Menu Close
TikTok misinformasi pemilu 2024 Indonesia
Franck/Unsplash

Jelang pemilu 2024: waspada peran TikTok dalam penyebaran ujaran kebencian dan hoaks

Para peneliti dan organisasi masyarakat sipil harus mulai mengawasi potensi dampak TikTok di Indonesia karena negara ini akan menyelenggarakan pemilihan umum dan pemilihan presiden pada Februari 2024.

Indonesia menyumbang audiens terbesar kedua platform ini secara global.

Penelitian lain juga menemukan bahwa TikTok berperan dalam memfasilitasi penyebaran ujaran kebencian dan disinformasi.

Oleh karena itu, penelitian terkait potensi dampak TikTok terhadap opini publik Indonesia. Sementara itu, publik juga harus menekan TikTok untuk meningkatkan sistem pengawasannya.

Tinta ungu di jari setelah pemilihan presiden di Indonesia.
Tinta ungu di jari setelah pemilihan presiden di Indonesia sebagai bukti bahwa seseorang telah memberikan suaranya. Shutterstock

Propaganda etnoreligius di TikTok

TikTok telah mengalami pertumbuhan yang luar biasa dan semakin populer, terutama di kalangan anak muda di Asia Tenggara. Hal menggarisbawahi perannya yang signifikan dalam membentuk opini dan perilaku publik.

Hal ini ditunjukkan dengan jelas dalam demo yang dilakukan anak muda terkait Omnibus Law Ketenagakerjaan pada 2020. Saat itu anak muda Indonesia secara efektif menggunakan aplikasi ini untuk menyebarkan pesan-pesan politik dan menggalang dukungan.

Di Indonesia, yang merupakan negara multikultural dengan berbagai kelompok etnis dan agama, munculnya ujaran kebencian etnoreligius serta misinformasi dan disinformasi di ranah digital telah muncul sebagai masalah yang mendesak.

Propaganda etnoreligius, termasuk ujaran kebencian, misinformasi, dan disinformasi, tidak dapat dimungkiri telah tersebar luas di berbagai platform media sosial.

Namun, fitur-fitur TikTok yang berbeda dan memiliki pengaruh yang luas di Indonesia membuatnya menjadi layak untuk mendapatkan perhatian lebih.

Format video pendek TikTok memiliki tantangan yang berbeda dibandingkan dengan platform berbasis teks tradisional.

Durasi video yang terbatas menyulitkan untuk adanya pemberian konteks dan pengecekan fakta atas informasi yang disajikan, menjadikannya lahan subur bagi penyebaran ujaran kebencian dan misinformasi.

TikTok juga merancang algoritme untuk menunjukkan kepada pengguna, konten berdasarkan minat mereka, menciptakan ruang gema yang semakin memperkuat kepercayaan dan bias yang ada.

Tanpa pengawasan yang tepat, TikTok berpotensi menjadi tempat berkembang biak bagi para aktor politik dan cyberarmies (tentara siber).

Cyberarmies adalah kelompok individu yang terorganisasi yang terlibat dalam aktivitas siber yang terkoordinasi, sering kali dengan tujuan mempengaruhi opini publik, mengganggu komunikasi online, atau melakukan perang siber.

Dalam hal ini, aktor politik menggunakan cyberarmies untuk menyebarkan propaganda etnoreligius, yang semakin memperparah ketegangan dan perpecahan.

Hal ini terlihat jelas selama pemilu Malaysia 2022, ketika narasi berbahaya beredar dengan cepat di platform tersebut, sementara intervensi TikTok terbukti tidak cukup untuk mengekang penyebarannya.

Keuntungan politik dan opini publik

Riset awal saya mengindikasikan bahwa propaganda etnoreligius sudah beredar menjelang pemilihan umum yang akan datang di Indonesia.

Salah satu contoh dari konten tersebut adalah video fitnah yang menyasar mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, yang merupakan salah satu kandidat dalam pemilu yang akan datang.

Video yang diposting oleh @logikapolitik pada 12 Januari 2023 ini dimulai dengan pernyataan yang menghasut, “memberikan nama baptis lebih buruk daripada makan daging babi”. Narator kemudian menyarankan Anies, yang sebelumnya didukung oleh kelompok Islam garis keras, dalam upaya untuk menarik pendukung Kristen, “berpindah agama” menjadi Kristen setelah menerima nama Yohanes.

