Menu Close
Energi nol emisi adalah bagian dari solusi menghadapi perubahan iklim. U.S. Department of Energy/flickr

Jurnalisme solusi : cara baru untuk komunikasikan krisis iklim

Dalam sebuah acara tayang bincang di Amerika Serikat, Last Week Tonight With John Oliver, Bill Nye, salah seorang komunikator sains populer di negara tersebut tiba-tiba menyalakan api ke sebuah bola bumi. Sebuah aksi yang diharapkan bisa membangunkan warga Amerika dari sikap tidak acuh terhadap dampak perubahan iklim.

Baik di tayang bincang atau berita malam hari, penjelasan tentang perubahan iklim selalu memperlihatkan peringatan akan ada bahaya. Berita-berita perubahan iklim dipenuhi dengan referensi tentang memburuknya kebakaran hutan, mencairnya gletser, hingga naiknya permukaan air laut.

Namun, penekanan pada malapetaka dan kesuraman ini dapat membuat orang merasa tidak berdaya dan putus asa untuk dapat membuat perubahan.

‘Tayang bincang bersama John Oliver (HBO) tentang Green New Deal. Segmen dengan Bill Nye dimulai pada 18:20.

Climate Access, sebuah kelompok riset nirlaba yang berfokus kepada solusi perubahan iklim menyatakan bahwa “pesan-pesan yang berisi ancaman mampu menangkap perhatian publik. Namun, rasa khawatir bukan motivator yang efektif untuk mendorong publik melakukan tindakan. Hal tersebut justru membuat mereka pasrah dan merasa tidak berdaya.”

Pendekatan baru untuk pemberitaan iklim

Salah satu pendekatan yang dapat melibatkan masyarakat adalah gaya pelaporan yang dikenal sebagai “jurnalisme solusi”.

Jurnalisme solusi adalah sebuah laporan tentang bagaimana masyarakat dan pemerintah dapat menjawab masalah-masalah yang rumit. Metode ini merupakan alternatif dari pemberitaan yang hanya melaporkan tentang masalah itu sendiri.

Berita dari jurnalisme solusi ini bukan berita ringan yang dipenuhi oleh kabar baik, melainkan hard news (atau berita langsung) yang menunjukkan solusi-solusi apa saja yang berhasil dicapai berdasarkan bukti-bukti konkret.


Read more: Kementerian Lingkungan Hidup gagal komunikasikan risiko polusi udara ke warga Jakarta


Pendekatan jurnalisme solusi ini ternyata dapat meningkatkan minat publik terhadap suatu subyek.

Lebih banyak fakta ≠ lebih banyak peduli

Perubahan iklim merupakan subjek yang sangat membutuhkan pendekatan berorientasi pada solusi. Buktinya sudah sangat jelas. Planet Bumi menghangat secara konstan sejak Revolusi Industri. Sebagian besar dari pemanasan itu telah terjadi selama empat dekade terakhir.

Meskipun bukti-bukti sudah jelas, keinginan politik untuk lebih serius menghadapi perubahan iklim justru yang menjadi masalah. Kenapa?

Ada banyak alasan mengapa politisi dan publik enggan berbicara tentang perubahan iklim, antara lain isu tersebut jauh dari kehidupan sehari-hari atau mereka merasa perubahan yang dilakukan tidak terlalu terlihat hasilnya bagi kehidupan mereka.

Studio Visualisasi Ilmiah NASA

Para akademisi, pemerintah, hingga jurnalis sudah lebih dulu berasumsi bahwa masyarakat akan bertindak sesuatu apabila mengetahui fakta-fakta tentang perubahan iklim.

Namun, bukti yang berkembang justru menunjukkan bahwa lebih banyak fakta bukan berarti bahwa mereka akan lebih peduli.

Penelitian Dan Kahan, seorang profesor hukum dan psikologi di Yale Law School, Amerika Serikat, dan rekan-rekannya menemukan bahwa orang yang memiliki lebih banyak pengetahuan tentang sains perubahan iklim tidak serta merta lebih peduli. Sebaliknya, kurangnya kepedulian lebih berkaitan dengan keyakinan dan nilai yang dianut oleh seseorang.

Komunikasi iklim yang efektif

Komunikasi perubahan iklim yang efektif tidak berkutat pada ide bahwa semakin banyak fakta akan berujung kepada banyak yang lebih peduli. Cara yang efektif adalah dengan memanfaatkan nilai-nilai yang dianut oleh seseorang untuk membuat publik terlibat.


Read more: Masker kain murah ternyata kurang mempan menahan polusi udara yang mematikan seperti di Jakarta


Komunikator iklim yang baik akan menanyakan : pengalaman atau kejadian apa saja yang membuat orang tidak tertarik untuk mengetahui krisis iklim yang sedang terjadi?

Komunikasi iklim yang efektif dimulai dengan dasar bahwa audiens bukanlah kesatuan yang monolitik, yang pilihannya hanya tertarik atau tidak tertarik pada krisis iklim.

Cara yang baik menyampaikan pesan tergantung kepada siapa pesan tersebut dikomunikasikan baik pesan yang berisikan harapan atau peringatan bahaya.

Contoh yang baik

Jurnalisme solusi tentang perubahan iklim memberikan contoh bagaimana orang biasa membuat perbedaan. Contoh ini akan jelas menggambarkan bagaimana perubahan yang dilakukan memberikan manfaat dalam kehidupan mereka.

Misalnya, cerita-cerita tentang konsumsi makanan lokal dan dampak kesehatannya atau beralih kepada kendaraan listrik untuk menghemat biaya bensin.

Model jurnalisme ini jauh berbeda dari yang ditawarkan oleh pemberitaan iklim konvensional yang cenderung muram dan suram dan berdasarkan hanya kepada aksi individu.

Sebaliknya, jurnalisme model ini justru menggarisbawahi pentingnya aksi kolektif dan mobilisasi politik.

Pelajar memprotes kebijakan iklim pemerintah Belgia di Brussels pada Februari 2019. Shutterstock

Krisis iklim

Ada peran penting dalam komunikasi lingkungan, yang disebut oleh Steve Schwarze, profesor komunikasi di University of Montana, Amerika Serikat, sebagai “melodrama lingkungan.”

Hal ini biasanya terlihat saat terjadi penyederhanaan masalah yang kompleks, baik dari level individu maupun politis.

Schwarze menyatakan bahwa melodrama juga menghasilkan 'bentuk produktif dari polarisasi’. Misalnya, melodrama dapat menggerakkan kelompok masyarakat dengan misi yang sama, atau menunjukkan siapa “penjahat” bersama.

Semakin jelas bahwa pendekatan satu-untuk-semua dalam komunikasi perubahan iklim tidak cukup untuk membuat orang menjadi terlibat.

Sebagai gantinya, melibatkan publik secara efektif dalam perubahan iklim membutuhkan penyampaian pesan yang cermat.

Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan berbasis solusi, informasi tentang urgensi krisis iklim, hingga menggunakan alasan seseorang untuk terlibat atau tidak terlibat.

Las Asimi Lumban Gaol menerjemahkan aritkel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now