tag:theconversation.com,2011:/institutions/universitas-negeri-semarang-3844/articlesUniversitas Negeri Semarang2023-12-19T06:53:32Ztag:theconversation.com,2011:article/2196022023-12-19T06:53:32Z2023-12-19T06:53:32ZPanduan membaca janji-janji capres-cawapres secara kritis untuk pemilih pemula<p>Memasuki masa kampanye Pemilu 2024, calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), banyak membanjiri publik dengan janji-janji politik lewat visi-misinya.</p>
<p>Capres-cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, misalnya, <a href="https://pemilu.tempo.co/read/1806065/pilpres-2024-catat-janji-kampanye-anies-cak-imin-tambah-kuota-haji-hingga-sahkan-ruu-perampasan-aset">menjanjikan penambahan kuota haji hingga pengesahan RUU perampasan aset.</a>. Sementara pasangan nomor urut 2, Prabowo dan Gibran, antara lain <a href="https://pemilu.tempo.co/read/1806062/pilpres-2024-catat-janji-prabowo-gibran-sepekan-kampanye-hilirisasi-sampai-dana-abadi-pondok-pesantren">mendorong hilirisasi dalam bidang ekonomi dan dana abadi pesantren</a>. Pasangan nomor urut 3, Ganjar dan Mahfud, juga menjanjikan banyak hal, terutama <a href="https://pemilu.tempo.co/read/1806215/pilpres-2024-catat-janji-ganjar-mahfud-sepekan-kampanye-izin-mendirikan-rumah-ibadah-hingga-gunakan-aspal-buton">distribusi pupuk dan pembangunan desa.</a></p>
<p>Dengan banyaknya paparan janji yang diterima publik, bagaimana caranya agar pemilih, terutama pemilih pemula yang belum memiliki pengalaman memilih sebelumnya, dapat menilai janji-janji tersebut secara kritis?</p>
<p><strong>1. Lihat rekam jejak calon (<em>track record</em>)</strong></p>
<p>Sifat <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/jtsb.12095">politik praktis sebagai arena dan proses negosiatif dengan tujuan utama meraih kekuasaan dan mempertahankannya</a> menjadikan janji-janji politik menjadi tidak pasti. </p>
<p>Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memprediksi nasib janji-janji politik adalah dengan <a href="https://www.unpad.ac.id/en/2013/11/future-leaders-should-not-be-elected-based-on-their-political-promises-but-on-their-track-records/">melihat <em>track record</em>.</a> Dalam hal ini, para pemilih, perlu melihat <em>track record</em> sikap, pandangan, dan kebijakan yang pernah diambil oleh pasangan capres-cawapres.</p>
<p>Lihat bagaimana Anies Baswedan, misalnya, ketika memimpin <a href="https://kumparan.com/berita-update/anies-baswedan-terobosan-selama-menjabat-menteri-pendidikan-1uWjDFGacjq">Kementerian Pendidikan dan Budaya (2014-2016)</a>, menjadi <a href="https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/620904/prestasi-anies-baswedan-selama-menjabat-gubernur-dki-jakarta">gubernur DKI Jakarta</a> dan menjadi <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2020/11/03/06160011/anies-baswedan-dari-rektor-termuda-hingga-kontroversi-di-panggung-politik?page=all">Rektor di Paramadina (2007-2015)</a>.</p>
<p>Lihat juga bagaimana kebijakan <a href="https://soloraya.solopos.com/ini-8-program-unggulan-wali-kota-solo-gibran-ada-disneyland-1110094">Gibran ketika menjadi Wali Kota Solo (2021 s.d. sekarang)</a>, atau bagaimana <a href="https://jatengprov.go.id/publik/ganjar-dorong-lahirnya-program-revolusioner-bidang-pendidikan-di-jateng/">Ganjar ketika menjadi Gubernur Jawa Tengah (2013 s.d. 2023)</a>.</p>
<p>Gagasan apa yang terlontar dan praktik baik apa yang dijalankan oleh mereka selama periode tersebut?</p>
<p>Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini dapat kita jadikan modal untuk memprediksi apakah janji yang ditawarkan sekarang berpeluang untuk terpenuhi atau tidak.</p>
<p><strong>2. Cek sikap politik tokoh dan partai pendukung</strong></p>
<p>Cara lain untuk menilai janji-janji pemilu adalah dengan meninjau sikap politik dari para tokoh dan partai penyokong ketiga capres-cawapres. Produk kebijakan apa yang didukung dan diperjuangkan oleh mereka? Adakah kebijakan yang benar-benar memihak publik?</p>
<p><a href="https://kumparan.com/beritajatim-admin/pdip-pastikan-dukung-penghapusan-un-1sWF6fDQrNm">PDI-Perjuangan, contohnya, sebagai pendukung utama pasangan calon (paslon) nomor tiga, selama berkuasa di parlemen memberikan dukungan pada penghapusan Ujian Nasional (UN)</a>. </p>
<p>Sementara pada tahun 2019, lima partai yaitu PDI-Perjuangan, Partai Golkar, PPP, PKB, dan Partai NasDem merupakan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190906175257-12-428252/lima-parpol-pengusung-jokowi-jadi-pengusul-revisi-uu-kpk">pengusul revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK)</a> yang justru berisiko <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/09/25/10382471/ini-26-poin-dari-uu-kpk-hasil-revisi-yang-berisiko-melemahkan-kpk?page=all">melemahkan lembaga anti korupsi</a>.</p>
<p>Tinjauan atas sikap politik ini dapat dilakukan tidak hanya di level legislatif tapi juga eksekutif. Kita bisa melihat bagaimana sikap pemerintah pusat maupun daerah, yang dalam beberapa kasus memunculkan kebijakan kontroversial seperti <a href="https://nasional.tempo.co/read/1697635/kebijakan-masuk-sekolah-pukul-05-00-wita-di-ntt-dinilai-tak-berbasis-kajian-ilmiah">jam masuk sekolah pukul 05.00 WITA di Nusa Tenggara Timur (NTT) </a>, <a href="https://www.detik.com/bali/berita/d-6914472/sederet-kebijakan-kontroversial-gubernur-koster-minum-arak-larang-naik-gunung">ajakan untuk minum arak pagi dan malam</a> <a href="https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/mizani/article/view/46">salat berjamah berhadiah,</a> dan lain sebagainya.</p>
<p>Data dan fakta <em>track record</em> tersebut lebih bisa kita jadikan bahan pertimbangan daripada slogan dan jargon partai.</p>
<p><strong>3. Gunakan rasio, bukan emosi</strong></p>
<p>Namun, tetap perlu diingat bahwa di Indonesia, <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/03/10/17502231/pakar-parpol-semakin-banyak-makin-tak-jelas-ideologinya">batas ideologis antar-partai sering tidak jelas</a>. Partai-partai cenderung lebih mengutamakan kepentingan politik praktis. </p>
<p>Contohnya, partai yang mengklaim ideologinya kerakyatan, dalam praktiknya bisa membiarkan mekanisme pasar bebas (neoliberalisme) menguasai pendidikan tinggi, (<a href="https://www.goodreads.com/book/show/35377696-pendidikan-kritis">sebagaimana temuan riset saya di tahun 2016 </a>& <a href="https://www.researchgate.net/publication/369201675_Merdeka_Belajar_Antara_Esensi_dan_Kontradiksi"> dan 2022).</a> </p>
<p>Selain itu, perubahan situasi dan pergeseran relasi kuasa merupakan praktik lazim dalam politik Indonesia, sehingga <a href="https://www.psychologytoday.com/us/blog/witness/201301/the-best-predictor-future-behavior-is-past-behavior"><em>track record</em> juga perlu dipahami keterbatasannya</a>. Hal ini sesuai dengan temuan riset dari <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/B9780080970868240798">Christian Staerklé, peneliti dari University of Lausanne, Swiss</a> tentang psikologi politik. Artinya, tetap terdapat kemungkinan bahwa capres-cawapres terpilih tidak melakukan hal-hal sesuai <em>track record</em> mereka.</p>
<p>Karena itu, setelah melihat <em>track record</em> dan mengecek sikap politik tokoh dan partai pendukung, pemilih perlu mengutamakan pertimbangan rasional-ilmiah ketimbang sikap suka dan tidak suka secara subjektif.</p>
<p>Caranya adalah dengan mengkaji secara kritis janji-janji yang terlontar. Janji politik seperti <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/12/10/21183941/gibran-sebut-program-makan-siang-dan-susu-gratis-bukan-retorika-belaka">makan siang dan minum susu gratis di sekolah</a>, <a href="https://www.cnbcindonesia.com/research/20231109181303-130-487811/berantas-kemiskinan-ala-ganjar-1-sarjana-di-1-keluarga">satu keluarga miskin satu sarjana </a>, dan <a href="https://bisnis.tempo.co/read/1770578/5-janji-pkb-jika-cak-imin-menang-pilpres-2024-anggaran-dana-desa-rp-5-miliar-hingga-bbm-dan-sekolah-gratis">dana desa Rp 5 miliar</a> perlu direspons dengan pertanyaan-pertanyaan kritis seperti: Dananya dari mana? Dana yang akan diambil apakah akan mengurangi alokasi dana lain? Program mana yang akan diprioritaskan? Prediksi dampaknya seperti apa?</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/cek-fakta-benarkah-76-negara-punya-program-makan-siang-dan-susu-gratis-untuk-anak-sekolah-219913">Cek Fakta: benarkah 76 negara punya program makan siang dan susu gratis untuk anak sekolah?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Pertimbangkan juga apakah perumusan janji-janji politik tersebut menggunakan pendekatan ilmiah atau lebih pada usaha untuk meraup suara belaka.</p>
<p>Mengingat bahwa pilihan kita menentukan bagaimana negara ini dijalankan setidaknya dalam lima tahun ke depan, para pemilih perlu mencermati dan memahami mana janji-janji yang realistis dan mana yang tidak.</p>
<p>Dengan membaca janji-janji politik capres-cawapres secara kritis dan rasional, pemilih tidak sekadar menjadi objek pasif sasaran meraih suara, melainkan pelaku aktif yang berkontribusi dalam keberlangsungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/219602/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Edi Subkhan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Bagaimana membaca visi-misi capres-cawapres agar dapat memilih secara rasional?Edi Subkhan, Lecturer at the Department of Curriculum and Educational Technology, Faculty of Education and Psychology, Universitas Negeri SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2069962023-07-26T06:40:03Z2023-07-26T06:40:03ZKurikulum Merdeka beri ruang bagi murid untuk bereksplorasi–tapi jangan jadikan ini alasan untuk guru lepas tangan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/539215/original/file-20230725-23-kjdcs1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/blur-kids-teacher-classroom-background-usage-438910567">Macpanama/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Dalam Kurikulum Merdeka yang tengah digalakkan pemerintah, salah satu pendekatan yang direkomendasikan untuk memenuhi <a href="https://kurikulum.kemdikbud.go.id/kurikulum-merdeka/capaian-pembelajaran#filter-cp">capaian belajar (CP)</a> adalah proses <a href="https://pusmendik.kemdikbud.go.id/pdf/file-99#:%7E:text=yang%20dimaksud%20dengan%3A-,1.,untuk%20mencapai%20standar%20kompetensi%20lulusan.">pembelajaran aktif</a> atau pembelajaran yang berorientasi pada murid.</p>
<p>Di dalamnya, misalnya, ada sejumlah metode pengajaran yang mengedepankan interaksi sosial, seperti <a href="https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/2331186X.2019.1674067">pembelajaran kooperatif</a>. Bentuk paling sederhananya adalah murid-murid bekerja dalam kelompok dan masing-masing memiliki tanggung jawab. </p>
<p>Ada juga metode <a href="https://docs.lib.purdue.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1809&=&context=ijpbl&=&sei-redir=1&referer=https%253A%252F%252Fscholar.google.com%252Fscholar%253Fstart%253D10%2526q%253Dhow%252Bproject-based%252Blearning%252Bsolves%252Bworld%252Bproblem%2526hl%253Den%2526as_sdt%253D0%252C5%2526as_ylo%253D2019#search=%22how%20project-based%20learning%20solves%20world%20problem%22">pembelajaran berbasis projek</a> yang mendorong murid menjalankan projek untuk memecahkan persoalan di dunia nyata. </p>
<p>Menurut riset, metode-metode pembelajaran aktif tersebut memang berpotensi memberi sejumlah manfaat bagi murid. Ini termasuk <a href="http://dx.doi.org/10.18823/asiatefl.2018.15.1.1.1">interaksi sosial</a> yang lebih baik dengan rekan sejawat, pengasahan keterampilan seperti <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.3102/00028312221129247?casa_token=V9leD2QnClMAAAAA:oCy19v-F_Po-2GMtXgwO10u3--krUsBnhfOD0kbyKS_nsYomOlzii3T3SkMQUtEAfQ-n7Y7JMz4">refleksi ataupun kolaborasi</a>, dan <a href="http://1stmakerspace.com.s3.amazonaws.com/Resources/PBL-Lit-Review_Jan14.2014.pdf#">pemecahan masalah</a>.</p>
<p>Meski demikian, kami mengkhawatirkan pendekatan pembelajaran aktif ini–tanpa panduan yang tepat–berpotensi mengesampingkan keterlibatan guru sehingga mengancam penguasaan materi dasar yang merupakan <a href="https://pusatinformasi.guru.kemdikbud.go.id/hc/en-us/articles/6824331505561-Latar-Belakang-Kurikulum-Merdeka">salah satu tujuan utama Kurikulum Merdeka</a>.</p>
<p>Dengan kata lain, pembelajaran aktif dalam Kurikulum Merdeka boleh saja memberikan ruang bagi murid untuk bereksplorasi. Namun, jangan sampai ini jadi alasan untuk membolehkan guru serta merta lepas tangan.</p>
<h2>Pentingnya penguasaan materi dasar terlebih dahulu</h2>
<p>Salah satu <a href="https://pusatinformasi.guru.kemdikbud.go.id/hc/en-us/articles/6824331505561-Latar-Belakang-Kurikulum-Merdeka">karakteristik utama Kurikulum Merdeka</a> adalah fokusnya pada “materi esensial.”</p>
<p><a href="https://gtk.kemdikbud.go.id/read-news/pada-masa-pandemi-guru-harus-pandai-memilih-pembelajaran-dan-penilaian-yang-esensial">Materi esensial</a> adalah materi yang diperlukan untuk menguasai mata pelajaran (mapel) di setiap jenjang secara berkelanjutan. Dalam Matematika, ini seperti penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian untuk meyelesaikan persoalan. </p>
<p>Contoh lainnya, pengetahuan tentang dasar-dasar garis, warna, tekstur, dan komposisi untuk mengerjakan projek melukis dalam pelajaran Seni Budaya.</p>
<p>Menurut <a href="http://www.bobpearlman.org/BestPractices/PBL_Research.pdf#">John W. Thomas</a>, peneliti pendidikan dari University of California-Berkeley di Amerika Serikat (AS), pembelajaran berbasis projek tidak boleh luput untuk mendorong murid berinteraksi dengan konsep-konsep kunci tiap mapel dan juga terlibat dalam pembentukan pengetahuan mereka. </p>
<p>Sayangnya, analisis kami pada berbagai <a href="https://gtk.kemdikbud.go.id/read-news/mengenal-konsep-projectbased-learning">dokumen pengenalan</a>, <a href="https://www.youtube.com/watch?v=bEt4Eidism0&t=57s">contoh pelaksanaan</a>, dan <a href="https://repositori.kemdikbud.go.id/11316/1/01._Buku_Pegangan_Pembelajaran_HOTS_2018-2.pdf">panduan</a> pembelajaran berbasis projek yang disediakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi belum memuat aspek-aspek di atas. Guru juga belum diarahkan untuk melibatkannya dalam kegiatan-kegiatan projek tersebut.</p>
<p>Dalam pembelajaran tematik tingkat SD, panduan pembelajaran berbasis projek masih terlalu menekankan “pengetahuan prosedural” (tentang “bagaimana”, contoh: langkah-langkah menanam kangkung agar tumbuh subur). Panduan ini mengesampingkan “pengetahuan proposisional” (tentang “apa”, contoh: proses fotosintesis dan manfaatnya bagi tumbuhan).</p>
<p>Jika murid tidak memiliki pengetahuan proposisional tentang fotosintesis, misalnya, mereka berisiko kesulitan memahami peran tanaman sebagai penyerap karbon dioksida dan kedudukannya dalam ekosistem. Apabila itu terjadi, mereka akan kesusahan memahami konsep lain yang lebih besar: dampak penggundulan hutan terhadap perubahan iklim. Ini justru menghilangkan makna dari projek yang mereka garap.</p>
<p>Ibarat pengetahuan proposisional sebagai sebuah tangga, kehilangan beberapa anak tangga saja bisa membuat mereka gagal mencapai tingkat pemahaman konsep yang lebih tinggi, luas, ataupun baru.</p>
<h2>Guru sekadar jadi fasilitator</h2>
<p>“Kami, guru, adalah fasilitator pembelajaran.”</p>
<p>Kalimat ini biasanya disampaikan guru ketika diminta menceritakan tentang peran mereka di kelas.</p>
<p>Sebagai ilustrasi, dalam materi <em>recount text</em> (menceritakan kembali), seorang guru bahasa Inggris meminta murid-muridnya untuk membuat projek pengalaman liburan. Alih-alih mengajarkan terlebih dahulu tentang kata kerja lampau sebagai fitur penting dalam teks tersebut, sang guru meminta murid-muridnya mempelajari contoh-contoh teks sejenis saja di internet secara mandiri, tanpa mendiskusikan hasil eksplorasi.</p>
<p>Walhasil, kita seperti melihat anak-anak tangga yang bertebaran, belum disusun, bahkan tidak lengkap. </p>
<p><a href="https://berajournals.onlinelibrary.wiley.com/doi/pdfdirect/10.1002/berj.3301?casa_token=oAfJZyMvXrAAAAAA:Rv4U1K2Pu2-tLdg-1u4WjqGcOjmJGQKV-WRoShOjRrAaSunX6Nee4r_sPUxrqokgext4u8kwOCX-FQ">Elizabeth Rata</a> dari University of Auckland di Selandia Baru menggambarkan hal ini sebagai bentuk “<em>facilitation teaching</em>”. Artinya, apapun yang dibawa murid (baik jawaban, pendapat, atau pengalaman) dianggap baik dan valid oleh guru. </p>
<p>Efek <em>facilitation teaching</em> memang bisa membuat murid merasa “diterima dan berkontribusi”. Namun, ini mengorbankan sebuah agenda penting di kelas: interaksi intensif mereka dengan konsep dan pengetahuan beserta urutan dan logikanya. Interaksi ini mustahil berlangsung tanpa adanya pengajaran.</p>
<p>Hasil analisis kami menimbulkan kekhawatiran: penerapan pembelajaran berbasis projek saat ini masih mengarah pada sekadar memfasilitasi. Sebab, murid tidak berinteraksi dengan materi dasar yang harusnya jadi fokus penguasaan.</p>
<h2>Peran tradisional guru masih relevan</h2>
<p>Sebagaimana yang dikatakan Paul A. Kirschner dari Open University di Belanda beserta koleganya dalam buku <a href="https://www.taylorfrancis.com/books/mono/10.4324/9781003228165/teaching-happens-paul-kirschner-carl-hendrick-jim-heal"><em>How Teaching Happens</em></a> (2022): “Jika semua yang harus diajarkan ke murid dilakukan dengan cara yang <em>real-world</em>, lalu apa makna sekolah?” </p>
<p>Sebuah konsep tidak selalu bisa dipelajari melalui konteks keseharian (sosial budaya) atau didapatkan melalui pengalaman maupun projek.</p>
<p>Penguasaan murid atas pengetahuan dasar, yang biasanya abstrak, akan membantu mereka melihat aplikasi konsep dalam berbagai konteks di dunia nyata. Guru berperan besar dalam proses ini. Tugas guru adalah mendesain kegiatan yang membantu murid melihat keterkaitan ini, utamanya lewat pengajaran instruksional.</p>
<p>Jika pemahaman pengetahuan dasar ingin dicapai melalui projek, ada banyak jalan untuk melakukannya. Salah satunya melalui “<a href="https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/53450220/Inductive_Teaching-libre.pdf?1497034180=&response-content-disposition=inline%3B+filename%3DAn_Inductive_Approach_to_English_Grammar.pdf&Expires=1690256093&Signature=PUWMkbFb5a-jtno84Efy9I3Dr0uuXh7u8NUqxGdwDTAxbGhB8Fhc4NmBlW51v2Yj3snM5dmdLdB7UXzgedi4aqNzhcEnOp-cUX3D5U9-NF9EKVB98tNO2GuePJ9UveNyG9otA4JzQ9Fu-BXIBDuHpsC7A5ajtM6yS%7EoBzsmNL64lQJFA-V0gGwF6wh6LjxzcdELQBfn6aM1qQU7aq5D%7EkXBsE9BydgWXFn0V-vZEkaKxwor0h7eyYw49TmWpbev88TE0nMNNbTpuIcDMnEyEQZpJeDgomSE0ehRVvPx8yW%7EFFWUBEboEwpcyJ4Y93RtEJedwYo%7EOGud9nBGteBeghg__&Key-Pair-Id=APKAJLOHF5GGSLRBV4ZA"><em>inductive learning</em></a>” sebelum projek berlangsung. Kegiatan pembelajarannya meliputi: eksplorasi contoh-contoh baik yang dipilih guru, memformulasikan <em>rules</em> atau konsep (pengetahuan proposisional) dengan panduan guru, menguji atau mencoba aplikasinya (pengetahuan prosedural), mendapat umpan balik dari guru, merevisi <em>rules</em> atau konsep agar makin kukuh, dan mendapat konfirmasi dari guru.</p>
<p>Tanpa proses ini, pengetahuan berisiko tersampaikan melalui cara yang ambigu atau projek berjalan sekadar “coba-coba” saja. </p>
<p>Sayangnya, panduan yang tersedia tidak melibatkan kegiatan-kegiatan serupa sebagai bagian dari pembelajaran berbasis projek dan tidak menggarisbawahi peran guru dalam prosesnya. Tanpa hal ini, bisa terwujud kekhawatiran bahwa banyak guru menggunakan Kurikulum Merdeka untuk kemudian lari dari tanggung jawab mengajar. </p>
<h2>Bukan membatalkan pembelajaran berbasis projek, tapi meyempurnakannya</h2>
<p>Kemdikbudristek memang tengah bergairah menggaungkan pembelajaran aktif. Oleh karena itu, tuntutan kami agar guru menyisipkan pengajaran instruksional barangkali akan dipandang beberapa pihak sebagai anjuran untuk “kembali pada pembelajaran yang berpusat pada guru”. Bisa juga, mereka akan melihat pembelajaran berbasis projek menjadi kurang berorientasi pada murid. </p>
<p>Namun, solusi yang kami tawarkan bukan <a href="https://theconversation.com/mempertanyakan-student-centered-learning-mengapa-memusatkan-pembelajaran-pada-siswa-tidak-selalu-efektif-205589">menunda penerapannya</a> tetapi memastikan bahwa panduan yang digunakan itu berbasis riset dan praktik baik.</p>
<p>Harapannya, pengajaran instruksional menjadi bagian penting <a href="https://eric.ed.gov/?id=EJ762325">dalam prosesnya</a>. Ini penting agar murid menguasai materi esensial yang diperlukan supaya <a href="https://naerjournal.ua.es/article/view/v6n2-8">projek yang mereka jalani jadi lebih bermakna</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/206996/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dengan dalih “memfasilitasi” pembelajaran berbasis projek, ada kekhawatiran bahwa banyak guru menggunakan Kurikulum Merdeka untuk kemudian lari dari tanggung jawab mengajar.Puji Astuti, Associate Professor of ELT Methodology, Universitas Negeri SemarangTeguh Kasprabowo, Assistant Professor of Creative Writing, Universitas Stikubank SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1991742023-02-08T05:40:56Z2023-02-08T05:40:56ZBolak-balik kontroversi BRIN: bagaimana birokratisasi dan politisasi membuat BRIN hilang arah sebagai lembaga ilmiah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/508828/original/file-20230208-14-w545ek.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.youtube.com/watch?v=SPTMKYHV5W0">(Badan Riset dan Inovasi Nasional - Youtube/Fair Use)</a></span></figcaption></figure><p>Beberapa waktu ke belakang, kontroversi bertubi-tubi menerpa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).</p>
<p>Media melaporkan BRIN terlibat <a href="https://koran.tempo.co/read/berita-utama/479944/kala-dana-riset-brin-kesasar-lewat-dpr">program pelatihan masyarakat</a> yang menguntungkan pundi-pundi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), proses <a href="https://koran.tempo.co/read/berita-utama/479952/apa-isi-surat-protes-para-peneliti-ke-brin">relokasi gedung dan alat laboratorium</a> di Bandung yang terbata-bata, hingga macetnya pengelolaan aset sampai-sampai membuat salah satu <a href="https://koran.tempo.co/read/berita-utama/479970/brin-hentikan-sistem-peringatan-tsunami">sistem deteksi dini tsunami menjadi terbengkalai</a>.</p>
<p>Polemik bukanlah hal baru bagi “<em>superagency</em>” yang telah menyerap berbagai lembaga riset negara ini – dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) hingga Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN).</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/gabut-di-rumah-nuansa-lipi-nisasi-hingga-ancaman-mati-suri-riset-indonesia-kisah-para-peneliti-yang-terombang-ambing-setelah-akuisisi-brin-175529">Gabut di rumah, nuansa "LIPI-nisasi", hingga ancaman mati suri riset Indonesia: kisah para peneliti yang terombang-ambing setelah akuisisi BRIN</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Sejak diresmikan pemerintah hampir dua tahun lalu, BRIN disorot akibat resistensi banyak peneliti atas <a href="https://theconversation.com/gabut-di-rumah-nuansa-lipi-nisasi-hingga-ancaman-mati-suri-riset-indonesia-kisah-para-peneliti-yang-terombang-ambing-setelah-akuisisi-brin-175529">proses integrasinya yang kurang lancar</a>, hingga kekhawatiran <a href="https://theconversation.com/bunuh-diri-penelitian-indonesia-forum-guru-besar-tolak-dewan-pengarah-brin-yang-rawan-dipolitisasi-163044">politisasi melalui “Dewan Pengarah”</a> yang diisi figur politik.</p>
<p>Para penulis, bersama Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), berpandangan bahwa berbagai permasalahan ini mengakar pada setidaknya dua hal – birokratisasi dan politisasi terhadap institusi yang seharusnya menjaga marwahnya sebagai lembaga riset. </p>
<p>BRIN sudah jadi wacana pemerintah sejak ditetapkan dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/117023/uu-no-11-tahun-2019">Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019</a> tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek), kemudian resmi berdiri lewat <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/178084/perpres-no-78-tahun-2021">Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021</a>.</p>
<p>Desain kelembagaan BRIN yang tertuang dalam landasan hukum tersebut sejak awal sudah menunjukkan tiga karakter dominan, yakni <a href="https://www.kompas.id/baca/opini/2022/01/18/independensi-lembaga-riset?status=sukses_login&status=sukses_login&utm_source=kompasid&utm_medium=login_paywall&utm_campaign=login&utm_content=https%3A%2F%2Fwww.kompas.id%2Fbaca%2Fopini%2F2022%2F01%2F18%2Findependensi-lembaga-riset&status_login=login">birokratisasi, sentralisasi dan kendali</a>, dibandingkan upaya pengembangan dan penguatan kelembagaan riset dan ekosistem pengetahuan.</p>
<h2>Birokratisasi berlebihan</h2>
<p>Birokrasi kini telah menjadi mesin administratif yang menggerakkan BRIN. Ini semakin terlihat dengan dominannya pendekatan institusionalisme BRIN seiring dengan penggabungan berbagai lembaga di bawah satu atap – termasuk setidaknya empat lembaga riset plus segudang peneliti yang sebelumnya bernaung di lingkup kementerian.</p>
<p>Namun, tanpa strategi transisi yang memadai dan pemahaman yang baik akan keragaman karakter lembaga riset yang dipersatukan, pendekatan ini akan cenderung berpusat pada sekadar mendisiplinkan soal “gedung, pegawai, dan nomenklatur anggaran”. </p>
<p>Berbagai kekhawatiran ini pun mulai terbukti mendekati masa dua tahun BRIN berjalan, di antaranya:</p>
<ul>
<li>kegagalan BRIN mengintegrasikan anggaran riset yang awalnya diprediksi bisa mencapai Rp 26 triliun, hingga menjadi <a href="https://www.beritasatu.com/news/963073/setahun-brin-mampu-hemat-anggaran-riset-rp-19-triliun/?utm_source=berita.com&utm_medium=article&utm_campaign=Terkait">hanya 6,1 triliun</a> pada tahun anggaran 2022;</li>
<li>resistensi dari berbagai kementerian atau lembaga yang perisetnya beralih ke BRIN;</li>
<li>hingga penolakan dan hambatan yang dihadapi BRIN untuk mengambil alih berbagai sumber daya termasuk peralatan <a href="https://news.detik.com/berita/d-5939326/eks-kepala-eijkman-pemindahan-alat-lab-oleh-brin-tak-sesuai-prosedur">laboratorium dari kementerian atau lembaga asal</a>.</li>
</ul>
<p>Kondisi BRIN saat ini, secara kelembagaan, kebijakan yang diambil, serta pilihan-pilihan programnya memperlihatkan betapa lembaga ini telah bertransformasi menjadi <a href="https://www.universityworldnews.com/post.php?story=20210810230729793"><em>overarching scientific authority</em></a> (otoritas ilmiah pengurus segala bidang dan fungsi) yang mengkhawatirkan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/buyarnya-mimpi-teknokrat-pembentuk-ide-brin-saatnya-komunitas-ilmiah-berhenti-naif-dan-anti-politik-159913">Buyarnya mimpi teknokrat pembentuk ide BRIN. Saatnya komunitas ilmiah berhenti naif dan anti-politik</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>BRIN menjelma menjadi lembaga birokratis yang bertanggung jawab atas <a href="https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/01/31/kewenangan-terlalu-besar-brin-perlu-pengawas">kebijakan, implementasi, dan pengendalian riset</a> yang harusnya terpisah, serta mengurusi terlalu banyak aspek administrasi dari kegiatan saintifik – termasuk SDM periset pemerintah, kebijakan riset dan inovasi, tak terkecuali masalah perizinan riset.</p>
<p>Ini membuatnya kehilangan roh sebagai lembaga saintifik.</p>
