Menu Close
Adeng Bustomi/Antara

Ini 5 tantangan Indonesia memangkas emisi sektor peternakan

Presiden Joko Widodo mengesahkan target baru Indonesia dalam memangkas emisi gas rumah kaca hingga delapan tahun ke depan.

Emisi yang dikurangi berasal dari beragam sektor, di antaranya sektor energi, industri, hutan dan penggunaan lahan, sampah, serta sektor pertanian dan peternakan.

Khusus sektor peternakan, pemerintah menargetkan pengurangan emisinya melalui dua strategi: pemanfaatan kotoran hewan ternak menjadi bahan bakar biogas. Sedangkan strategi kedua adalah pemberian pakan suplemen untuk mengurangi gas metana dari sistem pencernaan ruminansia (hewan ternak seperti sapi, kerbau, domba, dan kambing.)

Kotoran dan sistem pencernaan ternak menjadi fokus strategi pemerintah karena keduanya adalah penyumbang terbesar emisi sektor peternakan yang berjumlah 30 juta ton setara CO2 (Mt CO2e) atau 28% emisi GRK dari sektor pertanian.

Dua strategi di atas diharapkan dapat berkontribusi dalam penurunan emisi sektor pertanian sebesar 10–12 Mt CO2e pada 2030.

Namun waktu Indonesia tidak banyak, hanya sekitar delapan tahun. Saya mencatat lima tantangan yang mesti segera diatasi pemerintah agar pengurangan emisi sektor peternakan berjalan mulus.

1) Risiko kebocoran biogas

Biogas adalah gas hasil fermentasi kotoran ruminansia yang dikumpulkan dalam biodigester atau wadah tertutup. Pengolahan biogas diharapkan mencegah pelepasan emisi gas metana, karbon dioksida, dan hidrogen sulfida dari kotoran hewan ternak.

Sejumlah masyarakat, terutama penduduk sekitar kawasan peternakan, sebenarnya telah memanfaatkan biogas skala kecil untuk memasak. Jika diproduksi dalam skala besar, biogas dapat dijadikan sumber energi listrik.

Sayangnya, pengolahan biogas masih tak luput dari kebocoran emisi gas metana. Angkanya berkisar antara 1-12% dari total produksi gas metana, tergantung dari material biodigester.

Biogas dari biodigester
Tempat penampungan ampas buangan salah satu biodigester milik peternak di Lembang, Jawa Barat, tanpa penutup sehingga risiko kebocoran semakin tinggi. (Author provided)

Penelitian kami di Lembang, Jawa Barat, mencatat kebocoran gas metana sebesar 4-53 kg tiap tahun masih terjadi dari biodigester berukuran 6 meter kubik (m3) milik para peternak.

Selain risiko kebocoran gas metana, emisi gas nitrogen oksida dari produksi biogas juga perlu diperhatikan. Jumlahnya sekitar 5-50% dari kandungan nitrogen dalam ampas buangan biodigester yang menguap ke udara.

Guna mengurangi risiko kebocoran gas metana, kualitas material dan perawatan biodigester perlu menjadi catatan. Sedangkan emisi gas nitrogen oksida dapat dikurangi dengan menutup tempat penampungan ampas buangan untuk mencegah penguapan nitrogen.

Pemerintah maupun akademisi dapat memberi penyuluhan pada peternak untuk mengurangi kebocoran emisi dari produksi biogas.

2) Keterbatasan lahan dan tenaga

Seorang peternak yang mengelola fasilitas biogas di Jawa Tengah. (Dinas ESDM Jawa Tengah)

Sebagai pengganti elpiji, biogas telah terbukti memberi manfaat ekonomi bagi peternak. Misalnya, fasilitas biogas skala kecil dapat memproduksi rata-rata 654 m3 biogas dalam setahun. Angka ini setara dengan 100 tabung elpiji kemasan 3 kg.

Sayangnya, banyak peternak yang masih sulit membangun biodigester karena keterbatasan lahan, terutama peternak skala kecil. Kalaupun peternak memiliki lahan, jaraknya cukup jauh dengan kandang ataupun rumah. Hal ini menyulitkan proses pengumpulan kotoran dan penyaluran biogas untuk memasak.

Selain lahan, masalah lainnya adalah tenaga.

Penelitian kami menemukan bahwa emisi dari peternakan sapi perah yang mengolah biogas biodigester tidak jauh berbeda dengan peternakan sapi perah tanpa biogas. Pasalnya, peternak tak memiliki cukup waktu dan tenaga untuk mengolah lebih banyak kotoran ternak menjadi biogas.

Dua kendala di atas sebenarnya dapat disiasati dengan kolaborasi. Misalnya sekelompok peternak yang memiliki kandang berdekatan dapat menentukan lokasi strategis untuk biodigester komunal. Saluran untuk mengumpulkan kotoran ternak dibuat langsung dari kandang ke biodigester dan pipa penyalur biogas dibuat langsung ke setiap rumah.

Para peternak dapat berbagi tugas untuk memastikan fungsi biodigester. Untuk mewujudkan kolaborasi, peran kelompok peternak dan koperasi dalam produksi biogas harus dimaksimalkan.

