tag:theconversation.com,2011:/institutions/bangkok-university-2736/articlesBangkok University2018-01-15T11:32:22Ztag:theconversation.com,2011:article/900302018-01-15T11:32:22Z2018-01-15T11:32:22ZPendidikan trans-ASEAN mengajak mahasiswa mengalami wawasan regional yang sesungguhnya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/201924/original/file-20180115-101492-104ffg3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Mahasiswa dari berbagai negara ASEAN melakukan pertukaran di universitas di Thailand. </span> <span class="attribution"><span class="source">Thiranun Kunatum/Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Perayaan ulang tahun ke-50 ASEAN pada Agustus tahun lalu mulai meredup, dan sekarang justru perhatian tertuju pada pelbagai tugas demi mencapai visi ambisius untuk menciptakan masyarakat ekonomi, sosial budaya, dan politik yang terintegrasi. Pendidikan adalah satu bidang yang dianggap berperan penting dalam proses pembentukan masyarakat ASEAN ini.</p>
<p>Rencananya adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan membentuk identitas regional, sambil menyumbang pada pertumbuhan ekonomi. Dari sekian banyak rencana aksi yang disusun pada <a href="http://asean.org/?static_post=fourteenth-asean-summit-thailand-26-february-1-march-2009">ASEAN Summit ke-14 di Cha-Am Hua-in pada 2009</a>, regionalisasi pendidikan tinggi mendapat tempat penting dalam agendanya. </p>
<p>Inisiatif berpusat pada memupuk kerja sama antara lembaga pendidikan dengan meningkatkan daya banding mereka melalui jaminan kualitas dan kerangka kualifikasi. ASEAN juga berencana mendorong proyek-proyek riset bersama dan mendorong mobilitas mahasiswa dan staf melalui sistem transfer kredit bersama dan mekanisme lain yang sejenis.</p>
<p>Pembentukan “<a href="https://www.insidehighered.com/blogs/globalhighered/towards-harmonization-higher-education-southeast-asia">Ruang Bersama ASEAN untuk Pendidikan Tinggi</a>” melibatkan <a href="http://www.qs.com/the-rise-of-glocal-education-asean-countries">6.500 lembaga pendidikan dan sekitar 12 juta mahasiswa</a>. Tantangannya memang banyak dan rumit, sebagaimana diungkapkan dalam diskusi November lalu pada acara tentang topik ini yang diadakah oleh <a href="http://seajunction.org">SEA Junction</a> dan kantor Asia Tenggara<a href="https://th.boell.org">Heinrich Boell Foundation</a> di Bangkok, Thailand. </p>
<h2>Lingkungan yang kompleks</h2>
<p>Sebagai awalan, mahasiswa di kawasan ini masih cenderung mengikuti pola lama yaitu belum menimbang universitas di Asia Tenggara ketika memilih universitas untuk kuliah di luar negeri, walau ada perubahan tempat tujuan.</p>
<p>Dulu, universitas-universitas pilihan kebanyakan di Amerika Serikat, Eropa, dan Australia dan sebagian di Jepang. Sekarang <a href="https://www.forbes.com/sites/nickmorrison/2017/03/15/never-mind-china-india-will-be-the-next-education-superpower">Cina dan India juga dipertimbangkan</a>. Memang universitas-universitas di luar Asia Tenggara cukup bersemangat memelihara preferensi ini sehingga rekrutmen mahasiswa mereka cukup luas dan semakin meluas.</p>
<p>Misalnya, data dari International Education Expo pada November 2017 di Bangkok menunjukkan para pengunjung (kebanyakan orang Thailand) masih memfavoritkan Inggris, AS, dan Australia sebagai tujuan kuliah luar negeri mereka. Dari 20 tujuan terfavorit, hanya ada dua negara ASEAN: <a href="https://www.ocscexpo.org/post-event">Singapura di posisi ke-9 dan Malaysia ke-20</a>.</p>
<p>Dalam hal lembaga pendidikan yang hadir di pameran, sekali lagi universitas dari Inggris dan AS yang paling banyak, <a href="https://www.ocscexpo.org/post-event">diikuti oleh Cina</a>, sebagai negara yang berambisi menjadi pusat pendidikan. Tidak ada lembaga pendidikan tinggi di Indonesia yang berpameran di pameran ini.</p>
<p>Persaingan antara lembaga pendidikan lebih jauh diperketat dengan semakin banyaknya universitas internasional dari luar kawasan yang masuk ke Asia Tenggara. Dalam tren baru ini, tak mau ketinggalan pasar yang menarik dan berkembang, kampus-kampus hadir di Asia Tenggra dalam bentuk “glokal” (global sekaligus lokal). Mereka membuka kampus luar negeri dan kerja sama program akademis seperti <a href="https://www.yale-nus.edu.sg">Yale-NUS College</a> di Singapura untuk menyebut satu contoh saja. </p>
