tag:theconversation.com,2011:/institutions/universitas-islam-negeri-ar-raniry-4191/articlesUniversitas Islam Negeri Ar-Raniry2022-10-24T09:04:20Ztag:theconversation.com,2011:article/1930782022-10-24T09:04:20Z2022-10-24T09:04:20ZBagaimana caleg perempuan menggunakan media sosial untuk menampilkan citra Islami dan memenangkan pemilu<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/491295/original/file-20221024-1581-ig161m.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C5751%2C3828&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ilustrasi perempuan Muslim.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.freepik.com/free-photo/modern-muslim-woman-hijab-office-room_27003237.htm#query=muslim%20lawmaker&position=48&from_view=search&track=ais">Freepik</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Dalam beberapa tahun terakhir, para pemilih di Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, cenderung <a href="https://www.jstor.org/stable/j.ctv1nth4c">lebih suka</a> mencoblos kandidat yang memiliki kepribadian religius dan gaya hidup serta penampilan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Preferensi ini sejalan dengan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13639811.2018.1416798">meningkatnya tren</a> menuju kesalehan bagi Muslim.</p>
<p>Selama periode kampanye, banyak kandidat yang mengikuti kontestasi politik di Indonesia memanfaatkan media sosial untuk menampilkan citra ketakwaan mereka. Calon legislatif (caleg) perempuan, secara khusus, <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/dome.12082">menggunakan media sosial</a> untuk membawa perubahan sosial dan mendorong perempuan untuk terlibat dalam politik.</p>
<p>Pada pemilu 2019, misalnya, caleg perempuan memanfaatkan media sosial untuk memperkuat citra Islami mereka.</p>
<p>Kami melakukan <a href="https://doi.org/10.1080/0967828X.2021.1878928">riset</a> mengenai pola penggunaan media sosial di kalangan caleg perempuan pada Pemilu 2019 di Banda Aceh, ibu kota provinsi Aceh yang memberlakukan hukum syariah.</p>
<p>Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa representasi diri yang Islami di media sosial berhasil membantu meningkatkan elektabilitas mereka serta mendukung partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik.</p>
<h2>Kesalehan adalah kunci</h2>
<p>Penerapan hukum syariah di Aceh membuat praktik keagamaan dan tradisi sosial di provinsi tersebut masih <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/10357823.2016.1225669">bersifat patriarkis</a>. Namun, proporsi anggota legislatif perempuan di Banda Aceh telah <a href="https://mgesjournals.com/hssr/article/view/hssr.2020.8116">meningkat secara signifikan</a> dalam beberapa tahun terakhir.</p>
<p>Data <a href="https://mgesjournals.com/hssr/article/view/hssr.2020.8116">Komisi Pemilihan Umum</a> menunjukkan bahwa pada Pemilu 2019, caleg perempuan menyumbang hampir 42% dari total caleg yang memperebutkan 30 kursi Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh, lebih tinggi dari porsi caleg perempuan pada Pemilu 2014 yang hanya 14,8%.</p>
<p>Kami melakukan penelitian dengan melibatkan responden empat caleg perempuan, termasuk satu petahana, yang memenangkan Pemilu Legislatif di Banda Aceh 2019. Mereka adalah <a href="https://www.instagram.com/tatimeutia/?hl=en">Tati Meutia Asmara</a>, <a href="https://aceh.pks.id/tag/devi-yunita/">Devi Yunita</a>, <a href="https://ceritawarga.com/read/2022/03/30/5156/Sosok_Syarifah_Munira__Politisi_Perempuan_Tangguh_Maju_Sebagai_Ketua_PPP_Banda_Aceh">Syarifah Munirah</a> dan <a href="http://posaceh.com/anggota-dprk-banda-aceh-kasumi-sulaiman-peringati-maulid-nabi-sekaligus-reses/amp/">Kasumi Sulaiman</a>. Sebagian besar dari mereka berasal dari partai politik berbasis Muslim.</p>
<p>Mengetahui bahwa perempuan usia muda mendominasi porsi pemilih dan pengguna media digital di Banda Aceh, para caleg tersebut memutuskan untuk meluncurkan kampanye politik mereka di media sosial, terutama Facebook dan Instagram.</p>
<p>Di postingan media sosial mereka, kami menemukan bahwa keempatnya mencoba membuat citra perempuan salihah. Sebagian besar kontennya memperlihatkan karakter agamis mereka serta keterlibatan dalam acara dan kegiatan keagamaan.</p>
