Menu Close
Bus Transjakarta melintas di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta
Butuh regulasi yang progresif untuk atasi kualitas udara di Jakarta. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.

Jakarta bisa saja dapat penghargaan Transportasi Berkelanjutan, tapi masih banyak PR untuk kurangi polusi udara

Pemerintah provinsi DKI Jakarta mendapatkan penghargaan Sustainable Transport Award (STA) 2021 akhir Oktober lalu dari Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) dan Komite Penghargaan Transportasi Berkelanjutan (dari berbagai organisasi, seperti World Resources Institute, Clean Air Asia, hingga Bank Dunia).

Penghargaan ini diberikan kepada kota-kota yang berhasil menerapkan strategi untuk meningkatkan mobilitas masyarakat dengan transportasi umum, meningkatkan keselamatan dan akses bagi pejalan kaki serta pengendara sepeda, hingga mengurangi polusi udara.

Namun, dari banyak kriteria tersebut, DKI Jakarta terpilih sebagai pemenang hanya berdasarkan atas 2 hal, yaitu pertumbuhan dan perbaikan pada moda transportasi umum (Transjakarta), serta pembangunan lajur sepeda.

Fakta tersebut meninggalkan pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah DKI Jakarta yang masih gagap dalam mengurangi tingkat polusi udara.

Bahan bakar tidak ramah lingkungan

Pemerintah DKI Jakarta memang berhasil menggenjot perbaikan moda transportasi umum, terutama bus Transjakarta. Tetapi, kendaraan bermotor masih menjadi penyumbang utama terhadap buruknya kadar kualitas udara di Jakarta.

Berdasarkan data dari Breathe Easy Jakarta, sebuah program kerjasama Pemprov DKI Jakarta dengan United States Environmental Protection Agency (USEPA), emisi dari sektor transportasi di DKI Jakarta diperkirakan sekitar 43-46% sepanjang 2012 hingga 2030 mendatang.

Angka tersebut diperoleh berdasarkan perbandingan dari sektor transportasi, industri, dan domestik. Artinya, kontribusi emisi dari sektor transportasi masih cukup tinggi.

Salah satu kontributor utama adalah penggunaan bahan bakar yang tidak ramah lingkungan.

Tahun 2019, Vital Strategies, sebuah lembaga internasional nirlaba yang fokus pada isu kesehatan publik, merilis hasil studi bahwa kontribusi asap knalpot kendaraan sebesar 32-41% (musim penghujan) dan 42-57% (musim kemarau) terhadap konsentrasi PM2.5 di DKI Jakarta.

Studi ini dilakukan sepanjang musim hujan (Oktober 2018–Maret 2019) dan musim kemarau (Juli–September 2019).

PM2.5 merupakan partikel halus berukuran 2,5 mikrometer atau lebih kecil dari ukuran rambut manusia. Ini merupakan salah satu indikator kualitas udara yang buruk dan berkaitan erat dengan kesehatan manusia.

Standar aman dari WHO untuk konsentrasi PM2.5 adalah tidak melebihi 25 mikrogram/m3 untuk rata-rata harian.


Read more: Sumber masalah polusi Jakarta: Kebijakan pemerintah yang buruk


Sepanjang masa pandemi tahun 2020, pemerintah DKI Jakarta sudah berusaha membatasi arus mobilitas transportasi, termasuk kendaraan bermotor pribadi, namun upaya tersebut tidak membuat konsentrasi PM2.5 menurun, meski kualitas udara sempat membaik.

Polusi udara di Jakarta tak hanya berpengaruh buruk ke kesehatan, namun juga ekonomi.

Sebuah jaringan advokasi yang bertujuan menghapuskan bensin bertimbal di Indonesia, Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), menyatakan bahwa bahan bakar seperti Pertalite 90, Premium 88, Solar 48, dan Dexlite berdampak buruk bagi kualitas udara serta dapat merusak mesin kendaraan.

Ratusan mobil dan motor berhenti di depan lampu merah.
Penggunaan bahan bakar tidak ramah lingkungan kontribusi polusi udara di Jakarta. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/pd/16

Regulasi yang progresif

Peralihan ke transportasi publik demi mengatasi polusi udara DKI Jakarta memerlukan regulasi yang progresif.

Salah satu solusi menekan penggunaan kendaraan pribadi adalah menerapkan kebijakan pajak bahan bakar dan jarak tempuh.

Baru-baru ini, para peneliti dari Institute for Policy Integrity, New York University School of Law merekomendasi kedua kebijakan ini bagi Amerika Serikat.

Laporan Surface Transportation Market Failures and Policy Solutions yang rilis September 2020 menyarankan adanya penyesuaian biaya pajak bahan bakar dengan inflasi dan kerusakan eksternal yang belum diperhitungkan, yaitu sekitar 50 sen dolar atau Rp7054 (kurs 21 Januari 2021) per galon untuk pajak bensin dan 10 sen per mil untuk jarak tempuh.

Penerapan biaya jarak tempuh yang lebih tinggi berdasarkan usia kendaraan, ukuran kendaraan, kelayakan, serta efisiensi bahan bakar juga perlu dilakukan.

Biaya-biaya ini masuk ke dalam ongkos penggunaan jalan, seperti jalan tol atau pajak tahunan kendaraan bermotor.

Semakin banyak bahan bakar yang digunakan untuk perjalanan, maka semakin banyak biaya yang dikeluarkan.

Begitu pula dengan jarak tempuh, semakin kita sering berpergian, maka biaya yang dikeluarkan untuk tol dan/atau pajak tahunan kendaraan semakin tinggi.


Read more: Apakah kecepatan mengemudi bisa mengurangi emisi dari mobil?


Di Indonesia, pajak bahan bakar dan pajak kendaraan bermotor masih terbatas untuk biaya pemeliharaan jalan atau operasional.

Padahal, pemerintah bisa mengarahkan kebijakan pajak bahan bakar dan jarak tempuh untuk pengendalian pencemaran.

Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 17 soal instrumen ekonomi lingkungan hidup yang terbit tahun 2017 memberlakukan tarif pajak pusat dan daerah pada setiap orang yang memanfaatkan sumber daya alam berdasarkan kriteria dampak lingkungan hidup, seperti pencemaran udara.

Idealnya, pemerintah DKI Jakarta bisa menggunakan aturan ini sebagai dasar untuk menerapkan pajak bahan bakar dan jarak tempuh, dan menggunakan pemasukan ini sebagai sumber dana penanggulangan pencemaran lingkungan.

Harapannya, biaya-biaya tambahan ini bisa mengurungkan niat masyarakat menggunakan kendaraan pribadi dan beralih kepada transportasi umum.

Pada akhirnya, perubahan perilaku ini bisa memperbaiki kualitas udara perkotaan, sekaligus kualitas hidup masyarakat.


Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now