Menu Close
Siswa mencuci tangan setelah ikut pembelajaran tatap muka di SDN Pondok Labu 14 Pagi, Jakarta Selatan, 30 Agustus 2021. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc

Klaim herd immunity di Jakarta berbahaya: 2 juta anak belum divaksin dan belum aman dari ancaman COVID

Pembuat kebijakan sedang berlomba untuk segera lepas dari jerat pandemi yang telah membatasi gerakan masyarakat lebih dari satu setengah tahun terakhir.

Pemerintah DKI Jakarta bulan lalu mengklaim Jakarta sudah mencapai herd immunity atau kekebalan kawanan. Setelah klaim itu, DKI mulai melaksanakan pembelajaran tatap muka (PTM) secara terbatas di sekitar 610 sekolah PAUD hingga SMA dan SMK dengan protokol kesehatan.

Beberapa epidemiolog mengkritik klaim tersebut karena sejumlah parameter belum terpenuhi. Salah satunya, herd immunity tidak bisa dicapai hanya dengan cakupan vaksinasi, apalagi masih terdapat kelompok yang belum bisa menerima vaksin, yaitu anak di bawah 12 tahun.

Dari pengolahan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020, kami memperkirakan ada sekitar 2,1 juta penduduk Jakarta yang berusia 0-11 tahun. Mereka adalah 20,21% penduduk Jakarta yang sama sekali belum terlindungi oleh vaksin dan belum aman dari ancaman COVID. Kita harus mencegah kemunculan klaster COVID-19 di sekolah dengan mitigasi yang memadai.

Belajar di tengah pandemi

Berbagai riset memang menunjukkan bahwa pembelajaran jarak jauh kurang efektif dibandingkan tatap muka. Bahkan pembelajaran online mempertajam ketimpangan pembelajaran.

Karena pandemi ini belum berakhir, kebijakan PTM terbatas harus diiringi kesiapan mitigasi menyeluruh, dipantau, dievaluasi, dan terus-menerus diperbaiki.

Selama lebih dari satu setengah tahun pandemi ini, banyak riset semakin memperjelas bagaimana virus COVID-19 menyebar, termasuk pada anak-anak. Kita masih perlu banyak pendalaman tentang risiko kematian akibat COVID-19 pada anak-anak, yang juga relatif tinggi di Indonesia.

Pada saat yang sama, risiko tertular dan kesempatan anak-anak bertahan hidup dan bertumbuh-kembang dalam pandemi banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial,

Kebijakan melonggarkan pembatasan gerakan masyarakat di beberapa wilayah, termasuk sekolah tatap muka terbatas, bisa menjadi risiko baru untuk anak-anak bila persiapan pencegahan dan responnya tidak mempertimbangkan faktor-faktor tersebut secara menyeluruh.

Balada herd immunity Jakarta

Akhir Agustus lalu, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, mengatakan Jakarta telah mencapai herd immunity berdasarkan cakupan vaksin DKI yang telah mencapai 70% penduduk, ditambah 14,9% yang pernah terinfeksi.

Pemerintah Indonesia memang menargetkan cakupan vaksinasi 70% untuk bisa mencapai kekebalan komunitas. Namun ada beberapa permasalahan dari klaim tersebut.

Pertama, kekebalan kelompok atau herd immunity adalah kondisi ketika suatu populasi telah kebal terhadap suatu penyakit menular, baik melalui vaksinasi maupun kekebalan alami karena pernah terinfeksi.

Cara yang paling dianjurkan untuk mencapai kondisi tersebut adalah melalui vaksinasi sejumlah besar populasi. Sebuah penelitian di Indonesia memperkirakan perlu 75% populasi yang divaksin untuk dapat mencapai herd immunity.

Namun efektivitas vaksin dan durasi perlindungan yang berbeda-beda dari berbagai vaksin yang tersedia di Indonesia membuat kondisi sebenarnya menjadi lebih rumit. Bisa jadi kita baru tahu bahwa herd immunity telah tercapai setelah kondisinya sudah benar-benar terjadi.

Kedua, cakupan vaksin penduduk DKI Jakarta tidak dapat mencerminkan cakupan sesungguhnya di Jakarta. Mobilitas penduduk Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi dan wilayah lain ke dan dari Jakarta yang tinggi membuat perhitungan cakupan vaksinasi penduduk DKI saja belum cukup untuk menggambarkan status vaksinasi di Jakarta.

Ketiga, vaksin dengan cakupan tinggi di Jakarta baru untuk dosis pertama. Tercatat hingga 28 September 2021, cakupan vaksin dosis kedua adalah 88,8% dewasa, 79,8% lanjut usia, dan 70,6% remaja. Jangan lupa, masih ada satu kelompok yang belum bisa divaksinasi, yaitu anak berusia di bawah 12 tahun.

Herd immunity adalah keadaan yang kompleks dan tidak bisa dicapai begitu hanya melalui cakupan vaksinasi. Kalau tidak hati-hati, klaim seperti ini bisa membuat warga lengah. Lebih berbahaya lagi jika ruang-ruang publik, seperti sekolah, juga jadi lengah.

Mitigasi di tahap PTM terbatas

Sekolah adalah salah satu ruang publik pertama yang perlahan dibuka, tempat anak-anak akan berinteraksi dalam waktu cukup panjang sehari-harinya. Menyiapkan sekolah untuk mampu memitigasi berbagai risiko secara menyeluruh adalah titik awal yang penting.

