Kasus viral seorang selebgram berinisial CIN menjadi perbincangan yang cukup ramai di ranah publik. Rekaman yang diunggah korban memperlihatkan adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh suaminya sendiri, AT. Mirisnya, KDRT tersebut sudah terjadi selama lima tahun pernikahan mereka.
Kasus KDRT memang tak ubahnya fenomena gunung es. Banyak kasus tidak terungkap karena korban memilih untuk tidak bercerita bahkan tidak mengadukan kekerasan fisik dan nonfisik yang dialaminya dengan berbagai alasan.
Read more: KDRT tidak pandang bulu: mengapa 'influencer' kerap sembunyikan derita demi citra bahagia
.
Namun, KDRT bukanlah gejala yang muncul tanpa sebab. Mulai dari kondisi ekonomi hingga relasi kuasa bisa menjadi faktor pemicunya.
Maraknya kasus KDRT ini menjadi bukti terkoyaknya ketahanan keluarga serta rusaknya kualitas keluarga di Indonesia. KDRT memperlihatkan ketidakmampuan keluarga dalam mengelola dan menyelesaikan masalah yang hadir, sekaligus menandakan adanya fungsi-fungsi keluarga yang tidak berjalan optimal, seperti fungsi kasih sayang dan perlindungan.
Karena itu, pemahaman dan kesadaran mengenai fungsi keluarga perlu diperkuat dengan cara membangun komunikasi dan interaksi yang baik antar anggotanya.
Fungsi keluarga dalam kasus KDRT
Keluarga memiliki peran penting dalam mencegah terjadinya KDRT. Salah satu contoh kegiatan yang bisa dilakukan oleh keluarga untuk membangun komunikasi yang baik dan efektif adalah gerakan “kembali ke meja makan”.
Gerakan ini tidak hanya bertujuan untuk memperkuat hubungan dalam keluarga, namun juga mengingatkan kembali pentingnya meluangkan waktu untuk berkumpul dan berkomunikasi bersama anggota keluarga.
Terlebih lagi, komunikasi antarpasangan dan anak dalam keluarga saat ini sangat terbatas dan tidak lagi di “meja makan”, tetapi melalui media sosial seperti WhatsApp, Instagram, Line, Telegram, maupun media lainnya.
1. Menegaskan keseimbangan peran
Rutinitas keluarga seperti makan malam bersama terbukti berkaitan erat dengan pernikahan yang lebih bahagia, meningkatkan kesehatan anak-anak, dan hubungan keluarga yang lebih kuat, sehingga mengurangi risiko KDRT.
Dengan berkomunikasi dan berinteraksi secara rutin, pembagian peran dan tugas antara suami dan istri dapat berjalan secara imbang, setara dan sesuai kesepakatan bersama. Ini penting untuk menangkal sistem budaya dan nilai masyarakat Indonesia yang banyak dibentuk oleh kekuatan patriarki—nilai budaya yang menempatkan laki-laki lebih unggul dan dominan dibanding perempuan.
Dogma berbasis sosial-budaya dan agama memang sering menjadi pemicu kesewenang-wenangan pelaku KDRT. Akibatnya, muncul banyak miskonsepsi seputar KDRT, seperti: 1) Tindakan laki-laki memukul istri/perempuan adalah hal yang wajar dan menjadi bentuk tindakan disipliner; 2) Laki-laki sudah sepatutnya kuat dan dominan; 3) Perempuan atau korban adalah penyebab utama laki-laki melakukan KDRT; 4) KDRT merupakan area personal yang tidak boleh diintervensi; 5) Dibukanya kasus KDRT oleh korban sama saja dengan membuka aib keluarga.
Tak heran, KDRT lebih banyak menimpa perempuan atau istri.
2. Keluar dari lingkaran setan
Dari sekian hubungan yang ada, keluar dari hubungan penuh kekerasan atau case abusive adalah salah satu yang paling sulit dilakukan. Korban KDRT sering terjerat dalam siklus kekerasan dan berada di antara tarik menarik antara cinta-harapan-teror.