<p>Selain itu, sebagaimana peringatan ALMI sejak lama, jika lembaga-lembaga ilmiah dioperasikan dengan model <a href="https://nasional.tempo.co/read/1451204/3-sikap-ilmuwan-muda-soal-brin-jadi-badan-otonom">korporatisme negara (<em>state corporatism</em>)</a> – ketika pemerintah melakukan sentralisasi berbagai keputusan dan kebijakan di suatu sektor layaknya melalui asosiasi bisnis – ia juga menjadi terekspos terhadap <a href="https://theconversation.com/buyarnya-mimpi-teknokrat-pembentuk-ide-brin-saatnya-komunitas-ilmiah-berhenti-naif-dan-anti-politik-159913">kepentingan politik kekuasaan dan pasar</a>.</p>
<h2>Politisasi wadah ilmiah</h2>
<p>Kondisi lembaga riset pemerintah ini kemudian semakin jauh dari harapan ketika integritas saintifiknya justru menjadi bahan <a href="https://www.science.org/doi/pdf/10.1126/science.372.6541.449">legitimasi dan alat dari partai politik</a>. </p>
<p>Pelembagaan BRIN dengan <a href="https://theconversation.com/bunuh-diri-penelitian-indonesia-forum-guru-besar-tolak-dewan-pengarah-brin-yang-rawan-dipolitisasi-163044">“Dewan Pengarah” di pucuknya</a> – saat ini dipimpin oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri – yang berupaya memastikan riset searah dengan Pancasila, misalnya, adalah bentuk ketidakpercayaan terhadap integritas ilmiah dan upaya menyetir lembaga sains secara ideologis. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bunuh-diri-penelitian-indonesia-forum-guru-besar-tolak-dewan-pengarah-brin-yang-rawan-dipolitisasi-163044">"Bunuh diri penelitian Indonesia": forum guru besar tolak Dewan Pengarah BRIN yang rawan dipolitisasi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Selain itu, akhir-akhir ini media juga melaporkan potensi politisasi melalui rangkaian program Masyarakat Bertanya BRIN Menjawab (MBBM). Program kemitraan antara Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan BRIN ini, yang dikemas dalam bentuk diseminasi riset dan pelatihan untuk masyarakat, <a href="https://koran.tempo.co/read/berita-utama/479944/kala-dana-riset-brin-kesasar-lewat-dpr">disebut-sebut menguntungkan anggota Dewan secara finansial maupun elektoral</a> di daerah pemilihan (dapil) mereka.</p>
<p>Namun, alih-alih menjawab isu politisasi, beberapa anggota Dewan justru semakin menjadikan BRIN sebagai landasan untuk memajukan agenda politik tertentu.</p>
<p>Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, misalnya, berdalih bahwa kontroversi BRIN-DPR di atas <a href="https://nasional.tempo.co/read/1687337/kinerja-brin-jadi-sorotan-sekjen-pdip-hasto-kristiyanto-itu-karena-sistem-proporsional-terbuka">disebabkan pemilihan umum (pemilu) yang menggunakan sistem proporsional terbuka</a>. Komentar ini ia lontarkan di tengah <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230126135307-32-905170/sidang-mk-arteria-beber-alasan-pdip-ingin-pemilu-sistem-coblos-partai">gugatan uji materi Perkara No. 114/PUU-XX/2022 di Mahkamah Konstitusi</a> yang hendak mengubah sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup.</p>
<p>Merespons beragam kontroversi BRIN, Komisi VII DPR kemudian <a href="https://tekno.tempo.co/read/1686065/komisi-vii-rekomendasikan-audit-dan-ganti-kepala-brin-mpi-beri-apresiasi">merekomendasikan audit khusus anggaran BRIN</a> tahun 2022 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hingga <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/02/03/21075751/kepala-brin-disebut-tak-terpengaruh-desakan-mundur-dari-komisi-vii-dpr">mendesak pemerintah mencopot Kepala BRIN</a> Laksono Tri Handoko.</p>
<p>Tapi, apakah dengan sebatas pergantian Kepala BRIN akan mengubah situasi di BRIN jika kelembagaannya masih tersentralisasi dan dekat dengan politik kekuasaan?</p>
<p>Sebagai lembaga otoritas ilmiah, BRIN seharusnya menjaga integritas ilmiahnya dan tidak memperlihatkan pemihakan pada satu lembaga atau kekuatan politik. </p>
<h2>Restorasi marwah riset dan pengetahuan</h2>
<p>ALMI, sebagai wadah ilmuwan muda, mengajak semua pihak untuk terus meneguhkan semangat membangun integritas sains.</p>
<p>Dalam <a href="https://almi.or.id/pernyataan-sikap-almi-terhadap-integritas-dan-kelembagaan-sains-pemerintah/">pernyataan posisinya</a>, ALMI menegaskan perlunya mengembalikan tujuan dan fungsi awal BRIN untuk memfasilitasi penguatan ekosistem riset dan pengembangan inovasi demi kemajuan pengetahuan dan teknologi, penguatan kebijakan, serta pencerdasan publik – dan melepaskan berbagai fungsi berlebih yang tak berkaitan.</p>
<p>ALMI menolak keterlibatan atau penyalahgunaan BRIN untuk kepentingan politik tertentu, baik dalam kebijakan dan penganggaran yang tidak berorientasi pada upaya kemajuan pengembangan riset dan inovasi. </p>
<p>Restorasi riset ini menuntut perlunya evaluasi secara mendasar, terutama dalam hal penataan kelembagaan, sistem birokrasi, dan SDM para peneliti. Prinsipnya, BRIN sebagai lembaga riset dan inovasi berkewajiban merawat otonomi keilmuan, menjaga independensi, integritas sains, serta kebebasan akademik para penelitinya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/199174/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Herlambang P Wiratraman merupakan Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Zulfa Sakhiyya merupakan Direktur Komunikasi Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).</span></em></p>Desain kelembagaan BRIN yang tertuang dalam landasan hukumnya sejak awal sudah memuat karakter birokratisasi, sentralisasi dan kendali yang meredupkan upaya penguatan riset dan ekosistem pengetahuan.Herlambang P Wiratraman, Secretary General of ALMI and Assistant Professor of Constitutional Law and Human Rights, Universitas Gadjah Mada Zulfa Sakhiyya, Communication Director of ALMI, and Associate Professor at the Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1940292022-11-10T03:14:48Z2022-11-10T03:14:48ZPenobatan gelar pahlawan nasional, kini hanya menjadi ‘agenda tahunan’ yang sarat kepentingan politik<p><em>Tulisan ini diterbitkan dalam rangka memperingati Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November setiap tahunnya</em></p>
<p>Pemerintah secara resmi memberikan gelar pahlawan nasional <a href="https://www.idntimes.com/news/indonesia/muhammad-ilman-nafian-2/presiden-jokowi-berikan-gelar-pahlawan-pada-5-tokoh">kepada lima tokoh</a>. Mereka – yang kelimanya sudah meninggal dunia – adalah HR Soeharto dari Jawa Tengah yang merupakan dokter pribadi Presiden Sukarno, KGPAA Paku Alam VIII dari Yogyakarta atas jasanya di bidang pendidikan, Raden Rubini Natawisastra dari Kalimantan Barat, Salahhudin bin Talabuddin dari Maluku Utara atas perjuangan politiknya melawan Belanda, dan Kyai Haji Ahmad Sanusi dari Jawa Barat. </p>
<p>Keputusan itu dikukuhkan melalui <a href="https://ppid.setkab.go.id/presiden-jokowi-anugerahkan-gelar-pahlawan-nasional-kepada-lima-tokoh/">Keputusan Presiden (Keppres)</a> tentang penganugerahan gelar pahlawan nasional.</p>
<p>Ini menambah deretan panjang daftar nama pahlawan nasional yang dimiliki oleh Indonesia. Sejak 1959, pemerintah menyematkan gelar pahlawan nasional kepada tokoh yang dianggap ‘berjasa’ bagi negara dan bangsa.</p>
<p><a href="https://www.indonesia.go.id/layanan/kependudukan/sosial/prosedur-pengusulan-gelar-pahlawan-nasional">Prosedur</a> penetapan seorang tokoh menjadi pahlawan nasional terbilang cukup rumit. Tapi, faktanya berbagai daerah masih antusias mengusulkan nama-nama calon penerima gelar pahlawan nasional.</p>
<p>Barangkali kita patut mempertanyakan, apa urgensi untuk terus menambah jumlah pahlawan nasional? Jika kita terus melanjutkannya, pemberian gelar pahlawan nasional justru akan menjadi festival tahunan saja dan lambat laun akan kehilangan esensi utamanya.</p>
<h2>Politisasi gelar pahlawan</h2>
<p>Sejak era pemerintahan Sukarno, pemberian gelar pahlawan nasional sudah menjadi salah satu upaya <a href="https://www.suara.com/news/2018/11/10/182635/asvi-sebut-gelar-pahlawan-bermuatan-politis-sejak-era-soekarno">politik</a> pemerintah untuk membangun ‘citra’ yang baik di mata masyarakat. Sukarno kala itu menjadikan pengangkatan gelar pahlawan nasional sebagai momen untuk memperkuat masyarakat sosialis yang dibangun di bawah nasionalisme, agama, dan komunisme, dengan mengangkat <a href="https://historia.id/politik/articles/di-balik-gelar-pahlawan-nasional-untuk-tan-malaka-dan-alimin-vZ5zO/page/1">dua tokoh kiri</a>, yaitu Alimin dan Tan Malaka sebagai pahlawan tahun 1963. </p>
<p>Di era berikutnya, Soeharto menjadikan momen yang sama sebagai peneguhan peran militer dalam sejarah Indonesia, dengan mengangkat tokoh kunci terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yaitu <a href="https://nasional.tempo.co/read/1653419/jenderal-tni-basuki-rahmat-tokoh-paling-cepat-dianugerahi-gelar-pahlawan-nasional">Mayjen Basuki Rachmat</a> sebagai pahlawan nasional.</p>
<p>Presiden-presiden setelahnya di era reformasi hanya sekadar meneruskan tradisi tersebut. Pemerintah memberikan banyak gelar pahlawan nasional dari berbagai daerah untuk meyakinkan publik bahwa mereka telah memperhatikan ‘<a href="https://www.republika.co.id/berita/r1ojo2436/empat-tokoh-daerah-bakal-dianugerahi-gelar-pahlawan">pemerataan daerah</a>’ dan telah bersikap adil, termasuk dalam hal pengakuan tokoh bangsa.</p>
<p>Pada masa ini, pemberian gelar pahlawan menjadi semakin politis, bahkan bisa diskriminatif. Tidak semua yang ‘berhak’ atas gelar tersebut bisa benar-benar menyandangnya. Status pahlawan saat ini cenderung hanya bisa diraih dengan dukungan privilese dan akses terhadap kekuasaan.</p>
<iframe style="border-radius:12px" src="https://open.spotify.com/embed/episode/39bXC3A9KMgkf4udZZDP2U?utm_source=generator" width="100%" height="352" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture" loading="lazy"></iframe>
<p>Tidak semua orang bisa mengusulkan calon penerima gelar pahlawan nasional. Biasanya hanya tokoh-tokoh daerah setempat yang memberikan usulan nama-nama individu yang layak mendapat gelar pahlawan nasional. Nama-nama yang terpilih di tingkat daerah kemudian mendapat rekomendasi dari gubernur untuk diserahkan ke Sekretariat Negara, sebelum Presiden menyetujui atau menolaknya. Penganugerahan gelar pahlawan itu kemudian diteken langsung oleh Presiden.</p>
<p>Nama-nama yang diusulkan namun tidak lolos dianggap belum memenuhi kelayakan. Padahal, persyaratan yang tertuang dalam <a href="https://www.hukumonline.com/klinik/a/syarat-syarat-jadi-pahlawan-lt50924d1435c37#:%7E:text=Berdasarkan%20Pasal%201%20angka%204%20Undang-Undang%20Republik%20Indonesia,pembangunan%20dan%20kemajuan%20bangsa%20dan%20negara%20Republik%20Indonesia.">Undang-Undang No. 20 Tahun 2009</a> tentang Gelar, Tanda Jasa, Dan Tanda Kehormatan sebenarnya sederhana. Namun, kelayakan mereka kerap kali terganjal masalah politik, pertimbangan ideologis, dan sejauh mana tokoh tersebut dapat memberikan manfaat bagi pemerintah semata.</p>
<p>Misalnya, selama beberapa tahun berturut-turut, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengangkat tokoh dari luar Jawa sebagai pahlawan nasional. Ini kemungkinan besar ia lakukan untuk mengambil simpati politik, misalnya di tahun 2014 salah satu tokoh yang dianugerahi gelar pahlawan adalah KH Wahab Chasbullah, yang dikenal luas sebagai tokoh penting Nahdlatul Ulama (NU).</p>
<p>Tahun ini, muncul nama HR Soeharto yang memiliki kedekatan dengan Keluarga Sukarno, tepat di saat pemerintahan Jokowi sedang gencar <a href="https://kumparan.com/kumparannews/memahami-tap-mprs-33-dan-usul-pdip-negara-minta-maaf-ke-sukarno-1zDcFHHoroN">membersihkan nama Sukarno</a> dari dugaan pengkhianatan dan keterlibatannya dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). </p>
<p>Sudah sejak awal rezim Jokowi telah gencar memberikan perhatian pada daerah luar Jawa dalam pembangunan. Kemungkinan besar ini menjadi salah satu senjata utama kepemimpinan Jokowi selama dua periode.</p>
<p>Pengangkatan pahlawan dari luar Jawa adalah satu strategi dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.</p>
<p>Kondisi ini mencerminkan adanya nuansa politik yang kental dalam penetapan pahlawan nasional, sehingga tujuannya bukan lagi demi kepentingan sosial kemasyarakatan.</p>
<p>Padahal, bisa jadi ada tokoh yang diusulkan, yang memiliki jasa yang cukup besar, namun tidak juga mendapatkan gelar bergengsi tersebut. Misalnya, siapa yang tidak mengenal <a href="https://kumparan.com/kumparannews/pantaskah-chairil-anwar-jadi-pahlawan-nasional">Chairil Anwar</a>, yang puisi-puisinya begitu bergelora dibacakan oleh anak usia SD hingga orang dewasa? Begitu pula dengan <a href="https://regional.kompas.com/read/2021/11/10/222420778/sugondo-djojopuspito-diusulkan-jadi-pahlawan-nasional-pemkab-tuban-mulai">Sugondo Djodjopuspito</a>, tokoh yang namanya selalu muncul di buku mata pelajaran sekolah sebagai pemimpin Kongres Pemuda. Keduanya hingga kini tidak kunjung mendapatkan anugerah gelar pahlawan nasional.</p>
<p>Dengan banyaknya deretan nama individu atau tokoh yang berhak disebut pahlawan nasional, yang seharusnya pemerintah lakukan adalah melakukan pendataan, bukan serta merta menobatkan gelar pahlawan.</p>
<h2>Pendataan, bukan penobatan</h2>
<p>Jika kita melihat sejarah Indonesia tahun 1945 hingga 1950 saja, ada cukup banyak warga negara yang berjuang untuk bangsa dan jasanya layak dikenang. Belum lagi tokoh yang berjuang melawan penjajah sebelum abad ke-20. Mereka juga punya hak untuk mendapatkan apresiasi dan penghormatan atas jasanya.</p>
<p>Jika ingin objektif, maka negara juga perlu mencatat jasa-jasa dan memberikan penghormatan pada semua individu yang berjuang pada masa itu. Namun, jika semua individu kala itu diberikan gelar pahlawan nasional, maka esensi dari gelar itu bisa berkurang nilainya.</p>
<p>Apa yang pemerintah lakukan setiap tahun mungkin lebih tepat jika bergeser menjadi ‘upaya administratif’ – pemerintah bisa mendata orang-orang yang berjasa di masa lalu, ketimbang menganugerahkan gelar pahlawan. Mendata dan menganugerahkan adalah dua aktivitas yang berbeda. Pendataan menyasar banyak subjek, sedangkan penganugerahan harusnya hanya untuk sedikit subjek dan bersifat terbatas.</p>
<p>Pendataan akan meminimalisasi adanya diskriminasi dan tebang pilih terhadap para individu yang juga ‘berhak’ mendapat pengakuan atas jasa-jasanya bagi bangsa Indonesia.</p>
<p>Sudah semestinya pahlawan nasional diangkat dengan dua tujuan kepentingan, yakni sebagai sumber pengetahuan sejarah sekaligus inspirasi generasi muda. Sayangnya, karena gelar pahlawan sekadar menjadi ajang penganugerahan tahunan yang juga membuat jumlahnya makin banyak, citra pahlawan masa kini menjadi tidak sekuat dulu. Selain hilangnya pengaruh ideologis, pahlawan nasional kini hanya tinggal nama.</p>
<p>Semua itu terjadi karena kita telah salah kaprah memaknai pahlawan dengan cara yang politis dan elitis.</p>
<p>Pemerintah perlu memikirkan ulang mengenai implementasi kebijakan penobatan gelar pahlawan nasional supaya lebih adil bagi yang ‘berhak’ menerimanya, serta memutus konflik kepentingan dalam proses pengusulannya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/194029/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ganda Febri Kurniawan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pemberian gelar pahlawan nasional kepada seorang tokoh tidak pernah lepas dari kepentingan politik kekuasaan.Ganda Febri Kurniawan, Lecturer, Universitas Negeri SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1925422022-10-17T15:44:16Z2022-10-17T15:44:16ZPakar Menjawab: Setelah Kemdikbud pakai model kemitraan vendor ala “shadow organisation”, apa hasil dan dampaknya bagi dunia pendidikan?<p>Beberapa minggu terakhir, Menteri Pendidikan (Mendikbudristekdikti) Nadiem Makarim menuai sorotan akibat ungkapannya tentang adanya <a href="https://twitter.com/ShamsiAli2/status/1572906886151958528">“<em>shadow organisation</em>”</a> beranggotakan 400 orang yang membantu Kemdikbudristekdikti memproduksi teknologi pendidikan. Ia menyampaikan ini dalam acara <a href="https://www.un.org/en/transforming-education-summit">Transforming Education Summit</a> di markas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat (AS), bulan lalu.</p>
<p>Dalam <a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2022/09/mendikbudristek-transformasi-teknologi-berdampak-pada-sektor-pendidikan">klarifikasinya</a>, Nadiem menjelaskan “<em>shadow organisation</em>” ini merupakan tim berisikan berbagai manajer produk, perancang perangkat lunak, hingga ilmuwan data dari <a href="https://medium.com/govtech-edu/govtech-edu-telkom-indonesia-45c3b79d8df7">GovTech Edu</a>, suatu unit di bawah PT Telkom.</p>
<p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.instagram.com/p/CitxcLQh87c/?utm_source=ig_web_copy_link","accessToken":"127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20"}"></div></p>
<p>Menurut Nadiem, tim ini berperan <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2022/09/25/123000265/video-viral-nadiem-sebut-ada-shadow-organization-di-kemendikbud-apa-itu-?page=all">lebih dari sekadar vendor kementerian</a>: mereka juga menjadi rekan bertukar pikiran yang bekerja intensif dengan tim internal Kemdikbudristekdikti.</p>
<p>Terlepas dari berbagai kontroversi yang mencuat terkait birokrasi – termasuk isu <a href="https://twitter.com/kpertiwi29/status/1573446872475500544?ref_src=twsrc%5Etfw%7Ctwcamp%5Etweetembed%7Ctwterm%5E1573446872475500544%7Ctwgr%5E75329c896cd8a06e216be74b0567dd21fbf1a2f5%7Ctwcon%5Es1_&ref_url=https%3A%2F%2Fwww.cnnindonesia.com%2Fnasional%2F20220924160635-32-852153%2Fnadiem-blak-blakan-soal-shadow-organization-di-kemendikbudristek">konflik kerja antara tim ini dengan Aparatur Sipil Negara (ASN)</a> di Kemdikbudristekdikti – kemitraan teknologi ala “<em>shadow organisation</em>” menandakan model baru produksi platform pendidikan oleh pemerintah.</p>
<p>Lantas, apa urgensi dari tim teknologi Kemdikbudristekdikti ini, dan apakah hasil karya mereka sudah benar-benar berdampak bagi dunia pendidikan?</p>
<h2>Pergeseran pola produksi teknologi pendidikan</h2>
<p>Peneliti Kemdikbudristekdikti, Goldy Fariz Dharmawan mengatakan kementeriannya memperlukan mesin produksi teknologi yang lebih baik untuk mendukung upaya transformasi pendidikan di Indonesia.</p>
<p>“Kita berusaha mencari cara bagaimana pendidikan semakin bisa diakses dari wilayah yang relatif jauh. Selaras dengan kebijakan nasional meningkatkan konektivitas, di situ ada peluang, kita bisa pakai teknologi sebagai jalur meningkatkan akses sumber belajar’,” katanya.</p>
<p>Berbagai unsur dalam <a href="https://merdekabelajar.kemdikbud.go.id">paket kebijakan Merdeka Belajar</a> usungan Kemdikbud – dari <a href="https://merdekabelajar.kemdikbud.go.id/episode_15/web">penerapan Kurikulum Merdeka</a> hingga reformasi <a href="https://merdekabelajar.kemdikbud.go.id/episode_3/web">pengelolaan dana bantuan operasional sekolah (BOS)</a> – misalnya, membutuhkan dukungan teknologi dan platform.</p>
<p>Sayangnya, kata Goldy, kompetensi dan kepakaran pengembangan teknologi yang dibutuhkan untuk upaya di atas tidak mudah didapat dari sumber daya manusia internal Kemdikbud.</p>
<p>Edi Subkhan, dosen teknologi pendidikan di Universitas Negeri Semarang juga mengindikasikan bahwa <a href="https://pusdatin.kemdikbud.go.id">Pusat Data Teknologi dan Informasi Pendidikan dan Kebudayaan (Pusdatin)</a> Kemdikbudristekdikti – yang sebelum era Nadiem dikenal sebagai <a href="https://pusdatin.kemdikbud.go.id/sejarah/">Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (Pustekkom)</a> – sebelum ini menghasilkan <a href="https://pusdatin.kemdikbud.go.id">beragam produk teknologi pendidikan</a> yang perancangannya minim evaluasi dan dampaknya belum terbukti.</p>
<p>Di antaranya, Edi menyebutkan, ada Rumah Belajar, TV Edukasi, platform materi belajar di Google Play Store, hingga beragam multimedia interaktif berbasis Android.</p>
<p>“Sebagian besar produknya dibuat tapi hampir <em>nggak</em> ada evaluasi atau informasi yang sampai ke publik pendidikan, sejauh mana produk-produk Pustekkom itu betul-betul bermanfaat bagi dunia pendidikan [..] Barangkali karena itu, kemudian Nadiem merasa perlu terobosan,” kata Edi.</p>
<p>Goldy juga mengungkap beberapa keunggulan lain dari kolaborasi produksi teknologi pendidikan antara Kemdikbudristekdikti dan GovTech Edu.</p>
<p>“Di tahap awal kalau kita sewa vendor, kita sudah tau mau bikin apa [..] tapi kadang agak sulit diterjemahkan ke teknologi. Kelebihan ‘satu tim teknologi untuk semua’ ini, semua bisa dibikin dalam satu artistektur yang sama,” katanya.</p>
<p>Ia juga mengatakan bahwa kemitraan ini membuat Kemdikbud lebih mudah melakukan proses <em>scaling up</em> (pengembangan dan perluasan) seiring produk-produk mereka berserta para penggunanya bertumbuh.</p>
<h2>Platform keluaran Kemdikbud</h2>
<p>Syaiputra Diningrat, dosen teknologi pendidikan di Universitas PGRI Adi Buana Surabaya (UNIPASBY), menjelaskan produksi teknologi pendidikan di Kemdikbudristekdikti ini membuahkan beberapa platform yang berupaya mendukung transformasi pendidikan usungan Nadiem.</p>
<p>Salah satunya rangkaian platform yang fokus pada peningkatan efisiensi dan transparansi pengelolaan sumber daya sekolah.</p>
<p>“Jadi Kemdikbud meluncurkan <a href="https://rkas.kemdikbud.go.id">ARKAS (Aplikasi Rencana Kerja Anggaran Sekolah)</a>. Dulu anggarannya <em>nggak</em> terbuka ya, <em>nggak</em> dipublikasikan ke publik. Melalui ARKAS, salah satunya, bisa terbuka, siapa saja bisa melihat,” katanya.</p>
<p>“Yang kedua aplikasi <a href="https://siplah.kemdikbud.go.id">SIPLah (Sistem Informasi Pengadaan Sekolah)</a>. Kalau satuan pendidikan mau beli barang, misalnya komputer, mereka dianjurkan beli lewat sistem itu […] mulai dari penganggaran, pembelian, bahkan nanti bisa jadi dari pelaporan itu berbasis digital.”</p>
<p>Menurut <a href="https://www.youtube.com/watch?v=KcMtgJoyNII">pengakuan Kemdikbudristekdikti</a>, ARKAS kini digunakan lebih dari 216 ribu sekolah dengan total dana kelolaan lebih dari Rp 51 triliun. Sementara, SIPlah telah digunakan lebih dari 100 ribu sekolah dan menggandeng setidaknya 84 ribu Usaha Kecil dan Menengah (UMKM).</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/KcMtgJoyNII?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Penjelasan Nadiem ke DPR terkait kolaborasi Kemdikbudristekdikti dengan GovTech Edu, serta produk teknologi pendidikan yang mereka hasilkan.</span></figcaption>
</figure>
<p>Ada juga <a href="https://raporpendidikan.kemdikbud.go.id/app">platform Rapor Pendidikan</a> – yang bisa diakses sekolah untuk melihat kondisi literasi, numerasi, dan kualitas pembelajaran siswa berdasarkan hasil <a href="https://theconversation.com/menteri-nadiem-akhiri-sejarah-un-dan-kembalikan-kuasa-penilaian-pada-guru-apakah-mereka-mampu-129977">Asesmen Nasional</a> – hingga <a href="https://kampusmerdeka.kemdikbud.go.id">platform Kampus Merdeka</a> yang memfasilitasi mahasiswa dengan program pengembangan diri lintas kampus atau dunia industri.</p>
<p>Yang juga jadi teknologi pendidikan unggulan Kemdikbudristekdikti adalah <a href="https://guru.kemdikbud.go.id">platform Merdeka Mengajar</a>. Platform ini, terang Syaiputra, bertujuan memfasilitasi guru-guru yang tertarik mengaplikasikan <a href="https://ditpsd.kemdikbud.go.id/upload/filemanager/download/kurikulum-merdeka/Kajian%20Akademik%20Kurikulum%20untuk%20Pemulihan%20Pembelajaran%20(2).pdf">Kurikulum Merdeka</a> besutan Kemdikbudristekdikti.</p>
<p>Di <a href="https://medium.com/govtech-edu/govtech-edu-telkom-indonesia-45c3b79d8df7">“<em>superapp</em>” (aplikasi super)</a> ini, misalnya, guru bisa mendalami Kurikulum Merdeka, mengakses beragam bahan ajar, melakukan asesmen kemampuan awal siswa, hingga fitur berbagi metode pembelajaran dengan guru lain di seluruh Indonesia.</p>
<p>“Misalnya, ada modul yang mereka desain atau metode pengajaran baru yang mereka susun, itu bisa dibagi. Jadi guru <em>nggak</em> harus bikin dari nol tapi bisa adopsi dari [guru] yang lain kalau dia merasa cocok, atau kalau dia mampu bisa kembangkan sesuai konteks yang dia butuhkan,” kata Goldy.</p>
<p>Menurut <a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2022/09/mendikbudristek-transformasi-teknologi-berdampak-pada-sektor-pendidikan">pengakuan Kemdikbudristekdikti</a>, lebih dari 1,6 juta guru telah menggunakan platform Merdeka Mengajar, dan lebih dari 92 ribu konten pembelajaran telah diunggah oleh guru untuk menginspirasi rekan sejawatnya.</p>
<h2>Tapi, masih banyak tantangan di lapangan</h2>
<p>Di satu sisi, para peneliti memuji beragam layanan digital yang lebih terintegrasi ini hingga adanya platform khusus yang akhirnya fokus pada pengembangan guru.</p>
<p>Tapi, masih ada beberapa tantangan dan kekurangan dalam aspek lain.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, Edi mengkritik minimnya transparansi evaluasi terkait efektivitas platform-platform tersebut, sehingga berpotensi mengulang kesalahan dari Pustekkom sebelum era Nadiem.</p>
<p>“PR-nya dari dulu sampai sekarang itu mengevaluasi kebergunaan produk-produk yang sudah dikerjakan [..] Ini belum sampai ke kita evaluasinya. Barangkali kalaupun ada ya langsung dipakai perbaikan secara internal sistemnya sendiri, jadi <em>nggak</em> ke publik juga,” katanya.</p>
<p>“Apakah materi [di platform itu] betul-betul bisa meningkatkan kompetensi pedagogi (metode mengajar) guru atau menambah penguasaan materinya?”</p>
<p>Dalam menjalankan riset, perancangan, dan evaluasi teknologi pendidikan, misalnya, Edi mengatakan Kemdikbud belum banyak melibatkan perguruan tinggi. </p>
<p>“Kita punya kampus banyak, itu relasinya dengan kementerian <em>nggak</em> jelas, malah lebih jelas kementerian dengan lembaga seperti SMERU atau PSPK yang sekarang dominan. Itu ya oke, tapi kalau mau membenahi struktur dan sistem, pusat kajian dan kampus-kampus dikasih kesempatan yang sama, jadi <em>nggak</em> mubazir,” katanya.</p>
<p>Mengutip buku “<a href="https://www.taylorfrancis.com/books/mono/10.4324/9780203959015/indonesian-education-christopher-bjork"><em>Indonesian Education: Teachers, Schools, and Central Bureaucracy</em>” (2005)</a> karya profesor pendidikan di AS, Christopher Bjork, Edi mengatakan bahwa kementerian cenderung lebih suka mendengarkan lembaga semacam itu ketimbang riset bertemu guru di lapangan.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, Edi menyayangkan bagaimana masih ada sebagian guru yang masih kesulitan maupun enggan menggunakan layanan digital garapan Kemdikbudristekdikti, terutama platform Merdeka Mengajar.</p>
<p>“Dari curhatan guru, variasi guru kita macam-macam. [..] Misal di Semarang, sebagian besar yang usia 40 ke bawah ya familier [dengan teknologi pendidikan], tapi yang 40 ke atas? Seperti di [platform belajar] Coursera itu mandiri <em>kan</em>. Kita mengikuti, lalu ada umpan balik – guru <em>nggak</em> terbiasa itu,” ungkap Edi.</p>
<p>“Sementara dari faktor kepercayaan [..] ada juga guru yang bilang bahwa ini cuman kebijakan politik saja, pasti nanti ganti menteri ganti lagi, kebijakan dan platform ini akan ditinggal,” tambah Syaiputra.</p>
<p>Goldy tak memungkiri bahwa di lapangan, kementeriannya pasti menemui tantangan, dari respons guru terkait platform digital maupun potensi <a href="https://twitter.com/kpertiwi29/status/1573446872475500544?ref_src=twsrc%5Etfw%7Ctwcamp%5Etweetembed%7Ctwterm%5E1573446872475500544%7Ctwgr%5E75329c896cd8a06e216be74b0567dd21fbf1a2f5%7Ctwcon%5Es1_&ref_url=https%3A%2F%2Fwww.cnnindonesia.com%2Fnasional%2F20220924160635-32-852153%2Fnadiem-blak-blakan-soal-shadow-organization-di-kemendikbudristek">konflik budaya kerja di internal kementerian</a>.</p>
