tag:theconversation.com,2011:/institutions/indonesian-consortium-for-religious-studies-3594/articlesIndonesian Consortium for Religious Studies 2019-12-22T04:57:56Ztag:theconversation.com,2011:article/1285252019-12-22T04:57:56Z2019-12-22T04:57:56ZRiset: 5 cara mengatasi bias gender di pondok pesantren<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/307385/original/file-20191217-58353-oqnekg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/bentengnkri/27374558356/in/photolist-HGZLu5-fpBnf3-kFxFdL-fpAtyW-fpBAgd-fpmxFv-fpkQFV-fpmFGX-fpnU6Z-9RZM28-9TFuHk-pgxhmT-9TFvdt-9TJjnQ-9TJjz1-9TFuY2-9aNhxF-S3Gda6-2gRN7cm-2fJztww-dm9s2D-anmJm4-anmJkM-anmJkD-anmJkX-anmJkT-24nq2yT-9PzP99-2eU7BYo-2fJztBS-Rdn5TQ-4xVxcH-9PzNTo-2dstHG8-2aFTGZJ-2fPcu7x-2g6YEMA-9TJjQ5-fpnwAc-dewgaF-kFxsUs-9aNhyn-9aNhxv-kFw8zM-rYeJmt-kFvULF-kFvWQR-kFvrTV-kFvud4-kFxDoy">Flickr</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini bagian dari rangkaian untuk memperingati Hari Ibu di Indonesia atau Hari Perempuan pada 22 Desember</em></p>
<hr>
<p>Berbagai lembaga dan organisasi yang bergerak dalam penguatan perempuan seperti <a href="https://www.nu.or.id/post/read/64377/alimat-wujudkan-kesetaraan-dan-perlindungan-keluarga-indonesia">Rahima, Alimat, Fatayat dan Fahmina Institute</a> telah melakukan advokasi mengenai kesetaraan gender ke berbagai pondok pesantren di Indonesia. Namun, pondok pesantren masih “tertinggal” dalam hal kesetaraan gender. </p>
<p>Zamakhsyari Dhofier, rektor Universitas Sains Al-Quran, Wonosobo, Jawa Tengah, <a href="https://books.google.co.id/books/about/Tradisi_pesantren.html?id=cFEJAQAAIAAJ&redir_esc=y">mengatakan</a> bahwa pesantren mampu menjadi motor penggerak dalam bidang pendidikan, politik, ekonomi, sosial dan budaya. </p>
<p>Sayangnya, di pesantren, kesetaraan gender masih dipahami sebagai nilai baru yang disuarakan oleh dunia Barat, bahkan dikhawatirkan dapat merusak tradisi yang telah mapan. Marhumah, Guru Besar ilmu hadis di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, <a href="http://digilib.uin-suka.ac.id/16739/">menemukan</a> bahwa pesantren masih cenderung menyebarkan ketidakadilan gender dalam pengajaran dan pendidikannya.</p>
<p>Saya melakukan kajian pustaka dengan menggunakan pendekatan feminis dan analisis gender dalam Islam dan menemukan bahwa banyak pondok pesantren yang belum sensitif gender. Penelitian ini dilakukan di tahun 2016 di pondok pesantren tradisional (salaf) di Sumenep, Madura.</p>
<p>Hasil penelitian yang diterbitkan di <a href="http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/psga/article/view/12812">Jurnal Harkat</a> pada 2018 ini menyarankan setidaknya lima strategi yang bisa dilakukan untuk merancang ulang kurikulum pengajaran berperspektif gender di pondok pesantren. </p>
<p>Kurikulum yang baru tersebut diharap bisa mewujudkan pengarusutamaan gender atau <em>gender mainstreaming</em> dalam pendidikan pesantren.</p>
<p>Penting bagi pondok pesantren untuk mewujudkan pendidikan yang mendorong kesetaraan gender karena pondok pesantren merupakan basis pengembangan ilmu-ilmu keislaman klasik dan modern yang berfungsi sebagai agen perubahan dalam pemberdayaan dan pengembangan umat. </p>
<p>Di Indonesia terdapat lebih dari 26.000 pondok pesantren dengan sekitar 1.4 juta santri bermukim di pondok pesantren dan 1.2 juta santri yang tidak bermukim di pondok pesantren, menurut <a href="https://ditpdpontren.kemenag.go.id/pdpp/statistik">data dari Kementerian Agama.</a></p>
<h2>Temuan bias gender di pesantren</h2>
<p>Pesantren masih cenderung menyebarkan ketidakadilan gender dalam pengajaran dan pendidikannya karena kuatnya dominasi peran tokoh sentral pesantren yaitu kyai dan nyai dalam mensosialisasikan nilai-nilai dan ajaran yang bias gender.</p>
<p>Metode pengajaran dalam pondok pesantren cenderung <em>top-down</em> dan minim ruang dialog atau tanya jawab. </p>
<p>Selain itu, kitab kuning, rujukan utama untuk bahan ajar di pesantren tradisional (salaf), cenderung bias gender. Kitab kuning merujuk pada kitab-kitab tradisional yang berisi pelajaran-pelajaran agama yang diajarkan di pesantren, termasuk fiqih, aqidah, tasawuf, tata bahasa arab, hadits, tafsir, dan ilmu sosial dan kemasyarakatan. Kertas kitab tersebut berwarna kuning karena dianggap lebih mudah dibaca ketika dahulu penerangan masih terbatas. </p>
<p>Materi kitab yang berkaitan tentang hak dan kewajiban suami istri mengisyaratkan keberpihakan nyata kepada laki-laki dan ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri. </p>
<p>Misalnya, dalam kitab kuning terdapat pembahasan tentang perkawinan (munakahat) yang merujuk pada teks surat An-Nisa’ ayat 3: “Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga atau empat” dan pada riwayat hidup Nabi Muhammad SAW yang memiliki sembilan istri. </p>
<p>Berdasarkan argumentasi tersebut, ulama pengarang kitab kuning “memperbolehkan” laki-laki memiliki istri lebih dari satu dan memberi janji surga bagi perempuan yang mau dimadu. </p>
<p>Pembacaan mengenai pernikahan dalam kitab kuning tersebut menafikkan realitas bahwa dalam poligami ada perasaan perempuan yang tersakiti, ada ketidakdilan nafkah lahir dan batin antara istri satu dengan yang lain dan kecemburuan sosial antara anak dari istri pertama dan kesekian. Realitas kehidupan perempuan dalam poligami tidak hadir dalam pembahasan kitab kuning. </p>