<p>Tati, misalnya, membagikan kunjungannya ke sebuah komunitas Muslimah yang mengusung gerakan <em>hijrah</em>. Melalui Facebook dan Instagram, ia juga mengunggah foto seorang ulama yang sedang melakukan ibadah haji ke Mekah, Arab Saudi.</p>
<p>Kasumi, contoh lain, sering mengunggah foto berisi kutipan-kutipan religi di media sosialnya.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/491019/original/file-20221021-26-fdrgqs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/491019/original/file-20221021-26-fdrgqs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=346&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/491019/original/file-20221021-26-fdrgqs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=346&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/491019/original/file-20221021-26-fdrgqs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=346&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/491019/original/file-20221021-26-fdrgqs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=435&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/491019/original/file-20221021-26-fdrgqs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=435&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/491019/original/file-20221021-26-fdrgqs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=435&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Uji coba penghitungan suara menjelang Pilkada Aceh 2019.</span>
<span class="attribution"><span class="source">AFP/Chaideer Mahyudin</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tindakan ini mencerminkan keyakinan para caleg bahwa penilaian pemilih lebih didasarkan pada karakteristik pribadi, identitas dan gaya hidup, daripada pada isu serta program dan kebijakan yang mereka usung.</p>
<h2>Membangun sosok wanita islami yang ideal</h2>
<p>Keempat caleg tersebut juga berusaha memperkuat citra mereka sebagai perempuan muslimah yang ideal dengan menunjukkan bagaimana mereka mencintai dan merawat keluarga serta setia dan berbakti kepada suami.</p>
<p>Tati membangun citranya sebagai istri salihah melalui unggahannya yang berupa bergambar dua pasang sandal untuk suaminya, dengan <em>caption</em> berbunyi, “Aku yakin, di telapak kakimu, kini ada surgaku; kesayangan”. Syarifah menunjukkan bahwa dirinya adalah istri salihah dengan mengunggah foto ucapan selamat Idul Adha sambil mencium tangan suaminya.</p>
<p>Dalam Islam, <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwiji9nD2vD6AhXiiGMGHY39A90QFnoECAwQAQ&url=http%3A%2F%2Fjurnal.uinsu.ac.id%2Findex.php%2Fanalytica%2Farticle%2Fdownload%2F436%2F337&usg=AOvVaw1714hsf_5xvgVJGTTcqZhl">ketaatan pada suami</a> diyakini secara luas sebagai jalan menuju surga bagi perempuan.</p>
<p>Kasumi, sementara itu, menamai semua akun media sosialnya ‘Bunda Mimi’. Ia mencoba mengaitkan citra femininnya dengan nilai-nilai Islam. </p>
<p>Menurut penelitian kami, jumlah unggahan sosial mereka yang bertujuan meningkatkan citra keagamaan meningkat selama periode kampanye pemilu 2019, ditunjukkan oleh 50% dari total jumlah unggahan mereka di Facebook. Di Instagram, jumlah kenaikan unggahan mereka yang terkait keagamaan naik hingga 24%. Tati, caleg perempuan yang mendapatkan suara terbanyak, adalah yang paling banyak mengunggah konten kesalehannya di sosial medianya.</p>
<h2>Mendobrak batasan</h2>
<p>Di banyak negara dengan mayoritas Muslim, media tradisional <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14680777.2018.1468797">cenderung menciptakan sebuah gagasan</a> bahwa mengikuti kompetisi politik bukanlah hal menguntungkan bagi perempuan. Namun, media sosial <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01292986.2012.662513">telah menjadi alternatif</a> bagi para perempuan. Hasil studi kami tersebut menunjukkan bagaimana strategi media sosial dapat membuka lebih banyak peluang untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan di daerah.</p>
<p>Studi ini mendukung <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01292986.2012.662513">riset lain</a> yang menunjukkan bahwa media sosial memberikan peluang yang lebih signifikan bagi kandidat perempuan untuk mempromosikan diri dan meningkatkan peluang mereka memenangkan pemilu.</p>