<p>Contoh lain adalah program “double degree” dan program jalur ke universitas luar negeri (pathway). Mahasiswa akan belajar di negara mereka sendiri untuk satu atau dua tahun, lalu menyelesaikan gelar mereka di Australia, Inggris, dan seterusnya. Saat ini, pilihan semacam ini terutama tersedia di Malaysia dan Singapura, yang memang sudah ada di posisi kuat sebagai pusat pendidikan di ASEAN. Tapi program semacam ini juga semakin banyak ditemui di negara lain, termasuk di <a href="https://suneducationgroup.com/news-id/institusi-id/indonesia-institution-id/masuk-ke-universitas-bergengsi-amerika/">Indonesia</a>.</p>
<p>“Glokalisasi” pendidikan juga menyentuh dunia pendidikan maya. Ketersediaan dan akses ke platform digital mengubah bentuk pendidikan di kawasan ini secara mendalam. Platform digital menyediakan akses, yang tak terbayangkan sebelumnya, bagi anak-anak muda untuk mendapat pendidikan dan universitas dunia tanpa perlu meninggalkan negara mereka.</p>
<p>Generasi muda saat ini sadar dan senang dengan kemungkinan belajar yang lebih jauh dari sekadar di kelas biasa. Hal ini terlihat nyata dari penggunaaan platform pembelajaran online seperti <a href="http://mooc.org">Massive Open Online Course (MOOC)</a>, <a href="https://www.khanacademy.org">Khan Academy</a>, <a href="https://www.edx.org">edX</a>, <a href="https://www.coursera.org">Coursera</a> dan banyak lagi. </p>
<p>Lebih jauh, jiwa kreatif dan wirausaha mereka menginginkan ekosistem pendidikan dan kerja yang bisa memberi mereka otonomi sekaligus mendukung penjelajahan mereka atas kesempatan bisnis atau karier di masa depan.</p>
<p>Mata kuliah dan pendekatan tradisional mungkin tak lagi cukup. Lembaga pendidikan di kawasan ini mendapati bahwa mereka harus cepat beradaptasi untuk merespons tuntutan mahasiswa yang berubah cepat jika mereka ingin para mahasiswa kuliah dan tetap bersekolah di sana. Pergeseran dalam ketertarikan mahasiswa pada mata kuliah termasuk perubahan dari “Pemasaran” ke “Pemasaran Digital”, dari “Pembangunan Sosial” ke “Kewirausahaan Sosial”, dan dari “Ilmu Komputer” ke “Pengembangan Aplikasi”.</p>
<h2>Kasus Thailand</h2>
<p>Dengan latar belakang perubahan serba cepat inilah negara-negara Asia Tenggara mesti menampilkan diri sebagai opsi pendidikan yang layak dipertimbangkan generasi baru mahasiswa. Mahasiswa baru ini fokus pada mewujudkan aspirasi mereka dan sibuk mencari pekerjaan di dunia yang sangat kompetitif. Dalam memilih, mahasiswa tak hanya menghargai ijazahnya tetapi juga, bahkan mungkin lebih menghargai, pengalaman bersekolah di luar negeri.</p>
<p>Contohnya, pemerintah Thailand telah mempromosikan negaranya sebagai pilihan pendidikan tinggi di kawasan Asia Tenggara terutama bagi <a href="http://www.assumptionjournal.au.edu/index.php/Scholar/article/download/2189/1538">negara tetangganya yang memiliki kesempatan pendidikan kurang dari mereka</a>.</p>
<p>Dalam satu dekade terakhir, ada pertambahan jumlah program sarjana, master, dan doktor internasional dalam bahasa Inggris yang melayani baik mahasiswa internasional maupun Thailand yang ingin mengakses pendidikan internasional secara lokal.</p>
<p><a href="http://www.info.mua.go.th/information/show_all_statdata_table.php?data_show=2">Statistik terakhir</a> dari Komisi Pendidikan Tinggi di Thailand pada 2013 menunjukkan Thailand cukup sukses menarik semakin banyak mahasiswa dari negara-negara tetangga. Hal ini, ironisnya, terjadi di tengah laporan bahwa kualitas pendidikan Thailand sedang menurun dan kapasitas pengajaran bahasa Inggris yang terbatas.</p>
<p>Sekarang ini, negara lima besar sumber mahasiswa internasional di Thailand adalah Cina (7.405 mahasiswa), Myanmar (2.252), Kamboja (1.317), Vietnam (910), dan Laos (909). Semakin banyak dari <a href="http://www.info.mua.go.th/information/show_all_statdata_table.php?data_show=2">mahasiswa-mahasiswa ini yang membayar sendiri kuliahnya</a> dan bukannya penerima beasiswa seperti dahulu.</p>
<p>Motivasi para mahasiswa ini beragam seperti diceritakan oleh ketua Aliansi Cendekiawan Indonesia-Thailand, sebuah asosiasi mahasiswa Indonesia di Thailand, dan diperlihatkan oleh satu survei informal oleh penulis utama yang mewawancarai mahasiswa ASEAN dan orang tuanya.</p>