<p>Namun, ia menyampaikan optimisme ke depannya, dan menegaskan kementeriannya mempunyai berbagai mekanisme untuk menindaklanjuti hambatan dan respons masyarakat demi berbenah diri.</p>
<p>“Kalau kita objektif, ada cerita baik ada cerita buruk. Cerita baik perlu jadi pelajaran untuk kedepannya, ‘oh ini praktik baik’. Kemudian yang buruk, misal telat tercapai atau gagal lalu akhirnya dibongkar, kita perlu cek kenapa bisa.”</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/192542/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Apa urgensi Kemdikbud memakai model kemitraan vendor ala “shadow organisation”, dan apakah produk-produk teknologi mereka sudah benar-benar berdampak bagi dunia pendidikan?Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1867692022-07-31T12:09:15Z2022-07-31T12:09:15ZBukan salju, tapi jamu: saatnya kita melibatkan wawasan lokal dalam pembelajaran sains di Indonesia<p>Sampai saat ini, ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung <a href="https://theconversation.com/dekolonisasi-sains-pentingnya-memerdekakan-ilmu-pengetahuan-dari-ketergantungan-pada-dunia-barat-178540">berkiblat pada dunia Barat</a>. Pengaruh ini pun dapat kita rasakan dalam kurikulum pendidikan, termasuk dalam pembelajaran sains (Kimia, Fisika, dan Biologi) di sekolah maupun perguruan tinggi.</p>
<p>Dalam pembelajaran, seringkali contoh peristiwa atau fenomena sains diambil dari konteks dunia Barat.</p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/476650/original/file-20220729-4556-ffc3a4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/476650/original/file-20220729-4556-ffc3a4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/476650/original/file-20220729-4556-ffc3a4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=732&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/476650/original/file-20220729-4556-ffc3a4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=732&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/476650/original/file-20220729-4556-ffc3a4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=732&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/476650/original/file-20220729-4556-ffc3a4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=920&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/476650/original/file-20220729-4556-ffc3a4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=920&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/476650/original/file-20220729-4556-ffc3a4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=920&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Penggunaan contoh fenomena salju dalam pelajaran Kimia bisa jadi bukan cara terbaik untuk mengajarkan penurunan titik beku pada murid-murid di Indonesia.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Pexels/Karolina Grabowska)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Misalnya, dalam pelajaran Kimia, bidang yang saya ajar dan teliti, guru dan dosen kerap mengajarkan <a href="http://repositori.kemdikbud.go.id/20275/1/Kelas%20XII_Kimia_KD%203.1.pdf">sifat koligatif larutan</a> (terkait berubahnya titik didih dan beku) dengan mencontohkan aktivitas menabur garam ke jalanan ketika salju turun. Garam menyebabkan air atau salju membeku pada suhu yang lebih rendah sehingga akan lebih mudah mencair.</p>
<p>Aktivitas menaburkan garam ini tentu tidak akan terjadi di negara tropis seperti Indonesia. Alih-alih memberi contoh kontekstual, ini bisa membuat siswa semakin sulit membayangkan apa yang sedang mereka pelajari.</p>
<p>Permasalahan ini ternyata tak hanya terjadi di Indonesia atau negera-negara non-Barat. Di Amerika Serikat (AS) saja, sebagai negara yang multi-etnis, perspektif pembelajaran yang terlalu ‘kebaratan’ bisa <a href="https://pubs.acs.org/doi/10.1021/acs.jchemed.1c00480">menimbulkan kesulitan pada murid yang berlatar belakang non-Barat</a>, sehingga tetap kesulitan menghubungkannya dengan budaya dan pengalaman hidup.</p>
<p><a href="https://pubs.acs.org/doi/10.1021/acs.jchemed.0c00233">Beberapa penelitian</a> telah mencoba mengintegrasikan budaya populer dalam pembelajaran kimia. Media seperti film, komik, K-pop, atau anime, tentu dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa atau mahasiswa. Mengintegrasikannya ke dalam pembelajaran bisa membuatnya jadi menarik dan mudah dikenali (<em>relatable</em>).</p>
<p>Contohnya adalah materi kimia unsur atau sistem periodik unsur. Pada pembelajaran materi ini, <a href="https://pubs.acs.org/doi/10.1021/acs.jchemed.8b00206">siswa ditantang dengan pertanyaan tentang ‘vibranium’</a>, unsur fiktif yang ada di komik dan film Marvel.</p>
<p>Tapi, bagaimana dengan budaya lokal? Bisakah ini diterapkan juga dalam pembelajaran? </p>
<h2>Menempatkan ‘<em>indigenous knowledge</em>’ dalam pendidikan</h2>
<p>Budaya lokal adalah keseharian para siswa. Mengintegrasikannya dalam pembelajaran akan membuat mereka lebih mudah mengaitkan materi di kelas dengan pengalaman hidup mereka. Pada akhirnya, ini akan membuat pembelajaran menjadi lebih kontekstual.</p>
<p>Sebenarnya, sudah ada banyak <a href="https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742-6596/2110/1/012026/pdf">penelitian dan eksplorasi budaya lokal</a> yang bisa dikaitkan dengan fenomena sains – kerangka ini kerap disebut <a href="https://link.springer.com/referenceworkentry/10.1007/978-94-007-2150-0_362">‘etnosains’</a>. Hasil eksplorasi ini kemudian bisa kita terapkan di tingkat sekolah menengah maupun perguruan tinggi.</p>
<p>Etnosains (<em>ethnoscience</em>) berasal dari konsep ‘<em>ethno</em>’ (bangsa atau budaya bangsa) dan ‘<em>science</em>’ (pengetahuan). Kita bisa mengartikannya sebagai pengetahuan yang dimiliki suatu bangsa, suku bangsa, atau kelompok sosial tertentu sehingga menjadi bentuk kearifan lokal. </p>
<p>Etnosains mengacu pada sistem pengetahuan yang khas dari budaya tertentu yang sering kita sebut sebagai pengetahuan asli (<em>indigenous knowledge</em>).</p>
<p>Salah satu contoh pengetahuan asli masyarakat adalah pada <a href="https://theconversation.com/mencari-potensi-obat-anti-kolesterol-dari-gambir-yang-bisa-dipakai-seperti-gel-185875">berbagai pemanfaatan tanaman untuk pengobatan</a>. Atau, pemanfaatan tanaman seperti <a href="https://e-journal.biologi.lipi.go.id/index.php/berita_biologi/article/view/1209">umbi gadung, sambiloto, dan akar tuba</a>, sebagai pestisida alami untuk pengendalian hama. </p>
<p>Selain itu, etnosains juga dapat kita temui pada <a href="http://eprints.undip.ac.id/8088/">pemanfaatan daun dan biji mimba</a> (<em>Azadirachta indica</em>) sebagai pembasmi larva <em>Aedes aegypti</em>.</p>
<p>Setiap unsur aktivitas atau proses yang terjadi pada contoh-contoh budaya tersebut dapat kita eksplorasi dan kaitkan dengan konsep, prinsip, hukum, atau teori dalam sains. Selain membuat pembelajaran menjadi kontekstual, cara ini sekaligus melestarikan budaya yang ada di masyarakat kepada para siswa.</p>
<p>Beberapa riset pun telah menjelaskan manfaat integrasi etnosains dalam pembelajaran. Di antaranya, berperan dalam <a href="https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742-6596/983/1/012170/meta">meningkatkan pemahaman budaya murid (<em>cultural awareness</em>)</a> hingga penanaman kemampuan <a href="https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jpii/article/view/21754">berpikir kritis, kreatif, dan analitis, dan kontekstual</a>.</p>
<h2>Dari pembuatan jamu hingga pembersihan keris</h2>
<p>Kebiasaan masyarakat, adat istiadat, atau budaya lokal dapat menjadi media belajar yang unik dan menyenangkan.</p>
<p>Dalam pembelajaran Kimia, pengetahuan asli masyarakat mulai banyak dikenalkan baik di sekolah menengah maupun di perguruan tinggi.</p>
<p>Misalnya, <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s11422-021-10067-3">proses pembuatan jamu tradisional</a> bisa menjadi contoh dalam pengajaran materi tentang pemisahan campuran. Pembuatan jamu melibatkan proses ekstraksi pelarut, penyaringan, atau pengendapan yang merupakan teknik-teknik dalam pemisahan campuran.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/476651/original/file-20220729-20-32i4uk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/476651/original/file-20220729-20-32i4uk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/476651/original/file-20220729-20-32i4uk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/476651/original/file-20220729-20-32i4uk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/476651/original/file-20220729-20-32i4uk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/476651/original/file-20220729-20-32i4uk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/476651/original/file-20220729-20-32i4uk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/476651/original/file-20220729-20-32i4uk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Proses pemisahan campuran dalam pembuatan jamu bisa jadi studi kasus pembelajaran Kimia bagi murid.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Murid dan mahasiswa dapat mengamati proses pembuatan jamu dan menganalisis penggunaan pelarut yang sesuai, guna mendapatkan ekstrak yang kaya akan bahan aktif atau ekstrak dengan rendemen (<em>chemical yield</em>) yang tinggi.</p>
<p>Contoh lain adalah pada pembelajaran mengenai zat aditif (bahan tambahan) makanan. Siswa dapat mengenal zat aditif alami dan buatan, sumber-sumber alami yang dapat dijadikan zat aditif, misalnya sebagai pewarna, penyedap, atau pengawet makanan.</p>
<p>Aktivitas <a href="https://mediaindonesia.com/galleries/detail_galleries/20874-jamasan-keris"><em>jamasan</em> atau pembersihan pusaka</a> dalam budaya Jawa, juga dapat kita kaitkan dengan pengenalan konsep reduksi dan oksidasi (redoks). Konsep redoks dalam kimia muncul dalam proses pencucian keris yang terbuat dari logam dengan bahan-bahan alami. Misalnya, penggunaan air jeruk nipis yang bersifat asam untuk menghilangkan karat.</p>
<p>Proses <em>jamasan</em> juga menggunakan <em>warangan</em>, yaitu larutan yang mengandung arsenik, untuk memunculkan kembali <em>pamor</em> (motif) pada keris. Karena larutan ini beracun, mahasiswa bisa kita tantang untuk mencari pengganti arsenik pada prosesi <em>jamasan</em>.</p>
<h2>Mulai mengajar dengan lebih kontekstual</h2>
<p>Guru dan dosen bisa mulai menggunakan pendekatan ini dalam pembelajaran sains.</p>
<p>Untuk memulainya, guru terlebih dahulu mengeksplorasi dan merekonstruksi budaya yang ingin mereka terapkan. Dari sini, mereka bisa mengetahui konsep-konsep sains apa saja yang dapat muncul. Setelah itu, guru dapat menetapkannya untuk diintegrasikan pada pembelajaran yang terkait.</p>
<p>Berdasarkan <a href="https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/33498416/Innovations-in-Science-and-Technology-Education-with-cover-page-v2.pdf?Expires=1659114520&Signature=dxYHwrb%7EfA3QijoCDAaO1aoH9ujY5I-vtx9N0Eq3RLKOtIECzApECqBHTiO5xanJ95ErA-YA6EDor27mrrSOJTPCxi%7EP3rb9LBFCubMRTw1P0lG-FmNKnx0cYvWjqgswqjeIqUdbMJpeeMkffrPkHSsH6URQ2yJ-9L0OSA3puXGo16JKSO4aV1SnHk-RJd3ldRXOUIzj11dZKCmOpMkDTYEBRGBRzodGQPsjUSyfOj2-zBoYR-%7E0K0WuOK3VSPY8tVQOadDSlKMkzPRphrRm3j%7EW9NWClzfk5Y--BNydFUWAakS%7EMef762IYqKVNcmMwUFMkNHHNDbFjzX%7ELWZJyAQ__&Key-Pair-Id=APKAJLOHF5GGSLRBV4ZA">hasil-hasil penelitian</a>, integrasi budaya lokal dalam pembelajaran dapat membantu mengkonstruksi konsep sains modern dengan tetap mempertahankan kearifan lokal.</p>
<p>Ada banyak hal dalam kebudayaan Indonesia yang bisa kita gunakan untuk membuat pembelajaran menjadi lebih kontekstual dan menarik – tanpa harus mengandalkan fenomena salju atau semesta Marvel.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/186769/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penggunaan contoh fenomena salju dalam pelajaran Kimia bisa jadi bukan cara terbaik untuk mengajarkan penurunan titik beku pada murid-murid di Indonesia.Mohammad Alauhdin, Lecturer in Chemistry, Universitas Negeri SemarangWoro Sumarni, Profesor of Science Education, Universitas Negeri SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1732662022-02-11T09:58:23Z2022-02-11T09:58:23ZMengapa “learning loss” adalah narasi yang bias: menjawab panik hilangnya capaian belajar di tengah pandemi<p>Pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang buruk selama sekitar satu setengah tahun karena pandemi COVID-19 telah memicu banyak analisis tentang <em>learning loss</em> (hilangnya capaian belajar) di berbagai media.</p>
<p>Sebagian besar menggarisbawahi dampak buruknya untuk siswa, termasuk potensi <a href="https://www.kompas.com/edu/read/2021/02/12/160518571/pjj-berkepanjangan-pengamat-pendidikan-ugm-khawatirkan-learning-loss?page=all">merosotnya performa pendidikan nasional</a> atau <a href="https://theconversation.com/tutupnya-sekolah-menyebabkan-learning-loss-dan-memperlebar-ketimpangan-antara-siswa-kaya-dan-miskin-158425">melebarnya kesenjangan</a> antara siswa kaya dan miskin. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tutupnya-sekolah-menyebabkan-learning-loss-dan-memperlebar-ketimpangan-antara-siswa-kaya-dan-miskin-158425">Tutupnya sekolah menyebabkan '_learning loss_' dan memperlebar ketimpangan antara siswa kaya dan miskin</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Wacana <em>learning loss</em> kemungkinan juga akan kembali ramai di tengah <a href="https://tirto.id/tarik-ulur-keputusan-ptm-50-persen-saat-gelombang-ketiga-covid-19-gozh">tarik ulur sekolah tatap muka</a> akibat gelombang Omicron.</p>
<p>Namun, menurut kami, masyarakat perlu lebih jernih dalam memahami kecemasan terkait <em>learning loss</em> akibat pandemi. Mengapa?</p>
<p>Permasalahan pendidikan di Indonesia sangat kompleks. Lama sebelum pandemi, negara ini sudah dihantui banyak faktor dan kendala yang menimbulkan <a href="https://theconversation.com/naik-kelas-tapi-tak-belajar-penelitian-ungkap-3-capaian-buruk-terkait-pendidikan-di-indonesia-sejak-tahun-2000-164408">penurunan capaian belajar</a> – dari <a href="https://theconversation.com/rapor-kompetensi-guru-sd-indonesia-merah-dan-upaya-pemerintah-untuk-meningkatkannya-belum-tepat-120287">rendahnya kompetensi guru</a> hingga <a href="https://theconversation.com/kualitas-buruk-pelajar-indonesia-akibat-proses-belajar-tidak-tuntas-apa-yang-bisa-dilakukan-97999">pembelajaran yang tak tuntas</a>.</p>
<p>Selain itu, berkurangnya asupan akademik siswa akibat PJJ juga <a href="https://www.bostonglobe.com/2020/09/03/opinion/when-schools-out-kids-suffer-less-than-you-might-think/">tak serta merta mengurangi perkembangan intelektual mereka</a>.</p>
<p>Beberapa <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.3102/00346543066003227">studi</a> dan <a href="https://www.educationnext.org/is-summer-learning-loss-real-how-i-lost-faith-education-research-results/">kajian akademik</a> di Amerika Serikat (AS), misalnya, menemukan tutupnya sekolah dalam periode yang lama, misalnya akibat libur musim panas, tidak mengurangi kemampuan belajar, melainkan hanya hasil <em>standardized test</em> (seperti Ujian Nasional) – suatu hal yang berupaya ditinggalkan oleh Indonesia.</p>
<p>Dalam tulisan ini, kami menguraikan beberapa alasan mendasar mengapa kekhawatiran tentang <em>learning loss</em> cukup bias, dan menawarkan lensa alternatif dalam memahaminya. </p>
<h2><em>Learning loss</em> sudah terjadi sebelum pandemi</h2>
<p>Pertama, <em>learning loss</em> sudah lama terjadi akibat kualitas pengajaran yang buruk di Indonesia.</p>
<p>Berbagai studi menemukan bahwa beragam masalah di Indonesia seperti <a href="https://theconversation.com/proses-rekrutmen-sebagai-asn-membuat-guru-di-indonesia-berkualitas-rendah-143443">rekrutmen guru yang kurang tepat sasaran</a> hingga <a href="https://theconversation.com/dukungan-pengembangan-karier-bagi-guru-sangat-lemah-dan-membuat-status-asn-hanya-jadi-zona-nyaman-169159">pengembangan karir guru yang lemah</a> menghambat produksi guru yang unggul. </p>
<p>Alhasil, <a href="https://dergipark.org.tr/en/download/article-file/258584">sedikit sekali guru di Indonesia</a> yang mampu memandu pembelajaran yang berpusat pada siswa (atau sering disebut “<a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/ED581111.pdf">pembelajaran aktif</a>” sebagai kontras dari “pembelajaran pasif” yang berpusat pada guru).</p>
<p>Pendekatan ini sangat efektif dalam membantu siswa menyerap dan menginternalisasi pembelajaran, serta meminimalisasi <em>learning loss</em>.</p>
<p>Riset yang dilakukan penulis pertama <a href="https://www.culi.chula.ac.th/publicationsonline/files/article/MxfBfXHgp1Tue35336.pdf">di Jawa Tengah</a>, misalnya, menemukan bahwa minimnya pembelajaran aktif – hanya duduk mendengarkan guru – membuat siswa rentan kehilangan kosakata dalam suatu kelas Bahasa Inggris.</p>
<p>Konsekuensinya, pembelajaran yang buruk di Indonesia ini mengakibatkan kehilangan capaian belajar selama bertahun-tahun.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/naik-kelas-tapi-tak-belajar-penelitian-ungkap-3-capaian-buruk-terkait-pendidikan-di-indonesia-sejak-tahun-2000-164408">Naik kelas tapi tak belajar: penelitian ungkap 3 capaian buruk terkait pendidikan di Indonesia sejak tahun 2000</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Peneliti pendidikan AS, Christopher Bjork pernah memaparkan <a href="https://www.taylorfrancis.com/books/mono/10.4324/9780203959015/indonesian-education-christopher-bjork">dalam bukunya tahun 2005</a> bahwa pembelajaran satu arah yang berbasis hafalan (<em>rote learning</em>) di Indonesia sejak 1990-an gagal total dalam menstimulasi perkembangan intelektual siswa. Jangankan stagnan, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0738059321000894">riset dari SMERU</a> bahkan menemukan hasil belajar anak Indonesia pada 2014 lebih rendah dari tahun 2000. </p>
<p>Artinya, <em>learning loss</em> bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul akibat pandemi – hanya saja menjadi lebih terlihat.</p>
<p>Membuka kembali sekolah tatap muka tak menjamin <em>learning loss</em> akan teratasi jika pembelajaran terus berpusat pada guru.</p>
<h2>Kembali terobsesi pada standardisasi</h2>
<p>Kedua, potensi <em>learing loss</em> selama pandemi sebenarnya sudah diantisipasi melalui modifikasi kurikulum.</p>
<p>Kementerian Pendidikan (Kemendikbud-Ristek), misalnya, telah menerbitkan <a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/08/kemendikbud-terbitkan-kurikulum-darurat-pada-satuan-pendidikan-dalam-kondisi-khusus">Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus</a>.</p>
<p>Pedoman tersebut memberi ruang bagi sekolah untuk mengggunakan semacam “Kurikulum Darurat” – mengurangi sejumlah kompetensi dasar atau menyederhanakan kurikulum secara mandiri – sehingga <a href="https://theconversation.com/sekolah-perlu-terapkan-kurikulum-mandiri-saat-pandemi-bukan-kurikulum-darurat-anjuran-mendikbud-nadiem-144742">fokus pada aspek belajar yang dianggap esensial</a> sembari menyesuaikan kondisi siswa yang berbeda-beda.</p>
<p>Meski demikian, modifikasi ini berarti tak semua kompetensi dasar yang telah dikuasai siswa di kurikulum sebelumnya dituntaskan di jenjang mereka sekarang.</p>
<p>Ketidaktuntasan ini menghadirkan konsekuensi <em>learning loss</em> – tapi ini disrupsi yang “terantisipasi”.</p>
<p>Semestinya narasi <em>learning loss</em> tidak digunakan sebagai justifikasi utama penyelenggaraan PTM karena negara sudah menyepakati dan memfasilitasi kurikulum khusus ini.</p>
<p>Alih-alih, menggaungkan narasi <em>learning loss</em> justru berlawanan dengan berbagai inisiatif Kemendikbud-Ristek untuk menjauh dari semangat standardisasi – termasuk Kurikulum Darurat tersebut maupun filosofi “Merdeka Belajar” yang diperkenalkan dua tahun silam.</p>
<p>“[Merdeka Belajar] maknanya bukan keseragaman, bukan standardisasi, bukan ujian penentu (<em>high-stakes testing</em>) bagi anak,” <a href="https://www.youtube.com/watch?v=-I6A44QtMv0">kata Menteri Nadiem</a> dalam suatu diskusi pendidikan di Harvard University, Amerika Serikat.</p>
<p>Sementara, saat orang membahas hilangnya “capaian” belajar, <a href="https://www.bostonglobe.com/2020/09/03/opinion/when-schools-out-kids-suffer-less-than-you-might-think">yang mereka maksud</a> seringkali capaian dalam ujian atau skor kecakapan lainnya yang mengedepankan standardisasi.</p>
<p>Maka gamblang bahwa narasi <em>learning loss</em> tak sejalan dengan filosofi ini.</p>
<h2>Beban tambahan di tengah pandemi</h2>
<p>Ketiga, pembicaraan terkait <em>learning loss</em> sering memunculkan label seperti “<a href="https://www.merdeka.com/peristiwa/mendikbudristek-nadiem-satu-generasi-learning-loss-tak-bisa-dikembalikan-lagi.html">generasi <em>learning loss</em></a>” atau “<a href="https://banpaudpnf.kemdikbud.go.id/berita/menjawab-tantangan-lost-learning-dan-lost-generation-di-tengah-pandemi">generasi tertinggal</a>”.</p>
<p>Pelabelan ini berkonotasi hukuman dan tak manusiawi.</p>
<p>Pandemi COVID-19 ini adalah pademi global. Para siswa kita tak sendirian menghadapinya. Ratusan juta siswa lain di bumi ini juga mengalaminya. Kita tidak ingin menggaungkan keputusasaan; kita ingin menggemakan harapan pada mereka.</p>
<p>Di luar persoalan sekolah, ketika pandemi memuncak di Indonesia pada pertengahan 2021, banyak siswa dan orang tua menyaksikan kematian, krisis kesehatan, ketimpangan sosial ekonomi, hingga merasakan tekanan psikologis.</p>
<p>Kita perlu mempertanyakan kembali: apakah bijak terus menerus melanggengkan stigma terkait <em>learning loss</em>?</p>
<h2>Siapa yang diuntungkan dari narasi <em>learning loss</em>?</h2>
<p>Keempat, kita perlu mempertimbangkan bahwa narasi <em>learning loss</em> adalah suatu hasil konstruksi sosial. Ada yang untung dan ada yang rugi akibat narasi ini.</p>
<p>Konstruksi <em>learning loss</em> dekat dengan pelabelan “yang tertinggal” atau capaian akademik generasi sekarang yang mengalami kesenjangan atau penurunan. </p>
<p>Pertanyaannya, apa definisi “yang tertinggal”? Siapa yang mengonstruksinya? Apakah ada konflik kepentingan yang harus kita waspadai?</p>
<p>Menurut kami, di tengah pandemi, hal ini merupakan narasi yang sangat menguntungkan bagi kelangsungan aktor pendidikan yang bergantung pada capaian siswa yang rendah – misalnya <a href="https://theconversation.com/mengapa-adanya-jasa-bimbel-bisa-sulitkan-pemerintah-ketahui-kualitas-pembelajaran-yang-sebenarnya-di-sekolah-115012">lembaga bimbingan belajar (bimbel)</a>.</p>
<p>Ini juga jadi pintu masuk bagi platform pendidikan daring berbayar untuk menginisiasi kerja sama dengan pemerintah dengan dalih sebagai suplemen untuk pembelajaran daring yang kualitasnya belum baik. Beberapa pihak bahkan menyebut mereka sebagai “<a href="https://www.kompas.id/baca/opini/2021/12/16/predator-pendidikan">predator pendidikan</a>” di tengah pandemi.</p>
<h2>Sikap yang tepat</h2>
<p>Ketika kita membicarakan <em>learning loss</em>, sesungguhnya ini juga merupakan seruan bersama untuk mengajak guru Indonesia berbenah. Namun, kita perlu bijak.</p>
<p>Banyak guru saat ini belum memiliki bekal untuk menyelenggarakan pembelajaran aktif menggunakan teknologi digital baik untuk pembelajaran jarak jauh, tatap muka, maupun campuran keduanya (<em>hybrid learning</em>).</p>
<p>Rasanya tak elok terus menerus dan menyoal <em>learning loss</em> saat para guru tengah berupaya – bahkan sebagian besar harus belajar dari nol – untuk menyelenggarakan pembelajaran yang efektif selama pandemi. </p>
<p>Kami merekomendasikan masyarakat maupun para aktor dunia pendidikan untuk meninggalkan pandangan yang bias terkait <em>learning loss</em>.</p>
<p>Sebaliknya, kita perlu beralih ke pendekatan atau <a href="https://www.proquest.com/openview/ec74cc970a7a4fd125b833158e23000a/1?pq-origsite=gscholar&cbl=41436">lebih apresiatif dan produktif</a>.</p>
<p>Guru harus terus didorong untuk menggali apa yang telah para siswa pahami, kuasai, dan tunjukkan selama belajar dari rumah – selambat apa pun kemajuan mereka. Ini menjadi <a href="https://theconversation.com/kembalinya-sekolah-tatap-muka-tiga-langkah-darurat-untuk-pulihkan-kemampuan-siswa-pasca-setahun-lebih-belajar-di-rumah-167959">titik berangkat</a> dalam menyelenggarakan pembelajaran ketika sekolah hendak dibuka kembali.</p>
<p>Berangkat dari situlah para siswa dapat tumbuh dan maju tanpa beban sebagai “generasi <em>learning loss</em>”.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/173266/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Pada tahun 2018 dan 2019, Puji Astuti menerima dana dari DRPM skema penelitian dasar unggulan perguruan tinggi (PDUPT) untuk penelitian tentang pembelajaran kooperatif.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Teguh Kasprabowo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kecemasan terkait hilangnya capaian belajar siswa selama pandemi, atau “learning loss”, seringkali merupakan narasi yang bias. Kami menawarkan lensa alternatif untuk memahaminya.Puji Astuti, Associate Professor of TEFL Methodology, Universitas Negeri SemarangTeguh Kasprabowo, Assistant Professor of Creative Writing, Universitas Stikubank SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1692702021-10-28T01:10:22Z2021-10-28T01:10:22ZMengapa ‘policy’ dimaknai sebagai ‘kebijakan’ dalam Bahasa Indonesia?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/426876/original/file-20211018-17-1os4pca.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=11%2C191%2C3437%2C2467&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi berpidato pada pembukaan forum Kebijakan Luar Negeri dan Kesehatan Global di Kantor Kementerian Luar Negeri, Jakarta, pada Januari 2020.</span> <span class="attribution"><span class="source">M Risyal Hidayat/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Lewat lema ‘kebijakan’, bahasa Indonesia menyamakan ‘policy’ dengan kebijaksanaan.</p>
<p>Padahal, kalau kita bandingkan dengan bahasa lain, makna ‘policy’ lekat dengan ‘politics’ (politik). </p>
<p>Misalnya, ‘policy’ dalam bahasa Melayu adalah ‘polisi’, dalam bahasa Belanda ‘politiek’, bahasa Prancis ‘politique’, dan dalam bahasa Arab ‘siyasah’. Bahkan, kata ‘policy’ tidak berbeda secara makna dengan kata ‘politik’ dalam bahasa Denmark ‘politik’ dan bahasa Italia ‘politica’.</p>
<p>Sangat berbeda dengan yang terjadi dalam bahasa nasional kita. Saya mencari tahu mengapa kata ini dipilih lewat riset linguistik sejarah semantik kata ‘kebijakan’.</p>
<h2>Kebijakan dan makna terkait</h2>
<p>Kata ‘kebijakan’ merupakan kata benda dari akar kata ‘bijak’. Imbuhan ke- dan -an berfungsi untuk membuat kata benda dari bijak yang menggambarkan kondisi yang berhubungan dengan akar kata tersebut. </p>
<p>Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menghubungkan kata sifat ‘<a href="https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/bijak">bijak</a>’ dengan dua makna, yaitu selalu menggunakan akal budinya; pandai; mahir; dan pandai bercakap-cakap; petah lidah. </p>
<p>KBBI lalu mendefinisikan kata <a href="https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kebijakan">kebijakan</a> sebagai dua hal. Yang pertama kepandaian, kemahiran, dan kebijaksanaan. Dan yang kedua rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dan sebagainya); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran; dan garis haluan.</p>
<p>Konstruksi kata ‘kebijakan’ ini bisa dikaitkan dengan ‘kebijaksanaan’, yang merupakan kata benda dari ‘bijaksana’. Kata 'bijak’ dan ‘bijaksana’ memiliki makna yang sama.</p>
