Timur Sumatra) hingga potensial terancam rusak akibat alih fungsi (Papua dan Papua barat).

“Saya sarankan agar target lokasi adalah pada pertambakan (ada sekitar >750.000 hektare di seluruh Indonesia) dengan menerapkan tambak tumpang sari (sylvofishery),” jelas Suryadiputra.

Tambak tumpang sari merupakan program penghijauan dan kegiatan ekonomi (budi daya ikan, udang hingga kerang hijau), pada kawasan mangrove secara bersamaan tanpa harus mengubah lahan.

Foto udara tambak udang vaname intensif di sekitar area hutan mangrove tepi pantai.
Pertambakan memiliki kontribusi dalam kerusakan ekosistem mangrove, namun bisa menjadi solusi ekonomi bagi masyarakat apabila dikelola dengan berkelanjutan dan ramah lingkungan. ANTARA FOTO/Aji Styawan/foc

Lebih lanjut, ia menyarankan pemberian insentif keringanan pajak bagi pemilik tambak yang bersedia menerapkan sylvofishery, sebaliknya, pajak yang tinggi bagi yang tidak bersedia.

“Dengan cara mengembangkan kebijakan seperti ini, pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana atau menggunakan dana pinjaman luar negeri, melainkan akan mendapatkan uang tambahan dari masyarakat petambak,” jelasnya.

Yaya menambahkan bahwa target pemerintah untuk menyelesaikan rehabilitasi lahan mangrove seluas 600,000 hektare selama kurang dari lima tahun akan sulit tercapai karena memerlukan pemeliharaan, bukan hanya penanaman.

“Paling tidak 5 tahun mangrove [agar] dapat dibiarkan tumbuh secara alami. Dengan metode tanpa tanam pun, paling tidak 5 tahun akan terlihat adanya permudaan alami dan membentuk hutan mangrove kembali,” katanya.


Turut diwawancara dalam artikel ini, I Nyoman Suryadiputra, direktur Wetlands Internasional Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now