Menu Close

Kesehatan atau ekonomi dulu? Mencari keputusan terbaik dalam menghadapi pandemi

Warga memadati Pekan Raya Jakarta di tengah naiknya kasus baru COVID-19. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/rwa.

Pemerintah Indonesia menjadi target kritik karena dianggap memilih menyelamatkan perekonomian alih-alih masyarakat dalam manajemen COVID-19 yang dilakukannya. Hal ini mengakibatkan banyak korban jatuh.

Begitu kasus pertama COVID-19 di Indonesia diumumkan pada Maret 2020, pemerintah langsung menghentikan berbagai kegiatan bisnis – termasuk di antaranya adalah bisnis tempat makan, pusat perbelanjaan, transportasi, dan pariwisata. Di bawah bendera new normal atau “kenormalan baru”, pemerintah Indonesia mengizinkan bisnis untuk melanjutkan operasinya pada pertengahan 2020, yang sebenarnya membahayakan masyarakat di tengah penyebaran virus yang mengganas.

Namun, pilihan yang menitikberatkan pada kepentingan ekonomi ini berakhir mengecewakan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi hingga 2% selama tahun 2020, penurunan terbesar yang terjadi semenjak krisis ekonomi 1998.

Tidak hanya itu, Indonesia harus menekan pil pahit kehilangan 22.000 populasinya akibat COVID-19 sepanjang tahun tersebut. Akibat mewabahnya varian Delta pada akhir 2021, angka kematian melonjak hingga 144.000, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kematian tertinggi akibat COVID-19.

Penelitian terbaru kami menawarkan jawaban terhadap dilema kesehatan versus ekonomi ini. Kami menunjukkan bahwa terdapat jalan tengah yang, jika memungkinkan, dapat menyelamatkan tidak hanya ekonomi tapi juga nyawa masyarakat.

Dengan menggabungkan dua model yang menghitung dampak pandemi terhadap aktivitas ekonomi dan kesehatan publik, kami menemukan skenario bagaimana pemerintah dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan kesehatan banyak orang.

Melalui skenario ini, pemerintah dapat mengurangi angka kematian di kisaran 2000, dengan mengorbankan hanya 5% dari pendapatan domestik bruto (PDB atau takaran kinerja ekonomi) selama periode yang sama.

Berikut caranya.

Membangun pendekatan yang tepat

Kami menggabungkan model kesehatan dan ekonomi dan menghasilkan enam skenario yang memungkinkan untuk menghubungkan kebijakan mengenai dua sektor tersebut.

Kedua model merepresentasikan evolusi dari waktu ke waktu dan juga berbagai wilayah dengan populasi yang terinfeksi maupun keluaran ekonominya.

Penelitian ini menghubungkan dua intervensi pemerintah: pembatasan perbatasan dan kebijakan ekonomi publik. Keduanya diharapkan dapat membendung penyebaran virus namun memiliki pengaruh negatif bagi perekonomian.

Intervensi pembatasan mempertimbangkan faktor dibuka atau ditutupnya perbatasan antar wilayah. Selain itu, kami juga mempertimbangkan tiga skenario pemberlakuan kebijakan kesehatan publik: tidak ada, ringan, dan menengah.

“Tidak ada” merujuk pada absennya kebijakan larangan dalam rangka mencegah transmisi virus. Kebijakan ini menunjukkan risiko infeksi yang tinggi tanpa adanya perubahan permintaan ekonomi atau tingkat produksi.

Kebijakan kesehatan publik yang “ringan” memberlakukan pembatasan operasi bagi bisnis di sektor jasa, perdagangan, dan perhotelan sehingga mengurangi tingkat penyebaran virus.

Sementara, kebijakan “menengah” merepresentasikan langkah yang lebih tegas namun efektif dalam upaya pengurangan penyebaran virus. Kebijakan ini membatasi aktivitas di sektor konstruksi, manufaktur, transportasi, dan komunikasi – serta lebih jauh meningkatkan tingkat pembatasan di sektor jasa, perdagangan, dan perhotelan.

Tingkat kematian akibat COVID-19 di Indonesia (Maret 2020-Maret 2022)

Dengan menutup perbatasan dan menjaga pembatasan operasi hanya pada sektor jasa dan pariwisata, pemerintah dapat mengurangi tingkat kematian hanya di kisaran 2000 orang. Langkah ini hanya akan berdampak 5% pada PDB selama rentang waktu pelaksanaan.

