Menu Close

Jakarta: keadilan sosial dan perumahan jangan jadi taruhan di pasar keuangan global

Beberapa rumah di Kampung Tongkol setelah dipotong dan direnovasi. Alessandra Renzi, Author provided

Sebagai seorang sosiolog dan peneliti media yang tertarik pada cara-cara baru warga untuk aktif, saya datang ke Jakarta—ibu kota Twitter dunia—dengan maksud meneliti penggunaan media sosial yang inovatif.

Namun, kunjungan saya pada 2015 ke sebuah perkampungan informal di dekat muara, Kampung Tongkol di Ancol, Jakarta Utara, menyingkap sesuatu yang lebih hibrid dan menarik: partisipasi warga melalui berbagai campuran media (mixed-media) untuk memetakan infrastruktur fisik, sosial, dan ekonomi mereka di kampung. Mereka juga secara sukarela memotong rumah mereka sendiri untuk memberi ruang untuk jalanan di pinggir sungai, dengan harapan bisa menghindari penggusuran paksa, yang biasanya dilakukan untuk membangun jalanan di pinggir kali.

Sejak kunjungan awal saya, saya telah melihat tiga kampung, Tongkol, Lodan, dan Kerapu menjadi contoh pencegahan banjir yang lestari, pemeliharaan sungai, dan pengembangan ekonomi skala kecil. Saya mengamati warga di sana membersihkan anak kali Ciliwung seminggu sekali menggunakan rakit, dan saya juga mendokumentasi bagaimana mereka mengelola sampah: mendaur ulang dan membuat kompos untuk pupuk tanaman sayur dan buah mereka.

Apa hubungan penggusuran dengan investasi properti?

Pengembangan real estate di Jakarta berperan besar dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Mal-mal, plaza, dan menara-menara kondominium menciptakan imaji kota yang modern dan kosmopolitan. Lebih dari itu properti-properti ini adalah fokus dari investasi lintas negara.

Investasi ini pada dasarnya bukan perkara jual beli rumah tetapi lebih berkaitan dengan jual beli di pasar saham. Operasi-operasi keuangan yang rumit dan sulit dipahami menyediakan aliran dana virtual yang dibutuhkan untuk membangun baik properti pribadi maupun komersil. Di Indonesia, ini dikenal dengan pasar pembiayaan sekunder perumahan (secondary mortgage facility) dan salah satu perusahaan pengelolanya adalah PT Sarana Multigriya Finance (SMF).

Skema ini memakan waktu tahunan dalam pengembangannya di Indonesia. Tahun 2009, skema ini diperkenalkan di Indonesia.

Dengan skema ini, investor di mana-mana di seluruh dunia dapat membeli paket-paket finansial yang isinya adalah saham-saham dari percampuran berbagai proyek pembangunan dan bukannya bangunan spesifik.

Ini semacam spekulasi investasi yang menawarkan keuntungan sangat tinggi dengan risiko yang juga sangat tinggi. Tetapi, karena skema ini menarik banyak investor dan mendorong pembangunan, maka pihak swasta dan pemerintah menyukainya.

Di Jakarta pembangunan real estate juga terkait erat dengan pengelolaan air, salah satunya tanggul raksasa dalam proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). NCICD berkait erat dengan reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta dan kedua proyek ini lahir dari visi investasi global untuk membangun “waterfront city”.

Meski diselimuti kontroversi dan gugatan hukum kedua proyek ini masih masuk dalam rencana pemerintah.

NCICD adalah kerja sama swasta dan pemerintah (public-private partnership) untuk melindungi Jakarta dari banjir rob dengan cara menutup Teluk Jakarta dengan tanggul raksasa. NCICD telah berganti rupa beberapa kali, termasuk sempat direncanakan akan berbentuk seperti Garuda. Rencana terakhir dari pemerintah tanggul ini akan dibangun sebagai tanggul luar yang menempel pada 17 pulau dan menghubungkan mereka.

Proyek “normalisasi” sungai juga menjadi contoh lain dari upaya tidak lestari untuk mengelola banjir. Proyek ini melebarkan dan mengeruk sungai untuk memberi ruang pada proyek-proyek infrastruktur yang tampak indah. Proyek ini tidak menyentuh sebab sesungguhnya dari banjir Jakarta. Banyak pakar mengatakan salah satu penyebab utama banjir Jakarta adalah pembangunan masif yang mencaplok daerah resapan air.

Meski proyek-proyek ini berdampak buruk pada warga setempat dan bahwa banjir di Jakarta tetap terjadi sesudah penggusuran, mereka menarik investasi, salah satunya karena harga tanah naik berlipat-lipat setelah penggusuran.

Dalam upaya menyelamatkan kota, pemerintah Jakarta bertaruh dengan proyek-proyek yang berbiaya mahal, berisiko, dan tidak lestari.