<p><a href="https://theconversation.com/au/topics/social-media-and-society-125586" target="_blank"><img src="https://images.theconversation.com/files/479539/original/file-20220817-20-g5jxhm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=144&fit=crop&dpr=1" width="100%"></a></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/193078/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Media sosial memberikan peluang yang lebih signifikan bagi caleg perempuan untuk mempromosikan diri dan meningkatkan elektabilitasnya dalam pemilu.Haryanto, Dosen Ilmu Politik, Universitas HasanuddinRizkika Lhena Darwin, Dosen Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Ar-RaniryLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1913852022-10-24T08:59:21Z2022-10-24T08:59:21ZHow Indonesia’s female candidates have used social media to boost Islamic image and win elections<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/490995/original/file-20221021-24-qzgrwy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=8%2C8%2C5742%2C3819&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">A muslim woman works on her laptop.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.freepik.com/free-photo/modern-muslim-woman-hijab-office-room_27003237.htm#query=muslim%20lawmaker&position=48&from_view=search&track=ais">Freepik</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>In recent years, voters in the world’s third-largest democracy, Indonesia, <a href="https://www.jstor.org/stable/j.ctv1nth4c">have preferred</a> to support candidates with solid religious personas and a lifestyle and appearances adhering to Islamic values. This preference is in line with the <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13639811.2018.1416798">increasing trend</a> towards Islamic piety in the Muslim majority country.</p>
<p>Many political candidates in Indonesia have been taking advantage of social media to design campaigns that promote piety. Female political candidates in particular have started to <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/dome.12082">utilise social media</a> to bring about social change and encourage women to become politicaly engaged. </p>
<p>During the 2019 election, many Indonesian female candidates running for political offiec used social media to bolster an Islamic image. Our latest research <a href="https://doi.org/10.1080/0967828X.2021.1878928">shows</a> the pattern of social media usage among female candidates in the 2019 election in Banda Aceh, the capital of Aceh province which enforces sharia law.</p>
<p>The research finds that creating an Islamic image on social media helps the female candidates increase their electability and supports female participation and representation in politics.</p>
<h2>Being pious is the key</h2>
<p>Under Aceh’s sharia law, patriarchy <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/10357823.2016.1225669">dominates</a> religious practices and social customs. But the proportion of female legislators in Banda Aceh has <a href="https://mgesjournals.com/hssr/article/view/hssr.2020.8116">increased significantly</a> in recent years.</p>
<p>In 2019 election, female candidates accounted for almost 42% of the total candidates fighting for 30 seats, according to data from the <a href="https://mgesjournals.com/hssr/article/view/hssr.2020.8116">General Elections Commission</a>. In the 2014 election, the portion of female candidates was only 14.8%.</p>
<p>We interviewed four female candidates, including one incumbent, who finally won the election, for the research. </p>
<p>They were <a href="https://www.instagram.com/tatimeutia/?hl=en">Tati Meutia Asmara</a>, <a href="https://aceh.pks.id/tag/devi-yunita/">Devi Yunita</a>, <a href="https://ceritawarga.com/read/2022/03/30/5156/Sosok_Syarifah_Munira__Politisi_Perempuan_Tangguh_Maju_Sebagai_Ketua_PPP_Banda_Aceh">Syarifah Munirah</a> and <a href="http://posaceh.com/anggota-dprk-banda-aceh-kasumi-sulaiman-peringati-maulid-nabi-sekaligus-reses/amp/">Kasumi Sulaiman</a>. Most of them came from Muslim-based political parties.</p>
<p>Knowing that most of the voters and the largest groups of digital media users in Banda Aceh were young women, they decided to launch their political campaigns on social media, especially Facebook and Instagram.</p>