<p>Namun, <a href="https://www.kemhan.go.id/badiklat/2016/04/11/perbedaan-kata-kebijakan-dan-kebijaksanaan-serta-mencolok-atau-menyolok.html">kebijaksanaan lebih universal</a> daripada kebijakan. Kebijakan memiliki asosiasi spesifik yang merujuk pada ‘policy’, dan muncul pada wacana politis.</p>
<p>Kata lain yang <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Anagram">anagram</a> dan <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Homophone">homofon</a> dengan kebijakan adalah kebajikan. Akar kata ‘bajik’ berarti baik, sehingga <a href="https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kebajikan">kebajikan</a> berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan (keselamatan, keberuntungan, dan sebagainya) dan perbuatan baik.</p>
<p>Meski ‘kebajikan’ tidak digunakan dalam konteks politik, anagram dan homofon ini berpotensi menciptakan bayangan makna sehingga kebijakan bisa diasosiasikan dengan kebajikan dan kebijaksanaan.</p>
<p>Bayangan makna ini bisa meletakkan ‘kebijakan’ pada posisi baik yang universal dan tidak bermakna politis (apolitis).</p>
<p>Dengan demikian, ‘kebijakan’ menjadi tidak dapat ditentang, karena siapa yang bisa melawan kebijaksanaan atau kebaikan?</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-penggunaan-bahasa-jaksel-bisa-tingkatkan-prestasi-akademik-siswa-170640">Bagaimana penggunaan bahasa 'Jaksel' bisa tingkatkan prestasi akademik siswa</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kemunculan kata kebijakan</h2>
<p>Tidak mudah untuk menelusuri awal mula kemunculan sebuah kata. Ada dua sumber yang bisa digunakan, yakni kamus dan penggunaan sehari-hari yang terdokumentasi. </p>
<p>Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia dipengaruhi oleh Bahasa Melayu, Bahasa Jawa, Bahasa Belanda, Bahasa Arab, dan bahasa asing lainnya termasuk Bahasa Inggris. Saya melakukan studi bahasa pada kamus monobahasa maupun dwibahasa dalam bahasa di atas yang diterbitkan dari tahun 1901, 1916, 1920, 1953, 1970, 1982, 1988, 2004 hingga kamus digital tahun ini. </p>
<p>Pada awal 1900, kata ‘kebijakan’ tidak ada dalam <a href="https://books.google.co.id/books/about/A_Malay_English_Dictionary.html?id=TFkOAQAAMAAJ&redir_esc=y">kamus Bahasa Melayu</a>, tapi ada kata ‘bijak’. Dalam kamus tersebut, ‘policy’ diterjemahkan menjadi peraturan. <a href="https://openlibrary.org/works/OL10709469W/English_Javanese_vocabulary">Kamus Bahasa Jawa 1920</a> mencatat kata ‘wicaksana’, yang kemudian diadopsi menjadi bijaksana dalam bahasa Indonesia. </p>
<p>Pada Abad ke-15 dan ke-16, ‘policy’ juga disebut sebagai <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0002716205276734"><em>political sagacity</em></a> dalam bahasa Inggris, yang artinya kecerdasan politis. </p>
<p>Istilah ‘politics’ dan ‘political strategies’ muncul beberapa abad setelah itu. Istilah ini muncul dalam <a href="http://pidato.net/1101_pjmsukarno-1">pidato Presiden Sukarno</a> setelah Indonesia merdeka untuk mengkritik imperialisme.</p>
<p>Pada masa pemerintahan Sukarno (1945–1966), kata ‘kebijaksanaan’ sangat jarang ditemui di dokumen kenegaraan. Setelah mencermati dokumen kebijakan yang sudah didigitalisasi, kata ‘kebijaksanaan’ muncul dua kali di Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) No. II/MPRS/1960. </p>
<p>Kata ‘amanat’ dan ‘manifesto’ lebih sering digunakan pada masa Orde Lama, misalnya amanat presiden dan manifesto politik. Kata ‘<a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/09540253.2020.1802407">amanat</a>’ merupakan transliterasi dari bahasa Arab yang berarti tanggung jawab kepada Tuhan. Sedangkan 'manifesto’ adalah <a href="https://books.google.co.id/books?id=WM3_ulRJFlkC&printsec=copyright&hl=id#v=onepage&q&f=false">kata yang sudah dihapus selama masa standardisasi</a> dan netralisasi bahasa Indonesia pada zaman Orde Baru.</p>
<p>Pada masa Orde Baru, kata kebijaksanaan dan kebijakan lebih sering muncul untuk merujuk makna ‘policy’. </p>
<p>Meski ‘policy’ konsisten diterjemahkan sebagai ‘kebijakan’, ada dua pengecualian, yakni pada “Politik Etis” dan “Politik Luar Negeri”. </p>
<p><a href="https://tirto.id/sejarah-politik-etis-tujuan-tokoh-isi-dampak-balas-budi-gao6">Politik Etis</a> merupakan terjemahan dari bahasa Belanda ‘Ethische Politiek’ yang seharusnya - jika ingin konsisten - diterjemahkan menjadi Kebijakan Etis. </p>
<p>Begitu pula halnya dengan <a href="https://tirto.id/apa-definisi-prinsip-tujuan-politik-luar-negeri-indonesia-gd5u">Politik Luar Negeri</a> adalah terjemahan dari Foreign Policy.</p>
<p>Ini semakin menegaskan bahwa penerjemahan kata ‘policy’ tidak pernah netral.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/siapa-yang-sungguh-bertutur-dalam-bahasa-indonesia-86356">Siapa yang sungguh bertutur dalam bahasa Indonesia?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Membongkar ‘kebijakan’</h2>
<p>‘Kebijakan’ pada dasarnya memiliki sifat apolitis, tapi ‘policy’ jelas-jelas melibatkan proses politik; menempelkan kedua kata ini menjadi tidak masuk akal. </p>
<p>Atau mungkinkah pemilihan kata ‘kebijakan’ menjadi tabir untuk menutupi proses politis yang terjadi?</p>
<p>Sosiolog Ariel Heryanto mengemukakan bahwa bahasa Indonesia lebih merefleksikan <a href="https://openresearch-repository.anu.edu.au/bitstream/1885/145809/1/PL-D86.pdf">realitas politis alih-alih realitas linguistik</a>. </p>
<p>Standardisasi bahasa yang ketat dilakukan tidak semata-mata untuk estetika kebahasaan, tapi untuk <a href="https://books.google.co.id/books?id=XNpEx2_9QV8C&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false">alat kepentingan kekuasaan</a>. Bahasa bukanlah kacamata netral untuk mengenali realitas, tapi alat untuk mengkonstruksi realitas.</p>
<p>Seiring dengan perkembangan Indonesia yang semakin demokratis, banyak pihak mempertanyakan <a href="https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/01/04/pelajaran-dari-kebijakan-yang-tidak-bijak/">kebijakan yang tidak bijak</a>. Kata ‘kebijakan’ perlu kita tinjau kembali untuk memisahkan makna kebijaksanaan dan kebajikan dari ‘policy’.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/169270/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Zulfa Sakhiyya tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Mari kita tengok sejarah semantik kata ‘kebijakan’.Zulfa Sakhiyya, Assistant Professor at the Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1630092021-10-19T06:43:25Z2021-10-19T06:43:25ZBagaimana kreator konten bisa menghasilkan karya yang berpihak pada masyarakat dan kemanusiaan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/427076/original/file-20211018-22-g0p2jj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Saat ini, semakin banyak orang yang menjadi kreator konten. Namun, banyak konten yang diunggah justru kontroversial dan memicu polemik sosial.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/e7jq0NH9Fbg">(Unsplash/Steve Gale)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Pendapatan melalui iklan di YouTube dan platform media sosial lainnya telah <a href="https://www.semanticscholar.org/paper/Reality-Lost%3A-Markets-of-Attention%2C-Misinformation-Hendricks-Vestergaard/ce6ee7ab708d0bf80b345b1cb11bbc8e6a7f16e4#paper-header">menggiur semakin banyak orang Indonesia</a> menjadi kreator konten.</p>
<p>Sebagai gambaran, <a href="https://www.thejakartapost.com/life/2020/11/20/content-creators-stay-creative-keep-ideas-fresh-despite-pandemic.html">sepanjang pandemi</a> di tahun 2020, platform pemasaran <em>influencer</em> (selebritas media sosial) SociaBuzz mencatat kenaikan pengguna yang mendaftar layanan mereka <a href="https://mix.co.id/marcomm/news-trend/content-creator-melonjak-selama-pandemi-samsung-gelar-galaxy-creator-workshop/">sebesar tiga kali lipat</a> – dari sekitar 2.500 menjadi hampir 8.000 kreator baru per bulan.</p>
<p>Sayangnya, konten yang diunggah tidak selalu bermutu.</p>
<p>Kita berkali-kali mendengar berbagai kasus konten yang kontroversial – dari Atta Halilintar yang melakukan <a href="https://www.kompas.com/sains/read/2021/05/24/170300023/konten-keguguran-aurel-atta-banjir-kritik-ahli-media-lipi-nilai-wajar?page=all">komersialisasi insiden keguguran</a> yang dialami istrinya, hingga kreator bernama Ferdian Paleka yang melakukan <em>prank</em> (lelucon) memberikan <a href="https://tirto.id/prank-ferdian-paleka-ke-transpuan-melecehkan-ham-diburu-polisi-fjCK">sembako berisi sampah</a> kepada beberapa transpuan pada tahun 2020.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/orang-dewasa-penyebab-indeks-kesopanan-digital-indonesia-buruk-pentingnya-literasi-digital-156644">Orang dewasa penyebab indeks "kesopanan" digital Indonesia buruk: pentingnya literasi digital</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Di internet juga masih minim panduan bagi kreator terkait bagaimana menghasilkan konten dengan <a href="https://www.youtube.com/channel/UCYJJpu7FLQqu788cusj6nIg">dampak sosial yang baik dan membangun</a>.</p>
<p>Bedasarkan kajian (belum dipublikasi) yang kami lakukan terhadap 16 artikel <em>online</em>, berbagai materi tersebut pun baru fokus pada kiat-kiat menjadi kreator sukses secara teknis atau finansial.</p>
<p>Di sini, kami ingin mengenalkan prinsip berkarya yang disebut oleh peneliti pendidikan <a href="https://digitallife.gse.harvard.edu/carrie-james">Carrie James</a> dan rekan-rekan akademisinya sebagai “<a href="https://www.commonsense.org/education/sites/default/files/tlr_component/common_sense_education_digital_citizenship_research_backgrounder.pdf">kewarganegaraan digital</a>” (<em>digital citizenship</em>) dalam berkarya.</p>
<p>Penerapan konsep ini penting untuk menghasilkan karya yang bermanfaat, relevan, dan membangun terhadap isu sosial yang dihadapi Indonesia.</p>
<h2>Memperhatikan literasi kritis dan etika produksi</h2>
<p>Dari beberapa prinsip kewarganegaraan digital yang diperkenalkan oleh James, salah satu yang paling penting adalah kreator harus memperlebar perspektif mereka dalam menyajikan isu atau objek.</p>
<p>Tempat wisata yang “<em>instagramable</em>” (populer di Instagram), misalnya, sering diburu sebagai bahan konten.</p>
<p>Sayangnya, biasanya kreator sekadar menunjukkan pengalaman mereka saat menikmati tempat tersebut. Akan lebih bermakna jika mereka juga mendalami aspek sosial dari situs tersebut.</p>
<p>Bagaimana cerita sejarahnya? Apa aspirasi warga sekitar terkait pembangunan di daerah mereka? Apakah lingkungan sekitar tetap nyaman? Apakah mereka turut sejahtera?</p>
<p>Berbagai pertanyaan ini mengisyaratkan perlunya kreator memiliki apa yang disebut peneliti pendidikan <a href="http://shura.shu.ac.uk/24993/3/Merchant_RevisitingCriticalLiteracy%28AM%29.pdf">Cathy Burnett dan Guy Merchant</a> sebagai literasi kritis dan etika produksi.</p>
<p>Menurut Burnett dan Merchant, kreator dengan kapasitas literasi kritis akan memperhatikan “<em>hidden assumptions</em>” (membongkar asumsi masyarakat), “<em>alternative representations</em>” (memastikan keterwakilan pihak yang terdampak), dan “<em>bias</em>” (meluruskan bias berpikir) dalam konten yang mereka produksi.</p>
<p>Hal tersebut kemudian harus bergandengan dengan etika produksi – yaitu perhatian pada pertanyaan seperti “Siapa saja yang terdampak dari produksi ini?” atau “Kepentingan siapa yang saya perjuangkan melalui konten ini?”</p>
<p>Dengan memenuhi beberapa pegangan di atas, kreator menjadi berpihak pada kemanusiaan dan kepentingan masyarakat.</p>
<h2>Memanusiakan manusia</h2>
<p>Kemudian, kreator harus mampu memanusiakan setiap pihak yang terlibat dalam kontennya. Mereka bisa melakukan ini, misalnya, dengan lebih berani menggali berbagai fakta “abu-abu” yang selama ini tidak pernah terungkap.</p>
<p>Salah satu kreator yang menurut kami baik dalam menerapkan ini adalah Daniel Mananta lewat kanalnya “<a href="https://www.youtube.com/channel/UC0zTYTRQe77tnOIS03HaNeg">Daniel Tetangga Kamu</a>”. Ada juga YouTuber <a href="https://www.youtube.com/c/BarryKusuma/featured">Barry Kusuma</a> dalam kontennya tentang Natuna.</p>
<p>Dalam kanal Daniel, misalnya, ini terlihat saat ia mewawancarai aktris <a href="https://www.youtube.com/watch?v=rSa2BMiXy6s">Dian Sastrowardoyo</a>.</p>
<p>Saat kreator lain memilih membahas topik populer seperti pengalaman romansa atau film-film Dian, Daniel menguak lebih dalam lagi tentang aspek personal dari kehidupan Dian.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/rSa2BMiXy6s?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Daniel membongkar beberapa anggapan dari masyarakat terkait capaian hidup aktris tersebut. Dian, misalnya, saat kecil ditinggal ibunya ke luar negeri tak lama setelah ayahnya meninggal, dan mengungkap adanya “<em><a href="https://doi.apa.org/doiLanding?doi=10.1037%2F0033-2909.117.3.497">abandonment issue</a></em>” (trauma ditinggalkan). Daniel juga berhasil membuat Dian bercerita tentang masa lalunya saat ia dan ibunya dipandang sebelah mata oleh orang-orang terdekat mereka.</p>
<p>Meski demikian, Dian terus berjuang dan bahkan kini punya <a href="https://www.instagram.com/yayasandian/?hl=en">yayasan</a> yang memberi beasiswa pada perempuan muda.</p>
<p>Di sini, kami berpendapat Daniel berhasil mengajak pemirsanya untuk berempati pada Dian sebagai seorang manusia dan bukan hanya sebagai objek. </p>
<p><a href="https://www.koreascience.or.kr/article/JAKO201708733753859.pdf">Studi tahun 2014</a> dari Korea Selatan juga mengungkap bahwa empati adalah salah satu emosi utama yang membuat penonton sangat tertarik dengan video di platform Youtube.</p>
<h2>Membela kepentingan masyarakat</h2>
<p>Aspek lain dari kewarganegaraan digital yang juga penting adalah kreator harus bisa menjadi pendukung atau pembela kepentingan masyarakat.</p>
<p><a href="https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9781351006385-4/video-activism-social-web-chris-tedjasukmana-jens-eder">Kajian tahun 2020 dari Jerman</a> menyimpulkan bagaimana video adalah format yang baik untuk aktivisme dan edukasi masyarakat karena penyebarannya cepat dan mudah diakses.</p>
<p>Kita miris mendengar dalam kasus Ferdian Paleka sebelumnya, misalnya, bagaimana <a href="https://tirto.id/prank-ferdian-paleka-ke-transpuan-melecehkan-ham-diburu-polisi-fjCK">kelompok marjinal</a> banyak yang diperlakukan tidak manusiawi di Indonesia. Di tengah pandemi COVID-19, ada juga beberapa kelompok masyarakat yang mengabaikan protokol kesehatan dan tidak bersedia melakukan vaksinasi sehingga <a href="https://seleb.tempo.co/read/1342716/geram-ucapan-indira-kalistha-dokter-tirta-kritis-dan-egois-beda">mengancam kesehatan warga</a> yang lain.</p>
<p>Beragam masalah ini menunjukkan urgensi pentingnya memperjuangkan kepentingan masyarakat lewat konten digital.</p>
<p>Saat ini, sudah ada beberapa kanal YouTube yang mulai memperhatikan ini dalam karya-karyanya.</p>
<p>Sosok-sosok di balik kanal <a href="https://www.youtube.com/c/MenjadiManusia/videos?view=0&sort=p&flow=grid">Menjadi Manusia</a>, misalnya, banyak mengeluarkan video yang mengangkat pengalaman dan tantangan kelompok transpuan, orang dengan gangguan kesehatan mental, dan pemeluk agama minoritas selama hidup di Indonesia.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/SErzkpN1DZE?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Di sela-sela berbagai vlognya, <a href="https://www.youtube.com/c/kittendust/videos?view=0&sort=p&flow=grid">YouTuber Fathia Izzati</a> juga mengangkat bahasan mengenai isu kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia, rasisme yang dialami orang Indonesia Timur, dan korban kekerasan aparat kepolisian bersama berbagai narasumbernya.</p>
<p>Tak harus menunggu YouTuber ternama melakukannya, para kreator pemula juga bisa mulai mengambil tindakan melalui konten yang mereka buat. Kerja kemanusiaan dapat bergandengan dengan upaya meraih perhatian penonton.</p>
<h2>Menanti lebih banyak kreator yang berpihak pada kemanusiaan</h2>
<p>Di panggung internasional, para kreator Youtube dari seluruh dunia berkumpul dalam ajang <a href="https://jakartaglobe.id/culture/cameo-project-represents-indonesia-youtube-creators-summit">YouTube Creators Summit</a>, salah satunya untuk mempromosikan kesadaran terkait isu global, toleransi, dan empati melalui kreasi video.</p>
<p>Pada tahun 2018, kanal <a href="https://www.youtube.com/watch?v=wj6hqdCv408">Cameo Project</a> menjadi wakil Indonesia dalam ajang tersebut. Mereka sebelumnya berkolaborasi dan melatih 2.000 anak Sekolah Menengah Atas (SMA) di Indonesia untuk menciptakan video-video perubahan sosial, di antaranya tentang toleransi agama, serta literasi digital untuk melawan hoaks.</p>
<p>Ke depannya, terbuka lebar peluang untuk memperbanyak wakil Indonesia dalam kegiatan tersebut yang memiliki semangat kewarganegaraan digital.</p>
<p><a href="https://ila.onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1002/jaal.1103">Kajian yang kami lakukan</a> awal tahun ini, misalnya, menemukan tren bahwa anak muda Indonesia mulai semakin antusias menggunakan media sosial untuk mempromosikan hak asasi manusia dan memberi dampak sosial yang membangun.</p>
<p>Dengan mengikuti praktik baik kewarganegaraan digital dalam berkarya, akan bertambah anak muda yang bergabung dengan para kreator ini untuk menunjukkan pada dunia keberpihakan mereka pada kemanusiaan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/163009/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Pada tahun 2018 dan 2019, Puji Astuti menerima dana dari DRPM skema penelitian dasar unggulan perguruan tinggi (PDUPT) untuk penelitian tentang pembelajaran kooperatif. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Jayne C. Lammers menerima dana dari Fulbright/AMINEF. </span></em></p>Semakin banyak orang kini menjadi kreator konten. Namun, banyak konten yang diunggah justru kontroversial dan memicu polemik sosial. Konsep “kewarganegaraan digital” dalam berkarya bisa jadi solusi.Puji Astuti, Associate Professor of TEFL Methodology, Universitas Negeri SemarangJayne C. Lammers, Associate Professor of Education, University of RochesterLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1535512021-02-24T04:14:20Z2021-02-24T04:14:20ZBagaimana pandemi COVID-19 bisa membatasi proses belajar bahasa anak-anak<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/385807/original/file-20210223-18-1gqp8b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/6jYoil2GhVk">(Unsplash/Aaron Burden)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Pandemi COVID-19 membatasi mobilitas fisik manusia. Walaupun ini baik untuk meredam persebaran virus, pembatasan ini bisa berdampak pada proses pembelajaran bahasa pada bayi dan anak-anak. </p>
<p>Berbagai studi dan pendapat ahli, misalnya dari profesor ilmu bahasa di Amerika Serikat, Patricia Kuhl (2017), menunjukkan bahwa interaksi sosial <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1002/9781118829516.ch27">menunjang proses anak belajar bahasa</a>. Interaksi yang lebih intensif dengan lingkungan beragam akan membuat pemerolehan kosakata menjadi lebih cepat.</p>
<p>Namun ketika interaksi sosial anak-anak menjadi terbatas selama pandemi maka mereka tidak lagi mendapatkan referensi berbahasa yang bervariasi. </p>
<p>Hal tersebut tentunya akan berdampak pada kemampuan anak-anak dalam memperoleh kosakata baru. Temuan penelitian dari <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6559061/">India</a> dan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/17549507.2017.1355411">Kanada</a> mengungkap bahwa stimulasi pada masa emas pertumbuhan bayi atau anak, yakni tiga tahun pertama, sangat penting dalam menjamin lancarnya proses pemerolehan bahasa anak-anak di kemudian hari.</p>
<h2>Ketika interaksi berkurang, apa dampaknya pada kemampuan bahasa anak?</h2>
<p>Psikolog dari Amerika Serikat, B.F Skinner melalui <a href="https://revistas.ucm.es/index.php/SJOP/article/view/SJOP0404220161A">teori perilakunya</a> mengemukakan bahwa bahasa diperoleh melalui interaksi dengan sumber bahasa di sekitar anak.</p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/382443/original/file-20210204-14-f9bolm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/382443/original/file-20210204-14-f9bolm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/382443/original/file-20210204-14-f9bolm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=658&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/382443/original/file-20210204-14-f9bolm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=658&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/382443/original/file-20210204-14-f9bolm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=658&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/382443/original/file-20210204-14-f9bolm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=827&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/382443/original/file-20210204-14-f9bolm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=827&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/382443/original/file-20210204-14-f9bolm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=827&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">B.F. Skinner, psikolog Harvard University di AS yang mengusung teori behaviorisme dalam pemerolehan bahasa anak.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://commons.wikimedia.org/wiki/File:B.F._Skinner_at_Harvard_circa_1950.jpg">(Wikimedia Commons)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Artinya, <a href="http://psychology.iresearchnet.com/developmental-psychology/language-development/language-acquisition-device/">potensi alamiah yang ada dalam otak</a> bayi dan anak hanya akan berkembang lebih baik dan lebih cepat apabila mendapat stimulasi lingkungan melalui interaksi sosial. </p>
<p>Dari teori tersebut, kita bisa memahami bahwa terbatasnya interaksi bayi dengan orang di lingkungan sekitar akibat COVID-19 berpengaruh negatif terhadap proses pemerolehan bahasanya.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, akses anak terhadap guru berbahasa yang “alami” menjadi terbatas.</p>
<p>Selama pandemi, bayi dan anak hanya bisa belajar dari orang tua, saudara, dan sumber digital di internet. </p>
<p>Di luar ini, mereka kehilangan kesempatan untuk belajar dari sumber selain guru utama mereka, yakni orang tua. Sumber lain ini di antaranya adalah anggota keluarga besar, tetangga, bahkan orang-orang tidak dikenal yang bertemu tanpa sengaja.</p>
<p>Padahal, keberagaman sumber belajar ini - baik secara usia, gender, maupun latar belakang sosial dan budayanya - bermanfaat untuk pembelajaran bahasa anak dalam setidaknya tiga aspek.</p>
<p>Misalnya, secara fonologis (bunyi bahasa), anak memperoleh rujukan bunyi bahasa yang beragam untuk ditirukan. Secara kosakata, anak juga berpotensi mendapat kata yang lebih bervariasi karena keluarga dan <a href="https://theconversation.com/siapa-yang-sungguh-bertutur-dalam-bahasa-indonesia-86356">budaya yang berbeda</a> umumnya juga memiliki kosakata yang khas.</p>
<p>Sementara itu, secara semantik (makna bahasa) dan pragmatik (bahasa dalam praktik sehari-hari), anak juga dapat memahami aneka arti kata dalam berbagai konteks.</p>
<p>Misalnya, kata “bapak” memiliki makna yang luas. Jika di rumah kata itu hanya bermakna “ayah”, di masyarakat maknanya bisa atasan atau orang lain yang dihormati. </p>
<p>Dalam keluarga, sifat alamiah dari hubungan anak dan orang tua juga membuat komunikasi keduanya seringkali dibatasi kesantunan. Sementara di luar keluarga, kosakata yang diserap anak bisa lebih ekspresif dan kasual.</p>
<p>Ini terlihat saat memilih kata ganti orang kedua. Di rumah, pilihan kata sapaan relatif terbatas dalam hubungan keluarga, misalnya “ayah”, “bapak”, “ibu”, atau “mama”. Jika anak bergaul dengan beragam orang, sapaannya bisa bervariasi menjadi “kamu”, “kau”, “kalian”, bahkan serapan bahasa daerah dan asing seperti “sampeyan” atau “antum”.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/382450/original/file-20210204-24-1xge5f7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/382450/original/file-20210204-24-1xge5f7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/382450/original/file-20210204-24-1xge5f7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/382450/original/file-20210204-24-1xge5f7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/382450/original/file-20210204-24-1xge5f7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/382450/original/file-20210204-24-1xge5f7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/382450/original/file-20210204-24-1xge5f7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/382450/original/file-20210204-24-1xge5f7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Interaksi antara anak dengan berbagai orang yang beragam - dari tamu di rumah hingga pedagang di jalanan - membantu proses pemerolehan bahasa mereka.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/gSI4GfGx7rQ">(Unsplash/Nghĩa Nguyễn)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong>Kedua</strong>, kesempatan interaksi bahasa dengan anak usia sebaya menjadi berkurang.</p>
<p><a href="https://thejmch.com/index.php?journal=thejmch&page=article&op=view&path%5B%5D=99">Penelitian tahun 2018</a> dari Universitas Sebelas Maret, Jawa Tengah menunjukkan lingkungan sosial yang baik membuat anak-anak lebih cepat mengembangkan kemampuan berbahasanya.</p>
<p>Salah satu aspek penting dari hal ini adalah adanya teman sebaya sebagai mitra belajar anak. Berhubungan dengan teman sebaya berkontribusi memicu kemampuan berbahasa anak karena mereka memiliki kesamaan. </p>
<p><a href="https://www.jstor.org/stable/29738647?seq=1">Riset terhadap anak-anak usia prasekolah</a> tahun 2009 di Amerika Serikat juga menunjukkan pertukaran verbal yang baik dengan teman sebaya akan menstimulasi anak di sekitarnya untuk lebih aktif berbicara dan mendengarkan. </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, tidak semua orang tua memiliki wawasan dan daya kreativitas yang tinggi untuk memfasilitasi stimulasi bahasa yang kaya untuk anak di rumah, terutama selama pandemi COVID-19 ini.</p>
<p><a href="https://www.researchgate.net/publication/343967020_Analisis_Kendala_Orang_Tua_dalam_Mendampingi_Anak_Belajar_di_Rumah_Pada_Masa_Pandemi_Covid-19">Penelitian</a> dari Universitas Negeri Yogyakarta menunjukkan bahwa orang tua kerap mengalami kendala dalam mendampingi anaknya belajar di rumah pada masa COVID-19. </p>
<p>Misalnya, tidak setiap orang tua tahu cara memberi stimulasi yang tepat kepada anak. Mereka juga kesulitan menumbuhkan minat belajar anak dan kerap tidak sabar dalam mendampingi anak-anak. </p>
<p>Padahal, di tengah minimnya interaksi, pengkondisian suasana di rumah sangat penting untuk memenuhi kebutuhan anak dalam mempelajari bahasa.</p>
<h2>Apa yang bisa dilakukan orang tua?</h2>
<p>Dampak negatif pandemi COVID-19 menuntut peran orang tua untuk meningkatkan intensitas berkomunikasi dengan anak. </p>
<p>Perhatian serius dan kerja sama dari pemerhati perkembangan anak, akademisi, orang tua, pemerintah perlu diberikan untuk memenuhi hak anak mencapai perkembangan bahasa yang optimal. </p>
<p>Di saat ahli dan peneliti terus memperbarui wawasan tentang metode pemerolehan bahasa yang paling efektif untuk anak, maka orang tua dapat melakukan sejumlah tindakan sederhana dan praktis.</p>
