Menu Close

Kudeta Myanmar: militer kembali berkuasa, membuat demokrasi Myanmar semakin rapuh

Aung San Suu Kyi. Nyein Chan Naing/EPA

Sesaat sebelum anggota-anggota parlemen Myanmar yang baru terpilih dilantik hari ini, militer menahan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, presiden Win Myint, dan beberapa figur kunci di partai penguasa National League for Democracy (NLD).

Pihak militer kemudian mengumumkan mengambil alih kendali negara selama 12 bulan dan menyatakan keadaan darurat.

Aksi tersebut adalah sebuah kudeta, terlepas apakah militer mau mengakuinya atau tidak.

Kisruh pemilu dan klaim kecurangan

November kemarin, NLD dan Suu Kyi meraih kemenangan telak dalam pemilihan umum (pemilu) nasional. Partai Union Solidarity and Development Party (USDP) yang didukung militer meraih suara rendah di wilayah-wilyah kunci

Dipermalukan oleh hasil pemilu, USDP menuduh pemilu itu penuh kecurangan. Namun, pengamat internasional, termasuk Carter Center, Asian Network for Free Elections and Misi Pengamatan Pemilu Uni Eropa, menyatakan pemilu telah berjalan sukses


Read more: Aung San Suu Kyi wins big in Myanmar's elections, but will it bring peace — or restore her reputation abroad?


Organisasi-organisasi lokal ternama, seperti People’s Alliance for Credible Elections (PACE), menyatakan hal yang sama. Kelompok-kelompok ini mengeluarkan pernyataan bersama pada 21 Januari:

hasil pemilu dapat dipercaya dan mencerminkan keinginan mayoritas pemilih.

Namun, menyontek strategi mantan presiden Amerika Serikat Donald Trump, USDP bersikukuh pada klaim adanya kecurangan walaupun tidak memiliki bukti-bukti kuat - sebuah langkah yang diniatkan untuk merendahkan legitimasi pemilu.

Pendukung militer Myanmar berunjuk rasa menentang hasil pemilu di Yangon, Myanmar, minggu lalu. Thein Zaw/AP

Awalnya, militer tidak segera mendukung klaim USDP, tapi secara bertahap memberi sokongan; panglima militer, Jendral Min Aung Hlaing, bahkan tidak menolak kemungkinan dilakukannya kudeta minggu lalu.

Sehari kemudian, otoritas pelaksana pemilu secara tegas menolak klaim USDP bahwa terjadi kecurangan luas setelah bisu berminggu-minggu – ini kemudian menjadi awal untuk apa yang disebut oleh sejarawan Myanmar Thant Myint-U sebagai:

Krisis konstitusional paling akut [di Myanmar] sejak dihapusnya junta pada 2010.

Ketegangan meningkat minggu ini menjelang pembukaan parlemen Myanmar. Jalan-jalan di ibu kota banyak yang ditutup. Aung Shine Oo/AP

Kesepakatan berbagi kuasa sipil-militer

Sulit untuk diketahui bagaimana kejadian hari ini akan membawa manfaat bagi militer, karena kesepakatan berbagi kekuasaan yang dilakukan dengan NLD berdasarkan konstitusi 2008 telah memungkinkan militer untuk memperluas pengaruh dan kepentingan ekonomi di negara itu.

Militer telah berkuasa atas Myanmar selama setengah abad lebih setelah Jenderal Ne Win melakukan kudeta pada 1962.

Sebuah “swa-kudeta” internal yang terjadi pada 1988 mendudukkan beberapa jenderal angkatan baru ke tampuk kekuasaan. Junta itu, yang dipimpin Jendral Senior Than Shwe, memperbolehkan pemilu dilakukan pada 1990 yang dimenangkan telak oleh partai Suu Kyi. Namun, pemimpin militer menolak mengakui hasil pemilu.

Pada 2008, sebuah konstitusi yang dibuat oleh junta memberikan 25% kursi parlemen untuk militer dan membolehkan militer memilih menteri-menteri urusan pertahanan, urusan, dan dalam negeri serta wakil presiden.

