Menu Close
Pada 1980-an, kampanye menghapus hukuman mati terhadap tahanan politik menyatukan beberapa warga Indonesia dan warga negara lain di dunia. from Boonrong/www.shutterstock.com

Kisah tahanan politik rezim Orde Baru berkampanye anti hukuman mati lintas negara

Pada 2014-2015, Indonesia menjadi sorotan dunia karena Kejaksaan Agung mengeksekusi hukuman mati terpidana perkara pengedar narkoba. Namun, tahun ini juga peringatan 32 tahun eksekusi mati tiga narapidana politik (napol) Indonesia.

Pada 1985, pemerintah rezim Soeharto mengeksekusi Joko Untung, Gatot Lestario dan Rustomo. Tanpa pemberitahuan yang jelas pada keluarga mereka, para napol ini dibawa pada tengah malam ke sebuah lapangan di Pamekasan, Madura, dan ditembak.

Para tahanan tersebut dipenjara sejak 1968 dan 1969. Kejahatan mereka adalah mencoba menghidupkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) di wilayah selatan Jawa Timur.

Oposisi terhadap hukuman mati pada masa Soeharto sebagian termasuk kampanye melawan rezim otoriter di Indonesia, juga membebaskan tahanan politik. Kampanye ini menyatukan lembaga-lembaga lokal dan internasional dan melibatkan warga biasa di negara-negara seperti Australia, Inggris, Kanada, dan Belanda.

Kisah Gatot Lestario

Gatot adalah guru sekolah menengah atas dan anggota PKI di Jawa Timur hingga 1965. PKI saat itu merupakan partai komunis terbesar ketiga sedunia.

Pada September 1965, sebuah kelompok yang menamai diri mereka Gerakan 30 September menculik dan membunuh tujuh petinggi Angkatan Darat. Kejadian ini digambarkan sebagai kudeta terhadap Presiden Sukarno. Angkatan Darat yang dipimpin oleh Major Jenderal Soeharto, menimpakan kesalahan kepada PKI.

Sekitar setengah juta orang yang berhaluan politik kiri dibunuh pada pembantaian 1965-66. Banyak orang ditahan, kebanyakan tanpa peradilan, untuk waktu yang beragam. Sekelompok kecil tokoh kiri yang dianggap “paling terlibat” dalam Gerakan 30 September, termasuk pemimpin partai komunis, dieksekusi. Soeharto menjadi presiden pada 1968 dan memimpin Indonesia selama 30 tahun berikutnya.

Gatot dan beberapa lusin kader PKI berhasil selamat dengan bersembunyi. Pada 1967, mereka membangun basis di Blitar Selatan untuk melawan rezim Soeharto.

Pada 1968, militer menghancurkan basis tersebut dan ribuan orang dibunuh, ditangkap, dan terpaksa mengungsi. Militan yang selamat ditangkap. Beberapa ditahan di Jakarta dan sisanya, termasuk Gatot, di Jawa Timur. Ia disidangkan dengan tuduhan subversif dan pada 1976 dijatuhi hukuman mati.

Kampanye internasional untuk Gatot Lestario

Di penjara Pamekasan, Gatot, yang menguasai bahasa Belanda dan Inggris ditambah bahasa Jawa dan Indonesia, mulai menulis ke beberapa sahabat pena yang terlibat dalam kelompok Kristiani Quaker dan Amnesty International. Lestario meyakinkan sahabat-sahabat penanya untuk membela dirinya di negara mereka masing-masing dan di Indonesia.

Salah satu pendiri Amnesty International, Eric Baker, adalah penganut Quaker dan ia mendorong umat Quaker untuk mendukung kampanye anti-penyiksaan Amnesty International yang diluncurkan pada 1973. Quaker menggagas Kampanye Melawan Penyiksanaan dan Program Pertemanan dengan Tahanan sebagai hasilnya. Kampanye ini mendorong umat Quaker menulis kepada tahanan politik di seluruh dunia.