<p>Orang tua bisa mengajak anak berbicara, menunjuk dan menamai benda-benda, serta membacakan dongeng setiap hari sebelum tidur. Untuk memperkenalkan keragaman bahasa di masyarakat, orang tua juga bisa bermain peran sembari mengenalkan tokoh-tokoh dengan berbagai latar belakang yang berbeda.</p>
<p>Orang tua bisa menggunakan alat bantu seperti rekaman dialog dan lagu secara selektif untuk mengganti interaksi anak-anak dengan lingkungannya. Tapi, film dan video Youtube sebaiknya dihindari untuk <a href="https://theconversation.com/digital-babysitting-balita-terlalu-lama-nonton-layar-ponsel-bahayakan-kesehatan-mereka-140711">menghindari stimulasi yang berlebihan</a> dan mencegah anak kecanduan gawai.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/153551/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Surahmat menerima dana dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Skema Hibah Penelitian Dosen Pemula.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Siti Aminah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Anak mempelajari bahasa melalui interaksi dengan berbagai orang yang berbeda. Namun, pembatasan sosial akibat pandemi COVID-19 berpotensi menghambat proses pemerolehan bahasa tersebut.Surahmat, Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Peneliti di Pusat Kajian Budaya Pesisir, Universitas Negeri SemarangSiti Aminah, M.Pd, Universitas Negeri YogyakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1551362021-02-15T09:06:48Z2021-02-15T09:06:48ZRiset: dalam dunia akademik, perempuan Indonesia menanggung beban terbesar selama pandemi<p>COVID-19 telah membawa <a href="https://www.nature.com/articles/d41586-020-01518-y">krisis</a> yang tak pernah terjadi sebelumnya ke universitas di seluruh dunia. Tapi akademisi perempuan di Indonesia menghadapi tantangan tambahan.</p>
<p>Di Indonesia, perempuan <a href="http://www.journal.fdi.or.id/index.php/jaspt/article/view/366/238">tidak memegang jabatan-jabatan eksekutif tertinggi</a> di universitas. Ini berakibat pada pembuatan kebijakan universitas yang bias gender.</p>
<p>Di berbagai belahan dunia, studi-studi awal <a href="https://theconversation.com/how-women-in-academia-are-feeling-the-brunt-of-covid-19-144087">mengkonfirmasi</a> bahwa pandemi COVID-19 telah membuat akademisi perempuan menanggung beban mengajar lebih berat. Akibatnya, mereka hanya memiliki waktu sedikit untuk melakukan riset dan menerbitkan publikasi dibanding akademisi laki-laki. </p>
<p>Di seluruh dunia, jumlah artikel jurnal yang dipublikasikan oleh akademisi perempuan <a href="https://www.insidehighered.com/news/2020/04/21/early-journal-submission-data-suggest-covid-19-tanking-womens-research-productivity">menurun</a> secara signifikan selama pandemi.</p>
<p>Kita harus berhati-hati dalam memahami ketimpangan gender yang sudah sangat mengakar di pendidikan tinggi dan di luar itu. Kami melakukan studi eksploratori pada 27 akademisi perempuan Indonesia yang bekerja pada bidang humaniora dan ilmu sosial.</p>
<p>Informan kami berasal dari berbagai wilayah dan perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Keberagaman ini memungkinkan kami untuk memahami bagaimana ketimpangan ini dialami dan dipraktikkan di ranah publik dan domestik.</p>
<p>Kami menemukan bahwa akademisi perempuan Indonesia harus menanggung beban dan tanggung jawab tambahan karena bekerja dari rumah dan juga semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh universitas.</p>
<h2>Kesulitan di rumah</h2>
<p>Pandemi ini telah memaksa para akademisi untuk mengubah cara mengajar mereka dari tatap muka menjadi daring.</p>
<p>Perubahan yang cepat ini berarti para akademisi harus meluangkan waktu berjam-jam untuk merancang ulang perkuliahan, memeriksa tugas-tugas mahasiwa, serta memastikan alat-alat penunjang pekerjaan (seperti jaringan internet dan perlengkapan mengajar daring lainnya) tersedia dengan baik.</p>
<p>Seperti halnya para pekerja perempuan dan penyedia jasa perawatan dan pengasuhan yang tidak memiliki pekerjaan yang stabil, akademisi perempuan Indonesia harus menanggung beban ganda pekerjaan berbayar dan tidak berbayar.</p>
<p>Pergeseran ke kegiatan belajar daring untuk mahasiswa mereka dan anak-anak mereka sendiri ini menambah beban kerja domestik dan pengasuhan yang seringkali <a href="https://www.thejakartapost.com/paper/2020/11/19/covid-19-deepens-gender-inequality-sri-mulyani.html">tidak dibagi secara adil</a> kepada pasangan.</p>
<p>Sayangnya, masyarakat dan universitas di Indonesia acapkali melihat <a href="https://melbourneasiareview.edu.au/covid-19-women-and-digitised-food-networks-in-jakarta-inequality-and-resilience/">ketimpangan ini sebagai sesuatu yang normal</a>.</p>
<p>Pada banyak kasus, tanggung jawab yang berlipat ini terasa sangat berat sehingga informan kami harus mempekerjakan pekerja rumah tangga atau pengasuh untuk membantu mereka.</p>
<p>Seorang dosen di Aceh yang sudah menikah dan memiliki dua orang anak mengatakan bahwa “Jika pekerjaan bisa saya selesaikan di rumah sambil menjaga anak, maka saya akan bekerja dari rumah; namun jika saya harus ke kampus, maka anak pertama (9 tahun) akan ikut bersama saya, dan anak kedua (1 tahun 6 bulan) akan saya titipkan ke pengasuh.”</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-jurnalis-perempuan-memperjuangkan-kesetaraan-gender-antara-jurnalisme-dan-advokasi-149901">Bagaimana jurnalis perempuan memperjuangkan kesetaraan gender: antara jurnalisme dan advokasi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kesulitan di tempat kerja</h2>
<p>Mengaburnya batas antara tempat kerja dan rumah selama pandemi ini menambah kompleksnya perjuangan akademisi perempuan untuk menyeimbangkan antara pekerjaan dan tanggung jawab pengasuhan dan pekerjaan rumah tangga.</p>
<p>Tekanan ini semakin semakin berat ketika universitas harus mengikuti perkembangan perubahan kebijakan nasional dalam bidang pendidikan tinggi pada masa pandemi yang makin memburuk.</p>
<p>Kebijakan <a href="http://dikti.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2020/04/Buku-Panduan-Merdeka-Belajar-Kampus-Merdeka-2020.pdf">Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM)</a> mengharuskan universitas untuk <a href="http://dikti.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2020/10/BUKU-PANDUAN-PENYUSUNAN-KURIKULUM-PENDIDIKAN-TINGGI-MBKM.pdf">mengubah kurikulum yang cukup besar</a>. Dan universitas harus bisa mengimplementasikan kebijakan ini paling lambat pada awal 2021.</p>
<p>Tambahan pekerjaan untuk merancang ulang kurikulum di tengah kondisi pandemi yang memburuk membuat akademisi perempuan makin tidak mungkin untuk menyelesaikan tugas-tugas pokok yang bisa menopang promosi karir mereka, seperti menulis publikasi.</p>
<p>Kebanyakan informan kami adalah lulusan dari universitas-universitas di negara maju. Sebagian besar dari mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan waktu menulis pada masa normal, apalagi pada masa pandemi.</p>
<p>Seorang dosen yang juga menjabat sekretaris program studi di sebuah universitas Islam negeri di Jawa Barat mengungkapkan bahwa dia tidak bisa menghasilkan publikasi selama pandemi. </p>
<p>Pekerjaan administratif yang melekat pada jabatan sebagai sekretaris program studi hampir tidak memungkinkan dia untuk memiliki waktu untuk menulis, “Saya hanya bisa menulis pada malam hari dengan sisa-sisa energi yang saya miliki,” ujarnya.</p>
<p>Kebanyakan dari informan kami memegang jabatan struktural tingkat menengah. Kondisi ini memunculkan tantangan lainnya.</p>
<p>Pada saat yang sama mereka harus menanggung beban tambahan di ranah domestik selama pandemi, mereka harus memastikan bahwa staf, terutama yang kurang beruntung, yang di bawah supervisi mereka sehat dan aman.</p>
<p>Misalnya saja, seorang ketua program studi di sebuah universitas negeri di Jakarta menganjurkan staf tenaga kependidikan di bawah supervisinya untuk bekerja dari rumah mengikuti pengaturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan oleh pemerintah provinsi. Pada saat itu, universitas tempatnya bekerja masih belum mengeluarkan kebijakan kerja dari rumah.</p>
<p>Terlebih lagi, kebijakan-kebijakan yang diinisiasi akademisi perempuan di tingkat menengah ini seringkali tidak diarusutamakan di level universitas.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/semua-partai-telah-memenuhi-kuota-caleg-perempuan-tapi-mengapa-jumlah-perempuan-di-parlemen-tetap-sedikit-147292">Semua partai telah memenuhi kuota caleg perempuan, tapi mengapa jumlah perempuan di parlemen tetap sedikit?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Memastikan keselamatan pada masa dan pasca pandemi</h2>
<p>Pandemi ini telah mengungkapkan permasalahan yang lebih besar dan mendalam terkait pengaturan pekerjaan yang kaku dan mengeksploitasi perempuan serta orang-orang yang bekerja di sektor pengasuhan dan perawatan melalui penumpukan pekerjaan yang tidak proporsional dan pekerjaan yang tidak berbayar.</p>
<p>Ironisnya, kami menemukan hal ini terjadi di universitas dan kalangan akademisi – komunitas yang harusnya lebih progresif dan merupakan sumber perubahan sosial.</p>
<p>Penelitian kami menunjukkan bahwa diskursus kesamaan gender, khususnya yang terkait dengan promosi perempuan di jabatan tinggi strategis di universitas, ternyata tidak cukup untuk mengatasi kesenjangan sistemik yang dialami oleh akademisi perempuan.</p>
<p>Ketimpangan gender seringkali dianggap sebagai masalah yang sudah selesai, jika ditilik dari penampakan statistik tentang perbandingan <a href="https://pddikti.kemdikbud.go.id">jumlah dosen</a> laki-laki dan perempuan, dan juga <a href="https://pddikti.kemdikbud.go.id/mahasiswa">jumlah mahasiswa</a> laki-laki dan perempuan.</p>
<p>Namun dimensi gender dalam profesi akademisi menunjukkan betapa dalamnya kesenjangan struktural yang terjadi.</p>
<p>Universitas harusnya menjadi tempat yang bisa memberdayakan perempuan melalui perkembangan kriti-kritik feminis dan pasca kolonial. Namun ternyata, universitas-universitas juga menjadi tempat eksploitasi berbasis gender direproduksi.</p>
<p>Untuk memastikan agar kita bisa selamat dalam melawan pandemi dan bisa kembali produktif setelahnya, para pemimpin, termasuk di universitas, harus siap menghadapi tantangan untuk menelurkan kebijakan-kebijakan yang dapat menjamin distribusi sumber daya yang berkeadilan. </p>
<p>Hal ini harus dilakukan dengan mengakui kerja tidak berbayar yang dilakukan oleh pekerja perempuan.</p>
<p>Kesetaraan gender hanya akan bermakna bila perempuan dan penyedia jasa pengasuhan dan perawatan bisa terlibat dalam pengambilan keputusan di institusi mereka untuk memastikan kebijakan yang melindungi kelompok yang paling rentan.</p>
<p><a href="https://scopeblog.stanford.edu/2020/05/12/women-leaders-shine-during-covid-19-pandemic/">Perempuan kepala negara</a> di berbagai negara memang muncul menjadi panutan dalam penanganan pandemi. Namun kami yakin bahwa mendorong akademisi perempuan menjadi pucuk pimpinan hanya karena faktor gender mereka hanyalah sebuah solusi teknis untuk permasalahan yang sebenarnya bersifat struktural ini.</p>
<p>Universitas memerlukan pemimpin menghasilkan yang kebijakan berbelas kasih: belas kasih kolektif dan organisasi dihargai seiring dengan cita-cita produktivitas dan keunggulan.</p>
<p>Mereka adalah pemimpin yang memahami konteks dan tahu kebijakan redistribusi yang mana yang harus diterapkan sehingga sistem tidak mengistimewakan golongan tertentu dan menindas golongan lainnya.</p>
<hr>
<p><em>Para penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan mendalam kepada para informan penelitian yang terlibat karena secara solider telah berani menyuarakan tentang pengalaman keseharian dan kesenjangan sistemik lebih besar yang telah terjadi.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/155136/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Akademisi perempuan Indonesia harus menanggung beban dan tanggung jawab tambahan karena bekerja dari rumah dan juga semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh universitas.Inaya Rakhmani, Assistant Professor at the Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Indonesia, Universitas IndonesiaEvi Eliyanah, Lecturer, Universitas Negeri MalangZulfa Sakhiyya, Assistant Professor at the Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1544872021-02-15T07:38:56Z2021-02-15T07:38:56ZResearch: Indonesian female academics bear the brunt of the pandemic<p>COVID-19 has brought an unprecedented <a href="https://www.nature.com/articles/d41586-020-01518-y">crisis to universities</a> around the world. But female academics in Indonesian universities are facing additional constraints. </p>
<p>Women <a href="http://www.journal.fdi.or.id/index.php/jaspt/article/view/366/238">do not hold</a> the highest-level executive positions in Indonesian universities. This results in gender biases in university policy-making.</p>
<p>Across the world, earlier research <a href="https://theconversation.com/how-women-in-academia-are-feeling-the-brunt-of-covid-19-144087">confirms</a> the COVID-19 pandemic has led to women academics carrying heavy teaching burdens. This has left them with relatively little time for research and publication compared to their male colleagues.</p>
<p>Globally, the number of journal articles published by female academics <a href="https://www.insidehighered.com/news/2020/04/21/early-journal-submission-data-suggest-covid-19-tanking-womens-research-productivity">declined</a> during the pandemic. </p>
<p>Understanding the deeply gendered inequalities in universities and beyond must be approached with care. We carried out exploratory research on 27 Indonesian female academics working in the humanities and social sciences.</p>
<p>Our participants come from various geographical locations and private and public universities. This diversity allowed us to understand how gendered inequalities are experienced and practised in public and domestic settings. </p>
<p>We found that while Indonesian female academics carry added burdens and responsibilities of working from home, universities’ policies also sideline them.</p>
<h2>Difficulties at home</h2>
<p>The pandemic has forced all academics to shift their face-to-face teaching mode to online learning. </p>
<p>The sudden shift has meant many extra hours of work redesigning courses, checking assessment and procuring tools (such as internet connection and online teaching equipment).</p>
<p>Like many other working women and caregivers without secure employment, Indonesian female academics bear the double burden of paid work and unpaid care work.</p>
<p>The shift to online schooling for their students and their own children has added to their <a href="https://www.thejakartapost.com/paper/2020/11/19/covid-19-deepens-gender-inequality-sri-mulyani.html">unequally shared domestic</a> and caring responsibilities. </p>
<p>Unfortunately, Indonesian society and universities have <a href="https://melbourneasiareview.edu.au/covid-19-women-and-digitised-food-networks-in-jakarta-inequality-and-resilience/">deemed this inequality “normal”</a>.</p>
<p>In most cases, the responsibilities have become so overburdening that our informants had to resort to hiring help. </p>
<p>An assistant professor in Aceh, who is married with two children, said if she could finish working from home while tending to her children, she would rather work from home. “But if I have to go to campus, I take my nine-year-old with me and my second child, 1.5 years old, will be with the nanny,” she said.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/indonesian-scientists-still-struggle-to-include-gender-and-minority-perspectives-in-research-145384">Indonesian scientists still struggle to include gender and minority perspectives in research</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Difficulties at work</h2>
<p>The blurring boundaries between work and home during the pandemic add to the struggle to balance work and caring responsibilities.</p>
<p>The pressure keeps mounting as universities try to keep up with the changing national policies in higher education during the pandemic. </p>
<p>The Indonesian government’s Autonomous Learning <em>(<a href="http://dikti.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2020/04/Buku-Panduan-Merdeka-Belajar-Kampus-Merdeka-2020.pdf">Merdeka Belajar-Kampus Merdeka</a>)</em> policy requires universities to carry out <a href="http://dikti.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2020/10/BUKU-PANDUAN-PENYUSUNAN-KURIKULUM-PENDIDIKAN-TINGGI-MBKM.pdf">major curriculum adjustments</a>. They have to implement them by early 2021 at the latest. </p>
<p>Extra work for redesigning the curriculum amid the worsening pandemic has hindered female academics from completing the prerequisites for promotion, including writing for publications. </p>
<p>Most of our informants graduated from universities in developed countries. Most of them have found it difficult to write after their return to campus in a normal situation, let alone during the pandemic. </p>
<p>An assistant professor and study program secretary at an Islamic state university in West Java said she has not been able to write during the pandemic. Her secretarial position and work have been hindering her. “I can only write at home during the night with whatever energy I have left,” she said. </p>
<p>Our informants mostly hold middle-management positions at their universities. This creates another, different load. </p>
<p>While shouldering domestic work during the pandemic, they also have to care for the underprivileged staff under their supervision. </p>
<p>For example, a study program head in a public university in Jakarta told her administrative staff to work from home in response to the provincial government’s large-scale social restrictions. Yet the university had not issued any working-from-home policies.</p>
<p>Furthermore, the policies created by female academics in mid-level positions are never really mainstreamed throughout the university structure. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/how-indonesian-female-journalists-take-part-in-gender-activism-the-line-between-journalism-and-advocacy-148535">How Indonesian female journalists take part in gender activism: the line between journalism and advocacy</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Surviving the pandemic</h2>
<p>The pandemic brings to the surface matters that extend to larger and deeper issues of increasingly flexible work arrangements that exploit women and those in the care sector through overburdening and unpaid labour.</p>
<p>Ironically, we found this happens in universities and academia –- communities thought to be progressive and a source of social change. </p>
<p>Our research shows discourses of gender inequity, particularly pertaining to promotion of women’s leadership at universities, are not enough to overcome the systemic inequality that female academics experience. </p>
<p>Gender inequity is often considered to be an issue that has been solved, based on a superficial look at statistics on <a href="https://pddikti.kemdikbud.go.id">university lecturers</a> or university <a href="https://pddikti.kemdikbud.go.id/mahasiswa">enrolments by gender</a>. </p>
<p>But the gendered nature of academic labour demonstrates how entrenched structural inequalities are. </p>
<p>The university promised to be the place that empowers women through the development of feminist and post-colonial critiques. Yet, at the same time, it has become the place that reproduces gendered exploitation. </p>
<p>To survive the pandemic and bounce back, leaders, including in universities, must rise to the challenge of producing policies that guarantee equal resource distribution. </p>
<p>This must be done by acknowledging unpaid labour by female workers. </p>
<p>So-called gender equality is only meaningful if women and caregivers can produce and mainstream policies in their institutions to ensure the structure protects the most vulnerable. </p>
<p>While <a href="https://scopeblog.stanford.edu/2020/05/12/women-leaders-shine-during-covid-19-pandemic/">women state leaders</a> have emerged as role models in containing the pandemic, we believe advocating for female academics to be top leaders due to their gender is a mere technical solution to a structural problem. </p>
<p>Universities need leaders who practise caring policies, where collective, organisational compassion is valued alongside productivity and excellence. </p>
<p>They are leaders who understand context and know which kind of redistributive policies must be streamlined so the system does not privilege a few at the expense of many.</p>
<hr>
<p><em>The authors would like to express deep gratitude and appreciation to all participants in the research for standing in solidarity and being part of voicing everyday experiences and larger systemic inequalities.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/154487/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Tidak ada yang perlu diungkapkan.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Evi Eliyanah dan Inaya Rakhmani tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>While having to carry the added burdens and responsibilities of working from home, Indonesian female academics are also sidelined by policies in universities.Inaya Rakhmani, Assistant Professor at the Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Indonesia, Universitas IndonesiaEvi Eliyanah, Lecturer, Universitas Negeri MalangZulfa Sakhiyya, Assistant Professor at the Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1511032020-12-14T04:52:46Z2020-12-14T04:52:46ZBahasa jenaka dalam protes mahasiswa
tunjukkan pergeseran persepsi politik anak muda<p>“<em>Indonesia Darurat Sampai K-Poper Ikut Demo</em>”, </p>
<p>“<em>Daripada Sahkan UU Ciptaker Mending Sahkan Hubunganku dengan Dia</em>” </p>
<p>“<em>Ava Korea Juga Mahasiswa, Indonesia Nomor Satu Oppa Nomor Dua</em>” </p>
<p>Ungkapan-ungkapan di atas merupakan bahasa protes yang digunakan oleh mahasiswa dalam demonstrasi menentang pengesahan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja yang terjadi <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-54611952">di puluhan kota di Indonesia pada 20 Oktober 2020 lalu</a>. </p>
<p>Selain menggunakan ungkapan langsung yang tegas untuk menyampaikan aspirasi, demonstran juga menggunakan bahasa protes yang cenderung santai bahkan jenaka tersebut. </p>
<p>Penggunaan bahasa protes yang riang dan jenaka <a href="https://wolipop.detik.com/entertainment-news/d-5206999/7-poster-lucu-mahasiswa-k-popers-saat-ikut-demo-omnibus-law-bikin-senyum">bahkan cenderung menjadi tren.</a></p>
<p>Ungkapan protes yang jenaka ini mirip dengan demonstrasi <a href="https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-49837790">menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi</a> pada 2019. </p>
<p>Jika dibandingkan dengan demonstrasi besar mahasiswa sebelumnya pada 1998, bahasa protes saat ini menunjukkan adanya pergeseran persepsi politik di kalangan anak muda. </p>
<p>Lebih dari 20 tahun yang lalu, politik dan demontrasi dipersepsi sebagai hal serius, keras, dan bahkan berbahaya. Namun anak-anak muda era sekarang tampaknya mempersepsi politik dan demontrasi juga bisa riang, seru, dan menyenangkan.</p>
<h2>Bahasa protes yang berubah</h2>
<p>Dari sudut pandang sosiolinguistik, penggunaan bahasa protes demikian menggambarkan hubungan bahasa dengan demografi penuturnya yaitu anak muda. </p>
<p>Adapun kemunculannya dapat diidentifikasi melalui dua faktor utama. </p>
<p>Pertama, perubahan etos milenial. Kedua, pengaruh media sosial.</p>
<p><a href="https://indoprogress.com/2015/08/menikmati-identitas-mengidentifikasi-kenikmatan/">Sosiolog Monash University di Australia Ariel Heryanto</a> menunjukkan bagaimana anak muda saat ini suka sekali mengekspresikan diri mereka di ruang publik. Ariel melihat ini pada fenomena anak muda Muslim perkotaan Indonesia yang tidak hanya mengekspresikan kesalehan mereka dalam ruang sunyi dan sepi seperti para sufi, melainkan juga ditampilkan dalam pilihan busana, pilihan film, dan produk pop lainnya, termasuk menyuarakannya secara verbal dan visual di media sosial. </p>
<p>Sikap demikian sekaligus menggambarkan perubahan etos pada diri anak-anak muda masa sekarang. </p>
<p><a href="https://www.amazon.com/When-Millennials-Take-Over-Ridiculously/dp/1940858127">Menurut penulis buku <em>When Milenials Take Over</em> Jimmy Notter dan Madie Grant</a>, milenial saat ini memiliki empat etos khas yaitu digital, terbuka, fleksibel, dan cepat. </p>
<p>Dalam aksi demontrasi mahasiswa, empat etos itu tergambar dalam pola-pola gerakan, media kampanye yang dipilih, termasuk pilihan gaya bahasa.</p>
<p>Etos digital tergambarkan dalam pilihan media digital yang mereka gunakan untuk kampanye. Pamflet-pamflet politik tidak lagi berbentuk mural melainkan konten visual dan audiovisual di media sosial. </p>
<p>Etos terbuka tergambar dalam beragamnya isu yang mereka pilih. Meski ada isu-isu besar yang menjadi perhatian bersama, gerakan-gerakan sipil mahasiswa juga menyoroti aneka isu minoritas.</p>
<p>Etos fleksibel tergambar dalam kemampuan mereka menyatukan berbagai hal. Nilai-nilai yang tampaknya saling berseberangan bisa ditampilkan bersama. </p>
<p>Adapun etos cepat tergambar dalam kemampuan mereka merespons isu, berkoordinasi, dan melakukan aksi. Namun etos cepat ini juga tergambar dalam inkonsistensi mereka dalam mengawal isu karena cepat bosan.</p>
<p>Latar demografis dan psikologis di atas menjelaskan mengapa anak muda demonstran menggunakan ekspresi berbahasa yang <em>nyeleneh</em> dan cenderung jenaka. Pilihan bahasa mereka dipengaruhi oleh dua kekuatan. Kekuatan internal berupa etos dan nilai-nilai. Kekuatan eksternal berupa tuntutan lingkungan untuk didengar dan eksis. </p>
<p>Peran media sosial juga penting dalam mempengaruhi munculnya tren bahasa protes yang jenaka ini. </p>
<p>Media sosial telah <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwi83eqeuK7tAhVIXSsKHSQtDAkQFjAAegQIBRAC&url=https%3A%2F%2Fwww.iia.nl%2FSiteFiles%2FManaging%2520Risk%2520in%2520a%2520Social%2520Media-Driven%2520Society.pdf&usg=AOvVaw3UqDkC8UytnnMDWP5R2PbN">terbukti </a> dapat mengendalikan dan mempengaruhi perilaku penggunanya. </p>
<p>Media sosial memiliki kekuatan mendorong penggunanya untuk memilih tindakan yang sesuai dengan hukum-hukum di media sosial. Tindakan yang secara atraktif dan diterima di media sosial cenderung dipilih untuk dilakukan penggunanya. </p>
<p>Lahirnya bahasa protes yang jenaka dan <em>nyeleneh</em> itu menunjukkan usaha para demonstran untuk menyesuaikan diri dengan hukum-hukum media sosial tersebut. Agar pesan-pesan politiknya menarik dan menjadi perhatian masyarakat maka mereka mengemasnya dengan gaya yang berpotensi viral. </p>
<p>Mereka menyadari pesan-pesan politik yang normatif dan datar akan diabaikan oleh masyarakat dan subjek politik yang mereka protes. Sebaliknya, pesan-pesan politik yang unik akan tersebar dan berpeluang mendapat perhatian.</p>
<p>Kecenderungan menggunakan bahasa secara unik menggambarkan dua hal sekaligus. Di satu sisi itu merupakan strategi untuk mengamplifikasi pesan politik agar tujuan politik dapat tercapai. Namun di sisi lain, penggunaan bahasa demikian juga menunjukkan narsisme dan keinginan para demonstran menjadi pusat perhatian. </p>
<p>Memadukan tujuan politik dan keinginan eksis di media sosial adalah sifat anak muda yang lazim pascareformasi, bukan hanya dalam dunia politik. Di tangan anak-anak muda, bidang apa pun bisa dikemas dalam bentuk budaya populer.</p>