<p>Pada perkembangannya kemudian, kajian fiqih yang mengutamakan laki-laki dan memarginalkan perempuan menjadikan kajian keislaman terkesan membenci perempuan atau misoginis. </p>
<p>Fenomena ini bisa dijelaskan dengan konsep maskulinisasi epistemologi pengetahuan yang dikembangkan filsuf feminist asal Amerika Serikat, <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1527-2001.1988.tb00198.x">Sandra Harding</a>. Konsep ini menjelaskan fenomena pengetahuan keagamaan yang diskriminatif terhadap perempuan.</p>
<p>Dalam maskulinisasi epistemologi pengetahuan, laki-laki yang memiliki kuasa atas reproduksi pengetahuan keagamaan. Itu menjelaskan mengapa seorang kyai bisa berceramah di atas mimbar dan menggunakan teks-teks agama yang berkesan membenci perempuan dan bias gender, contohnya dalam pembahasan poligami yang hanya melihat perempuan sebagai objek seksual. </p>
<h2>Yang bisa dilakukan</h2>
<p>Meski ada <a href="https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/Permendiknas84-2008PengarusutamaanGender.pdf">Peraturan Menteri yang mengatur pengarusutamaan gender di bidang pendidikan</a> termasuk lembaga pendidikan Islam, konsep pengarusutamaan gender secara khusus ke dalam pendidikan jenjang pesantren yang fokus objeknya adalah santri saat ini belum ditemukan. </p>
<p>Untuk mengatasi masalah ini, kita bisa memulai dengan melakukan interpretasi teks dengan metode penafsiran (<em>hermeneutika</em>) teks alquran dan hadis yang sesuai dengan kebutuhan persoalan hidup perempuan–mendobrak maskulinisasi epistomologi pengetahuan yang terjadi saat ini. </p>
<p>Tafsir hermeneutika tentang poligami telah dilakukan oleh <a href="https://www.researchgate.net/publication/315810860_Nasr_Hamid_Abu_Zayd_as_a_Modern_Muslim_Thinker">Nasr Hamid Abu Zayd</a>, pemikir Islam modern asal Mesir, dalam bukunya Dawa'irul Khauf. Teks ayat poligami mengandung kekhawatiran kepada anak yatim karena banyaknya para sahabat yang wafat ketika perang di zaman nabi Muhammad. Dengan melihat struktur kebahasaan (teks dalam al-Qur'an), Nasr melihat bahwa perintah poligami bersifat temporal (mu'aqqad), tidak bermuatan perintah (tasyri’) dan tidak untuk selamanya (da'im). </p>
<p>Di Indonesia, reinterpertasi teks hukum Islam telah dilakukan oleh para ahli seperti <a href="https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/11/19/oznflw396-kang-husein-muhammad-kiai-feminis">Kyai Husein Muhammad</a>, <a href="https://beritagar.id/artikel/figur/apa-yang-anda-cari-ibu-musdah-mulia">Siti Musdah Mulia</a>, <a href="https://elsam.or.id/team/lies-marcoes-m-a/">Lies Marcoes</a>, <a href="https://theconversation.com/profiles/nur-rofiah-383103">Nur Rofiah</a>, <a href="https://beritagar.id/artikel/bincang/badriyah-fayumi-kami-tidak-melawan-ulama-laki-laki">Badriyah Fayumi</a>, dan <a href="http://nurcholishmadjid.org/assets/pdf/pengaruh/Percakapan-dengan-Faqihuddin-Abdul-Kodir.pdf">Faqihuddin Abdul Qadir</a>. </p>
<p>Kyai Husein Muhammad sebagai ahli kitab kuning telah melakukan revisi kajian hukum Islam, misalnya dalam isu perkawinan dan poligami, di kalangan pondok pesantren. Revisi kajian hukum Islam tersebut telah diterbitkan di banyak buku dan menjadi pedoman bacaan para pemerhati perempuan dari berbagai kalangan di Indonesia. </p>
<p>Ada setidaknya lima strategi yang bisa digunakan untuk membumikan gagasan pengarusutamaan gender di pesantren tradisional. </p>
<p><strong>1. Masukkan literatur karya ulama kontempoter dalam pembelajaran</strong> </p>
<p>Jadikan kitab kuning klasik sebagai “warisan” intelektual ulama masa dahulu dan bukan sebagai dasar pengambil keputusan (dogmatisme hukum) jika berbenturan dengan kondisi masa kini. Materi pengajaran pesantren tidak hanya berfokus kepada kitab kuning saja tapi juga menggunakan literatur karya ulama kontemporer yang kajian keagamaanya bersentuhan dengan hak asasi manusia, seperti karya Nasr Hamid Abu Zayd, Qasim Amin, Muhammad Syahrur, Khaled Abu El-Fadl, Abdillahi Ahmad An-Naim, Mahmud Muhammad Thoha dan lain sebagainya. </p>
<p><strong>2. Advokasi kebijakan kurikulum pesantren</strong> </p>
<p>Pemerhati atau aktivis pemberdayaan perempuan perlu terus mengadvokasi kebijakan kurikulum pesantren kepada pemangku otoritas pesantren yaitu kyai. Misalnya dengan cara memberikan penjelasan tentang urgensi pendidikan sensitif gender di pondok pesantren kepada kyai/nyai melalui kegiatan pengenalan pendidikan kesehatan reproduksi dan pernikahan anak.</p>
<p><strong>3. Adakan pelatihan penyadaran gender</strong> </p>
<p>Pondok pesantren bekerja sama dengan lembaga sosial yang peduli pada perempuan untuk mengadakan pelatihan atau <em>workshop</em> tentang penyadaran gender dan konsep pengarusutamaan gender kepada guru-guru di pesantren terutama kepada kyai, nyai, ustaz, dan ustazah.</p>
<p><strong>4. Tekankan konsep kesetaraan, keadilan, dan hak asasi manusia</strong> </p>
<p>Mengingatkan atau memberi saran kepada para kyai-kyai untuk selalu menekankan konsep kesetaraan (<em>al-musawa</em>), keadilan (<em>al-’adilah</em>) dan hak asasi perempuan (<em>al-harakah al-insaniyah</em>) dalam lingkungan pesantren melalui berbagai aktivitas baik dalam pengajaran maupun dalam kegiatan sehari-hari. Misalnya dalam pengajaran ada ruang dialog antara guru dan santri, dalam kehidupan sehari-hari kyai/nyai tidak menjadikan santri sebagai “pelayan/pembantu”. </p>
