Menu Close
Seorang mahasiswi memegang sebuah poster yang berkata, ‘Bebaskan rakyat Papua’, dalam unjuk rasa yang diadakan di Surabaya, Jawa Timur awal Desember lalu. Fully Handoko/EPA

Jokowi dan penegakan HAM di Papua: potensi kegagalan dan upaya memperbaikinya

Dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Pada 10 Desember, The Conversation menerbitkan serangkaian tulisan mengenai HAM.

Sejak empat tahun terakhir, Papua menjadi prioritas dalam program pembangunan infrastruktur pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan konektivitas dan menggugah daya saing daerah.

Sebagai daerah yang paling terisolasi, pembangunan jalan raya Trans Papua, dan pembangunan infrastruktur lainnya dapat membuka akses bagi Papua.

Namun proyek pembangunan yang dirintis oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo ini belum mampu merebut hati orang Papua.

Awal bulan Desember, pembangunan Trans Papua terusik dengan penyerangan yang diduga dilakukan oleh tentara Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Nduga, Papua. Sedikitnya 16 orang yang merupakan pekerja konstruksi proyek jembatan tewas dalam peristiwa itu.

Kejadian ini menimbulkan pertanyaan: mengapa pembangunan di Bumi Cendrawasih tidak mampu menghentikan berulangnya aksi-aksi kekerasan di sana?

Merunut akar persoalan

Peristiwa di Nduga mengkonfirmasi analisis tim kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengenai akar persoalan di Papua, termasuk pelaku dan kepentingannya.

Sedikitnya terdapat empat akar persoalan di Papua.

1. Marjinalisasi dan diskriminasi terhadap penduduk asli Papua.

Masalah ini sempat teratasi dengan penunjukan penduduk asli untuk memegang posisi politik strategis di Papua, seperti posisi kepala daerah.

Namun bagaimana dengan akses pendidikan dan kesehatan bagi penduduk Papua terutama mereka yang tinggal di daerah-daerah pedalaman?

Faktanya belum setiap orang Papua mendapatkan pelayanan yang memadai karena infrastruktur yang belum terhubung ke pelosok Papua. Belum lagi keterbatasan tenaga pendidik dan kesehatan, sehingga pelayanan menjadi sangat terbatas. Hal ini ditunjukkan dengan keterbatasan jumlah tenaga kesehatan yang profesional dan jumlah rumah sakit yang tidak seimbang dengan jumlah masyarakat.

Begitu pula dengan sektor pendidikan. Karena keterbatasan jumlah guru, seorang anak kelas sembilan bernama Abraham Hubi yang berasal dari desa terpencil tidak bisa membaca dan menulis dan harus mengikuti pelajaran tambahan.

Kasus campak dan kurang gizi di Kabupaten Asmat, Papua yang pernah menjadi sorotan dan ramai diperbincangkan membuktikan adanya persoalan sosial di Tanah Papua. Hal ini merupakan bagian dari masalah hak asasi manusia (HAM) di mana aspek kesehatan bagi penduduk asli Papua belum terpenuhi.

2. Tidak optimalnya pembangunan di Papua.

Hingga 2017, pemerintah telah menggeluarkan dana Otonomi Khusus (Otsus) sebesar Rp63,8 triliun. Alokasi ini di luar anggaran untuk pembangunan infrastruktur. Alokasi dana Otsus tahun 2018 masing-masing berjumlah sebesar Rp8 triliun. Kemudian pada 2019, alokasi dana Otsus untuk Papua adalah Rp 8,3 triliun .

Namun, meski dana Otsus cukup besar kasus kelaparan dan kurang gizi seperti di Asmat mendorong perlu dievaluasinya efektivitas dana Otsus Papua agar pembangunan di Papua optimal dan tidak menyebabkan konflik.

3. Masih adanya kekerasan dan pelanggaran HAM.

Kasus penembakan di Nduga merupakan bukti bahwa kekerasan masih berlangsung di Papua. Dari kasus tersebut ternyata pelaku kekerasan bukan hanya aparat keamanan, tapi juga kelompok sayap militer OPM.