<p>On their social media posts, we found that a majority of them tried to create a pious image. Posts saw them share images of their Muslim wardrobes and them engaging with religious events and activities. Tati, for instance, announced a visit to a community of Muslim women who promoted <em>hijrah</em> (becoming more Islamic). </p>
<p>She also posted on her Facebook and Instagram feeds a photo of a chaplain who was performing a pilgrimage to Mecca. Kasumi, another example, frequently shared religious quotes on her social media.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/491019/original/file-20221021-26-fdrgqs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/491019/original/file-20221021-26-fdrgqs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=346&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/491019/original/file-20221021-26-fdrgqs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=346&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/491019/original/file-20221021-26-fdrgqs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=346&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/491019/original/file-20221021-26-fdrgqs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=435&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/491019/original/file-20221021-26-fdrgqs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=435&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/491019/original/file-20221021-26-fdrgqs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=435&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Voting count trial in the lead up to 2019 election in Aceh.</span>
<span class="attribution"><span class="source">AFP/Chaideer Mahyudin</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>These actions reflect the candidates’ belief that voter ratings were based more on personal characteristics, identity and lifestyle, rather than on issues and their policy programmes.</p>
<h2>Projecting ideal Islamic female figures</h2>
<p>They also reinforced the image of an ideal female Muslim by showing how they love and care for the family as well as being faithful to their husbands on the social media posts.</p>
<p>Tati, for example, built her image as a pious wife through her post that portrayed two pairs of sandals for her husband, with a caption that read, “I am sure, in the sole of your feet, my heaven lies now; for my beloved”. </p>
<p>Candidate Syarifah Munira branded herself a pious wife by posting a picture with Eid al-Adha greetings while kissing her husband’s hand. In Islam, <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwiji9nD2vD6AhXiiGMGHY39A90QFnoECAwQAQ&url=http%3A%2F%2Fjurnal.uinsu.ac.id%2Findex.php%2Fanalytica%2Farticle%2Fdownload%2F436%2F337&usg=AOvVaw1714hsf_5xvgVJGTTcqZhl">obedience to a husband</a> is widely believed as the path to heaven for women.</p>
<p>Kasumi, meanwhile, named all of her social media accounts ‘Bunda Mimi’ (Mother Mimi) as she tried to associate her feminine image with Islamic values. </p>
<p>Our research calculates that their social posts to improve their religious image increased during 2019 election campaign period. Up to 50% of the total number of candidates’ posts on Facebook showed these. While the number went up to 24% on Instagram. Tati, who won the election, was the candidate with the most social media posts showing her piety. </p>
<h2>Breaking the barrier</h2>
<p>In many Muslim countries, traditional media <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14680777.2018.1468797">has supported an idea</a> that it is unfavourable for women to join political race. Social media, however, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01292986.2012.662513">has given women</a> alternatives. Our study has shown how social media strategy can open more opportunities for women in the region to increase women’s political participation.</p>
<p>The research echoes <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/1369118X.2018.1439985">other work</a> showing that social media provides more significant chances in certain societies for female candidates to promote themselves and increase their chances of winning elections.</p>