Dalam skenario yang paling longgar (perbatasan dibiarkan terbuka dan tanpa kebijakan kesehatan publik), jumlah kematian diperkirakan menyentuh angka 17.558 orang. Pada saat yang sama, guncangan ekonomi yang terjadi akan relatif kecil. Walaupun demikian, akan tetap terdapat biaya ekonomi yang harus dibayarkan mengingat potensi absennya pekerja akibat terdampak wabah.

Tujuan ekonomi dan kesehatan dalam berbagai skenario. Kebijakan intervensi dan pembatasan perbatasan merupakan variabel tetap di tiap skenario. Angka pertama menununjukkan tujuan kesehatan dalam bentuk tingkat kematian, sementara angka kedua menunjukkan tujuan ekonomi dalam triliun rupiah.

Di sisi lain, dalam skenario yang paling ketat (penutupan perbatasan dengan kebijakan menengah), sekitar 16.767 nyawa dapat diselamatkan. Skenario ini akan memberikan beban berat bagi perekonomian, yakni sekitar pengurangan 10% PDB selama setahun.

Bagaimana hal ini diterjemahkan?

Angka-angka ini menunjukkan kisaran yang dapat diubah dengan mempertimbangkan faktor ekonomi dan kesehatan, berdasarkan permodelan yang kami lakukan.

Penelitian kami menggunakan kombinasi model tersebut untuk menawarkan skenario yang dapat menyelamatkan nyawa banyak orang dengan biaya ekonomi yang rendah.

Tabel di atas juga menunjukkan bahwa menutup perbatasan berimbas pada ongkos ekonomi yang besar, terlepas dari kebijakan kesehatan yang diterapkan.

Menjaga perbatasan tetap terbuka sembari memberlakukan kebijakan ringan hampir sama efektifnya dengan menutup perbatasan tanpa menerapkan kebijakan apapun untuk menyelamatkan nyawa masyarakat. Namun, skenario pertama membebankan biaya yang jauh lebih kecil pada perekonomian. Hal ini menunjukkan pentingnya penilaian kebijakan kesehatan masyarakat di daerah dengan tingkat kematian tinggi.

Demikian pula, ketika kebijakan “menengah” diberlakukan di semua area, efektivitas penutupan perbatasan dalam menyelamatkan nyawa hampir sama dengan membiarkan perbatasan tetap terbuka, namun dengan biaya ekonomi yang hanya setengahnya.

Studi kami juga mengevaluasi bahwa intervensi pemerintah yang berat – yaitu penutupan perbatasan dan kebijakan menengah - dapat menyelamatkan sekitar 35.000 jiwa dalam setahun namun menimbulkan penurunan ekonomi yang besar (sekitar 10% dari PDB di model kami).

Model tersebut juga mengungkapkan bahwa banyak solusi lain yang melibatkan tindakan kesehatan masyarakat yang lebih hemat, yang dapat menyelamatkan lebih banyak nyawa.

Penutupan perbatasan dan kebijakan “menengah” merupakan opsi kebijakan yang kemungkinan besar akan dilaksanakan. Namun kebijakan tersebut harus didukung dengan memastikan kegiatan – terutama di bidang jasa, perdagangan, perhotelan, dan ketahanan pangan – mematuhi protokol kesehatan.

Pada saat yang sama, pemerintah harus menyediakan jaring pengaman sosial bagi individu dan bisnis yang terkena dampak negatif.

Penelitian kami menunjukkan bahwa kita dapat memilih alternatif untuk menyelesaikan dilema antara kesehatan-ekonomi ketika dihadapkan pada COVID-19. Pandemi bisa saja sudah mereda, dengan gejala varian Omicron yang relatif ringan dan vaksin penguat yang tersebar luas. Tetapi tidak ada kata terlambat untuk belajar dan mempersiapkan skenario terbaik untuk menghadapi krisis serupa di masa yang akan datang.

Penelitian ini didanai oleh Pemerintah Australia melalui Australia-Indonesia Centre di bawah program PAIR.

Australia Indonesia Centre mendukung The Conversation Indonesia dalam pembuatan artikel ini.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now