Keberadaan proyek-proyek dan skema investasi global ini membuat masa depan warga kampung kota di Jakarta menjadi pion pertaruhan di pasar keuangan global. Polanya sudah kelihatan, menjamurnya pembangunan properti dan infrastruktur kerap kali ditandai dengan meningkatnya jumlah penggusuran paksa yang kesahihan hukumnya layak dipertanyakan dan menimbulkan trauma bagi korbannya

Pada 2016 saja ada 193 penggusuran (80 lebih banyak dibanding 2015) yang berdampak pada 5.726 keluarga dan 6.379 unit usaha. Banyak dari mereka yang kehilangan rumah dan nafkah digusur tanpa proses hukum yang jelas dan dengan kekerasan, menurut laporan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.

Pada saat yang sama, rusunawa yang ditawarkan sebagai kompensasi hanya cukup untuk sebagian kecil dari yang tergusur. Rusunawa juga kerap terlalu kecil, mahal, dan jauh sekali dari kesempatan kerja atau ekonomi. Penggusuran masih akan ada dan ini hanya akan membuat masalah baru.

Satu komunitas yang mengadu nasib

Dengan latar belakang inilah warga kampung Tongkol, Lodan, dan Kerapu, juga warga kampung informal lainnya terdampak pembangunan. Mereka mempertaruhkan penghidupan mereka, jaringan sosial dan keluarga mereka, juga prospek ekonomi, tidak hanya untuk menyelamatkan rumah dan komunitas mereka, tapi juga untuk membayangkan Jakarta yang lebih lestari. Mereka menawarkan visi alternatif global tentang pembangunan kota.

Kelompok-kelompok seperti Urban Poor Consortium dan Komunitas Anak Kali Ciliwung di ketiga kampung tersebut tidak mau hanya berpangku tangan menunggu pemerintah mengakui haknya dan mereka sudah berupaya untuk membuat perencanaan penataan yang lestari, membangun infrastruktur dan merancang penataan mereka sendiri untuk meningkatkan nilai sosial ekonomi kampung. Bergotong-royong dan secara swadaya membangun kampung sendiri memang bukan hal baru di Jakarta, tetapi level kreativitas dan visi dari resep anti-penggusuran mereka lebih tinggi dari yang lain.

Untuk membalikkan tuduhan bahwa mereka warga liar yang jorok, warga dari tiga kampung itu menata kampung mereka sendiri. Penataan ternasuk memotong bagian depan rumah mereka sendiri agar jarak rumah ke bibir anak kali menjadi lima meter dan cukup untuk jalan inspeksi sungai. Mereka melakukannya menggunakan bahan lestari seperti bambu untuk merenovasi rumah yang tersisa.

Komunitas ini juga menarik kembali perhatian publik pada tembok kota tua Jakarta dan bekerja dengan seniman-seniman untuk membawa produksi budaya ke kampung mereka. Mereka melawan kesalahpahaman bahwa kampung adalah tempat kumuh dengan cara menarik pengunjung ke komunitas mereka dan memproduksi barang untuk dijual.

Kerja semacam ini hanya mungkin melalui pengorganisasian dari banyak jaringan komunitas, perencanaan partisipatif, dan pengorbanan demi bertahan hidup. Banyak peneliti bisa melihat nilai dari jaringan sosial ekonomi ini untuk suatu kota seperti Jakarta. Mendukung kerja-kerja di Tongkol, Lodan, dan Kerapu bukan saja upaya membela hak asasi manusia tetapi juga penting karena mereka menyumbang pada visi baru sebuah “megacity” yang justru memperoleh nilai dari perumahan lestari, upaya kampung tanpa sampah, dan ekonomi yang berskala kecil serta fleksibel.

Pengakuan ini telah mendorong para akademisi dari berbagai universitas nasional dan internasional untuk menopang kerja-kerja ini dengan penelitian dan keahlian. Interaksi antara akademisi dan komunitas ini diperkaya dengan pertukaran pengetahuan. Beragam organisasi nonpemerintah dan masyarakat sipil juga mendukung dan berharap upaya ini bisa direplikasi di kampung-kampung lain.

Memberikan kepastian akses tanah pada warga miskin kota bisa mengubah upaya-upaya ini menjadi eksperimen desain perkotaan “bottom-up” yang terorganisasi dengan baik. Dengan demikian Jakarta bisa menjadi pemimpin dalam melawan tren global di mana warga-warga yang paling rentan justru diusir dari tengah masyarakat. Tren ini didokumentasikan dengan mendalam oleh sosiolog Saskia Sassen dalam kajiannya tentang ekonomi global.

Sayangnya, mereka yang berkuasa masih saja lebih suka duduk-duduk di meja judi di mana kartu-kartunya sudah ditandai sehingga warga miskin kota sudah pasti kalah bertaruh. Maka dibutuhkan tekanan publik agar pemerintah melihat pentingnya reformasi di bidang hak atas tanah.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now