<p><strong>5. Kembangkan materi pembelajaran pesantren berbasis gender</strong> </p>
<p>Pemerintah dapat menyediakan pelatihan pengarusutamaan gender dalam pendidikan pesantren untuk para pemangku dan mengembangkan materi pembelajaran pesantren berperspektif gender. Alokasi anggaran dana yang khusus dari pemerintah pusat dan daerah kepada pesantren untuk mengadakan kegiatan pelatihan pengarusutamaan gender penting agar semua pihak saling bersinergi dan berkolaborasi untuk mewujudkan pesantren yang adil gender.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/128525/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Masthuriyah Sa'dan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Di pesantren, kesetaraan gender masih dipahami sebagai nilai baru yang disuarakan oleh dunia Barat, bahkan dikhawatirkan dapat merusak tradisi yang telah mapan.Masthuriyah Sa'dan, Researcher, Indonesian Consortium for Religious Studies Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1286252019-12-10T10:12:24Z2019-12-10T10:12:24ZRefleksi 2019: awan gelap untuk HAM di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/306062/original/file-20191210-95149-15po88d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kekerasan dari aparat yang terjadi ketika demonstrasi mahasiswa di Makassar yang menentang RUU KPK dan RKUHP.</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p><em>Tulisan ini merupakan bagian dari rangkaian artikel untuk memperingati Hari HAM Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember.</em></p>
<hr>
<p>Menjelang peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia yang jatuh setiap 10 Desember, beberapa lembaga mencatat bahwa kinerja Indonesia terkait HAM selama 2019 masih buruk.</p>
<p>Komisi Nasional (Komnas) HAM <a href="https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2019/12/4/1268/jelang-akhir-tahun-komnas-ham-desak-11-kasus-ham-dituntaskan.html">mencatat</a> masih banyak yang perlu dilakukan pemerintah, terutama soal pelanggaran HAM berat di masa lalu dan penanganan konflik sumber daya alam (SDA).</p>
<p>Lembaga Bantuan Hukum (<a href="https://www.bantuanhukum.or.id/web/wp-content/uploads/2019/12/Catahu-2019-reformasi-dikorupsi.pdf">LBH</a>) Jakarta menyebut tahun ini demokrasi dibawa mundur jauh ke belakang dan kembalinya rezim otoritarian menjadi ancaman nyata yang terlihat dari ruang-ruang kebebasan sipil yang mulai ditutup.</p>
<p>Kami bertanya ke beberapa pakar tentang pandangan mereka terkait HAM pada 2019. Mereka setuju bahwa walaupun 2019 terlihat suram, namun ada beberapa perkembangan baik dan bisa menjadi harapan ke depannya.</p>
<h2>Tahun kelam</h2>
<p><strong>Usman Hamid - Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan Direktur Amnesty International Indonesia</strong></p>
<p>Tahun 2019 dapat dikatakan sebagai tahun yang kelam; banyak agenda HAM mengalami kemacetan, mutu HAM pun mengalami kemunduran, dan bahkan begitu banyak serangan terhadap para pembela HAM.</p>
<p>Hal ini ditunjukkan lewat beberapa hal. Pertama, tidak ada proses keadilan dan akuntabilitas atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan. Kedua, menguatnya pembatasan kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama yang sewenang-wenang melalui aturan maupun praktik kebijakan. Ketiga, diskriminasi berbasis gender yang mengakar serta pelanggaran hak-hak perempuan yang diikuti oleh pernyataan pejabat yang diskriminatif dan merendahkan martabat perempuan. </p>
<p>Keempat, kegagalan pemerintah dalam menghadirkan keadilan, pengungkapan kebenaran, dan pemulihan untuk korban pelanggaran HAM masa lalu. Kelima, pelanggaran HAM yang masih berlangsung bahkan meningkat tajam di Papua. Dan keenam, berlanjutnya penjatuhan dan penerapan hukuman kejam baik melalui vonis mati maupun juga tindakan-tindakan eksekusi hukum di luar pengadilan, dengan cara tembak di tempat misalnya.</p>
<p>Namun, kabar baik masih ada. Amnesty International mengakui bahwa Indonesia terus melakukan beberapa langkah reformasi kunci guna memastikan perlindungan HAM yang lebih baik, menegakkan supremasi hukum, dan mereformasi sektor keamanan publik. </p>
<p>Misalnya, Indonesia telah meratifikasi hampir semua perjanjian HAM internasional, dan masih terus terlihat berkomitmen untuk meratifikasi konvensi lainnya meski belum terwujud. Salah satunya adalah konvensi PBB untuk perlindungan semua orang dari penghilangan paksa.</p>
<p>Harapan juga terlihat dari kembalinya gerakan mahasiswa sebagai kontrol sosial atas jalannya kekuasaan negara. Di Bali, gerakan masyarakat masih kuat menolak <a href="https://tirto.id/reklamasi-teluk-benoa-susi-vs-luhut-jokowi-yang-gagal-bersikap-ejET">reklamasi Teluk Benoa</a>. Di <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/11/19/13202661/perintah-jokowi-tak-dilaksanakan-ganjar-petani-kendeng-datangi-istana?page=all">Kendeng</a>, Jawa Tengah, komunitas masyarakat pegunungan masih mampu mempertahankan tuntutannya di tengah tekanan dari segala penjuru - termasuk ancaman kriminalisasi dan kekerasan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/uu-ite-dan-merosotnya-kebebasan-berekspresi-individu-di-indonesia-126043">UU ITE dan merosotnya kebebasan berekspresi individu di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Bhinneka tapi bercanda</h2>