<p>Pertama, Thailand disukai karena dekat dengan negara mereka, memungkinkan mereka mudik dengan mudah selama kuliah. Kedua, uang kuliah untuk program internasional di Thailand secara relatif lebih murah dibandingkan Malaysia dan Singapura, apalagi pilihan di luar kawasan.</p>
<p>Selanjutnya, mereka ingin belajar bahasa ASEAN lain, selain Inggris dan atau bahasa Cina. Keempat, para mahasiswa menyukai kesempatan untuk menjadi diri sendiri dan mengekspresikan gaya hidup dan orientasi gender mereka di lingkungan yang lebih terbuka di Thailand.</p>
<p>Terakhir, tapi yang paling penting, adalah keinginan membangun jaringan dengan teman-teman Asia Tenggara yang dianggap bisa menjadi aset di masa depan untuk bisnis dan peluang kerja dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN.</p>
<p>Alasan-alasan ini juga yang dikemukakan Lia, mahasiswi S3 asal Indonesia, tentang mengapa ia memilih studi di Thailand. </p>
<h2>Menciptakan pengalaman regional yang sungguh-sungguh</h2>
<p>Untuk melayani aspirasi personal para mahasiswa dan kepentingan ASEAN, maka perlu memperkuat tautan-tautan pada berbagai tingkatan sistem pendidikan sehingga kurikulum pendidikan dari negara-negara anggota bisa saling melengkapi dalam membekali sumber daya manusia di kawasan dengan lebih baik.</p>
<p>Mengurangi kesenjangan pendidikan di dalam kawasan juga penting untuk mencegah regionalisasi pendidikan ini menjadi ajang terjadinya “brain drain” (kepergian banyak mahasiswa berkualitas ke luar negara). Risikonya, sebagai contoh, Singapura menarik siswa-siswa terbaik dari Vietnam, Myanmar, dan negara lain, dengan beasiswa lalu merekrut mereka di perusahaan di sana.</p>
<p>Dalam panel yang diadakan SEA Junction dan Heinrich Boell Foundation, para peserta menyampaikan keprihatinan bahwa belajar di negara tetangga akan menjadi pengganti sehingga negara-negara dengan sumber daya yang lebih terbatas justru tidak terpacu untuk memperbaiki sistem pendidikannya. Ini bisa mengorbankan mayoritas siswa yang tidak sanggup untuk pergi ke luar negeri.</p>
<p>Juga ditekankan kebutuhan untuk mengatasi halangan birokratis dan menjadikan pendidikan trans-ASEAN suatu pengalaman regional yang sungguh-sungguh dengan mata kuliah yang memungkinkan siswa untuk belajar di lebih dari satu negara di Asia Tenggara. Program gelar yang multi negara Asia Tenggara akan membantu siswa memahami kawasan lebih baik, belajar mengenai proses regional dan irisannya dengan kenyataan global dan lokal. </p>
<p>Ini hanya beberapa tantangan kunci yang perlu dihadapi dalam rangka “meng-ASEAN-kan” pendidikan tinggi dan merangsang semangat ASEAN pada 2018 dan seterusnya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/90030/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rosalia Sciortino adalah pendiri dari SEA Junction, lembaga yang disebut dalam artikel ini.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Jaruwat Kiatiwongse tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ingin kuliah ke luar negeri? Mengapa tidak di negara-negara ASEAN? Organisasi ini sedang berusaha mengintegrasikan pendidikannya agar generasi muda bisa menikmati pengalaman bermakna di kawasan.Jaruwat Kiatiwongse, Director of International Network Development Office, Bangkok UniversityRosalia Sciortino, Associate Professor on Population and Social Research, Mahidol UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/896102018-01-15T11:26:54Z2018-01-15T11:26:54ZTrans-ASEAN education can play a role in building a regional community<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/200768/original/file-20180104-26154-cn15bs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Exchange students from several universities in ASEAN countries at a university in Thailand. Encouraging trans-ASEAN student mobility is a huge challenge.</span> <span class="attribution"><span class="source">Thiranun Kunatum/Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>As the celebration for last year’s 50th anniversary of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) wanes, ASEAN now face the tasks to realise the ambitious vision of an integrated socio-cultural, economic and political community. Education is one of the sectors identified as having a pivotal role in this community building process. </p>
<p>ASEAN plans to enhance the quality of human resources in the region and forming a regional identity, while contributing to economic growth.