<h2>Candaan sebagai cara berpolitik</h2>
<p>Namun demikian, ada kemungkinan pilihan berbahasa mereka juga menggambarkan munculnya ideologi baru. Bahasa jenaka sengaja dipilih oleh anak muda untuk menggambarkan kejengahan mereka terhadap jalur protes dan advokasi yang ada.</p>
<p>Bahasa candaan yang berungkus humor memang memiliki kekuatan politis tertentu. </p>
<p><a href="https://www.researchgate.net/publication/314591395_Humor_and_Satire_Political">Profesor komunikasi Daleware University di Amerika Serikat Dannagal G. Young</a> menunjukkan bahwa sejak era Yunani dan Romawi para politikus dan elite dibuat kagum sekaligus takut dengan kekuatan humor sebagai alat politik.</p>
<p>Secara mikro, humor memiliki kekuatan khusus karena mampu meresap dalam ingatan para pendengarnya. Kekuatan ini berkaitan erat dengan diterimanya humor di hampir semua kalangan. </p>
<p>Orang lebih terbuka terhadap humor daripada jenis ungkapan lain, sekalipun humor tersebut secara politis tidak sejalan dengan ideologinya. Humor dapat menyampaikan kondisi paradoks dan ganjil dalam masyarakat tanpa menampilkan paradoks dan keganjilan itu sendiri.</p>
<p>Adapun secara makro, kekuatan politik humor terletak pada kemampuannya menyebar dan menggerakkan orang lain. Humor bisa tampak sangat remeh ketika diperdengarkan namun bisa memiliki kekuatan persuasif besar ketika pesan di baliknya dipahami pendengar.</p>
<p>Karena itulah, patut dibaca bahwa ungkapan jenaka memang alat baru berpolitik bagi anak-anak muda. Pilihan terhadap ungkapan jenaka menggambarkan persepsi politik mereka.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/151103/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Surahmat menerima dana dari pemerintah melalui skema penelitian dosen pemula.</span></em></p>Penggunaan bahasa protes yang riang dan jenaka menunjukkan pergeseran persepsi politik anak muda.Surahmat, Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Peneliti di Pusat Kajian Budaya Pesisir, Universitas Negeri SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1455502020-09-04T03:19:12Z2020-09-04T03:19:12ZMemadukan kelas ‘online’ dan ‘offline’ selama pandemi berhasil di Eropa. Mengapa di Indonesia tidak mudah?<p>Penutupan sekolah di Indonesia dan penerapan pembelajaran berbasis <em>online</em> akibat pandemi COVID-19 berdampak pada <a href="https://en.unesco.org/covid19/educationresponse">sekitar 68 juta siswa dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga pendidikan tinggi</a>.</p>
<p>Salah satu dari mereka yang terdampak adalah Hazel (16), seorang siswa Sekolah Menengah Atas.</p>
<p>“Kami mendapat lebih banyak pekerjaan rumah daripada materi pelajaran, jadi kami menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengerjakannya. Terkadang kami begadang hingga pukul 11 malam untuk mengejar tenggat waktu,” cerita Hazel kepada <em>The Conversation Indonesia</em>, baru-baru ini.</p>
<p>Memindahkan kelas secara <em>online</em> juga menimbulkan beban tambahan bagi guru karena mereka harus menggunakan teknologi dalam metode pembelajaran mereka, sebuah keterampilan yang tidak dimiliki banyak orang.</p>
<p>Tantangan lain dari pembelajaran <em>online</em> adalah akses internet dan kesiapan siswa-orangtua yang terbatas, serta kualitas guru yang buruk.</p>
<p>Ikatan Guru Indonesia (IGI) telah <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200609104407-20-511303/ikatan-guru-usul-siswa-masuk-sekolah-dua-kali-sepekan">mengusulkan penerapan</a> metode belajar campur atau <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s11528-019-00375-5#:%7E:text=As%20previously%20mentioned%2C%20Allen%20and,5"><em>blended learning</em></a> – metode pembelajaran yang memadukan pembelajaran <em>online</em> (jarak jauh) dan tatap muka (di kelas) – sebagai upaya untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang efektif di tengah pandemi.</p>
<p>Metode belajar campur ini berasal dari <a href="https://www.wiley.com/en-ax/The+Blended+Learning+Book%3A+Best+Practices%2C+Proven+Methodologies%2C+and+Lessons+Learned-p-97807879764530">praktik pendidikan berbasis teknologi pada tahun 1960-an dan 1970-an</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/355769/original/file-20200901-24-1nd7q0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/355769/original/file-20200901-24-1nd7q0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/355769/original/file-20200901-24-1nd7q0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/355769/original/file-20200901-24-1nd7q0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/355769/original/file-20200901-24-1nd7q0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/355769/original/file-20200901-24-1nd7q0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/355769/original/file-20200901-24-1nd7q0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sekolah yang berada di zona hijau dan kuning sudah dapat mempersiapkan pembelajaran tatap muka di kelas.</span>
<span class="attribution"><span class="source">ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sistem ini menawarkan kursus berbasis situs web, video yang disiarkan secara langsung, dan panggilan konferensi yang dapat digunakan untuk mendukung pendidikan dengan pendekatan tradisional.</p>
<p><a href="https://www.bbc.com/news/uk-scotland-52412171">Sejumlah negara di Eropa</a>, seperti Jerman, Norwegia, dan Denmark, sudah mulai mengadopsi metode pembelajaran campuran untuk membantu mengadakan kelas di tengah pandemi. Dengan melakukan kelas secara <em>online</em> dan <em>offline</em>, sekolah bisa berjalan dengan baik selama pandemi. </p>
<p>Metode belajar campur mungkin berhasil di Eropa, tapi pelaksanaannya di Indonesia masih sulit meski metode tersebut berpotensi untuk mereformasi sektor pendidikan di negara ini.</p>
<h2>Tantangan</h2>
<p><a href="https://www.bbc.com/news/uk-scotland-52412171">Negara-negara di Eropa melakukan pembelajaran campuran</a> dengan membatasi jumlah siswa dalam satu maksimal sebanyak 10-15 siswa dan mengadakan pembelajaran tatap muka dengan <em>online</em> secara bergantian.</p>
<p>Selama pembelajaran tatap muka di kelas, siswa berdiam di dalam kelompok-kelompok kecil. Waktu belajar di kelas juga dipersingkat untuk menghindari infeksi COVID-19.</p>
<p>Beberapa berpendapat bahwa penggunaan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200609104407-20-511303/ikatan-guru-usul-siswa-masuk-sekolah-dua-kali-sepekan">metode belajar campur selama pandemi dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan aman</a> karena materi sekolah yang disampaikan secara <em>online</em> dan <em>offline</em> akan mempersingkat waktu belajar.</p>
<p>Namun, penerapan metode ini di <a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2020/05/02/covid-19-disruption-and-the-widening-digital-divide.htm">Indonesia masih menghadapi banyak kendala</a> - terutama menyangkut pembelajaran <em>online</em>.</p>
<p>Sebuah penelitian <a href="https://link.springer.com/article/10.1186/s41239-017-0043-4">menyatakan</a> bahwa metode ini merupakan metode pembelajaran yang efektif jika siswa dan guru memiliki kemampuan dan pengalaman dalam menggunakan teknologi.</p>
<p><a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/05/18/disconnected-digital-divide-may-jeopardize-human-rights.html">Kesenjangan digital di Indonesia</a> membawa tantangan untuk metode pembelajaran ini, karena metode ini masih bergantung pada <a href="https://educationaltechnologyjournal.springeropen.com/articles/10.1186/s41239-017-0087-5">pembelajaran online</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/355772/original/file-20200901-16-iti99g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/355772/original/file-20200901-16-iti99g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/355772/original/file-20200901-16-iti99g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/355772/original/file-20200901-16-iti99g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/355772/original/file-20200901-16-iti99g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/355772/original/file-20200901-16-iti99g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/355772/original/file-20200901-16-iti99g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Selama beberapa bulan terakhir, siswa di seluruh negeri mengandalkan pembelajaran <em>online</em> (jarak jauh) untuk mendukung pendidikan mereka.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Jagrit Parajuli/Pixabay</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Lismah (52), seorang pengelola PAUD di Cirebon, sudah mencoba untuk menerapkan metode belajar campur selama pandemi ini. Ia mengalami kesulitan dalam menyelenggarakan kelas secara <em>online</em> karena banyak orang tua siswa yang memiliki sumber daya teknologi yang terbatas.</p>
<p>“Siswa diberi pekerjaan rumah,” kata Lismah. “Para guru mengingatkan orang tua tentang pekerjaan rumah ini melalui grup Whatsapp, tapi kami sadar beberapa orang tua tidak memiliki ponsel.”</p>
<p>Menerapkan metode belajar campur di Indonesia membawa beban tambahan bagi para guru karena mereka <a href="https://www.washingtonpost.com/outlook/2020/08/14/hybrid-learning-coronavirus-risk/">diharapkan dapat menguasai dua metode mengajar, yaitu secara jarak jauh dan tatap muka</a>.</p>
<p>“Kami diharapkan bisa bekerja dengan lebih keras. Kami harus mempersiapkan kegiatan pembelajaran baik secara <em>online</em> maupun <em>offline</em> di kelas. Kegiatan-kegiatan tersebut harus sinkron agar tidak saling tumpang tindih dalam mencapai tujuan pembelajaran,” kata Aris (39), seorang guru SMP dari Cirebon, kepada <em>The Conversation Indonesia</em>.</p>
<p>Edi Subkhan, seorang dosen teknologi pendidikan dan kurikulum di Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah, juga berpendapat bahwa sekolah dan guru harus terlebih dulu memiliki kapasitas tertentu untuk menerapkan metode pembelajaran ini.</p>
<p>“Ada guru-guru yang mampu menerapkan metode ini karena mereka memiliki keterampilan untuk mengoperasikan berbagai teknologi, tapi ada juga guru yang belum paham betul apa itu pembelajaran <em>online</em>, bahkan pembelajaran campuran,” ujarnya.</p>
<p>Kembali ke sekolah di tengah pandemi, bahkan dalam suasana dengan metode belajar campur, <a href="https://www.theguardian.com/education/2020/aug/28/how-parents-can-prepare-their-children-for-going-back-to-schoo">dapat terasa meresahkan</a>. Apalagi ketika murid sudah lama tidak melakukan pembelajaran tatap muka di kelas.</p>
<p>Zamzami Zainudin, seorang peneliti dari University of Hong Kong, menjelaskan tantangan untuk membiasakan siswa kembali dengan pembelajaran tatap muka.</p>
<p>“Banyak siswa yang menjadi terlalu nyaman dengan pembelajaran jarak jauh karena mereka lama tidak melakukan pembelajaran tatap muka. Jadi saat pembelajaran di dalam kelas dilanjutkan kembali, mereka perlu diingatkan kembali. Hal ini menjadi tantangan guru untuk memotivasi mereka kembali,” kata Zamzami.</p>
<p>Tantangan lain terkait <a href="https://www.cfr.org/backgrounder/how-countries-are-reopening-schools-during-pandemic">menjaga kesehatan dan keselamatan selama kegiatan pembelajaran di kelas</a>. Sekitar <a href="https://en.tempo.co/read/1375481/20-percent-indonesians-not-wearing-face-masks-health-ministry-says">20% orang Indonesia</a> masih tidak memakai masker saat bepergian ke luar.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/355774/original/file-20200901-20-wgmuhg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/355774/original/file-20200901-20-wgmuhg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/355774/original/file-20200901-20-wgmuhg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/355774/original/file-20200901-20-wgmuhg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/355774/original/file-20200901-20-wgmuhg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/355774/original/file-20200901-20-wgmuhg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/355774/original/file-20200901-20-wgmuhg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sekolah kosong tapi itu semua akan berubah ketika pembelajaran di kelas dilanjutkan kembali.</span>
<span class="attribution"><span class="source">PublicDomainPictures/Pixabay</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Indonesia memiliki tingkat kematian akibat COVID-19 yang tertinggi di Asia Tenggara dengan <a href="https://www.csis.org/programs/southeast-asia-program/southeast-asia-covid-19-tracker-0">7.417 kematian terhitung 31 Agustus</a>. Indonesia juga mencatat <a href="https://www.csis.org/programs/southeast-asia-program/southeast-asia-covid-19-tracker-0">jumlah infeksi COVID-19 tertinggi kedua di Asia Tenggara</a> dengan 174.796 kasus - di belakang Filipina yang memiliki 220.819 kasus.</p>
<h2>Peluang yang berkembang</h2>
<p>Meskipun metode belajar campur baru diterapkan oleh <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200813064216-20-535143/khofifah-uji-coba-buka-sekolah-jenjang-sma-smk-18-agustus">beberapa sekolah yang telah melaksanakan uji coba</a>, terdapat peluang untuk menerapkan metode ini sebagai bagian dari <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/08/12/covid-19-crisis-opportunity-for-education-reform-in-indonesia.html">reformasi pendidikan Indonesia </a> selama pandemi.</p>
<p>Aris berpendapat bahwa penerapan pembelajaran campuran pada masa pandemi dapat meningkatkan kemampuan guru untuk melaksanakan pembelajaran jarak jauh yang efektif, terutama terkait penggunaan teknologi.</p>
<p>“Suka atau tidak suka, guru dituntut untuk kreatif dalam menggunakan teknologi informasi. Kami harus memilih teknologi mana yang cocok dengan kegiatan pembelajaran, mempelajari cara menggunakannya, kemudian mengevaluasi bagaimana kami menggunakannya untuk melihat kesesuaiannya dalam kegiatan pembelajaran tersebut,” kata Aris.</p>
<p>Edi mendukung gagasan ini. Menurut dia, metode belajar campur dapat menjadi langkah awal menuju sistem pendidikan yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi.</p>
<p>Mengingat <a href="https://www.semanticscholar.org/paper/ICT-and-education-in-Indonesia-Yuhetty/4eff2e21decedea72b87a1c186dae9a01ac9ee39">keterbatasan infrastruktur, literasi digital, dan kesejahteraan ekonomi</a> di Indonesia, mengembangkan sistem pendidikan semacam ini harus dilakukan secara bertahap.</p>
<p>“Dengan fleksibilitas yang dimiliki metode ini dalam memadukan pembelajaran <em>online</em> dan tatap muka, kita dapat membangun sistem pendidikan yang tidak memaksakan sepenuhnya berbasis internet, karena kita juga mempertimbangkan konteks sosial, ekonomi dan geografis Indonesia,” ujarnya.</p>
<p>Zamzami menambahkan bahwa metode belajar campur juga akan membuka pintu bagi teknologi-teknologi yang sedang berkembang di sektor pendidikan Indonesia, seperti <em>augmented reality</em> dan komputasi.</p>
<p>“Banyak teknologi baru di bidang pendidikan yang masih terbatas di Indonesia. Pembelajaran campuran adalah bentuk teknologi paling sederhana yang bisa kita mulai terapkan,” kata Zamzami.</p>
<p><em>Ayesha Muna menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/145550/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Ketika pemerintah Indonesia berencana untuk membuka kembali sekolah, sebuah metode pembelajaran yang memadukan sistem belajar jarak jauh dan tatap muka ditawarkan.Ika Krismantari, Chief Editor/Content DirectorAyesha Nadya Muna, EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1433872020-09-04T03:16:36Z2020-09-04T03:16:36ZMixing online and offline classes in blended learning during COVID-19 pandemic: challenges and opportunities<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/355778/original/file-20200901-14-1x9ocaf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=5%2C5%2C3988%2C2646&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">A student in Salatiga, Central Java, gets a medical check up before entering her class. </span> <span class="attribution"><span class="source">ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/aww</span></span></figcaption></figure><p>School closures in Indonesia due to the COVID-19 pandemic and the shift to online learning have affected <a href="https://en.unesco.org/covid19/educationresponse">around 68 million students from pre-school to higher education levels</a>.</p>
<p>One of them is 16-year-old high school student Hazel. </p>
<p>“We get more homework than learning materials, so we spend more time working on them. Sometimes we stay up until 11pm to reach deadlines,” she told <em>The Conversation Indonesia</em> recently.</p>
<p>Moving class online also creates an additional burden for teachers as they have to incorporate technology in their learning method, a skill not many people possess.</p>
<p>Other challenges for online learning include lack of internet access, poor quality of teachers’ capacity and student-parent readiness.</p>
<p>The Indonesian Teachers Association has <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200609104407-20-511303/ikatan-guru-usul-siswa-masuk-sekolah-dua-kali-sepekan">proposed the use</a> of <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s11528-019-00375-5#:%7E:text=As%20previously%20mentioned%2C%20Allen%20and,5">blended learning</a> – a mix of online (distance) and face-to-face (in-class) delivery – as a way to create an effective learning environment amid the pandemic.</p>
<p>Blended learning stems from <a href="https://www.wiley.com/en-ax/The+Blended+Learning+Book%3A+Best+Practices%2C+Proven+Methodologies%2C+and+Lessons+Learned-p-97807879764530">technology-based education practices in the 1960s and 1970s</a>. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/355769/original/file-20200901-24-1nd7q0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/355769/original/file-20200901-24-1nd7q0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/355769/original/file-20200901-24-1nd7q0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/355769/original/file-20200901-24-1nd7q0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/355769/original/file-20200901-24-1nd7q0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/355769/original/file-20200901-24-1nd7q0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/355769/original/file-20200901-24-1nd7q0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Schools located in the green and yellow zones are able to prepare for in-class learning.</span>
<span class="attribution"><span class="source">ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>The system offers a wide range of technologies, including web-based courses, live videos and conference calls. These can be used to support traditional education settings.</p>
<p><a href="https://www.bbc.com/news/uk-scotland-52412171">Several countries in Europe</a>, such as Germany, Norway and Denmark, have started to adopt this learning method to help them conduct classes amid the pandemic. By having a mix of online and offline classes, opening schools is manageable during the pandemic. </p>
<p>Blended learning may work in Europe, but it still has a long way to go to be implemented in Indonesia despite its potential to reform the country’s education sector.</p>
<h2>Challenges</h2>
<p><a href="https://www.bbc.com/news/uk-scotland-52412171">European countries carried out blended learning</a> by limiting class sizes to a maximum of 10-15 students and alternating periods of in-class learning with online learning. </p>
<p>During in-class learning, children stay in small groups and are assigned individual seats. Their in-class learning is also shortened to avoid COVID-19 infections.</p>
<p>Some argue that the use of <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200609104407-20-511303/ikatan-guru-usul-siswa-masuk-sekolah-dua-kali-sepekan">blended learning during the pandemic can create an effective and safe learning environment</a> because it will shorten the teaching and learning time with school materials being delivered online and offline.</p>
<p>However, the application of this learning method in <a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2020/05/02/covid-19-disruption-and-the-widening-digital-divide.htm">Indonesia stills face many constraints</a> – particularly when it comes to the online learning part. </p>
<p>Research <a href="https://link.springer.com/article/10.1186/s41239-017-0043-4">suggests</a> blended learning is an effective learning method but only if both students and teachers have the capability and experience in using the technology.</p>
<p><a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/05/18/disconnected-digital-divide-may-jeopardize-human-rights.html">Indonesia’s digital divide</a> presents a challenge for blended learning, as this method still rests upon <a href="https://educationaltechnologyjournal.springeropen.com/articles/10.1186/s41239-017-0087-5">online learning</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/355772/original/file-20200901-16-iti99g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/355772/original/file-20200901-16-iti99g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/355772/original/file-20200901-16-iti99g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/355772/original/file-20200901-16-iti99g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/355772/original/file-20200901-16-iti99g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/355772/original/file-20200901-16-iti99g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/355772/original/file-20200901-16-iti99g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">For the past months, students nationwide have relied on online (distance) learning to support their education.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Jagrit Parajuli/Pixabay</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>The owner of a pre-school in Cirebon, West Java, Lismah (52), has tried to implement blended learning during the pandemic. She acknowledged the difficulties in conducting online classes, with many of her students’ parents having limited technological resources.</p>
<p>“The students are given homework […],” she said. “The teachers remind the parents of these homework through a Whatsapp group, but we’re aware some parents don’t have mobile phones.”</p>
<p>Implementing blended learning in Indonesia means extra work for teachers as they are <a href="https://www.washingtonpost.com/outlook/2020/08/14/hybrid-learning-coronavirus-risk/">expected to master both distance and in-class teaching</a>.</p>
<p>“We’re expected to work harder. We have to prepare both online and in-class learning activities. Those activities must be synchronised, so they don’t overlap each other in reaching the learning objectives,” junior high school teacher Aris (39) from Cirebon told <em>The Conversation Indonesia</em>.</p>
<p>Edi Subkhan, a lecturer in education technology and curriculum at Universitas Negeri Semarang in Central Java, also argues that schools and teachers must firstly have the capacity to implement this learning method.</p>
<p>“There are teachers who can follow this method because they are skilled in operating various technologies, but there are also teachers who have yet to fully understand what online or even blended learning is,” he said.</p>
<p>Returning to school amid the pandemic, even in a blended learning setting, <a href="https://www.theguardian.com/education/2020/aug/28/how-parents-can-prepare-their-children-for-going-back-to-schoo">can also be unsettling</a> after a long period of separation from in-class learning. </p>
<p>Zamzami Zainudin, a researcher at the University of Hong Kong, explains the challenge of “recharging” students upon returning to in-class learning.</p>
<p>“Many students become too comfortable with distance learning because they are separated from in-class learning for a long time. So when in-class learning resumes, they need to be recharged. This becomes the teacher’s challenge to motivate them back from zero,” he said.</p>
<p>Another challenge to <a href="https://www.cfr.org/backgrounder/how-countries-are-reopening-schools-during-pandemic">health and safety precautions during in-class learning</a> is uncertainty as to what happens on the days when students are supposed to conduct distance learning. Around <a href="https://en.tempo.co/read/1375481/20-percent-indonesians-not-wearing-face-masks-health-ministry-says">20% of Indonesians</a> still do not wear face masks when going outside.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/355774/original/file-20200901-20-wgmuhg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/355774/original/file-20200901-20-wgmuhg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/355774/original/file-20200901-20-wgmuhg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/355774/original/file-20200901-20-wgmuhg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/355774/original/file-20200901-20-wgmuhg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/355774/original/file-20200901-20-wgmuhg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/355774/original/file-20200901-20-wgmuhg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Schools have been empty but that will all change when in-class learning resumes.</span>
<span class="attribution"><span class="source">PublicDomainPictures/Pixabay</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Indonesia has the highest COVID-19 fatality rate in Southeast Asia with <a href="https://www.csis.org/programs/southeast-asia-program/southeast-asia-covid-19-tracker-0">7,417 deaths as of August 31</a>. The country also has recorded <a href="https://www.csis.org/programs/southeast-asia-program/southeast-asia-covid-19-tracker-0">the second-highest number of COVID-19 infections in Southeast Asia</a> with 174,796 cases – behind Philippine’s 220,819 cases. </p>
<h2>Rising opportunities</h2>
<p>Though blended learning is largely at the discussion stage – with <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200813064216-20-535143/khofifah-uji-coba-buka-sekolah-jenjang-sma-smk-18-agustus">a few schools already carrying out trials</a> – opportunities are open for blended learning to be implemented as part of <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/08/12/covid-19-crisis-opportunity-for-education-reform-in-indonesia.html">education reform</a> during the pandemic.</p>
<p>Teacher Aris believes that implementing blended learning during the pandemic can increase the ability of educators to conduct effective distance learning, especially in terms of using technology.</p>
<p>“Whether we like it or not, teachers are forced to be creative in using information technology. We have to choose which technology fits the learning activity, learn how to use it, and then evaluate how we used it to see its appropriateness in the learning setting,” he said.</p>
<p>Edi supports this notion. He thinks blended learning can serve as the first step towards an information and communication technology-based education system. </p>
<p>Given Indonesia’s <a href="https://www.semanticscholar.org/paper/ICT-and-education-in-Indonesia-Yuhetty/4eff2e21decedea72b87a1c186dae9a01ac9ee39">lack of infrastructure, digital literacy and economic welfare</a>, developing an education system of this kind must be taken one step at a time.</p>