<p><strong>Asmin Fransiska - Dekan Fakultas Hukum di Universitas Katolik Atma Jaya</strong></p>
<p>Saya sepakat atas temuan berbagai lembaga mengenai buruknya HAM di Indonesia. </p>
<p>Dua dekade <a href="https://referensi.elsam.or.id/2014/09/uu-nomor-26-tahun-2000-tentang-pengadilan-hak-asasi-manusia/">pelembagaan pengadilan HAM melalui undang-undang</a> tidak kunjung berhasil mengadili penjahat HAM.</p>
<p>Catatan penting muncul pada dorongan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur rekonsiliasi. Rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran akan sia-sia dan justru membuat pelanggaran HAM baru dengan membuka jalur impunitas tanpa pengakuan atas terjadinya kejahatan. </p>
<p>Terkait situasi di Papua, terdapat dua kejahatan HAM yang telah diselesaikan penyelidikannya oleh Komnas HAM yaitu <a href="https://kontras.org/2019/06/13/18-tahun-peristiwa-wasior-berdarah-luka-masa-lalu-dan-ketidakadilan-yang-belum-usai-di-papua/">Kasus Wasior</a> dan <a href="https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2019/10/22/1225/komnas-ham-peristiwa-wamena-adalah-tragedi-kemanusiaan.html">Wamena</a>. Namun, hingga kini kasus tersebut berjalan di tempat tanpa kepastian penyelesaiannya.</p>
<p>Persoalan di Papua bukan sekadar sekelompok orang ingin merdeka, tapi anggota suatu bangsa diperlakukan berbeda karena gaya hidup, tradisi, serta warna kulit yang dianggap memiliki identitas sosial yang berbeda.</p>
<p>Rasisme sendiri dianggap tidak pernah menjadi masalah di Indonesia. Pemerintah Indonesia meratifikasi <a href="https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/cerd.aspx">Konvensi Internasional Penghapusan Diskriminasi Rasial (ICERD)</a> sejak tahun 1999, namun persoalan rasisme tetap disembunyikan. </p>
<p>Isu kemiskinan, ketidaksetaraan akses ekonomi, kesehatan dan pendidikan menjadi tertutup dengan isu pemekaran daerah dan usaha kemerdekaan. Prinsip HAM sangat jelas, yaitu tiada seorang pun yang boleh dilanggar kemerdekaan dan kebebasannya serta diperlakukan diskriminatif.</p>
<p>Melihat hanya pada isu kemerdekaan kelompok dan ketakutan atas runtuhnya wilayah negara, tanpa melihat kewajiban negara atas HAM - yaitu kemerdekaan dari kemiskinan dan pembodohan - sama saja memastikan masalah yang sama sejak awal kemerdekaan terus ada. </p>
<p>Masyarakat sipil sebagai pilar penegakan HAM berperan penting. Salah satunya memastikan capaian indikator pemenuhan HAM terjadi, serta kritis terhadap kebijakan yang berdasarkan atas asumsi moralitas dan populisme semata tanpa data dan ilmu. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/enam-alasan-mengapa-orang-papua-menolak-pemekaran-126790">Enam alasan mengapa orang Papua menolak pemekaran</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Represi lewat anti-radikalisme</h2>
<p><strong>Achmad Munjid - Pengajar di Departemen Antar Budaya, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) dan peneliti senior di <em>Center for Security and Peace Studies</em> (CSPS) UGM</strong></p>
<p>Ada berderet kasus intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama, baik yang dilakukan oleh aktor bukan negara maupun oleh negara sendiri. </p>
<p>HAM tidak tampak menjadi prioritas penting pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Pemerintah Jokowi lebih banyak mengejar poin statistik sebagai indikator prestasi dan HAM sulit masuk di situ. </p>
<p>Lihat bagaimana pemerintah mengangkat isu radikalisme. Isu ini cenderung digunakan sebagai alat kekuasaan yang akhirnya banyak melanggar HAM. Hukum dipakai untuk menekan, menguasai, dan mengontrol. </p>
<p>Yang berlaku bukan <em>rule of the law</em>, tapi <em>rule by the law</em> - hukum yang dipakai sebagai alat kekuasaan. </p>
<p>Surat Keputusan Bersama (<a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/11/29/12533891/skb-tentang-radikalisme-asn-berpeluang-langgar-kebebasan-berpendapat?page=all">SKB</a>) 11 Menteri tentang penanganan radikalisme pada Aparatur Sipil Negara adalah contohnya. Di sana ada begitu banyak kategori yang kabur dan mudah sekali dipelintir untuk alat kekuasaan dan menyingkirkan siapa saja yang bersikap kritis dan tidak disukai penguasa.</p>
<p>Namun, meningkatnya pelanggaran HAM, termasuk terhadap kebebasan beragama, juga telah menggugah keprihatinan dan tindakan nyata dari masyarakat sipil. </p>
<p>Di Yogyakarta, maraknya pelanggaran kebebasan beragama - mulai perusakan makam, <a href="https://tirto.id/non-muslim-dilarang-bermukim-aturan-janggal-di-dukuh-karet-bantul-dkVH">pelarangan warga non-Muslim untuk tinggal di suatu daerah</a>, <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50408575">pelarangan upacara keagamaan</a>, hingga pawai anti-puralisme - telah mendorong sebagian anggota masyarakat lain untuk bergerak dan mengorganisir diri untuk melawan. </p>
<p>Ada muncul kelompok-kelompok sipil, baru maupun lama, yang makin mendapat banyak pengikut. Jaringan Gusdurian, misalnya, makin meluas di kalangan anak-anak muda di seluruh Indonesia; juga ada Srikandi lintas-iman yang jaringannya juga makin luas.</p>
<p>Yang perlu dilakukan oleh rakyat adalah terus menjaga sikap kritis, baik terhadap sesama anggota masyarakat (khususnya anggota masyarakat sipil-tapi-tidak-sipil seperti Front Pembela Islam dan semacamnya) maupun terhadap pemerintah. </p>
