Fenomena penurunan jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia menjadi sorotan setelah Badan Pusat Statistik (BPS) merilis datanya Agustus lalu. Laporan BPS menunjukkan proporsi kelas menengah pada 2024 tercatat sebesar 47,85 juta jiwa, melorot dibandingkan periode prapandemi COVID-19 pada 2019 yang mencapai 57,33 juta jiwa.
Sebaliknya, kelompok aspiring middle class atau kelas menengah rentan menunjukkan peningkatan jumlah, yakni dari 128,85 juta jiwa pada 2019 menjadi 137,5 juta jiwa pada tahun 2024. Jumlah kelompok miskin pun meningkat menjadi 25,22 juta jiwa, sedikit lebih tinggi dari 25,14 juta jiwa pada 2019.
Apakah situasi ini bisa menjadi alarm tanda bahaya bagi perekonomian Indonesia?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas issue ini bersama Krisna Gupta, senior fellow dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dan dosen dari Politeknik APP Jakarta.
Krisna mengatakan tren penurunan kelas menengah di Indonesia ini bukanlah hal yang baru. Mengutip laporan dari LPEM FEB UI, ia menjelaskan bahwa penurunan kelas menengah telah menjadi tren jangka panjang yang sudah terjadi sejak 2019, bukan hanya fenomena baru yang disebabkan oleh pandemi.
Krisna menambahkan, fenomena ini terjadi dikarenakan adanya “guncangan” di sektor formal. Ia mengatakan banyaknya permasalahan yang timbul di sektor formal Indonesia yang mengakibatkan banyaknya masyarakat yang kehilangan pekerjaan ini berdampak terhadap turunnya tingkat konsumsi dan pendapatan masyarakat sehingga masyarakat kelas menengah harus “turun kelas” menjadi masyarakat kelas menengah rentan.
Apabila situasi ini tidak segera diperbaiki, Krisna beranggapan ini adalah sebuah peringatan yang serius bagi perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi negara yang masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga bisa tersendat apabila jumlah masyarakat kelas menengah semakin banyak yang turun dan daya beli masyarakat cenderung melemah.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.