Pemilu 2010 diboikot oleh NLD, tapi partai itu memenangkan suara kembali pada pemilu berikutnya di 2015.


Read more: Ethical minefields: the dirty business of doing deals with Myanmar's military


Sejak awal 2016, Suu Kyi secara de facto adalah pemimpin Myanmar, walau tetap tidak ada pemerintah sipil yang berada di atas militer. Hingga minggu lalu, hubungan antara sipil dan militer kadang tegang, tapi secara umum baik.

Hubungan itu didasarkan oleh pengakuan kedua belah pihak pada kepentingan bersama dalam kebijakan-kebijakan kunci di level nasional.

Kesepakatan pembagian kekuasaan ini sebenarnya sangat nyaman bagi militer; militer memiliki otonomi penuh dalam urusan keamanan dan mempertahankan keuntungan ekonomi.

Karena kemitraan ini, militer dapat melakukan operasi pembersihan di Rakhine pada 2017 yang berujung pada eksodus lebih dari 740.000 pengungsi Muslim Rohingya ke Bangladesh.

Dalam pembasmian besar-besaran itu, Suu Kyi dengan tegas membela negara dan militer Myanmar di Mahkamah Internasional. Reputasi Myanmar di mata global – dan juga reputasi personal Suu Kyi – runtuh dan tidak pernah membaik.

Meski demikian, ada satu pertikaian kunci antara NLD dan militer: larangan konstitusi yang membuat Suu Kyi mustahil menduduki jabatan presiden.

Beberapa tokoh NLD telah menyatakan kegusaran mendalam tentang peran permanen angkatan bersenjata sebagai penentu dalam segala hal terkait hukum dan konstitusi di negara itu.

Militer Myanmar menuduh pemilu November tidak bebas dan tidak adil. Nyein Chan Naing/EPA

Langkah mundur Myanmar

Terlepas bagaimana situasi berkembang minggu ini dan selanjutnya, demokrasi Myanmar yang rapuh telah dirusak oleh tindakan militer.

Pemerintahan NLD jelas memiliki kekurangan, tapi kudeta adalah langkah sangat mundur bagi Myanmar – dan kabar buruk bagi demokrasi di kawasan.

Sepertinya jelas tindakan ini adalah cara Jendral Min Aung Hlaing untuk mempertahankan posisi penting di politik nasional, karena dia telah menerima mandat pensiun tahun ini setelah berumur 65 tahun.

Karena USDP memperoleh hasil pemilu yang buruk, maka tidak ada cara lain secara politik yang lebih mungkin bagi dia untuk mempertahankan kekuasaan, misalnya lewat jalur presiden.

Min Aung Hlaing mempertahankan kekuasaan besar sebagai panglima militer Myanmar. Narong Sangnak/EPA

Kudeta akan berakibat kontraproduktif bagi militer dalam banyak hal. Pemerintah di seluruh dunia kemungkinan besar akan menerapkan sanksi atau memperpanjang sanksi bagi anggota militer Myanmar.

Amerika Serikat telah mengeluarkan pernyataan akan “mengambil tindakan” bagi mereka yang bertanggung jawab. Investasi asing – kecuali mungkin yang berasal dari Cina – akan merosot.

Karena warga Myanmar telah menikmati kebebasan politik yang meningkat selama satu dekade terakhir, mereka kemungkinan juga akan menjadi warga yang tidak kooperatif saat pemerintahan militer berlaku kembali.

Pemilu 2020, sekali lagi, menunjukkan ketidaksukaan warga Myanmar pada peran politik angkatan bersenjata dan menegaskan langgengnya kepopuleran Suu Kyi.

Penahanan Suu Kyi akan berakibat buruk pada upaya yang berhasil membawa Myanmar melewati masa-masa genting.

Kudeta ini bisa jadi menjadi akhir yang buruk dari mengendurnya ketegangan antara sipil dan militer yang selama ini telah membawa keuntungan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now