Baca juga: Demi rekonsiliasi, memahami sejarah tragedi 1965 harus menyeluruh


Pada 1983, seorang penganut Quaker, Doreen Brown, yang tinggal di London, mengirimi Gatot sebuah kartu Natal. Gatot membalasnya dan lahirlah sebuah persahabatan erat. Melalui surat-suratnya, Gatot dapat memberi informasi tentang kondisi para tahanan di Pamekasan kepada Amnesty International dan Tapol. Sebuah organisasi hak asasi manusia di London, Tapol, didirikan oleh mantan tahanan politik Indonesia Carmel Budiardjo pada 1973.

Lestario menggambarkan kondisi penjara dan situasi 22 napol di Pamekasan. Meski di balik terali besi, Lestario bersama jaringan transnasional yang dimilikinya berupaya memperbaiki kondisi tahanan politik dan memperjuangkan pembebasan mereka.

Keluarga Brown menulis dan menyebarkan dua petisi yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia untuk membebaskan Lestario dan istrinya Pudjiaswati, yang ditahan di penjara wanita Malang. Petisi tersebut ditandatangani oleh ratusan orang.

Pada 1984, Gatot mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Soeharto, namun ditolak. Pada tahun yang sama, pemerintah memulai lagi proses eksekusi para napol kiri. Sebelumnya, eksekusi dihentikan sementara di bawah sebuah moratorium.

Pemimpin gerakan buruh dan anggota Politbiro PKI, Mohammad Munir, ditembak mati pada Mei 1984. Munir pernah menjabat anggota Dewan Gabungan Serikat Buruh Sedunia (GSS, World Federation of Trade Unions). Munir pun menjadi lambang kampanye memperjuangkan hak napol dan penghapusan hukuman mati.

Gatot menceritakan kekhawatirannya kepada sahabat penanya saat pemerintah mulai mengeksekusi para napol. Ia berharap Amnesty dapat menekan Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja untuk mengubah hukuman mati menjadi hukuman penjara seumur hidup, saat Menteri berkunjung ke London pada 1985.

Terlepas dari optimisme Gatot, ia ditembak pada Juli 1985. Ibunya sempat menghabiskan waktu terakhir bersamanya. Namun, istrinya yang dipenjara di Malang, serta anak-anaknya tidak mengetahui tentang eksekusi Gatot hingga beberapa hari sesudahnya.

Di Westminster, Inggris, pada 2 Oktober 1985 keluarga Brown menyelenggarakan peringatan untuk mengenang para napol yang dieksekusi. Pada akhir pertemuan, para tamu diminta membawa pulang sekuntum bunga untuk disimpan dan dikeringkan untuk mengingat Gatot dan rekan-rekannya.

Setahun kemudian, keluarga Brown menerbitkan ekstrak surat-surat Gatot sebagai penghormatan terhadap teman mereka dengan judul The Last Years of Gatot Lestario (Tahun-tahun Terakhir Gatot Lestario). Ditulis tangan dan difotokopi, serta dibundel dengan cara jahit tangan, keluarga Brown membuat 220 buku dan dari hasil keuntungan dari menjual buku mereka mengumpulkan dana untuk tahanan politik di Indonesia dan keluarganya.

Kampanye untuk penghapusan hukuman mati

Undang-Undang tentang Subversi yang digunakan untuk menghukum Gatot dicabut pada 1998 setelah rezim Soeharto berakhir. Namun, hukuman mati masih berlaku untuk kejahatan-kejahatan lain.

Dulu kampanye pencabutan hukum mati bertalian dengan perjuangan untuk demokrasi di Indonesia. Sekarang Indonesia sudah demokratis, tapi hukuman mati tetap tercantum dalam sejumlah undang-undang dan dipraktikkan.

Kampanye transnasional melawan hukuman mati dapat dibangun kembali sekarang mengikuti jejak-jejak kampanye sebelumnya antara orang-orang Indonesia dan komunitas internasional.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now