<p>“With its flexibility in combining online and face-to-face learning, we can build an education system that doesn’t force it to be fully internet-based, because we’re also considering the social, economic and geographical context of Indonesia,” explained Edi.</p>
<p>Zamzami added that blended learning would also open doors for emerging technologies in Indonesia’s education sector through, for example, augmented reality and computational thinking.</p>
<p>“There are many emerging technologies in the field of education that Indonesia still lacks. Blended learning is the most simple form of technology that we can start with,” he said.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/143387/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
As the Indonesian government reopens schools located in the green and yellow zones, a blended learning approach is being discussed as a solution.Ika Krismantari, Chief Editor/Content DirectorAyesha Nadya Muna, EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1454552020-09-03T05:09:06Z2020-09-03T05:09:06ZKata tidak netral, teori-teori linguistik terkini membuktikannya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/356226/original/file-20200903-20-vbg8ub.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=7%2C0%2C1270%2C852&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Dalam dunia kebahasaan, polemik netralitas kata bukanlah hal baru.</span> <span class="attribution"><span class="source">Gerd Altmann/Pixabax</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Dua tokoh intelektual Indonesia terlibat polemik tentang netralitas kata. </p>
<p>Pengamat bahasa Indonesia Ivan Lanin mengatakan bahwa <a href="https://twitter.com/ivanlanin/status/902949189658673152">kata itu netral</a>. Pendapat itu ditangkis oleh novelis Eka Kurniawan yang menyatakan pendapat sebaliknya: <a href="https://twitter.com/gnolbo/status/1299731236408061954">kata tidaklah netral</a>.</p>
<p>Perdebatan ini segera menjadi besar bukan hanya di kalangan ilmuwan bahasa tapi juga menyita perhatian publik lebih luas karena bahasa adalah alat komunikasi seluruh anggota masyarakat.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1299731236408061954"}"></div></p>
<p>Dari sudut pandang keilmuan, saya sepakat dengan Eka bahwa kata tidaklah netral; mereka bersifat politis dan ideologis.</p>
<p>Teori-teori bahasa mutakhir terkait hakikat, fungsi, dan penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari mendukung argumen tersebut. </p>
<h2>Kronologi keilmuan</h2>
<p>Dalam dunia kebahasaan, polemik netralitas kata bukanlah hal baru.</p>
<p>Secara tak langsung, perdebatan ini telah hadir sejak awal ke-19 dan sejauh ini argumen bahwa kata tidak netral lebih meyakinkan.</p>
<p>Pemikiran bahwa bahasa itu hanya lambang dan penanda yang bersifat netral umumnya didukung kelompok linguis struktural, yaitu kelompok ahli bahasa yang memfokuskan kajiannya pada aspek struktur bahasa. </p>
<p>Salah satu tokohnya yang paling berpengaruh adalah filsuf dari Swiss <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwim7qmx0cnrAhU473MBHc0CBwUQFjAAegQIAxAB&url=https%3A%2F%2Fpdfs.semanticscholar.org%2Fcb41%2Fa70d25abce8718dd680894c8c68edfb3ffe5.pdf&usg=AOvVaw1xAxRstywdbdq_tEsE9zWT">Ferdinand de Saussure</a> yang membuat pembedaan-pembedaan antara tanda dan penanda. </p>
<p>Pandangan kelompok linguis struktural dikritik oleh aliran linguistik fungsional yang memandang struktur formal bahasa ditentukan oleh fungsi-fungsi sosialnya. Kelompok yang mulai berkembang tahun 1960-an ini berusaha melihat pentingnya ikatan antara bahasa dengan masyarakat yang justru diabaikan oleh kelompok struktural. </p>
<p>Tokoh linguistik fungsional dari Inggris MAK Halliday menunjukkan bahwa <a href="https://www.researchgate.net/publication/302554456_An_Introduction_to_Halliday%27s_Systemic_Functional_Linguistics">fungsi sosial bahasa sangat mempengaruhi bentuk formal bahasa. </a></p>
<p>Ketika ikatan antara bahasa dengan fungsi sosialnya terungkap, ikatan bahasa dengan gejala lain di luar bahasa diketahui semakin banyak. Kelompok ini juga mengatakan bahwa bahasa ternyata juga memiliki ikatan dengan ide, keyakinan, nilai-nilai, dan praktik sosial. </p>
<p>Berkembangnya kelompok linguistik fungsional ini kemudian diikuti oleh lahirnya aliran kritis dalam ilmu kebahasaan pada awal 1990-an. </p>
<p>Salah satu pelopor aliran ini adalah <a href="https://www.researchgate.net/publication/265678850_Critical_Discourse_Analysis_History_Agenda_Theory_and_Methodology_1">linguis dari Lancaster University, Inggris, Ruth Wodak</a>. </p>
<p>Dia mengatakan bahwa orientasi studi ini adalah menyelidiki tanda-tanda di masyarakat, termasuk tanda berupa bahasa untuk melihat kepentingan ideologi dan kekuasaan dalam penggunaan kata.</p>
<p>Berdasarkan kronologi aliran linguistik di atas, saya percaya aliran yang lebih mutakhir cenderung memperkuat argumen yang membantah kenetralan kata. </p>
<h2>Penggunaan bahasa dalam keseharian</h2>
<p>Teori bahasa juga menunjukkan bahwa penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-sehari juga bersifat politis. </p>
<p>Bahasa yang dipakai dalam keseharian manusia selalu bersifat politis karena terikat dengan kondisi mental, sosial, dan budaya konkret saat bahasa diproduksi.</p>
<p>Dalam buku klasik <a href="https://www.amazon.com/Meaning-C-K-Ogden/dp/0156584468"><em>The Meaning of Meaning</em></a>, dua filsuf Inggris CK Ogden dan IA Richard mengungkapkan kata tercipta berkat hubungan segitiga antara simbol (berupa bunyi), konsep (imaji dalam pikiran), dan referensi (sesuatu yang dirujuk). Sebuah kata bermakna hanya mungkin tercipta jika tiga unsur tersebut lengkap.</p>
<p>Penjelasan tersebut menunjukkan salah satu unsur pembentuk kata adalah ide. Dengan demikian, kata sudah memuat ide-ide bahkan sejak ia berupa konsep.</p>
<p>Di sisi lain, fakta bahwa kata-kata tertentu lahir pada ruang sosial dan budaya tertentu dan bukan di ruang sosial budaya lain menunjukkan adanya ikatan antara kata tersebut dengan kebudayaan penuturnya.</p>
<p>Ada dua pendekatan yang bisa digunakan untuk membuktikan keberadaan ideologi dalam kata-kata, yaitu morfosemantik dan etimologi.</p>
<p>Pendekatan morfosemantik <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=2ahUKEwjB8fr6h8zrAhVFjuYKHf1-BJMQFjABegQIChAD&url=https%3A%2F%2Fwww.vjf.cnrs.fr%2Fsedyl%2Famerindia%2Farticles%2Fpdf%2FA_38_03.pdf&usg=AOvVaw31b0DSSJd-cGGTXjfFxOov">menaruh perhatian pada makna kata-kata dengan mempertimbangkan unsur morfem penyusunnya</a>. Pendekatan ini dapat digunakan untuk menunjukkan makna kata dipengaruhi oleh makna kata lain yang menjadi unsur pembentuknya. </p>
<p>Dalam bahasa Indonesia, contohnya, kata “karyawati” merupakan perubahan bentuk dari kata “karyawan”. Ide bahwa karyawan berjenis kelamin perempuan memerlukan kata khusus merupakan ide yang politis. Pola serupa dapat ditemukan pada kata wartawati, peragawati, siswi, mahasiswi, dan sebagainya.</p>
<p>Dalam bahasa Inggris, pola itu dapat ditemukan pada kata <em>woman</em> dan <em>female</em> yang memiliki ikatan morfosemantis dengan kata <em>man</em> dan <em>male</em>. </p>
<p>Pendekatan etimologi menaruh perhatian terhadap hubungan antara peristiwa, waktu, dan ide yang melatarbelakangi lahirnya kata-kata. Pendekatan ini penting karena kata adalah objek yang menyejarah.</p>
<p>Kata boikot, contohnya, memiliki muatan perlawanan sejak awal karena lahir dari <a href="https://www.etymonline.com/search?q=boycott">perlawanan petani Irlandia County Mayo</a> terhadap agen tanah bernama Charles C. Boycott </p>
<p>Kata <em>nigga</em>, contoh lainnya, memiliki muatan rasis sejak awal karena muncul sebagai olok-olok bagi orang kulit hitam Amerika. Kata itu diperkirakan muncul pertama kali di <a href="https://www.etymonline.com/search?q=nigga">Amerika Serikat bagian selatan</a>, daerah subur bagi kelompok antikulit hitam. </p>
<p>Kentalnya ideologi dalam bahasa membuatnya menjadi piranti penting untuk melawan marjinalisasi kelompok minoritas pada 1980-an terutama di Amerika dan Inggris.</p>
<p>Linguis Lancaster University Inggris Norman Fairclough mengungkapkan pemilihan kata berkaitan dengan <a href="https://www.researchgate.net/publication/249712998_Political_Correctness_The_Politics_of_Culture_and_Language">upaya mengubah wacana</a> yang akhirnya dapat mengubah praktik sosial terhadap objek tertentu yang dirugikan.</p>
<p>Contohnya, dulu penggunaan kata cacat dianggap normal. Kini istilah tersebut cenderung dihindari karena menimbulkan kesan buruk. Sebagai gantinya, kata difabel digunakan untuk dapat mengubah persepsi dan praktik sosial terhadap masyarakat difabel. </p>
<p>Rangkaian argumentasi di atas menunjukkan bahwa kata tidak bersifat netral.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/145455/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Surahmat menerima dana dari pemerintah melalui skema penelitian dosen pemula.</span></em></p>Kata tidaklah netral. Teori-teori linguistik modern menunjukkan kata cenderung punya ikatan dengan ideologi, budaya, dan praktik sosial masyarakat.Surahmat, Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Peneliti di Pusat Kajian Budaya Pesisir, Universitas Negeri SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1453402020-09-02T04:41:18Z2020-09-02T04:41:18ZAnalisis pidato kenegaraan Jokowi ungkap keterbatasan pemerintah dalam hadapi pandemi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/355964/original/file-20200902-24-1oyxcrr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=11%2C5%2C3982%2C2652&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Presiden Joko "Jokowi" Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin tiba di lokasi sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menyampaikan pidato kenegaraan pertengahan Agustus lalu</span> <span class="attribution"><span class="source">ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/pras</span></span></figcaption></figure><p>Kebijakan Presiden Joko “Jokowi” Widodo selama pandemi COVID-19 mengundang banyak perdebatan dan kritik. </p>
<p>Banyak pihak telah mengkritik kebijakan Jokowi yang dianggap terlalu <a href="https://theconversation.com/amid-covid-19-indonesia-should-stop-prioritising-the-economy-lessons-from-other-countries-138546">mengutamakan sektor ekonomi</a> dan terkesan mengabaikan keselamatan warga negaranya. </p>
<p>Indonesia saat ini tercatat sebagai negara dengan tingkat kematian tertinggi di Asia Tenggara, yaitu<a href="https://www.csis.org/programs/southeast-asia-program/southeast-asia-covid-19-tracker-0"> 7.417 kasus</a> per akhir Agustus. Indonesia juga merupakan negara dengan <a href="https://www.csis.org/programs/southeast-asia-program/southeast-asia-covid-19-tracker-0">jumlah kasus tertinggi kedua</a> di kawasan Asia Tenggara setelah Filipina.</p>
<p>Sebagai pengamat bahasa, saya mencoba memperkaya diskusi di publik dengan mencoba memberi titik terang tentang kebijakan Jokowi selama pandemi melalui pilihan kata dalam <a href="https://www.youtube.com/watch?v=sOulQLCq3Lc">pidato kenegaraannya yang disampaikan di sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)</a>.</p>
<p>Dalam pidato kenegaraan itu ada informasi-informasi tersurat berupa laporan kinerja, rencana kerja, dan berbagai harapan yang diungkapkan. Informasi ini bersifat terbuka. Selain itu ada juga informasi-informasi tersirat yang bisa digunakan untuk mengetahui hal-hal yang berusaha disembunyikan, disangkal, atau tak sengaja diungkapkan namun tetap dapat ditelusuri keberadaannya.</p>
<p>Analisis saya terhadap pidato kenegaraan Jokowi tahun ini menunjukkan keterbatasan kapasitas pemerintah dalam menghadapi pandemi, sikap yang cenderung pesimis, dan perubahan prioritas pemerintah selama pandemi.</p>
<h2>Pesimis dan tidak berdaya</h2>
<p>Bagi bangsa Indonesia, pidato kenegaraan memiliki posisi khusus karena digunakan sebagai laporan kepala negara kepada lembaga tinggi negara yang merepresentasikan rakyat (lembaga legislatif). Pidato kenegaraan menggambarkan pencapaian yang telah diraih dan ambisi yang ingin diwujudkan pada masa yang akan datang. </p>
<p>Dibandingkan pidato tahun-tahun sebelumnya, pidato kenegaraan tahun ini bernuansa muram karena pandemi COVID-19. Pilihan kata Presiden juga cenderung menunjukkan sikap pesimis.</p>
<p>Salah satu ekspresi pesimis terungkap di balik banyaknya kata negatif. </p>
<p>Dalam pidato sepanjang 2.357 kata itu, kata “krisis” menjadi kata kunci paling sering digunakan (14 kali) setelah kata “kerja” yang menjadi kata kunci dalam pemerintahannya (21 kali). </p>
<p>Selain kata “krisis”, kata negatif lain seperti “kosong”, “masa sulit”, “kemunduran”,“ kematian”, “negatif”, “minus”, “macet”, “<em>hang</em>”, dan “sakit” juga tersebar di berbagai bagian pidato. Kata-kata itu mengindikasikan sentimen negatif penutur terhadap objek yang dibicarakannya.</p>
<p>Sementara itu, analisis terhadap penggunaan kata keterangan (adverbia) bisa membantu menunjukkan asumsi-asumsi ideologis yang diutarakan pembawa pidato.</p>
<p>Peneliti pragmatik dari <a href="https://www.researchgate.net/publication/334253999_Time_tells_a_story_Temporality_as_a_marker_of_ideology_in_the_Palestinian_political_discourse">Al-Najah University Palestina Sufyan Abuarrah </a> menjelaskan adverbia seringkali digunakan untuk mengkategorikan tindakan mana yang layak, perlu, atau bahkan wajib dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Dari situlah formulasi ideologis penutur bisa ditelusuri.</p>
<p>Dalam pidato Presiden Jokowi tahun 2020 ada tiga adverbia utama yang paling sering digunakan yaitu harus, akan, dan telah.</p>
<p>Adverbia “harus” memiliki fungsi gramatikal penting karena selalu diikuti dengan jenis tindakan yang dalam layak, perlu, wajib, atau mau tak mau harus dilakukan. </p>
<p>Dalam pidato Jokowi intensitas keharusan “harus” dapat dirinci ke dalam empat tingkat tersebut yaitu layak (patut), perlu, wajib, atau terpaksa dilakukan. Cara penutur menggunakan kata “harus” menunjukkan pandangan moral atau sikap penutur dalam merespons situasi tertentu.</p>
<p>Dalam teks pidato kenegaraan tahun 2020, kata “harus” digunakan 37 kali. Berdasarkan gradasi keharusannya, 18 kali kata harus digunakan untuk hal yang perlu dilakukan, 13 kali digunakan untuk menyampaikan hal-hal yang wajib dilakukan, dan 6 kali digunakan untuk menyatakan hal yang terpaksa dilakukan. </p>
<p>Enam kali penggunaan “harus” untuk menyatakan kondisi yang terpaksa menunjukkan bahwa pemerintah tidak selalu punya kendali atas situasi yang berkembang. Hal tersebut menciptakan kesan bahwa meski lembaga eksekutif merupakan lembaga yang sangat otoritatif, kemampuannya dalam menghadapi COVID-19 ternyata sangat terbatas. Pesan tersirat itu menunjukkan pengakuan bahwa lembaga eksekutif benar-benar kesulitan menangani COVID-19.</p>
<p>Adverbia “akan” lazim digunakan untuk menunjukkan rencana, tindakan yang akan dilakukan. Frekuensi penggunaan adverbia ini menunjukkan optimisme penggunanya. </p>
<p>Dalam pidato kenegaraan 2020 adverbia ini hanya digunakan 5 kali yang merupakan angka terendah sejak 2015 dan 2019. Pada 2018 adverbia ini digunakan sebanyak 22 kali, 6 kali pada 2017, 8 kali pada 2016, dan 22 kali pada 2015.</p>
<p>Rendahnya penggunaan adverbia “akan” menunjukkan pemerintah tidak memiliki banyak rencana yang perlu disampaikan kepada MPR seperti tahun-tahun sebelumnya.</p>
<p>Sama seperti “akan”, frekuensi penggunaan adverbia “telah” dalam pidato kenegaraan 2020 juga relatif kecil yaitu hanya 9 kali, sama seperti pada 2019.</p>
<p>Padahal pada tahun sebelumnya adverbia ini digunakan sebanyak 42 kali (2018), 18 kali (2017), 25 kali (2016), dan 8 kali (2015). Frekuensi ini juga menunjukkan pemerintah tidak memiliki ambisi memamerkan prestasi kerjanya kepada MPR sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.</p>
<p>Penggunaan tiga adverbia tersebut secara tersirat menunjukkan bahwa pemerintah mengakui berbagai kelemahan pemerintah dalam menghadapi pandemi COVID-19. </p>
<p>Bagi masyarakat, sikap ini relatif melegakan karena pemerintah tidak berusaha berbohong atau mengelabui masyarakat. Namun di sisi lain, sikap itu sekaligus menunjukkan kapasitas pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19 relatif rendah. Dalam pidatonya, Jokowi mengakui pemerintah belum mengelola sumber daya politik, ekonomi, sosial, dan kultural secara optimal. </p>
<h2>Disorientasi prioritas kerja</h2>
<p>Analisis terhadap teks pidato kenegaraan Jokowi tahun ini juga menunjukkan perubahan prioritas pemerintah. </p>
<p>Bidang kesehatan menjadi bidang kerja yang paling sering disebut oleh presiden (12 kali). Frekuensi ini menunjukkan pergeseran bidang prioritas. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya bidang ini hanya disebut sebanyak 2 kali (2019 dan 2018), 1 kali (2017), 6 kali (2016), dan sama sekali tidak disebut pada 2015.</p>
<p>Sebagai perbandingan, pada 2019 bidang yang paling banyak disebut adalah sumber daya manusia (SDM) (13 kali). Saat itu frekuensi penggunaan kata SDM digunakan untuk menunjukkan pergeseran prioritas pembangunan dari infrastruktur ke bidang sumber daya manusia. </p>
<p>Sementara pada 2018 dan 2017 secara berturut-turut bidang “ekonomi” menjadi bidang yang paling sering disebut (masing-masing 22 kali). Sementara “infrastruktur” menjadi bidang kerja paling sering disebut pada 2016 (16 kali). </p>
<p>Frekuensi penggunaan kata kunci ini menunjukkan ada hubungan antara kata kunci paling populer dengan prioritas kerja pemerintah pada tahun bersangkutan.</p>
<p>Penggunaan kata “kerja”, “krisis”, dan “kesehatan” sebagai kata paling populer pada tahun 2020 menunjukkan bidang apa, mengapa bidang itu menjadi prioritas, dan bagaimana pemerintah akan bertindak dalam bidang tersebut.</p>
<p>Banyak pihak memang mengkritik pemerintah karena dianggap lebih memprioritaskan kepentingan ekonomi. Namun teks pidato menunjukkan bidang kesehatan yang paling menyita perhatian Presiden. <a href="https://m.youtube.com/watch?v=x8-wUhryWfs">Pidato kemarahannya di hadapan para menteri pada 18 Juli</a> juga menunjukkan bidang ini paling mengurasi emosi dan energi Presiden.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/145340/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Surahmat menerima dana penelitian dari pemerintah melalui skema penelitian universitas.</span></em></p>Analisis terhadap pidato kenegaraan Joko “Jokowi” Widodo tahun ini menunjukkan keterbatasan kapasitas pemerintah dalam menghadapi pandemi, sikap yang cenderung pesimis, dan perubahan prioritas pemerintah selama pandemi.Surahmat, Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Peneliti di Pusat Kajian Budaya Pesisir, Universitas Negeri SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1348052020-04-14T07:32:52Z2020-04-14T07:32:52ZAkademisi: pemerintah masih gunakan bahasa langit dalam komunikasi COVID-19<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/327351/original/file-20200412-121811-q64wqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pengemudi Becak di seberang Tugu Muda Semarang</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/2f/Becak_Tugu_Muda_Semarang_Central_Java.jpg">Midori / CC BY-SA </a></span></figcaption></figure><p>Saat ini, tiada hari terlewat tanpa kehadiran juru bicara pemerintah Achmad Yurianto di televisi untuk <a href="https://video.kompas.com/view/1246696/update-corona-12-april%3A-4241-kasus-positif--359-pasien-sembuh--373-meninggal?clickout=articleplayer">mengumumkan status terakhir</a> penanganan COVID-19 di Indonesia. Dia mengucapkan berulang kali istilah-istilah seperti <em>physical distancing</em>, ODP (orang dengan pengawasan), dan PDP (pasien dengan pengawasan). </p>
<p>Meski tiap hari diucapkan, istilah-istilah itu tetap asing bagi Wardiyah, seorang laki-laki baruh baya yang bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta Selatan.</p>
<p>Pria lulusan SMP ini mengakui bahwa istilah-istilah pemerintah dalam membahasakan dan menyebarkan informasi terkait COVID-19 ini sulit untuk dipahami. </p>
<p>“Untuk informasi soal corona[virus] ini, saya banyak dapat dari <em>briefing</em> kantor. Kalau untuk informasi lebih lanjut dari TV,” ujar Wardiyah.</p>
<p>Peneliti bahasa dari Universitas Negeri Semarang di Jawa Tengah Surahmat mengatakan pemilihan istilah yang dilakukan pemerintah masih menandakan bahwa pemerintah hanya menyasar pada masyarakat perkotaan terdidik yang berasal dari kelas menengah. </p>
<p>“Untuk memahami bahasa-bahasa tersebut, seseorang harus memerlukan prasyarat pengetahuan tertentu. Bahkan sekalipun kata-kata itu bisa diterjemahkan, belum tentu pesan yang dimaksudkan tersampaikan,” ujarnya.</p>
<p>Misalnya untuk memahami frasa “meratakan kurva” (<em>flatten the curve</em>), menurut Surahmat, orang harus memiliki tingkat pendidikan tertentu karena ada tiga hal yang setidaknya harus dipahami: apa itu kurva, kemudian dalam konteks COVID-19, kurva ini menggambarkan apa, dan mengapa harus dibuat rata? </p>
<p>Akibatnya mungkin tidak banyak dari masyarakat miskin yang tidak berpendidikan memahami maksud yang ingin disampaikan pemerintah. Padahal banyak dari penduduk Indonesia berasal dari ekonomi bawah dari berpendidikan rendah. </p>
<p><a href="https://www.bps.go.id/dynamictable/2016/01/18/1119/jumlah-penduduk-miskin-menurut-provinsi-2007-2019.html">Laporan Badan Pusat Statistik</a> terkini menunjukkan saat ini satu per sepuluh penduduk Indonesia, atau sekitar 24 juta orang, adalah orang miskin dan hampir 60% hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sederajat. </p>
<h2>Mengapa bahasa elitis</h2>
<p>Pemerintah sejauh ini membela pendekatan komunikasi yang diterapkannya selama pandemi ini sebagai upaya untuk <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/03/13/we-dont-want-people-to-panic-jokowi-says-on-lack-of-transparency-about-covid-cases.html">menghindari kepanikan di masyarakat</a>.</p>
<p>Hermin Indah Wahyuni, pakar komunikasi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta menjelaskan bahwa strategi komunikasi yang diterapkan pemerintah tersebut berisiko membawa kesalahpahaman di kalangan masyarakat karena banyak yang tidak mengerti. </p>
<p>“Mereka (pemerintah) menggunakan gaya bahasa eufemisme (bahasa yang dihaluskan) yang sangat berisiko untuk digunakan di tengah krisis seperti ini,” ujar Hermin.</p>
<p><a href="https://healthcare-communications.imedpub.com/the-role-of-euphemisms-in-healthcare-communication.pdf">Sebuah penelitian di Australia</a> yang dipublikasikan pada 2016 mengingatkan bahaya penggunaan eufemisme dalam komunikasi kesehatan yang bisa mengurangi pemahaman masyarakat akan penyakit itu sendiri.</p>
<p>Penelitian tersebut juga menganjurkan penggunaan istilah-istilah kesehatan yang mudah dipahami masyarakat awam agar dapat terjalin hubungan baik antara petugas kesehatan dengan pasien atau masyarakat.</p>
<p>Hermin juga menambahkan bahwa pilihan gaya bahasa pemerintah yang rumit dalam mengkomunikasikan isu COVID-19 didorong oleh fokus pemerintah yang lebih berat kepada sektor ekonomi.</p>
<p>“Dari segi komunikasi, pemerintah masih memainkan <em>double code</em> (kode ganda) ekonomi dan kesehatan tanpa fokus yang jelas,” jelas Hermin. </p>
<p>Hal tersebut menjelaskan mengapa pilihan-pilihan istilahnya sangat elitis dan hanya dapat diakses dan dipahami oleh masyarakat kelas menengah atas.</p>
<p>Senada dengan Hermin, Justito Adiprasetio, seorang dosen komunikasi dari Universitas Padjadjaran, Jawa Barat, berpendapat bahwa penggunaan bahasa asing ini merupakan wujud ekspresi pascakolonial.</p>
<p>“Sesuatu yang bersifat ‘lokal’ tidak bisa menjadi wacana ilmiah dan elite. Bahwa untuk menjelaskan sesuatu yang ilmiah dan elite, harus menggunakan bahasa asing,” kata Justito.</p>
<p>Dengan menggunakan bahasa langit dan rumit yang hanya menyasar pada kalangan tertentu, strategi komunikasi pemerintah dalam masa pandemi ini menimbulkan masalah-masalah baru. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/327488/original/file-20200413-105246-4o7lga.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/327488/original/file-20200413-105246-4o7lga.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=800&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/327488/original/file-20200413-105246-4o7lga.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=800&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/327488/original/file-20200413-105246-4o7lga.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=800&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/327488/original/file-20200413-105246-4o7lga.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1005&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/327488/original/file-20200413-105246-4o7lga.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1005&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/327488/original/file-20200413-105246-4o7lga.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1005&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Seorang pemulung berjalan di sebuah jalan di Jakarta.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/tK6G-NekNbo">Rangga Cahya Nugraha</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Gap informasi</h2>
<p>Justito mengatakan salah satu dampak yang timbul akibat pendekatan komunikasi pemerintah yang elitis tersebut adalah munculnya gap informasi antara masyarakat kelas menengah ke atas dan menengah ke bawah.</p>
<p>Justito memberi contoh peristiwa <em>panic buying</em> yang <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20200320104453-4-146366/peritel-blak-blakan-ada-3-kali-panic-buying-gegara-corona">pernah terjadi</a>. Saat itu, kepanikan didominasi oleh kelas menengah ke atas. Media sosial juga penuh dengan keluhan, ketakutan, kemarahan warga atas keterlambatan pemerintah. </p>
<p>“Namun, di perempatan jalan, di akar rumput kita dapat melihat warga kelas menengah bawah masih beraktivitas seperti biasa. Ada gap informasi di sana yang membuat mereka (masyarakat menengah ke bawah) tidak takut (akan bahaya COVID-19),” jelas Justito.</p>
<p>Contoh lainnya adalah penerapan imbauan <em>physical</em> <em>distancing</em> yang hanya terjadi di wilayah perkotaan, sementara di kota kecil seperti <a href="https://cirebon.tribunnews.com/2020/03/29/penerapan-social-distancing-di-indramayu-belum-efektif-masih-banyak-warga-yang-nekat-berkerumun">Indramayu</a>, Jawa Barat dan kota di wilayah timur Indonesia, <a href="https://humas.polri.go.id/2020/03/28/social-distancing-tak-diindahkan-tim-gugus-tugas-tindak-tegas-para-pelaku-usah/">Jayapura</a>, Papua, imbauan tersebut masih diabaikan. </p>
<p>Tidak dihiraukannya imbauan pemerintah ini akibat banyaknya masyarakat kelas bawah atau yang berada di lingkungan pedesaan (rural) masih sulit memahami maksud yang ingin disampaikan pemerintah.</p>
<p>Sebagai contoh, Wardiyah masih berencana mudik ke daerah asalnya Indramayu menjelang lebaran nanti meski sudah ada <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20200331163254-4-148832/pemerintah-tak-bisa-melarang-hanya-imbauan-tunda-mudik">imbauan keras pemerintah</a> agar jangan mudik di kala pandemi ini. Pemerintah berpesan jika tetap nekat, akan <a href="https://news.detik.com/berita/d-4962043/jokowi-pemudik-dari-jabodetabek-harus-ditetapkan-odp-dan-isolasi-mandiri">ditetapkan sebagai ODP</a> setelah sampai di kampung halaman.</p>
<p>Namun, jika masyarakat bahkan tidak memahami arti dari ODP, bagaimana mereka dapat mematuhi imbauan tersebut.</p>
