Menu Close
ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj

Jika diteruskan, reklamasi Jakarta bisa rusak ekosistem dan perparah sampah pesisir

Pemerintah DKI Jakarta memutuskan untuk melanjutkan proyek pembuatan daratan baru dari dasar laut di Jakarta Utara, atau yang dikenal dengan sebutan reklamasi, dengan mengeluarkan izin terhadap proyek yang dianggap kontroversial tersebut.

Gubernur Jakarta Anies Baswedan yang dulu pernah berjanji akan menghentikan semua proyek reklamasi di Jakarta memutuskan untuk mengeluarkan izin.

Ia beralasan bahwa proyek ini dapat mengatasi banjir yang kerap melanda ibu kota.

Peneliti dan aktivis lingkungan meragukan klaim tersebut. Mereka mengatakan proyek reklamasi akan mengubah sirkulasi air, namun tidak mengubah kondisi rawan banjr dari Jakarta.

Mengubah arus laut

Mutiara Rachmat Putri, Ketua Kelompok Keahlian Oseanografi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menjelaskan bahwa proyek reklamasi membuat arus laut berubah.

Arus yang semula mengalir sesuai garis pantai harus “mengambil” rute lain dan akhirnya membentuk “kolom-kolom air baru”, jelasnya.

Keadaan arus pada tahun 2006, sebelum adanya lahan reklamasi di Teluk Jakarta. Sumber: Tim Peneliti Oseanografi ITB.
Perbedaan arus yang menjadi lebih besar sesudah adanya lahan reklamasi di Teluk Jakarta. Sumber: Tim Peneliti Oseanografi ITB.

Perubahan arus tersebut, jelasnya, bisa menciptakan masalah baru, yaitu sampah-sampah yang tersangkut di kanal-kanal di lahan reklamasi.

Pasalnya, aliran sungai sekitaran kawasan tersebut juga turut berubah. Jika pulau reklamasi itu punya kanal-kanal atau jalan penghubung, hal itu justru menjadi perangkap bagi sampah yang keluar dari sungai.

“Yang seharusnya secara alami (arus itu) membilas (sampah) yang ada di pantai, jadi terhambat lagi oleh daratan itu. Kalau dilihat dari simulasi kami, justru ada di celah-celah atau kanal yang ada di pulau reklamasi itu,” tambahnya.


Read more: Banjir besar di Jakarta awal 2020: penyebab dan saatnya mitigasi bencana secara radikal


Meskipun demikian, Mutiara mengatakan bahwa klaim tersebut harus melihat berapa persen areal yang direklamasi untuk melihat dampak banjir yang ditimbulkan.

“Kalau sungai dan danau tidak dikeruk, banjir sangat mungkin, karena sedimen terus menerus ada di aliran sungai dan air bisa meluap kemana-mana. Kalau dikeruk, tetapi tanah hasil kerukan dibiarkan, maka kemungkinan tersedimentasi lagi ke sungai juga sangat mungkin dan kembali terjadi banjir,” ujarnya.

Truk menuangkan pasir.
Pekerja menggunakan alat berat menggarap proyek reklamasi Ancol di Jakarta, Sabtu (4/7/2020). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/hp

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), menilai bahwa reklamasi ini sebenarnya tidak dibutuhkan oleh Jakarta untuk mencegah banjir karena pangkal permasalahan dari banjir sebenarnya adalah ruang terbuka Hijau (RTH) di Jakarta yang menyusut secara drastis.

“Permasalahan paling konkret adalah kebutuhan ruang hijau itu sendiri. Dengan membangun (giant seawall) atau 17 pulau, ini tidak menyelesaikan masalah di depan jika tetap mengeluarkan izin apartemen, mal, dan bikin pulau baru sementara RTH di Jakarta tetap dipangkas habis. Jadi ya sama saja bohong,” kata dia.

Oleh karena itu, melanjutkan proyek reklamasi tidak menyelesaikan masalah banjir di Jakarta malah dapat menciptakan banjir jika tidak dikelola dengan baik.

Merusak ekosistem

Proyek reklamasi dapat merusak ekosistem daerah pesisir pantai.

“Apa yang tadinya tumbuh di sana, jadi tidak tumbuh. Apa yang sebelumnya berada di sana jadi tidak ada,” jelas Mutiara.

Mutiara menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan karena tanah yang masih basah berpotensi terlepas dan terendapkan, sehingga membuat air keruh.

“Hal ini membuat keruh air laut dan akan berdampak pada plankton tumbuhan (fitoplankton) yang semakin sedikit, jadi kegiatan mereka untuk memasak (fotosintesis) di air itu sangat berkurang dengan banyaknya sedimentasi,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menambahkan tanah reklamasi yang diambil dari lumpur kerukan sungai dan waduk memiliki kemungkinan sudah tercemar.


Read more: Riset: Ciliwung termasuk sungai terkotor di dunia


Lebih lanjut, Devi Nandita Choesin, ahli ekologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menambahkan bahwa secara umum, reklamasi berpotensi mengubah kondisi fisika-kimia dan biologis (aspek hidrologi, substrat/sedimen, dan biota) ekosistem pesisir dan dapat berdampak pada keanekaragaman hayati.

Penelitian dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Puslitbang KKP) tentang dampak reklamasi bagi lingkungan menunjukkan penurunan keanekaragaman plankton tumbuhan (fitoplankton) dan biota dasar perairan (makrozoobenthos) pada tahun 2016 dibandingkan 2014.

Keanekaragaman yang semula di tingkat sedang (>1) turun menjadi ke tingkat miskin (<1).

Penelitian tersebut juga menunjukkan hilangnya hutan mangrove akibat reklamasi dapat menghilangkan fungsi Teluk Jakarta sebagai daerah pemijahan dan pengasuhan biota perairan.

“Jika di suatu daerah terdapat mangrove, tetapi kemudian mangrove tersebut terdegradasi atau bahkan hilang, maka tentu fungsi ekologisnya juga akan hilang,” kata Devi.

Susan menandaskan tidak ada dalam sejarah reklamasi yang tidak memberikan dampak buruk terhadap ekologi.

“Logika sederhananya, kalau kita punya air bersih lalu kita timbun dengan pasir, otomatis kan terendap,” katanya. “Kalau di situ ada ekologi seperti terumbu karang sudah pasti mati. Karang kan juga jadi rumah ikan dan kerang, ya otomatis hilang dan rusak juga.”


Koreksi :

1) “perubahan ekosistem pesisir akibat reklamasi bisa berdampak pada berkurangnya keanekaragaman hayati pesisir pantai” seharusnya “Secara umum, reklamasi berpotensi mengubah kondisi fisika-kimia dan biologis (aspek hidrologi, substrat/sedimen, dan biota) ekosistem pesisir dan dapat berdampak pada keanekaragaman hayati.”

2) “Pasti ada dampaknya, seperti mangrove yang punya salah satu fungsi pengasuhan biota, ya kalau mangrove-nya tidak ada, fungsi itu akan hilang,” menjadi “Jika di suatu daerah terdapat mangrove, tetapi kemudian mangrove tersebut terdegradasi atau bahkan hilang, maka tentu fungsi ekologisnya juga akan hilang.


Turut diwawancara untuk artikel ini, Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).


Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now