Among the various action plans set out at <a href="http://asean.org/?static_post=fourteenth-asean-summit-thailand-26-february-1-march-2009">the 14th ASEAN Summit in Cha-Am Hua-in in 2009</a>, regionalisation of higher education profiles was high on the agenda. </p>
<p>ASEAN has carried out initiatives to foster cooperation among education institutes in the region. ASEAN also plans to encourage joint research projects and foster student (and staff) exchange through common credit transfer systems and other enabling mechanisms.</p>
<p>ASEAN is also working to create a “<a href="https://www.insidehighered.com/blogs/globalhighered/towards-harmonization-higher-education-southeast-asia">Common Space for Higher Education</a>”. Having a common space for higher education in the region involves harmonising an estimated <a href="http://www.qs.com/the-rise-of-glocal-education-asean-countries">6,500 education institutes among ASEAN countries and catering to about 12 million students</a>. Challenges in doing so are many and complex, as discussed last November at a panel organised on this topic by <a href="http://seajunction.org">SEA Junction</a> and the <a href="https://th.boell.org">Heinrich Boell Foundation</a> Southeast Asia. </p>
<h2>A complex environment</h2>
<p>For a start, students in the region when considering studying abroad generally follow the established pattern of opting for institutes outside of Southeast Asia. </p>
<p>In the past, ASEAN students usually opt for universities in the US, Europe and Australia and a lesser extent Japan. Now they also consider universities in <a href="https://www.forbes.com/sites/nickmorrison/2017/03/15/never-mind-china-india-will-be-the-next-education-superpower">India and China are being</a>. Non-Southeast Asian universities are eager to see such preference maintained. Their student recruitment marketing is widespread and expanding. </p>
<p>Data from the latest Thai government’s International Education Expo 2017 held in November 2017 in Bangkok show that the UK, US and Australia are the favourite destinations for studying abroad for visitors’ (mostly Thai) Among the top 20 destinations, there were only two ASEAN member countries, <a href="https://www.ocscexpo.org/post-event">Singapore in 9th place and Malaysia in the 20th</a>.</p>
<p>In terms of representation of recruiting institutes, the UK and the US had by far the greatest number, followed by <a href="https://www.ocscexpo.org/post-event">China as an aspiring educational centre</a>.</p>
<p>Competition among educational institutes in Southeast Asia is further exacerbated by the increasing number of incoming international universities from outside the region, such as from the US and Australia. </p>
<p>These universities, aiming to capture an attractive and expanding market, establish a “glocal” (global and at the same time local) presence in Southeast Asia. They open “off-shore” campus such as the <a href="https://www.yale-nus.edu.sg">Yale-NUS College</a> in Singapore just to name one. </p>
<p>They also open academic programs such as double degree programs and pathway programs. They allow the students to study in their home countries for one to two years, then complete their academic degree in Australia, UK, and so forth. </p>
<p>At present, these educational options are mainly based in Malaysia and Singapore, further strengthening the position of these two countries as educational hubs in the ASEAN landscape. But more and more they are being developed in other parts of the region. </p>
<p>The “glocalization” of education also extends to virtual education. The availability and accessibility of digital platforms have redefined education in the region. It provides youth with unprecedented access to world education and universities without having to leave their home country or region. </p>
<p>Current generations of students are aware that their learning is beyond the typical classroom and they appreciate it. It is amply demonstrated by their use of online learning platform such as the <a href="http://mooc.org">Massive Open Online Course (MOOC)</a>, <a href="https://www.khanacademy.org">Khan Academy</a>, <a href="https://www.edx.org">edX</a>, and <a href="https://www.coursera.org">Coursera</a>. </p>
<p>Moreover, their entrepreneurial and creative mindset expects an educational (and work) ecosystem that gives them autonomy while supporting them in their exploration of future opportunities of business or career. </p>
<p>Traditional courses and approaches may no longer be adequate. Educational institutes in the region are finding out that they have to quickly adapt to respond to changing students’ demands if they are to recruit and keep them. </p>
<p>The shift in students’ interest towards new subjects has been observed for instance from “Marketing” to “Digital Marketing”, from “Social Development” to “Social Entrepreneurship” and from “Computer Science” to “Application Development”. </p>