<p>“Imbauan-imbauan pemerintah tidak tersampaikan dengan efektif dan muncul interpretasi bebas dari konsep-konsep yang beredar,” ujar Hermin.</p>
<p>Hal ini merupakan dampak dari kegagalan pemerintah dalam mengakomodasi keragaman masyarakat Indonesia ketika menyampaikan pesan-pesan terkait COVID-19.</p>
<p>Sebuah <a href="http://www.journalajee.com/index.php/AJEE/article/view/30128/56533">penelitian tahun lalu</a> mengenai komunikasi dan mitigasi bencana gempa bumi di Lombok pada 2018 juga menyarankan komunikasi dalam penanganan bencana membutuhkan penyesuaian dengan gaya kultural dan bahasa dari tiap daerah agar lebih efektif. </p>
<h2>Masalah akses media</h2>
<p>Pemerintah saat ini menyebarkan informasi mengenai COVID-19 kepada masyarakat luas dengan menggunakan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/03/26/10291821/pemerintah-masyarakat-bisa-konsultasi-online-soal-covid-19-lewat-12-platform">aplikasi daring</a> dan <a href="https://kominfo.go.id/content/detail/25170/pemerintah-luncurkan-situs-resmi-covid-19/0/berita">situs resmi</a>.</p>
<p>Namun dengan akses internet yang kurang merata di Indonesia, pilihan moda komunikasi pemerintah juga kurang tepat.</p>
<p><a href="https://tekno.kompas.com/read/2019/05/16/03260037/apjii-jumlah-pengguna-internet-di-indonesia-tembus-171-juta-jiwa">Survei Asosiasi Penyelenggaraan Internet Indonesia</a> menunjukkan baru 64,8% penduduk Indonesia, atau sekitar 171,7 juta orang, yang memiliki akses internet. Dari angka tersebut, lebih dari setengahnya berada di Pulau Jawa.</p>
<p>Hal ini kemudian juga diperparah dengan tidak adanya saluran media publik yang berkualitas dan terpercaya. </p>
<p>Widarti, seorang pekerja rumah tangga berumur 34 tahun di Depok, sejauh ini mendapatkan informasi terkait COVID-19 hanya dari televisi.</p>
<p>Widarti adalah bagian dari <a href="https://www.inews.id/finance/makro/nielsen-jumlah-penonton-tv-dan-media-lain-meningkat-selama-ramadan">jutaan orang Indonesia</a> yang masih mengandalkan televisi untuk mendapatkan informasi.</p>
<p>Laporan <a href="https://www.nielsen.com/id/en/press-releases/2019/nielsen-ready-to-bring-total-audience-measurement/"><em>Nielsen</em></a> tahun 2019 menunjukkan, televisi masih menjadi media yang paling sering masyarakat Indonesia gunakan, dengan rata-rata penggunaan per hari selama 4 jam 59 menit, dibandingkan dengan internet yang hanya 3 jam 20 menit.</p>
<p>Namun ketika sistem media, termasuk stasiun televisi, di Indonesia saat ini dikendalikan oleh kepentingan pasar maka informasi yang diberikan pun tidak semuanya berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan.</p>
<p><a href="http://remotivi.or.id/amatan/578/saat-ini-kita-membutuhkan-paranoia-lebih-dari-kapanpun">Justito menjelaskan</a> bahwa media tidak jarang mengutip pernyataan spekulasi pemerintah tanpa didukung data yang jelas ataupun validasi yang layak.</p>
<p>Kesimpangsiuran informasi di media massa akibat tidak adanya saluran media publik yang dapat dipercaya ikut mendorong Wardiyah dan Widarti masih berencana mudik sebelum Idul Fitri nanti. </p>
<p>“Rencana, kalau ada angin segar, ya mudik,” kata Wardiyah.</p>
<p>Wardiyah tidak sendiri. </p>
<p>Sebuah survei memprediksikan bahwa sekitar <a href="https://www.reuters.com/article/us-health-coronavirus-indonesia-ramadan/indonesia-study-warns-ramadan-exodus-would-fuel-coronavirus-idUSKCN21V15W">2 juta orang</a> dari area Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi masih berencana untuk mudik di tengah pandemi corona ini.</p>
<h2>Inisiatif masyarakat</h2>
<p>Di tengah kekosongan peran pemerintah dan saluran media yang efektif, banyak inisiatif kampanye yang datang dari masyarakat sendiri untuk mengkomunikasikan bahaya COVID-19. </p>
<p>Sebagai contohnya, <a href="https://bandung.kompas.com/read/2020/03/26/08422571/gunakan-sepeda-dan-toa-aa-gym-keliling-sosialisasikan-bahaya-corona-ajak?page=all">dai kondang AA Gym berkeliling menggunakan pengeras suara</a> untuk menyampaikan bahaya coronavirus ke warga. Lalu <a href="https://keuskupanbogor.org/tanggapi-kasus-covid-19-vikjen-keuskupan-bogor-sampaikan-imbauan-teknis/">petinggi gereja di Bogor</a> juga turut mengkampanyekan untuk tetap di rumah dan menjaga kebersihan. </p>
<p>Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) di Bandung, Jawa Barat, juga turut menciptakan kampanye untuk untuk membumikan bahasa dan informasi seputar COVID-19 dengan membuat poster edukatif yang <a href="https://www.voaindonesia.com/a/kampanye-cegah-corona-buat-wong-cilik-japelidi-pakai-43-bahasa-daerah/5350488.html">menggunakan 43 bahasa daerah</a>. </p>
<p>Inisiatif ini pun akhirnya didukung oleh <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200330190504-20-488416/pemerintah-perintahkan-sosialisasi-corona-pakai-bahasa-daerah">pemerintah</a> dengan menyebarkan poster-poster tersebut ke tingkat RT dan RW.</p>
<p>Meski begitu, Surahmat menyayangkan keterlambatan pemerintah.</p>
<p>“Gerakan masif ini baru terjadi ketika persebaran COVID-19 sudah terjadi di sebagian besar provinsi di Indonesia. Seandainya dilakukan sejak awal, saya kira penanggulangannya akan lebih efektif”, ujarnya.</p>
<p><a href="https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/01/210000065/1.677-orang-terinfeksi-covid-19-kapan-virus-corona-di-ri-berakhir-">Beberapa pakar telah memperkirakan</a>, kasus COVID-19 di Indonesia akan terus bertambah <a href="https://theconversation.com/without-major-intervention-indonesia-could-have-71-000-covid-19-cases-by-aprils-end-134239">hingga 71.000 pada akhir bulan ini</a> jika tidak ada intervensi cepat dari pemerintah.</p>
<p>Intervensi apa pun itu, baik Surahmat, Hermin, dan Justito sepakat bahwa intervensi tersebut perlu mencakup perubahan gaya komunikasi pemerintah dalam menyampaikan isu COVID-19 ke masyarakat. </p>
<p>Langkah tersebut diperlukan untuk mencegah banyaknya korban jiwa seperti Wardiyah dan Widarti yang berisiko menjadi korban karena kegagalan pemerintah dalam berkomunikasi dengan mereka.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/134805/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Pemerintah kerap kali menggunakan bahasa elitis dalam mengomunikasikan informasi COVID-19. Hal ini pula yang mengakibatkan informasi tesebut belum mampu dicerna seluruh lapisan masyarakat.Ika Krismantari, Chief Editor/Content DirectorStefanus Agustino Sitor, EditorRizki Nur Fitriansyah, EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1336252020-03-23T03:35:29Z2020-03-23T03:35:29ZAda seksisme dalam bahasa Indonesia, bagaimana kita harus menanganinya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/322203/original/file-20200323-22614-1whzceu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=11%2C0%2C2475%2C1237&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Dengan menghilangkan bahasa yang seksis maka kita berpeluang menghapuskan tindakan-tindakan diskriminatif pada perempuan. </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Oxford University Press di Inggris memutuskan untuk <a href="https://www.theguardian.com/books/2020/mar/06/no-more-nagging-wives-how-oxford-dictionaries-is-cleaning-up-sexist-language">menghapus frasa-frasa yang dinilai cenderung tidak adil terhadap jenis kelamin tertentu (seksis) dari daftar entri kamusnya</a>. </p>
<p>Keputusan itu diambil agar bahasa tidak lagi menjadi ruang yang maskulin dan dipenuhi stereotip buruk terhadap perempuan. </p>
<p>Salah satu contoh frasa yang dihapus adalah <em>nagging wive</em> atau diterjemahkan menjadi “istri mengomel”. </p>
<p>Frasa itu dianggap tidak adil karena mengesankan kecerewetan merupakan sifat khas perempuan. </p>
<p>Langkah Oxford University Press itu merupakan langkah maju yang akan berdampak besar dalam mewujudkan kehidupan yang lebih adil melalui pengembangan bahasa yang lebih netral secara gender.</p>
<p>Dibandingkan dengan bahasa Inggris, bahasa Indonesia sebenarnya cenderung lebih egaliter. Namun demikian, dalam bahasa Indonesia ekspresi seksisme tetap ada dalam setidaknya tiga wujud. </p>
<h2>Seksisme dalam bahasa Indonesia</h2>
<p><strong>Pertama, dalam wujud kosakata.</strong> </p>
<p>Dalam wujud kosakata, <a href="http://ejournal.uin-suka.ac.id/adab/Adabiyyat/article/view/678">kata sifat tertentu selalu dihubungkan dengan jenis kelamin tertentu.</a> Misalnya, kata mulus, halus, lembut, cantik, dan singset dianggap merupakan sifat yang dimiliki perempuan. </p>
<p>Sementara kata berani, kuat, perkasa dianggap sebagai sifat yang identik dengan laki-laki.</p>
<p>Pada tingkat kosakata pula, kata yang merujuk pada laki-laki kerap kali dijadikan sebagai kata umum untuk menamai profesi. Kata “wartawan” dalam arti khusus merujuk kepada laki-laki, namun sekaligus merujuk kepada profesi itu secara umum. Hal sama dapat ditemukan dalam kata mahasiswa, seniman, siswa, dan lain sebagainya. </p>
<p>Lalu, ada kata <a href="https://theconversation.com/apa-kata-ahli-linguistik-soal-pelakor-92288"><em>pelakor</em> (perebut (le)laki orang)</a> dan binal yang secara semantis membatasi sifat negatif tertentu hanya melekat kepada perempuan. </p>
<p><strong>Kedua, dalam wujud asosiasi.</strong></p>
<p>Asosiasi muncul berkat pengetahuan kolektif yang membuat penutur mengaitkan objek tertentu dengan objek lain. Kata “belah duren” sering diasosiasikan sebagai aktivitas seksual karena merujuk pada asosiasi bentuk antara bagian dalam buah itu dengan organ kelamin perempuan. </p>
<p><strong>Ketiga, dalam wujud wacana.</strong></p>
<p>Pada tingkat wacana, seksisme dibentuk akibat kukuhnya pengetahuan yang membuat peran sosial tertentu dianggap wajar untuk jenis kelamin tertentu. Memasak dan membersihkan rumah diidentikkan sebagai pekerjaan perempuan. Berambut panjang juga kondisi yang cenderung dinilai wajar pada perempuan.</p>
<p>Dalam bahasa Indonesia, contoh kalimat “Ibu memasak di dapur” merupakan contoh klasik yang menunjukkan ketidakadilan gender pada tingkat wacana. </p>
<p>Di masyarakat, seksisme juga dilembagakan melalui humor. <a href="https://www.suara.com/news/2020/03/08/173131/viral-video-komentator-liga-1-indonesia-dinilai-lecehkan-suporter-perempuan,">Baru-baru ini, misalnya, komentator sepakbola membuat candaan seksis yang sempat menuai protes</a> </p>
<h2>Cara mengatasinya</h2>
<p>Karena wujudnya berbeda, seksisme dalam bahasa Indonesia perlu penanganan yang berbeda pula.</p>
<p>Seksisme dalam bentuk kata bisa dikurangi dengan menggeser makna menjadi lebih positif atau netral. Hal ini bisa dilakukan melalui jalur kultural seperti komunikasi di media massa dan media sosial sekaligus melalui jalur struktural, misalnya konvensi ahli. Contohnya, ahli bahasa Spanyol yang progresif menyarankan penggunaan kata _ la audiencia_ “hadirin” netral, menghindari kata “las asistentes” atau hanya “los asistentes” yang menonjolkan salah satu gender. </p>
<p>Dalam bahasa Inggris, <a href="https://www.hamilton.edu/academics/centers/writing/writing-resources/avoiding-sexist-language">profesi-profesi yang secara semantik diidentikkan dengan laki-laki diganti dengan istilah baru yang netral, seperti <em>chairman</em> menjadi <em>chairperson</em>.</a>. Kata person “orang” mewakili laki-laki dan perempuan dalam hubungan yang setara. Adapun <em>chairman</em> bersifat maskulin, seolah-olah posisi itu hanya untuk laki-laki.</p>
<p>Seksisme dalam bentuk asosiasi hanya mungkin diintervensi melalui proses kognitif dan pembudayaan. Oleh karena itu, jenis seksisme akan mungkin hilang jika pengetahuan baru mengenainya didesakkan melalui pendidikan. </p>
<p>Pengawasan ahli dan publik terhadap produk budaya seperti iklan dan film yang seksis harus terus dilakukan secara berkelanjutan. Misalnya, dengan <a href="http://www.kpi.go.id/index.php/id/umum/38-dalam-negeri/31487-pelanggaran-iklan-cat-kayu-dan-besi-avian-kpi-pusat-tegur-lima-stasiun-tv?detail3=1031">melarang iklan seksis tayang.</a></p>
<p>Seksisme dalam bentuk wacana adalah yang paling sulit ditangani karena terlembaga dalam struktur pengetahuan, adat, dan bahkan sosial yang tampak wajar. Untuk mengubahnya, pengujian kritis terhadap pengetahuan seksis harus dilakukan secara berkelanjutan. Hal ini sudah dilakukan oleh sejumlah ahli bahasa yang merintis dan memberdayakan analisis wacana kritis. </p>
<p>Ahli bahasa dari Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat Robin Lakoff, melakukan kritik yang intensif mempertanyakan pengetahuan maskulin dalam penggunaan bahasa di berbagai bidang. <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/language-in-society/article/language-and-womans-place/F66DB3D1BB878CDD68B9A79A25B67DE6">Menurutnya, inferioritas perempuan dikukuhkan melalui dua cara yaitu (1) bagaimana perempuan didisiplinkan dalam caranya menggunakan bahasa dan (2) bagaimana perempuan dibicarakan. </a></p>
<p>Untuk menangani kondisi ini Lakoff menyarankan dua hal untuk dilakukan. Pertama, memberikan pendidikan bahasa kedua yang memungkinkan pengguna bahasa memahami dunia dengan cara berbeda. Kedua, para ahli bahasa harus memiliki keberanian melakukan terobosan teoretis agar bahasa lebih berkeadilan.</p>
<h2>Asal mula ketidaksetaraan</h2>
<p>Bahasa-bahasa di dunia memiliki problem seksisme yang berbeda. Ekspresi seksisme dalam bahasa Inggris relatif lebih besar dibanding bahasa Indonesia karena mereka menggunakan kata ganti pembeda gender <em>he</em> untuk laki-laki dan <em>she</em> untuk perempuan dalam kosakatanya. Penggunaan kata-kata ini menunjukkan keberpihakannya. </p>
<p>Bahasa Arab juga memungkinkan ekspresi seksisme yang lebih besar karena pembagian kata bersifat laki-laki (<em>mudzakar</em>) dan kata bersifat perempuan (<em>muanas</em>). Bahkan sejumlah karya sastra Arab <a href="http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/al-turats/article/view/4281">menggambarkan perempuan secara metaforik sebagai sumber kehancuran.</a>. Hal ini disebabkan karena selama ratusan tahun kebudayaan Arab berkembang dalam situasi yang cenderung menomorduakan perempuan.</p>
<p>Banyak ahli bahasa, termasuk ahli bahasa dari Lancaster University, Inggris, Norman Fairclough, menunjukkan bahwa bahasa bukanlah alat komunikasi semata. </p>
<p><a href="https://books.google.co.id/books/about/Language_and_Power.html?id=ZRHCNMN3qqUC&redir_esc=y">Bahasa adalah institusi sosial yang di dalamnya terdapat nilai-nilai ideologis</a>. Bahasa menjadi instrumen yang digunakan subjek-subjek tertentu untuk melanggengkan ideologi yang menguntungkannya.</p>
<p>Dalam relasi gender laki-laki dan perempuan, laki-laki adalah subjek sosial yang dalam lintasan sejarah lebih dominan. Mereka memelihara dominasi terhadap mitra perempuannya melalui berbagai instrumen sosial. Bahasa menjadi salah satu alat yang digunakan untuk mengatur pembagian peran gender agar laki-laki tetap berada dalam posisi superior.</p>
<p>Ada berbagai teori yang berusaha menjelaskan asal-usul ketimpangan pembagian peran laki-laki dan perempuan. </p>
<p><a href="https://books.google.co.id/books?id=FmyBAwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=sapiens&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjku7zO65boAhWV7nMBHTteCz8Q6AEILTAA#v=onepage&q=sapiens&f=false">Sejawaran Israel Yuval Noah Harari berpendapat</a>, ketimpangan peran terjadi secara evolutif ketika sapiens berjenis kelamin laki-laki dan perempuan melakukan kontak seksual. Hubungan itu menyebabkan perubahan biologis pada tubuh perempuan yang membuatnya cenderung kehilangan kelincahan. Adapun pada laki-laki, kontak seksual tidak menyebabkan perubahan tubuh apa pun.</p>
<p>Ketidaksetaraan biologis pascakontak seksual ini membuat perempuan kesulitan mengakses sumber makanan sendiri. Kondisi ini membuatnya lebih banyak bergantung kepada mitra laki-lakinya.</p>
<p>Peneliti bahasa dari <a href="https://www.amazon.com/Understanding-Misunderstandings-Practical-Successful-Interaction/dp/0292796064">Texas University, Amerika Serikat, Robert L Young</a> punya hipotesis bahwa ketidaksetaraan gender dibentuk dan dilestarikan oleh sistem budaya. </p>
<p>Peran sosial laki-laki dan perempuan didefinisikan berdasarkan konsep feminis dan maskulin yang hidup di ruang budaya bersangkutan. </p>
<p>Tafsir maskulin terhadap teks agama juga ditengarai menyebabkan peran laki-laki dan perempuan menjadi tidak setara. Peneliti bahasa dari Lincoln University, Amerika Serikat, Kaukab Siddique mengungkapkan bahwa <a href="https://www.goodreads.com/book/show/10410932-menggugat-tuhan-yang-maskulin">tafsir terhadap Alquran lebih banyak dilakukan dalam perspektif laki-laki</a>. </p>
<p>Dari tiga teori di atas, dua teori menunjukkan peran besar bahasa dalam penentuan peran gender. Sebagai penghela nilai dan ideologi, bahasa memiliki daya mempengaruhi pikiran penggunanya dalam memahami sesuatu, termasuk memahami peran perempuan.</p>
<p><a href="https://www.linguisticsociety.org/content/does-language-i-speak-influence-way-i-think">Bahasa merupakan piranti yang sangat mempengaruhi cara berpikir masyarakat</a> dan pola pikir masyarakat memiliki pengaruh langsung terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan anggotanya. Dengan menghilangkan bahasa yang seksis maka kita berpeluang menghapuskan tindakan-tindakan diskriminatif pada perempuan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/133625/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Surahmat menerima dana dari pemerintah melalui skema penelitian dosen pemula.</span></em></p>Bahasa Indonesia menyimpan seksisme dalam bentuk kata, asosiasi, dan wacana. Mengikuti langkah Oxford Dictionary, kita bisa menempuh sejumlah cara agar seksisme bisa dihilangkan dari bahasa Indonesia.Surahmat, Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Peneliti di Pusat Kajian Budaya Pesisir, Universitas Negeri SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1301992020-01-21T09:42:50Z2020-01-21T09:42:50ZSikap sinis masyarakat atas kasus “Keraton Agung Sejagat” bisa ancam kebudayaan Jawa tradisional<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/311077/original/file-20200121-117933-1w8vd79.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C4%2C998%2C661&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Abdi dalem sedang berkumpul di salah satu pendopo Keraton Yogyakarta saat sarapan</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Kasus <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/01/16/self-proclaimed-successors-of-ancient-majapahit-empire-named-fraud-suspects.html">“Keraton Agung Sejagat”</a> di Purworejo, Jawa Tengah, membuat geger masyarakat. </p>
<p>Kasus ini bermula dari klaim sepihak dua orang bernama Toto Santoso dan Fanni Aminadia yang mengatakan mereka adalah <a href="https://www.tagar.id/7-fakta-menggelikan-keraton-abalabal-agung-sejagat">“raja” dan “permaisuri” dari “Keraton Agung Sejagat”</a>, sebuah kerajaan penerus Majapahit. Mereka merekrut ratusan anggota dan meminta iuran jutaan rupiah per bulan untuk melakukan ritual dan kirab budaya.</p>
<p>Meski pihak kepolisian sudah menangkap Toto dan Fanni atas tuduhan <a href="https://regional.kompas.com/read/2020/01/15/05450091/ditangkap-raja-dan-ratu-keraton-agung-sejagat-di-purworejo-dibawa-ke-mapolda?page=all">tindak pidana penipuan</a> dan kedua orang itu juga <a href="https://regional.kompas.com/read/2020/01/20/17492801/raja-dan-ratu-keraton-agung-sejagat-akhirnya-akui-tak-punya-garis-keturunan?page=all">mengakui </a> kejahatan mereka, pelbagai informasi yang telanjur ramai di media berpotensi membuat masyarakat sinis terhadap aktivitas kebudayaan Jawa tradisional. </p>
<p><a href="https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sinis">Kamus Besar Bahasa Indonesia daring</a> menjelaskan sikap sinis sebagai perilaku mengejek dan memandang rendah atau sikap yang membuat orang tidak bisa melihat suatu kebaikan apa pun dan meragukan sifat baik yang ada pada sesuatu. </p>
<p>Rasa sinis yang muncul pada masyarakat tersebut dapat mengancam kewibawaan keraton dan pengaruh budaya Jawa tradisional yang selama ini menjadi simbolisasi dari nilai budaya yang adiluhung, yang diyakini <a href="https://www.researchgate.net/publication/326506516_NGONCEKI_FALSAFAH_JAWA_KANG_ADILUHUNG">penting nilainya</a> bagi masyarakat Jawa.</p>
<h2>Sinisme masyarakat</h2>
<p>Sinisme tak bisa dilepaskan dari teori persepsi. </p>
<p>Menurut <a href="https://books.google.co.id/books?id=UgRK0UM3d00C&pg=PA207&dq=psikologi+Gestalt&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjelorrjpHnAhXCXisKHYXPBbYQ6AEIKTAA#v=onepage&q=psikologi%20Gestalt&f=false">teori psikologi Gestalt</a>, yang <a href="http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/presentasi-psikologi-gestalt.pdf">dicetuskan oleh</a> tiga ahli psikologi asal Eropa Max Wertheimer, Kurt Koffka, dan Wolfgang Kohler pada abad ke-19, manusia membaca makna bentuk pada sebuah simbol sebagai representasi atas suatu hal sebagai suatu kesatuan dan tidak mampu membedakannya bagian per bagian. </p>
<p>Perilaku sinis terhadap simbol-simbol penting dalam kebudayaan Jawa seperti keraton, kostum, senjata, singgasana raja, kuda, ritual, prasasti, dan pendapa dapat muncul ketika masyarakat melihatnya juga sebagai representasi dari kebudayaan yang “palsu dan menipu” dari kasus “Keraton Agung Sejagat”.</p>
<p>Padahal, simbol-simbol tersebut bernilai sakral buat masyarakat Jawa.</p>
<p><a href="https://www.researchgate.net/publication/291246298_Fundamentalisme_Keagamaan_dalam_Perspektif_Kebudayaan">Mudjahirin Thohir</a>, guru besar antropologi budaya Universitas Diponegoro Semarang menyebutkan bahwa ritual dan simbol-simbol dalam kebudayan Jawa menjadi sarana penting untuk mewujudkan penghormatan kepada Tuhan dan cara manusia mewujudkan penghormatan kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan, jadi tidak boleh sembarangan digunakan.</p>
<p>Masyarakat Jawa menggunakan makna simbolik dalam aktivitas kebudayaan sebagai <a href="https://lib.unnes.ac.id/27811/1/3401412085.pdf">pedoman hidup yang sudah mengakar</a>. Mereka melakukan ritual kebudayaan sebagai doa dan bentuk rasa bersyukur kepada Tuhan atas keselamatan, kesehatan, dan rezeki. </p>
<p>Pelbagai produk kebudayaan yang berasal dari keraton, antara lain berupa seni tari, tembang, karawitan, tingkat tutur bahasa dan upacara adat, yang dipercaya menjadi sarana mengajarkan <a href="http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Saptomo,%20M.Hum./Kesenian%20Sebagai%20Media%20Pendidikan%20Karakter.pdf">pendidikan karakter kepada generasi penerus</a>. </p>
<p>Sikap sinis masyarakat yang muncul terhadap keberadaan simbol-simbol kebudayaan Jawa dapat mengancam kesakralan simbol-simbol tersebut. </p>
<p>Persepsi sinis juga muncul karena sentimen agama yang begitu kuat. Tidak bisa dimungkiri bahwa di tengah masyarakat ada golongan yang mempersepsikan <a href="https://media.neliti.com/media/publications/178091-ID-tesis-antitesis-dan-sintesis-terhadap-ag.pdf">kebudayaan merupakan antitesis dari agama</a>.</p>
<p>Meski pemerintah menyatakan agama dan kebudayaan <a href="https://www.gatra.com/detail/news/362241-Relasi-Agama-dan-Budaya-Harus-Kembali-Harmonis">tak bisa dipisahkan</a>, tapi realitas di lapangan menunjukkan hal berbeda. </p>
<p>Konflik sebagai akibat aktivitas kebudayaan, termasuk beribadah menurut agama dan kepercayaan, terus terjadi. Konflik itu didasarkan pada asumsi bahwa berkebudayaan dengan semua atributnya adalah aktivitas di luar keagamaan yang menjadi sarana <a href="https://ejournal.upi.edu/index.php/jpis/article/viewFile/1616/PDF">mendelegitimasi agama</a> itu sendiri. </p>
<p>Kasus keraton palsu semakin mempertebal persepsi sinis golongan ini karena memperkuat argumen mereka bahwa ada aktivitas kebudayaan yang mengesampingkan dimensi ketuhanan dan <a href="http://eprints.uny.ac.id/2609/1/5._Tradisi_dan_Budaya_Masyarakat_Jawa_dalam_Perspektif_Islam.pdf">harus ditinggalkan</a>. Pemahaman seperti ini yang bisa mengancam aktivitas kebudayaan tradisional karena keberadaannya dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama. </p>
<h2>Dampak buruk</h2>
<p>Sikap sinisme masyarakat atas kebudayaan Jawa akibat kasus keraton palsu dapat memberi dampak buruk terhadap upaya pelestarian kebudayaan Jawa. </p>
<p>Setelah kasus keraton palsu, beberapa orang yang meragukan keberadaan simbol-simbol Jawa dan organisasi terkait yang sebenarnya sudah mendapat pengakuan dari negara dan pemangku kebijakan. </p>
<p>Sikap <a href="https://regional.kompas.com/read/2020/01/17/21243621/kisah-keraton-jipang-di-blora-yang-beda-dengan-keraton-agung-sejagat?page=all">skeptisme masyarakat seperti itu terjadi di Blora, Jawa Tengah</a>. Tak lama setelah kasus Keraton Agung Sejagat muncul, masyarakat di Blora meragukan keberadaan Yayasan Keraton Jipang yang didirikan untuk melestarikan budaya Jawa setempat. Padahal, yayasan tersebut sudah mendapat pengakuan dari pemerintah. </p>
<p>Bukan tidak mungkin, setelah kasus keraton palsu, sentimen negatif terhadap segala aktivitas kebudayaan berpotensi meningkat.</p>
<p>Di tengah segala tantangan modern yang mengancam keberadaan produk kebudayaan Jawa, Kasus Keraton Agung Sejagat kian membuat budaya Jawa kian terancam.</p>
<p>Produk kebudayaan berupa kesenian tradisional bisa dipandang sebelah mata. Sanggar yang rutin menyelenggarakan kegiatan kebudayaan, hingga aktivitas para penghayat kepercayaan, semakin terdelegitimasi keberadaannya. </p>
<p>Celya Intan Kharisma Putri, dosen Universitas Airlangga Surabaya, menyebutkan bahwa persoalan penggunaan bahasa Jawa ragam krama, yaitu tingkat tutur paling tinggi dalam bahasa Jawa, bahkan <a href="https://theconversation.com/respons-milenial-jawa-di-tengah-kekhawatiran-kepunahan-bahasa-jawa-krama-106089">sudah mulai memudar</a> setidaknya sejak 1998.</p>
<p><a href="http://publikasi.data.kemdikbud.go.id/uploadDir/isi_6B964F97-8196-45DA-95B7-715095411517_.pdf">Analisis Partisipasi Kebudayaan</a> yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2016 menyebutkan angka partisipasi masyarakat dalam aktivitas kebudayaan tradisional masih rendah yaitu di bawah 3%.</p>
<p>Dengan demikian, sikap sinisme terhadap kebudayaan Jawa setelah kasus keraton palsu muncul berpotensi membuat partisipasi dalam aktivitas kebudayaan menjadi semakin turun.</p>
<p>Pada akhirnya, tanpa narasi memadai bahwa motif “Keraton Agung Sejagat” hanyalah <a href="https://kompas.id/baca/utama/2020/01/15/pengikut-kas-diminta-iuran-hingga-puluhan-juta-rupiah/">modus penipuan semata</a>, maka nilai-nilai kebudayaan tradisional Jawa yang sudah rapuh di tengah tantangan era modern akan jadi taruhannya. </p>
<p>Untuk mencegah kasus sejenis ke depannya, pemerintah semestinya bisa segera menerbitkan daftar “keraton dan kerajaan Jawa resmi” yang diakui negara beserta trah dan garis sejarah yang jelas. Langkah tersebut bisa bisa menjadi upaya merawat persepsi positif publik terhadap kebudayaan Jawa di Indonesia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/130199/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dhoni Zustiyantoro menerima dana penelitian Pusat Kajian Budaya Pesisir Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, pada 2019.</span></em></p>Tanpa narasi memadai bahwa “Keraton Agung Sejagat” murni tindakan kriminal, bukan kebudayaan, masyarakat bisa berpersepsi sinis terhadap aktivitas kebudayaan.Dhoni Zustiyantoro, Lecturer in Javanese Literature Study Program, Universitas Negeri SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.