Menu Close
Ollyy/Shutterstock

Inilah yang terjadi di otak ketika kita berbeda pendapat

Kita pasti pernah mengalaminya; ketika kita berada di tengah ketidaksepakatan yang memanas dan kita mulai kehilangan rasa hormat terhadap pihak lawan bicara.

Debat ini bisa jadi tentang pemilihan umum kemarin atau tentang pengasuhan anak, mungkin merasa argumen Anda dianggap tidak dihargai, atau bahkan diabaikan. Namun, apakah Anda pernah bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dalam benak orang yang berbeda pendapat dengan Anda?

Dalam sebuah studi baru-baru ini, yang baru saja dipublikasikan di Nature Neuroscience, kami dan rekan kami mencatat aktivitas otak orang-orang selama perselisihan berbeda pendapat untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di sana.

Dalam percobaan ini, kami meminta 21 pasangan sukarelawan untuk membuat keputusan keuangan. Secara khusus, mereka masing-masing harus menaksir nilai suatu perumahan dan mempertaruhkan uang untuk penilaian mereka. Semakin yakin mereka dalam penilaian, semakin banyak pula uang yang mereka pertaruhkan.

Setiap sukarelawan kemudian berbaring di pemindai pencitraan otak saat melakukan tugas tersebut sehingga kami dapat merekam aktivitas otak mereka. Kedua alat pemindai dipisahkan oleh dinding kaca dan para relawan dapat melihat penilaian dan taruhan pasangannya dari layar mereka.

Ketika para relawan menyetujui harga suatu perumahan, maka mereka masing-masing akan menjadi lebih percaya diri atas penilaian mereka dan mereka bertaruh lebih banyak uang untuk itu.

Ini masuk akal, misalnya jika saya setuju dengan Anda maka Anda merasa lebih yakin bahwa Anda pasti benar. Aktivitas otak setiap orang juga mencerminkan pembentukan tingkat kepercayaan diri pasangannya.

Secara khusus, aktivitas bagian otak yang disebut korteks frontal medial posterior (posterior medial frontal cortex), yang kita tahu terlibat dalam disonansi kognitif, melacak tingkat kepercayaan dari pasangan Anda. Kami menemukan bahwa semakin percaya seorang relawan, semakin percaya diri pula pasangannya, begitu pula sebaliknya.

Kendati demikian, yang menjadi bagian menariknya, ketika para pasangan tidak sependapat, otak mereka menjadi kurang peka terhadap kekuatan pendapat orang lain.

Setelah perselisihan ini terjadi, korteks frontal medial posterior tidak bisa lagi melacak kepercayaan diri pasangan Anda. Akibatnya, pendapat dari pasangan mereka yang tidak setuju ini akan berdampak kecil pada keyakinan seseorang bahwa mereka benar, terlepas dari apakah pasangan yang tidak setuju ini sangat yakin dalam penilaian mereka atau bahkan ragu-ragu.

Otak kita dapat mengungkapkan banyak hal tentang perilaku kita. Triff

Ternyata, ini bukan permasalahan mengenai relawan yang kurang memperhatikan pasangan mereka ketika mereka tidak setuju. Kami mengetahui ini karena kami menguji memori relawan kami tentang penilaian dan taruhan pasangan mereka. Tampaknya, pendapat yang bertentangan ini lebih cenderung dianggap jelas-jelas salah sehingga kekuatan pendapat tersebut tidak penting bagi pasangannya.

Masyarakat yang terpolarisasi

Kami menduga bahwa ketidaksepakatan tentang topik panas seperti politik membuat orang-orang makin kecil kemungkinannya untuk mencatat dan memperhatikan kekuatan pendapat yang bertentangan.

Temuan kami dapat menjelaskan beberapa fenomena baru yang membingungkan terjadi di masyarakat. Misalnya, dalam dekade terakhir, para ilmuwan iklim telah menyatakan dengan keyakinan yang luar biasa bahwa perubahan iklim terjadi karena ulah manusia.

Namun, sebuah survei oleh pusat penelitian Pew menunjukkan bahwa persentase politikus Partai Republik di Amerika Serikat yang meyakini anggapan ini sebagai sebuah kebenaran mengalami penurunan dalam periode waktu yang sama. Meski ada alasan yang kompleks dan berlapis-lapis untuk fenomena spesifik ini, hal ini mungkin berkaitan dengan bias soal kekuatan pendapat orang lain terbentuk dalam otak kita.

Temuan ini juga dapat diramalkan ke peristiwa politik saat ini, sebagai contoh yaitu proses dengar pendapat mengenai pemakzulan Presiden AS Donald Trump. Studi kami menunjukkan bahwa apakah seorang saksi tampak “tenang, percaya diri, dan dapat menguasai fakta-fakta” (seperti yang dikatakan pejabat pemerintah Bill Taylor ketika memberikan kesaksian selama persidangan) atau “tidak stabil dan tidak pasti” (seperti yang dijelaskan oleh Kepala FBI Robert Muller ketika bersaksi tentang penyelidikan penasihat khusus pada Juli lalu) akan sedikit berpengaruh bagi mereka yang sudah berpendapat menentang pemakzulan ketika kesaksian itu tidak mendukung presiden. Namun, hal ini tentu akan mempengaruhi keyakinan mereka yang mendukung pemakzulan.

Lalu bagaimana kita meningkatkan peluang kita untuk didengar oleh anggota kelompok yang memiliki pendapat berseberangan dengan kita? Studi kami juga mencoba menggunakan “resep yang telah dicoba dan diuji” (sebagaimana yang dilakukan Ratu Elizabeth II baru-baru ini saat berbicara mengenai perbedaan pendapat mengenai Brexit) untuk menemukan pengertian dan kesepahaman bersama.

Kekuatan sebuah pendapat yang dipikirkan secara hati-hati cenderung diacuhkan ketika ketidaksepakatan muncul dengan tumpukan bukti kuat yang menjelaskan mengapa kita benar dan pihak lain salah.

Namun, jika kita mulai dari kesepahaman bersama (common ground) – sebuah bagian dari permasalahan yang kita sepakati sebelumnya – kita akan terhindar dari dianggap sebagai “pembuat perselisihan” dari awal, sehingga membuat pendapat kita lebih mungkin didengar dan dianggap penting.

Ambil contoh dalam usaha untuk mengubah keyakinan orang tua yang menolak untuk memvaksinasi anak-anak mereka karena mereka secara salah meyakini bahwa vaksin berhubungan dengan autisme. Hadirnya bukti kuat yang menyangkal keterkaitan dua hal tersebut ternyata tidak banyak mengubah pikiran mereka.

Namun, dengan mengatakan bahwa bahwa vaksin melindungi anak-anak dari penyakit yang berpotensi mematikan – sebuah pernyataan yang mudah disetujui oleh para orang tua itu – membuat mereka meningkatkan niat untuk memvaksinasi anak-anak mereka hingga tiga kali lipat.

Jadi di tengah-tengah perselisihan yang memanas ini, ingatlah bahwa kunci perubahan sering kali ditemukan dalam kepercayaan atau niat yang dimiliki bersama.

Rizki Nur Fitriansyah menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now