<p>Sikap ini bisa dipelihara jika media memainkan peran sebagai pilar demokrasi dalam pengelolaan kebebasan berpendapat dan kita sebagai pembaca tidak mengkotak-kotakkan diri sehingga hanya mendapat informasi yang kita mau serta menutup diri dari fakta yang tak kita sukai. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/di-balik-imbauan-mui-soal-salam-lintas-agama-ada-ancaman-terhadap-multikulturalisme-indonesia-126950">Di balik imbauan MUI soal salam lintas agama, ada ancaman terhadap multikulturalisme Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Minoritas seksual (masih) didiskriminasi</h2>
<p><strong>Masthuriyah Sa'dan - Peneliti di <em>Indonesian Consortium for Religious Studies</em> (ICRS)</strong></p>
<p><a href="https://www.theguardian.com/global-development-professionals-network/2017/feb/22/why-lgbt-hatred-suddenly-spiked-in-indonesia">Pada 2016 dan 2017</a>, teman-teman transgender mendapatkan kekerasan dan persekusi yang parah.</p>
<p>Tahun ini, Kejaksaan Agung mengeluarkan peraturan bahwa <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/11/18/its-deviation-and-mental-disability-some-state-institutions-put-ban-on-lgbt-applicants.html">calon pegawai negeri sipil tidak boleh lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT)</a>. Itu sangat diskriminatif.</p>
<p>Saya <a href="https://www.jurnalperempuan.org/uploads/1/2/2/0/12201443/ifj_vol_4_2016_-masthuriyah_sadan-lgbt_religion_and_human_rights__a_study_of_the_thought_of_khaled_m._abou_el-fadl_.pdf">melakukan studi</a> dan pendampingan terhadap teman-teman transgender. Diskriminasi kepada mereka, bahkan ketika tidak ada larangan kerja tersebut saja sudah sangat besar.</p>
<p>Ada cerita kawan transgender yang bekerja menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Nusa Tenggara Timur, saat diketahui orientasi gendernya, dia dirisak (<em>bully</em>) lalu keluar karena tidak tahan. </p>
<p>Di bulan Maret, <a href="https://tirto.id/usu-perguruan-tinggi-yang-fobia-lgbt-dlbw">pers Mahasiswa di Universitas Sumatra Utara (USU) dibubarkan</a> karena menerbitkan tulisan yang mengangkat tentang diskriminasi yang dirasakan teman-teman LGBT.</p>
<p>Pada September, <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190918210559-12-431758/rkuhp-dinilai-akan-perparah-diskriminasi-terhadap-lgbt">pasal-pasal dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)</a> yang memperparah diskriminasi terhadap komunitas LGBT hampir saja diloloskan kalau tidak dilawan dengan perjuangan bersama.</p>
<p>Pemerintah seharusnya melindungi; kebijakan yang dibuat harusnya inklusif. Kita tidak selayaknya menilai seseorang berdasarkan orientasi seksual. Itu menghilangkan hak bagi kelompok-kelompok marjinal - dalam hal ini komunitas LGBT.</p>
<p>Padahal mereka itu hidup di Indonesia, dan komunitasnya lumayan banyak. Kalau pemerintah benar-benar ingin mengamalkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, jangan-jangan keadilan itu hanya untuk sebagian kelompok saja?</p>
<p>Keadilan untuk komunitas LGBT bagaimana?</p>
<p>Tugas negara adalah mengakomodasi hak mereka. Tapi kita sebagai warga negara bisa melakukan hal yang paling kecil yang kita bisa. </p>
<p>Sebagai masyarakat sipil, kita harus terus bergerak bersama untuk membantu melindungi mereka dan mengadvokasi hak mereka yang dimarjinalkan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/lgbt-dan-inklusi-sosial-apa-kata-survei-91580">LGBT dan inklusi sosial: apa kata survei?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/128625/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>HAM di 2019 terlihat suram, namun ada beberapa perkembangan baik dan menjadi harapan ke depannya.Usman Hamid, Lecturer, Indonesia Jentera School of LawAchmad Munjid, Assistant Professor of Religious Studies and Literature, Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada Asmin Fransiska, Dean of the Faculty of Law, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Masthuriyah Sa'dan, Researcher, Indonesian Consortium for Religious Studies Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1022072018-09-06T09:04:27Z2018-09-06T09:04:27ZApa rahasia perkawinan yang bahagia?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/234582/original/file-20180903-41732-oc0mv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C924%2C616&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Melakukan pekerjaan seperti mencuci piring, mencuci dan menyetrika, memasak, serta memberi makan kepada anak atau bayi bukanlah semata-mata pekerjaan istri, tapi juga tanggung jawab suami.</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Antara 2005 dan 2010, satu dari sepuluh pasangan suami istri di Indonesia bercerai, menurut data Mahkamah Agung (MA). Sebagian besar–70% dari semua kasus–istri yang mengajukan gugat cerai. Tren ini meningkat setiap tahunnya hingga 80% antara 2010 dan 2015.</p>
<p>Mengapa perempuan dua kali lebih mungkin mengajukan perceraian dibandingkan laki-laki? Salah satu asumsinya adalah bahwa ide mengenai kesetaraan gender yang dipromosikan gerakan feminis mendorong tingkat perceraian. Namun hal ini tidak terbukti.</p>