@logikapolitik menuduh bahwa Anies Baswedan menyamar sebagai seorang Kristen palsu untuk mendapatkan dukungan dari para pendukungnya yang beragama Kristen. Kabarnya, Anies Baswedan dibaptis, diberi nama Kristen Yohanes dan kemudian menjadi murtad dari Islam. Dalam video tersebut @logikapolitik menyoroti bahwa Anies Baswedan sering menggunakan retorika etnoreligius selama kampanyenya dan sekarang telah meninggalkan Islam dalam upaya untuk meyakinkan umat Kristiani dan mengamankan kekuasaan politik. Keterangan pada video tersebut berbunyi ‘dengan tujuan untuk maju dalam pemilihan calon presiden, Yohanes menggunakan berbagai strategi. Nuurrianti Jalli

Contoh ini menunjukkan bagaimana aktor politik dapat mengeksploitasi propaganda di TikTok untuk memajukan agenda dan memanipulasi opini publik. Hingga 6 April 2023, video tersebut masih ada di platform tersebut.

Kita juga harus mengantisipasi penggunaan tentara siber di platform seperti TikTok, seperti yang terjadi pada pemilu sebelumnya.

Para individu ini sering beroperasi melalui akun anonim atau akun palsu yang memungkinkan mereka untuk menyebarkan dan memperkuat pesan-pesan diskriminatif dengan cepat.

Dengan membuat pesan-pesan ini tampak lebih populer dari pada yang sebenarnya, mereka dapat secara efektif mempengaruhi opini publik dan memperburuk perpecahan dalam masyarakat.

Salah satu contoh konten yang menguatirkan di TikTok adalah postingan dari 13 April 2022, yang masih ada di platform tersebut sampai sekarang. Akun tersebut, yang awalnya dikenal dengan nama jomblollimited, telah berganti nama menjadi @garasiinspirasi1. Unggahan ini hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak konten di TikTok yang mengandung nuansa etnoreligius yang kuat. Keterangan video tersebut mengklaim, ‘CIA Yahudi Amerika dan sekutunya telah menyiapkan presiden boneka untuk Pemilihan Presiden 2024. Islam hanya digunakan sebagai alat mobilisasi. Nuurrianti Jalli

Dampak di kehidupan nyata

Propaganda etnoreligius di platform seperti TikTok dapat menimbulkan konsekuensi di kehidupan nyata, seperti meningkatnya ketegangan di antara berbagai kelompok etnis dan agama.

Hal ini terbukti selama Pemilu Indonesia 2019. Kala itu terjadi peningkatan yang signifikan dalam ujaran kebencian, misinformasi, dan disinformasi di media sosial yang berujung pada protes di dunia nyata dan insiden kekerasan.

Joko Widodo memenangkan pemilihan Presiden 2014
Joko Widodo memenangkan pemilihan Presiden 2014. Shutterstock

Ujaran kebencian selama pemilu sering kali berbentuk klaim-klaim palsu yang dibuat tentang kandidat lawan dan pendukungnya yang bertujuan untuk menyulut kemarahan dan permusuhan.

Protes-protes ini berubah menjadi kekerasan, ditandai dengan bentrokan antara pengunjuk rasa dan aparat keamanan yang mengakibatkan beberapa orang meninggal dan banyak yang terluka.

Untuk mencegah situasi serupa muncul di masa depan, sangat penting untuk mengatasi masalah ujaran kebencian dan informasi yang salah di TikTok, memastikan bahwa hal tersebut tidak menimbulkan ketegangan dan kekerasan.

TikTok perlu meningkatkan sistem moderasi kontennya

Menjelang pemilu di Indonesia, TikTok perlu untuk meningkatkan sistem moderasi kontennya untuk membatasi propaganda di platformnya.

Untuk mengatasi masalah ini, TikTok harus meningkatkan algoritme AI dan machine learning dengan set data yang beragam untuk meningkatkan deteksi propaganda. Selain itu, mempekerjakan lebih banyak moderator terampil yang menguasai bahasa dan norma setempat sangat penting untuk menangani konten yang bernuansa SARA.

Untuk lebih memahami konteks Indonesia, TikTok harus meningkatkan kolaborasi dengan para ahli, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan akademisi lokal untuk mendapatkan wawasan yang berharga dalam mengatasi tantangan ujaran kebencian dan disinformasi.

Terakhir, TikTok harus transparan mengenai upaya moderasi, kebijakan, dan kemajuannya, termasuk menerbitkan laporan transparansi dan terlibat dalam dialog terbuka dengan para pengguna dan pemangku kepentingan.

Dengan melakukan pendekatan yang komprehensif dan proaktif, TikTok dapat membantu menciptakan lingkungan online yang lebih aman dan inklusif selama pemilihan umum di Indonesia yang akan datang.


Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now