Siklus kekerasan ini terjadi secara berulang, yaitu tahap bulan madu, konflik atau permasalahan, tindak kekerasan, masa tenang atau minta maaf, dan kembali lagi ke tahap pertama. Tanpa adanya intervensi, kekerasan akan semakin intens seiring waktu. Dalam kondisi ini, korban terjebak dilema rasa cinta pada pasangan yang merupakan pelaku kekerasan. Korban berharap pelaku dapat berubah dan menepati janji dalam tahapan masa tenang dan bulan madu.
Siklus ini juga memperlihatkan adanya Stockholm Syndrome—terbentuknya ikatan psikologis antara korban kekerasan terhadap pelaku. Ikatan ini meliputi rasa cinta terhadap pelaku, melindungi pelaku, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab kekerasan dan menyangkal atau meminimalisir kekerasan yang terjadi.
Salah satu contoh dari adanya sindrom ini terlihat pada kasus KDRT yang dialami penyanyi dangdut LK. Sebelumnya, LK telah melaporkan suaminya RB ke Polres Jakarta Selatan atas KDRT yang dialaminya. Namun, LK kemudian mencabut laporan KDRT tersebut dan kasusnya berujung damai dengan alasan untuk memperbaiki rumah tangga keduanya.
Untuk keluar dari situasi tersebut, selain konseling bersama psikolog atau psikiater, korban KDRT juga memerlukan pendampingan dari keluarga terdekat, agar memperoleh perspektif yang lebih objektif dalam melihat kasus KDRT yang menimpanya.
3. Mempercepat pemulihan
Korban KDRT—yang mengalami berbagai dampak negatif baik fisik maupun psikis—membutuhkan waktu untuk pulih dari dampak KDRT yang dialaminya. Peranan dan dukungan keluarga, terutama kedua orang tua, dapat membantu korban KDRT untuk bangkit dan memulihkan dirinya kembali.
Terlebih, trauma KDRT ini juga berpotensi ‘diwariskan’. Anak perempuan dari ibu yang mengalami KDRT cenderung berisiko kembali menjadi korban KDRT oleh pasangannya.. Ketika trauma yang dialami tidak terobati, mereka merasa pantas menerima kekerasan dan menganggap KDRT sebagai hal wajar.
Sebaliknya, anak laki-laki korban KDRT cenderung berisiko menjadi pelaku KDRT, karena tanpa sadar, mereka belajar bahwa kekerasan yang dialami ibunya adalah jalan efektif untuk mendapatkan respek dari pasangannya dan menemukan jalan keluar dari semua permasalahan yang dialami.
Selain memberikan dukungan moral, emosional serta finansial, keluarga juga dapat mendampingi korban KDRT dalam proses hukum, misalnya dengan membantu korban mengumpulkan bukti-bukti kekerasan yang dialami, atau mendampingi anak korban KDRT pada masa perceraian. Pendampingan dari keluarga akan mempercepat korban KDRT untuk beradaptasi dan membangun kembali kehidupannya.
Ketika keluarga gagal memberikan dukungan
Dalam beberapa kasus, keluarga bisa jadi absen memberikan dukungan yang diharapkan. Sebab, beberapa orang masih menganggap isu KDRT sebagai isu personal atau masalah keluarga yang dianggap aib sehingga sulit diungkap apalagi diintervensi. Ustadzah berinisial OSD, contohnya, mengajak korban kasus KDRT untuk tidak melaporkannya ke orang tua demi menutupi aib.
Saat ini terjadi, dukungan untuk penyintas KDRT tetap bisa diberikan oleh pihak lain selain keluarga. Menurut PP Nomor 4 Tahun 2006 tentang penyelenggaraan dan kerja sama pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga, pemulihan korban KDRT meliputi pelayanan kesehatan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, termasuk swasta; pendampingan korban oleh tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani; konseling oleh pekerja sosial, relawan pendamping; bimbingan rohani oleh pembimbing rohani; dan resosialisasi oleh instansi sosial dan lembaga sosial.
Adanya kepedulian, pengawasan dan upaya kolektif dari berbagai pihak tersebut, dapat mencegah dan mengatasi maraknya KDRT sekaligus menjaga kualitas dan ketahanan keluarga.