<p><a href="https://theconversation.com/au/topics/social-media-and-society-125586" target="_blank"><img src="https://images.theconversation.com/files/479539/original/file-20220817-20-g5jxhm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=144&fit=crop&dpr=1" width="100%"></a></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/191385/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Social media provides more significant opportunities for female candidates to promote themselves and increase their electability in elections.Haryanto, Dosen Ilmu Politik, Universitas HasanuddinRizkika Lhena Darwin, Dosen Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Ar-RaniryLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1472532020-10-26T09:35:40Z2020-10-26T09:35:40ZRiset tunjukkan trauma perundungan yang dialami anak saat kecil terbawa hingga dewasa: studi kasus di Aceh<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/362793/original/file-20201011-15-1lpedmq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Anak-anak dari kelompok rentan banyak menjadi korban perundungan yang dampak buruknya berlanjut hingga mereka dewasa.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/cav7lCUelTw">(Unsplash/Duangphorn Wiriya)</a></span></figcaption></figure><p><a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s10826-019-01502-9">Riset</a> menunjukkan <em>bullying</em> atau perundungan menimbulkan depresi, stres, dan bahkan <a href="https://pediatrics.aappublications.org/content/115/2/357.short">kecenderungan bunuh diri</a> yang lebih tinggi pada anak muda.</p>
<p>Pada tahun 2019, Organisasi Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) menemukan <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/12/12/pisa-murid-korban-bully-di-indonesia-tertinggi-kelima-di-dunia">41,1% pelajar Indonesia</a> pernah mengalami perundungan - angka tertinggi kelima di dunia.</p>
<p>Indonesia belum lama ini kembali dihebohkan dengan kasus <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-62257471">perundungan terhadap anak kelas 5 sekolah dasar (SD) di Tasikmalaya, Jawa Barat</a>, yang dipaksa oleh rekan-rekan sepermainannya untuk menyetubuhi seekor kucing. Karena videonya beredar, anak tersebut depresi dan akhirnya meninggal dunia.</p>
<p>Sebelumnya, pada 2020, ada juga <a href="https://www.liputan6.com/news/read/4161425/5-hal-terkait-bunuh-diri-pelajar-di-jakarta-timur">kasus bunuh diri pelajar sekolah menengah pertama (SMP)</a> berusia 14 tahun di Jakarta yang diduga mengalami perundungan verbal di sekolah.</p>
<p>Selain menimbulkan dampak psikis dan kecenderungan bunuh diri, <a href="https://www.journal.fdi.or.id/index.php/jaspt/article/view/535">penelitian saya</a> di Aceh yang terbit pada 2021 menunjukkan bahwa trauma perundungan yang anak alami ketika kecil berdampak negatif terhadap kondisi psikis mereka secara jangka panjang - bahkan belasan tahun kemudian ketika menjadi mahasiswa.</p>
<p>Studi tersebut juga mengindikasikan bahwa sebagian besar anak yang mengalami perundungan berasal dari kelompok agama, ras, atau etnis minoritas.</p>
<p>Institusi sekolah harus turut terlibat dalam pencegahan perudungan yang paling banyak terjadi di tingkat SD.</p>
<h2>Perundungan masa kecil bertahan hingga dewasa</h2>
<p>Riset saya menggunakan metode kualitatif yang melakukan <a href="https://www.oxfordhandbooks.com/view/10.1093/oxfordhb/9780199811755.001.0001/oxfordhb-9780199811755-e-032">wawancara mendalam</a> dengan lima mahasiswa (18-25 tahun) dari dua universitas di Aceh. </p>
<p>Temuan utamanya adalah trauma perundungan dari kecil akan terus dibawa hingga masa dewasa. Padahal, <a href="http://www.jim.unsyiah.ac.id/pgsd/article/view/1802">penelitian lain</a> mengatakan pelajar di Indonesia sudah mulai mengalami perundungan sejak mereka berada di kelas empat SD.</p>
<p>Hampir seluruh responden dalam studi saya mengaku tidak memiliki ruang untuk menyelesaikan masalah perundungan yang mereka alami. Mereka tumbuh besar dengan memendam pesimisme, ketakutan, serta trauma karena takut bercerita dan khawatir disalahkan, baik oleh guru maupun orang tua. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bahaya-ide-bunuh-diri-pada-remaja-bila-terlambat-ditangani-107585">Bahaya ide bunuh diri pada remaja bila terlambat ditangani</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Beberapa responden bahkan mengaku pernah memiliki pikiran bunuh diri. </p>