3) Efektivitas pakan suplemen yang tak seragam

Sapi-sapi tengah makan di sebuah peternakan di Blitar, Jawa Timur. (Pemkab Blitar)

Pemberian pakan suplemen dapat memanipulasi pembentukan gas metana di sistem pencernaan ruminansia dengan cara mengganggu kinerja mikroorganisme yang berperan dalam pembentukan gas metana.

Namun, efektivitasnya sangat bervariasi, salah satunya dipengaruhi oleh jenis pakan suplemen. Sebagai contoh, penelitian kami menemukan penggunaan tanin sebagai pakan suplemen domba tidak serta-merta menurunkan gas metana dari sistem pencernaan. Efektivitas suplemen baru meningkat setelah pemberian tanin dilengkapi dengan minyak kedelai.

Faktor lain yang berpengaruh terhadap efektivitas pakan suplemen adalah kualitas pakan utama ternak yang dipengaruhi oleh ketersediaan pakan. Akibatnya, efek pakan suplemen antara satu peternakan dengan lainnya tidak seragam.

Penelitian lebih lanjut pada ternak ruminansia perlu dilakukan untuk mengetahui efektivitas pakan suplemen dalam mengurangi gas metana. Sejauh ini, Indonesia baru mengidentifikasi tanaman sebagai pakan suplemen dalam skala laboratorium.

Pemerintah perlu berinvestasi dan mendukung kolaborasi internasional demi mengembangkan penelitian di bidang pakan suplemen. Salah satu caranya dengan mendanai aliansi riset global tentang emisi dari sektor pertanian.

4) Pakan suplemen yang mahal

Pakan suplemen untuk ternak ruminansia untuk mengurangi gas metana sebenarnya sudah tersedia di pasaran, tapi harganya mahal.

Seekor sapi sedang melahap pakannya. Pakan suplemen menjadi sangat penting untuk meredam emisi metana dari ternak ruminansia. (Author provided)

Sebuah penelitian mengungkapkan, penggunaan pakan suplemen dapat meningkatkan biaya pakan sebesar 5%. Meski terbilang kecil, peternak kerap enggan melakukannya karena biaya pakan menyumbang porsi terbesar dari total biaya produksi peternakan.

Saat ini, pakan suplemen masih belum diproduksi oleh industri di Indonesia. Para peternak masih harus membelinya dari Eropa dan Amerika sehingga biaya perolehannya bisa jadi lebih mahal. Ini menjadi persoalan karena mayoritas peternak Indonesia merupakan peternak skala kecil.

Pemerintah Indonesia dapat memberikan subsidi agar harga pakan suplemen ini lebih terjangkau oleh peternak skala kecil.

Pilihan lainnya adalah penyediaan pakan hijauan seperti daun dari tumbuhan polong-polongan yang mengandung saponin dan tanin. Pemberian hijauan segar akan lebih murah daripada pakan suplemen yang diracik industri. Karena itulah pemerintah perlu menyediakan fasilitas dan penyuluhan untuk pengembangan hijauan sebagai pakan suplemen ruminansia.

5) Berpacu dengan waktu

Pada 2030, pemerintah menargetkan pemberian pakan suplemen kepada sekitar 8,07 juta ekor ruminansia.

Namun, sebagaimana saya jelaskan sebelumnya, program ini belum ditunjang oleh pasokan pakan suplemen dari industri dalam negeri. Di pasar global, pasokan pakan suplemen juga masih terbatas.

Sementara, proses penelitian dan pengembangan produk pakan bisa memakan waktu bertahun-tahun. Produk pakan suplemen Bovaer dari Eropa, misalnya, yang membutuhkan waktu 11 tahun sejak penelitian hingga perolehan izin edar.

Agar target pemberian pakan suplemen tercapai, pemerintah lebih baik berfokus mengembangkan tanaman pakan lokal yang efektif mengurangi emisi gas metana dari ruminansia sekaligus sudah dikenal oleh peternak di Indonesia. Contohnya tumbuhan polong-polongan yang mengandung tanin dan saponin seperti lamtoro, kaliandra, dan alfalfa.


Read more: Rencana Indonesia swasembada susu perlu hati-hati agar tak membebani emisi bumi


Target pengolahan biogas Indonesia juga tak kalah ambisius.

Pemerintah berencana memanfaatkan kotoran dari 249.000 sapi untuk produksi biogas. Pemenuhan target ini membutuhkan penyediaan 62.250 unit biodigester untuk mengolah kotoran 249.000 ekor sapi. Perhitungan tersebut berdasarkan kapasitas satu unit biodigester berukuran 6 m3 untuk mengolah kotoran empat ekor sapi.

Sementara, target tersebut harus dipenuhi dalam waktu delapan tahun. Ini menjadi tantangan tersendiri karena program Biogas Rumah (BIRU) pemerintah hanya berhasil membantu pembuatan sekitar 25 ribu biodigester dalam periode 2009-2019.

Pemerintah perlu berupaya keras mewujudkan target pemanfaatan kotoran sapi menjadi biogas. Belajar dari program BIRU, sinergi antara pemerintah, peternak, koperasi, dan lembaga keuangan adalah kunci untuk percepatan pembuatan biodigester.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now