Guna mendukung pembukaan sekolah tatap muka terbatas, pemerintah DKI menerbitkan pedoman protokol PTM di satuan pendidikan, serta asesmen kesiapan sekolah.

Sekolah harus menyediakan sarana pendukung protokol kesehatan, termasuk disinfeksi ruang kelas berkala. Sekolah harus menyiapkan kelas dengan ventilasi udara yang baik dengan jendela yang dapat dibuka selama pelajaran berlangsung.

Orang tua diminta untuk menyiapkan berbagai fasilitas, seperti masker, hand sanitizer, face shield, bekal makanan, dan transportasi pribadi untuk antar-jemput.

Masalahnya adalah kapasitas sekolah dan keluarga berbeda-beda. Mereka yang tidak bisa menyiapkan fasilitas ini mungkin justru kelompok yang paling tertinggal selama pembelajaran jarak jauh. Karena itu, ada tiga rekomendasi mitigasi berbasis bukti yang perlu disiapkan oleh pemerintah, sekolah, orang tua dan para pihak terlibat dalam persekolahan.

Pertama, virus ini menyebar dan menular lebih lambat di lingkungan yang udaranya bersih dan sirkulasinya baik. Anak-anak yang berada di lingkungan tertutup, padat, dan tanpa sirkulasi udara baik akan lebih berisiko tertular.

Risiko ini bisa saja terjadi di area sekolah dengan ruang kelas yang sirkulasi udaranya kurang baik, sekolah asrama atau pesantren yang padat, atau di perjalanan menuju sekolah.

Arahan pemerintah agar sekolah menyiapkan ruang kelas berventilasi sudah tepat. Ke depan, pemerintah perlu mendukung sekolah yang belum mampu dan ruang publik lainnya untuk memperbaiki sistem ventilasi udara di ruang-ruang tertutup yang menjadi tempat anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya.

Pertimbangan pembukaan sekolah dan tempat penitipan anak harus menyertakan dukungan infrastruktur sirkulasi udara (seperti juga air bersih dan sanitasi layak). Mitigasi ini juga perlu dipikirkan untuk lembaga yang menampung anak seperti panti asuhan, penampungan pengungsi, rumah singgah, lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan, dan sebagainya.

Kedua, tingkat keparahan akibat virus ini bisa ditekan dengan vaksinasi. Saat ini, vaksinasi anak 12-17 tahun sudah mulai berjalan, sementara untuk di bawah 12 tahun masih menunggu waktu. Tapi, risiko pada mereka juga bisa dikelola dengan lebih baik jika orang-orang berusia 12+ di sekitarnya divaksinasi lengkap.

Pemerintah perlu memastikan akses vaksinasi pada semua guru, pegawai sekolah, orang tua, saudara, orang-orang yang tinggal serumah dengan anak, sopir kendaraan umum, dan orang-orang yang mungkin dijumpai anak di perjalanan menuju dan pulang dari sekolah, mutlak dilakukan.

Dinas pendidikan dan kesehatan bisa bekerja sama mendata siapa saja anggota keluarga siswa dan warga di sekitar anak yang belum menerima vaksin. Lalu mendorong mereka untuk ikut vaksinasi agar PTM dapat segera dilaksanakan secara penuh.

Yang pasti, akses pada vaksinasi harus terus dibuka selebar dan sepasti mungkin, tanpa hambatan administrasi seperti nomor induk kependudukan (NIK) atau domisili.

Ketiga, pandemi lebih terkendali di wilayah-wilayah dengan kapasitas dan kecepatan testing dan pelacakan yang baik, serta fasilitas isolasi memadai.

Anak-anak dari kelompok marjinal di wilayah padat penduduk serta anak-anak di wilayah dengan sumber daya terbatas menanggung risiko lebih besar. Jika tertular, mereka bisa lebih kesulitan melakukan karantina mandiri hingga perlu dibantu dengan fasilitas khusus.

Pembuat kebijakan perlu mengantisipasi pelaksanaan PTM terbatas di wilayah-wilayah dengan kapasitas deteksi dan pelacakan yang rendah. Pemerintah harus mulai menyiapkan model mekanisme tes rutin di sekolah dan dukungan bagi keluarga agar mampu mendukung protokol kesehatan saat PTM.

Jika ada klaster anak-anak selama PTM dan membutuhkan fasilitas isolasi, fasilitas tersebut perlu ramah anak, dan sebisa mungkin tidak memisahkan anak dengan keluarganya.

Semua tindakan dan pemisahan anak dari keluarga harus diketahui dan dipantau oleh pendamping atau pekerja sosial yang juga bisa menjadi narahubung utama antara anak dengan keluarganya.

Bagaimana pun, kecepatan distribusi vaksin di Jakarta patut diapresiasi dan memang wajar karena infrastruktur kesehatan cukup memadai. Namun, klaim herd immunity perlu mempertimbangkan berbagai implikasi, termasuk pada upaya menekan laju pandemi, dan mengelolanya dalam jangka panjang.

Anak-anak ikut terdampak dalam pandemi ini. Perubahan pola pembelajaran tatap muka terbatas perlu memikirkan kerentanan anak berbasis bukti sehingga sekolah dan kita semua bisa melindungi mereka.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now