Untuk menindak tindakan kekerasan ini, kita harus bisa mendefinisikan kekerasan tersebut. Apakah ini termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM atau memang murni aksi kelompok ideologis berbasis kekerasan?

Kejelasan definisi akan berpengaruh pada langkah penegakan hukum yang tepat untuk menciptakan stabilitas jangka panjang di Papua.

Meski pihak aparat yang bertugas di Papua relatif paham HAM dan memiliki pedoman berupa buku saku prajurit TNI tentang hak asasi manusia dan buku saku HAM Kepolisian Negara RI, namun faktanya tidak mudah mengubah watak represif kekerasan.

4. Pro dan kontra mengenai proses integrasi Papua ke Indonesia yang belum selesai.

Masih adanya perdebatan atas status politik Papua di dalam wilayah Republik Indonesia.

Bagi Pemerintah Indonesia, status Papua sudah final, tidak ada tawar menawar. Hal ini selamanya akan menjadi akar persoalan yang sangat sensitif untuk dinegosiasikan karena akan membuat perdebatan panjang mengenai sejarah politik Papua.

Solusi yang ditawarkan

Penyelesaian kasus Nduga dapat menjadi pintu masuk untuk mengevaluasi tindakan pemerintah dalam mengimplementasikan program-programnya agar berdasar pada prinsip HAM.

Untuk memperbaiki kondisi Papua di masa depan, perlu dirumuskan langkah yang strategis dan komprehensif.

Hal ini dapat dimulai dengan melakukan evaluasi menyeluruh atas implementasi UU Otsus bagi Papua. Evaluasi ini bisa dilakukan menjelang 20 tahun pelaksanaan Otsus Papua pada 2021 dan melibatkan institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan audit.

Secara administratif, Papua terbagi dalam dua provinsi: Papua dan Papua Barat, dengan 29 kabupaten/kota di Provinsi Papua dan 13 kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat.

Pemerintah daerah menjadi pendorong utama kemajuan pembangunan di bawah UU Otsus Papua, namun pilar lain yang juga berperan penting dalam mendukung keberhasilan Papua adalah Majelis Rakyat Papua (MRP) yang baru berdiri tiga tahun setelah UU Otsus diberlakukan.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua dan Papua Barat juga berperan di sektor regulasi daerah. Dalam konteks penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan memutus siklus kekerasan di Papua, setiap pilar perlu mengevaluasi setiap perannya, sekaligus merumuskan bersama langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan Papua, baik fisik maupun non-fisik.

Pemahaman isu HAM Papua bagi aparat hukum perlu ditingkatkan. Jika kesadaran aparat hukum akan HAM tinggi maka proses penegakan hukum akan berjalan proporsional dan sesuai aturan. Selain itu, hak-hak para korban konflik kekerasan di Papua juga akan menjadi perhatian aparat hukum yang sadar HAM.

Butuh lebih dari sekadar kepedulian

Papua menjadi bagian penting bagi pemerintahan Jokowi sejak dirinya menjadi presiden. Kepedulian Jokowi terhadap Papua tampak jelas dari frekuensi kunjungan ke daerah paling timur di Indonesia tersebut. Tidak kurang delapan kali Jokowi mengunjungi Papua, lebih sering dibanding dari daerah-daerah lain di Indonesia.

Program pembangunan infrastruktur pemerintah berupa jalan, jembatan, pelabuhan laut, dan bandar udara menjadi bukti lain betapa daerah Papua sangat istimewa.

Dampak positif yang diharapkan adalah keterisolasian Papua dapat teratasi, sehingga Papua bisa menjadi lebih maju, dan kesejahteraan penduduk Papua semakin meningkat.

Namun niatan baik pemerintah tersebut jika tidak dilakukan dengan cara yang tepat dan melibatkan aktor-aktor yang tepat maka semuanya bisa dibilang percuma.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now