<h2>Thailand’s case</h2>
<p>It is in this rapidly changing context that Southeast Asian countries have to propose themselves as worthy educational options for new generations of students. </p>
<p>These new students are focused on realising their aspirations and preoccupied with finding jobs in increasingly competitive settings. In their choices, students seem to value not only the degree certificate but also the whole experience of studying in another country. </p>
<p>One example, the Thai government has promoted the country as a regional resource especially for neighbouring countries with <a href="http://www.assumptionjournal.au.edu/index.php/Scholar/article/download/2189/1538">lesser educational opportunities</a>.
In the last decade, there have been a growing number of international bachelor, master, and doctoral degrees in English that cater to both international students and Thai students who wish to access an international education locally. </p>
<p>The <a href="http://www.info.mua.go.th/information/show_all_statdata_table.php?data_show=2">latest statistics</a> from the Commission on Higher Education in Thailand of 2013 show that Thailand has been successful in attracting students from neighbouring countries in growing number. And this, somewhat ironically, in spite of reports of the country’s deteriorating educational quality and limited teaching capacity in English.</p>
<p>Today, the top five countries from which students come to study in Thailand are China (7,405), Myanmar (2,252), Cambodia (1,317), Vietnam (910) and Laos (909). Increasingly these students are <a href="http://www.info.mua.go.th/information/show_all_statdata_table.php?data_show=2">self-financed rather than on fellowships</a> as previously used to be the case. </p>
<p>The motivations of these students are varied as indicated by an informal survey by the lead author, interviewing ASEAN students and their parents. </p>
<p>International students prefer Thailand because it is close to their home countries. Students can travel more easily back home during the course of the study. </p>
<p>Students also find the tuition fee for international programs in Thailand is relatively cheaper when compared to Malaysia and Singapore and to options outside of the region. </p>
<p>Next, they wanted to learn another ASEAN language, in addition to English and/or Chinese. The students also appreciate the opportunity for self expression in the less restrictive environment of Thailand. </p>
<p>Lastly, but also most importantly, is building networks with Southeast Asian friends that can be a future asset for their business and employment opportunities as ASEAN economic integration proceeds.</p>
<h2>Creating a truly regional experience</h2>
<p>To better serve personal aspirations and ASEAN interests, it will be important to strengthen the linkages across different levels of the educational system so that high school and higher education curricula of the diverse member states complement each other in shaping better equipped human resources for the region. </p>
<p>Reducing the regional educational gap is also important to avoid regionalisation of higher education to become a venue for brain drain. Such is the risk with, for instance, Singapore attracting the brightest students from Vietnam, Myanmar and other neighbouring countries with fellowships and then hiring them. </p>
<p>At the November panel mentioned above, participants also expressed concerns that studying abroad would become a substitute for much needed reforms and undermine educational systems in resource-poor countries that serve the majority of students who cannot afford to leave. </p>
<p>Participants also stressed the need to eliminate bureaucratic barriers, creating a trans-ASEAN education with courses that allow students to study in more than one country in Southeast Asia. </p>
<p>Such multi-country degree programs will help students understand the region better, learn about regional processes and their intersection with global and local realities. These are just some of the key questions to be addressed in order to “Aseanise” higher education and stimulate the true spirit of ASEAN in 2018 and beyond.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/89610/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rosalia Sciortino is the founder of SEA Junction mentioned in this article.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Jaruwat Kiatiwongse tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Southeast Asian countires have a goal to integrate their higher education network to give young generations a truly regional experience. Is it possible?Jaruwat Kiatiwongse, Director of International Network Development Office, Bangkok UniversityRosalia Sciortino, Associate Professor on Population and Social Research, Mahidol UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.