<p><a href="https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/assets/uploads/2017/02/CERAI_GUGAT.pdf">Data dari Lembaga penelitian dan pengembangan Kementerian Agama RI</a> menyebutkan setidaknya ada tiga alasan utama perceraian: ketidakharmonisan pernikahan, tanggung jawab, dan permasalahan keuangan. Alasan-alasan tersebut berkaitan dengan fleksibilitas peran istri dan suami dalam sebuah pernikahan.</p>
<h2>Beragam peran perempuan</h2>
<p>Meningkatnya keterlibatan perempuan dalam mencari nafkah dan kegiatan publik tidak diimbangi oleh pergeseran peran laki-laki dalam pekerjaan domestik dan kehidupan reproduksi. Akibatnya, perempuan menanggung beban berlipat sebagai seorang anak, istri, ibu, pekerja, dan juga sebagai anggota masyarakat.</p>
<p>Sebagai anak, perempuan secara tradisional memiliki tanggung jawab merawat kedua orang tuanya. Sebagai istri, dia dituntut melayani suaminya, menyiapkan makanan, pakaian dan kebutuhan pribadi suami lainnya. Sebagai seorang ibu, perempuan harus merawat anak-anak dan memenuhi kebutuhan mereka, termasuk dalam hal pendidikan. Dan sebagai seorang pekerja, perempuan harus bersikap profesional, disiplin, dan menjadi karyawan yang baik. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/butuh-warga-satu-kampung-untuk-membesarkan-seorang-anak-101312">Butuh warga satu kampung untuk membesarkan seorang anak</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Sebagai anggota masyarakat, perempuan diharapkan berpartisipasi dalam kegiatan komunitas dan kerja sukarelawan, baik di dalam komunitasnya maupun melalui organisasi sosial. </p>
<p>Sementara, laki-laki secara tradisional hanya memiliki satu peran saja, sebagai pencari nafkah dan hanya sedikit kewajibannya untuk aktif terlibat dalam kegiatan komunitas sosial.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/234586/original/file-20180903-41705-n8z0o3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/234586/original/file-20180903-41705-n8z0o3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=390&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/234586/original/file-20180903-41705-n8z0o3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=390&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/234586/original/file-20180903-41705-n8z0o3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=390&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/234586/original/file-20180903-41705-n8z0o3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=490&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/234586/original/file-20180903-41705-n8z0o3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=490&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/234586/original/file-20180903-41705-n8z0o3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=490&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Laki-laki dapat melakukan tugas mengasuh anak juga.</span>
<span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sampai sekarang beberapa budaya dan keluarga masih mempertahankan peran gender tradisional ini. Tidak heran beban berlipat yang dipikul seorang perempuan dapat menimbulkan kesulitan bagi mereka dan membuat mereka menjadi rentan.</p>
<h2>Peran yang fleksibel</h2>
<p>Penting untuk membahas masalah pemikiran yang cenderung kaku terkait peran perempuan dan laki-laki dalam pernikahan. </p>
<p>Pertama mari kita setujui, melihat pada definisi peran yang fleksibel, bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan tanggung jawab untuk peran domestik dan pengasuhan dalam keluarga, yang dilakukan atas dasar persetujuan dan komitmen yang adil. Melakukan pekerjaan seperti mencuci piring, mencuci dan menyetrika, memasak, serta memberi makan kepada anak atau bayi bukanlah semata-mata pekerjaan istri, tapi juga tanggung jawab suami. Kesetaraan tidak berarti harus sama persis. Tiap-tiap keluarga mungkin membagi tugas dengan cara yang berbeda kepada setiap anggota keluarga.</p>
<p>Ide yang kedua adalah bahwa baik laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan tanggung jawab untuk mencari nafkah dan untuk berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat. Contoh fleksibilitas di sini adalah ketika pasangan memutuskan untuk memiliki seorang anak dan seorang istri hamil. Dalam, banyak kasus, kehamilan ini akan membawa konsekuensi bahwa perempuan akan berkontribusi lebih sedikit pada pendapatan keluarga.</p>
<p>Di dalam skenario yang lain, ketika perempuan mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih baik dibandingkan laki-laki, ini seharusnya tidaklah menjadi permasalahan. Poin terpenting adalah keputusan yang dilakukan merupakan hal yang terbaik demi seluruh anggota keluarga dan tidak membebani satu anggota keluarga secara tidak proporsional. Dalam hal ini seorang suami tidak perlu lagi untuk menghasilkan uang lebih dibandingkan istrinya begitu pun sebaliknya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/alasan-mengapa-kita-mencari-pasangan-yang-suka-dan-bisa-membuat-kita-tertawa-100384">Alasan mengapa kita mencari pasangan yang suka dan bisa membuat kita tertawa</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Peran fleksibel membentuk kebahagiaan dalam pernikahan</h2>