<p>Ini senada dengan survei dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menemukan <a href="https://kumparan.com/millennial/survei-1-dari-20-remaja-indonesia-punya-keinginan-bunuh-diri-1sSawE442SO">setidaknya seperlima kasus percobaan bunuh diri di Indonesia</a> diakibatkan oleh perundungan.</p>
<p>Responden yang berasal dari golongan ekonomi atas bisa mengakses bantuan profesional dari psikolog, sementara yang tidak, harus menghadapinya sendirian. Padahal, Badan Pusat Statistik pada Maret 2020 mencatat ada <a href="http://humas.acehprov.go.id/data-bps-aceh-bukan-lagi-daerah-termiskin-di-sumatera/">14,99 persen</a> atau 814,91 ribu penduduk miskin Aceh. </p>
<p>Hal ini diperparah oleh sulitnya mencari organisasi yang menyediakan konseling sukarela bagi korban perundungan di Aceh.</p>
<p>Meskipun belum ada datanya, pengalaman saya selama meneliti di Aceh mengindikasikan jumlah layanan konseling di provinsi ini - maupun di daerah lain di Indonesia - masih sangat minim. Di kota besar pun, banyak layanan <a href="https://www.intothelightid.org/wp-content/uploads/2019/12/Database-Layanan-Kesmen-CIMSA-SCOPH-Pijar-Psikologi-Into-The-Light-Indonesia-IYHPS.pdf">terpusat di rumah sakit</a> dan berbayar.</p>
<p>Berbagai permasalahan psikis akibat perudungan yang tidak terselesaikan pada masa anak-anak di level anak mempengaruhi kondisi dan pandangan hidup ketika mereka menjadi dewasa.</p>
<p>Responden saya menceritakan bagaimana perisakan dan perundungan semasa sekolah membuat mereka menjadi individu yang minder, kesulitan beradaptasi, dan kehilangan kepercayaan kepada teman sebaya saat berinteraksi di kampus.</p>
<h2>Profil perundungan terbanyak ketika SD adalah diskriminasi etnis</h2>
<p>Trauma saat dewasa yang disebabkan perundungan masa kecil mencerminkan perlunya identifikasi jenis perundungan seperti apa yang banyak terjadi di level SD.</p>
<p>Studi saya, misalnya, juga menemukan bahwa perundungan yang dominan saat kecil bisa berbasis intoleransi karena perbedaan etnis dan agama. </p>
<p>Provinsi Aceh sendiri terdiri atas 23 kabupaten dengan 13 suku yang memiliki 10 <a href="https://aceh.tribunnews.com/2017/12/19/revitalisasi-bahasa-daerah-di-aceh">bahasa daerah</a>. Walaupun mayoritas dihuni oleh <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Aceh">suku Aceh (70%)</a>, beberapa kabupaten lain, seperti Aceh Tengah dan Bener Meriah, menjadi tempat tinggal mayoritas suku Gayo.</p>
<p>Ketika salah satu responden berasal dari suku Aceh pindah ke Aceh Tengah, ia menjadi target perundungan kerena membawa identitas kultural yang berbeda dan <a href="https://www.thoughtco.com/what-is-cultural-capital-do-i-have-it-3026374">modal budaya</a> yang minim untuk beradaptasi di tempat yang baru - termasuk keterbatasan berbahasa Gayo yang secara umum lebih dipakai sebagai bahasa pergaulan.</p>
<p>Perundungan yang terjadi akibat perbedaan ini dapat diawali dengan serangan verbal, misalnya penyamaan korban dengan binatang seperti “<em>asu</em>” (anjing) dan penghinaan terhadap kondisi fisik korban. Pada akhirnya, perundungan dapat mengalami eskalasi menjadi penganiayaan fisik.</p>
<p>Selain etnis, perbedaan agama juga menjadi bahan perundungan.</p>
<p>Contohnya warga Kristen di <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50471436">Aceh Singkil</a> - suatu fenomena yang juga <a href="https://theconversation.com/jakarta-dan-yogyakarta-demokratis-tapi-intoleran-mengapa-ini-bisa-terjadi-di-indonesia-116576">tercermin secara nasional</a>.</p>
<h2>Apa yang bisa dilakukan</h2>
<p>Riset saya sendiri baru di daerah Aceh, dan perlu penelitian tambahan untuk melihat tren serupa pada daerah lain di Indonesia. </p>
<p>Namun dengan melihat masalah perundungan di Aceh, pemerintah perlu melakukan intervensi serius untuk menangani perundungan dan diskriminasi di level SD di tingkat nasional.</p>