<p>Argumen yang lebih besar dalam peran fleksibel dalam ruang pernikahan ini didukung oleh bukti empiris. Pada 2018 awal kami melakukan sebuah survei di Yogyakarta didukung oleh Ford Foundation terhadap 106 responden yang menikah. Sebanyak 54% mengatakan bahwa mereka “sangat bahagia” dalam keluarga mereka. Dari angka tersebut, hampir dua per tiga menggambarkan fleksibilitas peran gender dalam pernikahan mereka “tinggi”. Sebagai perbandingan, dari 45% yang mengatakan bahwa mereka hanya “bahagia”, hampir dua per lima mengatakan fleksibilitas peran gender dalam pernikahan mereka hanya “moderat”. Semakin fleksibel peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, maka akan semakin bahagia kehidupan mereka dalam keluarga.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/234588/original/file-20180903-41717-motkuh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/234588/original/file-20180903-41717-motkuh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/234588/original/file-20180903-41717-motkuh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/234588/original/file-20180903-41717-motkuh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/234588/original/file-20180903-41717-motkuh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/234588/original/file-20180903-41717-motkuh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/234588/original/file-20180903-41717-motkuh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Pengaturan yang fleksibel dapat meningkatkan kebahagiaan dalam perkawinan.</span>
<span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Temuan ini sangat menarik, khususnya bagi pembuat kebijakan dan pemuka agama, serta masyarakat luas. Ide dari peran fleksibel dalam pernikahan ini sejalan dengan karakteristik generasi milenial : dinamis, energik dan tidak kaku.</p>
<p>Menerapkan peraturan yang fleksibel untuk laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga dapat berkontribusi dalam membentuk kebahagiaan anggota keluarga dan membantu mengurangi angka perceraian. Lagi pula, tidak ada seorang pun, yang bermimpi memiliki sebuah keluarga yang hancur.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/102207/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Alimatul Qibtiyah menerima dana dari Ford Foundation dan Department of Foreign Affairs and Trade, Australia. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Siti Syamsiyatun menerima dana dari Ford Foundation. </span></em></p>Sebuah survei yang dilakukan di Yogyakarta menunjukkan semakin fleksibel peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, maka akan semakin bahagia kehidupan mereka dalam keluarga.Alimatul Qibtiyah, Lecturer in Communication Studies, Universitas Islam Negeri Sunan KalijagaSiti Syamsiyatun, Director, Indonesian Consortium for Religious Studies Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1012752018-09-06T09:02:12Z2018-09-06T09:02:12ZThe secret to a happy marriage: flexible roles<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/233661/original/file-20180827-75984-r7djbo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C7219%2C4809&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Doing the dishes, laundry, ironing, cooking, feeding the baby are not solely the wife's job, but also the responsibility of the husband. </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Between 2005 and 2010, one in ten married couples in Indonesia got divorced, according to data from the Supreme Court. In 70% of the cases, the wife initiated the divorce. The trend has only increased since then, rising by 80% between 2010 and 2015.</p>
<p>Why are women twice as likely as men to seek a divorce? One assumption is that the idea of gender equality as promoted through feminism drives this divorce rate. But it’s an assumption that’s not supported by the evidence. </p>
<p><a href="https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/assets/uploads/2017/02/CERAI_GUGAT.pdf">Data from the Ministry of Religious Affairs</a>, which administers marriages and divorces, identify at least three main reasons cited by those filing for divorce: marital disharmony, responsibility, and money problems. All three reasons relate to the flexibility of the respective roles of the wife and husband in a marriage. </p>
<h2>Women’s multiple roles</h2>
<p>The involvement of women in the economic workforce and public life has not been reciprocated by a shift among men into domestic work and reproductive life. As a result, women assume multiple responsibilities as daughters, wives, mothers, workers and members of society. </p>
<p>As a daughter, a woman is traditionally responsible for taking care of her parents. As a wife, she is expected to serve her husband, preparing food, clothing and other personal needs. As a mother, she has to take care of the children and their needs, including education. </p>
<p>As a worker, she has to be professional, disciplined and a good employee. And as a member of society, she is expected to participate in community activities and volunteer work, both within her community and through social organisations. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/it-takes-a-village-to-raise-a-child-101279">‘It takes a village to raise a child’</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>By contrast, men have traditionally had just one role, as the family’s breadwinner, and little obligation to be socially active within their community. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/234586/original/file-20180903-41705-n8z0o3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/234586/original/file-20180903-41705-n8z0o3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=390&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/234586/original/file-20180903-41705-n8z0o3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=390&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/234586/original/file-20180903-41705-n8z0o3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=390&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/234586/original/file-20180903-41705-n8z0o3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=490&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/234586/original/file-20180903-41705-n8z0o3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=490&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/234586/original/file-20180903-41705-n8z0o3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=490&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Men can carry out caretaking duties too.</span>
<span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Some cultures and families still maintain those gender roles today. It is understandable, therefore, that these multiple burdens of responsibility on women impose hardship on them and leave them vulnerable.</p>
<h2>Flexible roles</h2>
<p>Overcoming this inflexibility in women’s and men’s roles within marriage is therefore important. </p>
<p>Let’s first posit that, by the very definition of role flexibility, both men and women have equal responsibility for domestic and caretaker tasks within the family, on the basis of fair agreement and commitment. Doing the dishes, laundry, ironing, cooking, feeding the baby and so on are not solely the wife’s job, but also the responsibility of the husband. Equal doesn’t mean similar. So different families might apportion tasks in different ways to each member of the family. </p>
<p>The second idea is that both men and women have equal responsibilities to earn money and to participate actively within the community. An example of role flexibility here is when the couple decide to have a child and the woman becomes pregnant. In many cases, the pregnancy will mean she will contribute less toward the family income. </p>
<p>In another scenario, when the woman obtains a better-paying job than the man, it should not matter that she earns more than her husband. The most important point is that the decision is in the best interests of the whole family and doesn’t disproportionately burden one family member. A husband no longer has to earn more money than his wife or vice versa. </p>
<h2>Flexible roles brings marital happiness</h2>
<p>Empirical evidence supports the argument for greater role flexibility within the marital space. </p>
<p>In early 2018 we conducted a survey supported by the Ford Foundation of 106 married respondents in Yogyakarta. Some 54% said they were “very happy” in their family. Of those, nearly two-thirds described the gender role flexibility within their marriage as “high”.</p>
<p>By comparison, of the 45% who said they were merely “happy”, nearly three-fifths said the gender role flexibility in their marriage was only “moderate”.</p>
<p>The more flexible the roles of men and women in the family, the happier they are.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/234588/original/file-20180903-41717-motkuh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/234588/original/file-20180903-41717-motkuh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/234588/original/file-20180903-41717-motkuh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/234588/original/file-20180903-41717-motkuh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/234588/original/file-20180903-41717-motkuh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/234588/original/file-20180903-41717-motkuh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/234588/original/file-20180903-41717-motkuh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">A flexible arrangement can contribute to marital happiness.</span>
<span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>The findings are interesting, especially for policymakers and religious leaders, as well as the wider community. The idea of flexibility in marital roles is in line with the characteristics of the millennial generation: dynamic, non-fixed and non-rigid. </p>
<p>Implementing a flexible arrangement for men’s and women’s roles in the household can contribute to the happiness of the family members and help reduce the number of divorces. Nobody, after all, dreams of having a broken family.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/101275/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Alimatul Qibtiyah receives funding from Ford Foundation and the Department of Foreign Affairs and Trade, Australia. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Siti Syamsiyatun reeceives funding from Ford Foundation. </span></em></p>A survey in Yogyakarta, Indonesia, shows the more flexible the roles of men and women in the family, the happier they are.Alimatul Qibtiyah, Lecturer in Communication Studies, Universitas Islam Negeri Sunan KalijagaSiti Syamsiyatun, Director, Indonesian Consortium for Religious Studies Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.