<p><a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51168802">Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)</a>, misalnya, pada awal tahun ini mencatat mayoritas sekolah di Indonesia bahkan tidak memiliki sistem pencegahan dan pengaduan perundungan yang terpadu. Padahal, hal tersebut telah diatur di <a href="http://simpuh.kemenag.go.id/regulasi/permendikbud_82_15.pdf">Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (permendikbud) Tahun 2015</a> tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan.</p>
<p>Berbagai riset yang ada merekomendasikan beberapa cara: </p>
<p><strong>Pertama</strong>, <a href="https://www.neliti.com/publications/239210/primary-school-teachers-self-efficacy-in-handling-school-bullying-a-case-study">pemberdayaan guru</a> dengan mengikutsertakan mereka dalam pelatihan anti-perundungan.</p>
<p>Tanpa adanya pembekalan kompetensi tersebut, sulit bagi guru untuk bereaksi terhadap kejadian perundungan secara sensitif.</p>
<p>Riset menunjukkan pola pikir guru yang salah terkait perundungan dapat mengarah pada <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00098655.2012.677075">budaya menyalahkan korban</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/peran-penting-guru-bk-dalam-mendeteksi-depresi-pada-remaja-102923">Peran penting guru BK dalam mendeteksi depresi pada remaja</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Selain memberdayakan guru kelas yang menghabiskan waktu lebih banyak bersama siswa, sekolah juga dapat <a href="http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI_PEND_DAN_BIMBINGAN/195903271986011-DEDI_HERDIANA_HAFID/Presentation_rambu-rambu_%5BCompatibility_Mode%5D.pdf">memberdayakan staf Bimbingan Konseling (BK)</a>. </p>
<p>Berbagai akademisi, misalnya, mengusulkan <a href="https://theconversation.com/peran-penting-guru-bk-dalam-mendeteksi-depresi-pada-remaja-102923">pemberdayaan staf BK</a> agar dapat mendeteksi gejala depresi pada siswa.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, sekolah harus bisa mengidentifikasi siswa yang rentan menjadi penindas dan korban, terutama mereka yang berasal dari kelompok rentan dan minoritas.</p>
<p>Pimpinan sekolah, misalnya, dapat menerapkan pendataan siswa berdasarkan kelompok etnis, suku, dan agama.</p>
<p><a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0042085918783821">Beberapa akademisi</a> mengatakan hal ini bisa membantu pimpinan sekolah untuk memahami penyebab masalah perudungan. Data tersebut juga berperan sebagai basis untuk membuat <a href="https://www.tolerance.org/magazine/fall-2009/colorblindness-the-new-racism">kebijakan anti-diskriminasi</a> di lingkungan sekolah.</p>
<p>Lebih jauh lagi, <a href="https://www.ero.govt.nz/assets/Uploads/Bullying-Prevention-and-Response-in-New-Zealand-Schools-May-2019.pdf">banyak sekolah di Selandia Baru</a> bahkan memiliki sistem pendataan, sistem pengawasan kasus perundungan, dan survei berkala terhadap kesejahteraan psikis warga sekolah. Mereka juga mengadakan kelompok diskusi terfokus dengan siswa dan orang tua untuk merumuskan pendekatan anti-perundungan.</p>
<p>Di level pengambil kebijakan, pemerintah sebenarnya sudah mengatur kebijakan anti-perundungan pada Permendikbud Tahun 2015.</p>
<p>Namun, kita perlu mengingat juga bahwa selama ini pemerintah masih memberikan teladan yang buruk. Pemerintah masih saja melanggengkan <a href="http://www.jurnal-maarifinstitute.org/index.php/maarif/article/view/20/14">diskriminasi struktural</a>, atau diam saja terhadap diskriminasi atau persekusi atas <a href="https://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/view/20424/15042">minoritas agama</a>, gender, dan ras di Indonesia.</p>
<p>Publik harus memahami bahwa perundungan tidak terjadi dalam semalam, namun merupakan puncak gunung es dari bagaimana negara memperlakukan kaum minoritas dan kelompok rentan lain, yang pada akhirnya dicontoh oleh generasi muda semenjak di SD.</p>
<hr>
<p><em>CATATAN EDITOR: Artikel ini kami perbarui pada Juli 2022 untuk menambahkan detail tentang kasus terbaru terkait perundungan anak di Tasikmalaya, Jawa Barat.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/147253/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Muhammad Haekal tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Riset saya di Aceh menunjukkan trauma yang dialami amak ketika kecil bertahan hingga dewasa.Muhammad Haekal, Lecturer, Universitas Islam Negeri Ar-RaniryLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.