Menu Close

Kunjungan Pelosi ke Taiwan, ketegangan AS-Cina: Bagaimana pengaruhnya terhadap negara ASEAN?

ASEAN, Cina dan Amerika Serikat. Universiti Malaya

Kunjungan Ketua DPR Amerika Serikat (AS), Nancy Pelosi, ke Taiwan memantik eskalasi militer Cina di Selat Taiwan.

Mayoritas analis merespon kunjungan ini dengan melihat akibatnya terhadap rivalitas AS-Cina. Media internasional pun turut menyoroti dampak kunjungan ini terhadap stabilitas dan perdamaian di Selat Taiwan.

Kunjungan yang telah membuat hubungan AS-Cina semakin memanas itu, diiringi dengan peningkatan aktivitas militer yang dilakukan oleh Beijing, secara langsung juga membawa pengaruh bagi negara-negara anggota ASEAN baik secara geopolitik maupun geoekonomi.

Dampak geopolitik dan geoekonomi

Secara geografis Taiwan terletak di lepas pantai Cina yang berada di antara Timur Laut Asia dan Asia Tenggara. Hal ini menjadikannya salah satu pasokan rantai pulau pertama, merujuk pada rantai kepulauan besar di pintu masuk negara-negara kepulauan Asia Timur dan Asia Tenggara. Dengan posisi strategis ini, Taiwan memainkan peran penting dari segi ekonomi, pertahanan, transportasi, politik serta militer.

Inilah mengapa peningkatan aktivitas militer di Selat Taiwan akan memengaruhi dinamika politik dan ekonomi di Asia Tenggara.

Industri penerbangan sudah mulai merasakan dampaknya. Beberapa maskapai nasional dari negara ASEAN harus membatalkan jadwal penerbangan komersil atau mencari jalur alternatif akibat aktivitas militer yang dilakukan oleh Tentara Pembebasan Rakyat Cina.

Singapore Airlines, misalnya, harus membatalkan empat jadwal penerbangan rute Taipei-Singapura hari Jumat lalu. Maskapai asal Filipina dan Jepang yang melayani rute antara Taipei dengan negara-negara Asia Tenggara juga harus membatalkan jadwal penerbangan mereka. Kondisi ini jelas menimbulkan kerugian finansial.

Taiwan merupakan rumah bagi raksasa manufaktur semikonduktor, yakni Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC), perusahaan pemasok utama semikonduktor di dunia untuk produk elektronik, ponsel pintar (smartphone), penerbangan, dan alat kesehatan. TSMC secara eksklusif menyediakan pasokan prosesor bagi industri elektronik seperti Apple, AMD, Broadcom, dan Qualcomm.

Dalam kunjungannya ke Taiwan, Pelosi juga bertemu dengan pemimpin TSMC, Mark Liu, untuk merayu perusahaan ini agar membuka industri manufakturnya di AS dan berhenti memproduksi chip canggih untuk perusahaan Cina yang juga bergantung pada pasokan impor manufaktur TSMC.

Jika aktivitas militer Beijing meningkat ke arah krisis atau bahkan perang, aktivitas TSMC berpotensi terganggu dan dapat berujung pada kelangkaan produk elektronik yang pasarnya signifikan, seperti iPhone dan PC Mac.

Konsensus ASEAN, satu prestasi baru

Merespons kedatangan Pelosi ke Taiwan tersebut, ASEAN melalui pernyataan bersama Menteri Luar Negeri (Menlu) ASEAN memilih bersikap netral dengan tidak menyudutkan satu pihak tertentu. Para pemimpin negara ASEAN hanya menyerukan pada seluruh pihak untuk dapat menahan diri serta tetap menjaga stabilitas dan keamanan kawasan.

Keputusan ASEAN untuk menerbitkan pernyataan bersama atas kondisi di Selat Taiwan bisa dibilang merupakan sebuah prestasi yang cukup menggembirakan. Jarang sekali negara-negara ini berhasil mencapai konsensus untuk merespon isu yang terjadi di luar kawasan mereka, terutama yang melibatkan Cina, kerena masing-masing dari mereka memiliki tingkat kepentingan yang berbeda dalam memandang rivalitas AS-Cina dan Kebijakan Satu Cina (One China Policy).

Pada tahun 2012, menlu negara-negara ASEAN pernah gagal menerbitkan pernyataan bersama terkait isu Laut Cina Selatan, karena masing-masing negara memiliki kepentingan dan pandangan yang berbeda.

Begitu pula dengan Krisis Selat Taiwan Ketiga yang terjadi pada tahun 1995-96. Para pemimpin ASEAN cenderung menyudutkan Taiwan yang dianggap melakukan provokasi atas krisis yang terjadi.

Oleh karena itu, keberhasilan ASEAN mencapai konsensus atas isu Selat Taiwan merupakan angin segar bagi kekompakkan ASEAN selama 55 tahun terakhir. Konsensus tersebut juga menunjukkan keinginan negara-negara ini untuk memainkan peran aktifnya di kawasan.

Eskalasi militer di Selat Taiwan kali ini belum mengarah pada kondisi krisis seperti yang terjadi di tahun 1995-96, namun ASEAN dapat bersikap lebih netral dan aktif dalam menanggapi kompleksitas isu di Selat Taiwan.

Daya tawar baru ASEAN, perlunya tetap netral

Keberhasilan ASEAN dalam mencapai konsensus atas isu di Selat Taiwan menjadi daya tawar baru bagi organisasi regional tersebut.

ASEAN terdiri dari negara dengan kekuatan menengah dan kecil, sehingga pilihan aman yang tersedia bagi asosiasi ini adalah bersikap netral atau beraliansi dengan negara besar.

Posisi netral ini merupakan respons atas rivalitas AS-Cina, yang menggambarkan upaya Washington untuk melemahkan relasi dengan Beijing melalui berbagai sanksi ekonomi dan politik dalam beberapa tahun terakhir. Kebijakan AS ini juga diikuti oleh negara lainnya, seperti Jepang, Australia, serta beberapa negara Eropa.

Dengan semakin banyaknya negara yang memilih mengurangi hubungan ekonomi dengan Cina dan absennya negara-negara barat, maka Cina memerlukan ASEAN sebagai mitra dagang dan ekonomi. Ini menjadi daya tawar tersendiri bagi ASEAN.

Meskipun demikian, masih sulit bagi negara-negara ASEAN untuk dapat berperan sebagai fasilitator dialog perdamaian atas isu Selat Taiwan. Beijing akan menolak internasionalisasi isu Taiwan, apalagi dengan adanya campur tangan negara lain di kawasan.

Masing-masing negara ASEAN memiliki perspektif tersendiri dalam memandang posisi Cina dan Taiwan. Sejauh ini, hanya Kamboja dan Myanmar yang menganggap Taiwan sebagai bagian dari Cina. Hal ini dapat menjadi celah bagi Indonesia dan negara ASEAN lainnya dalam mencari solusi atas kompleksitas isu Taiwan atau, paling tidak, tetap mendorong kondisi status quo di wilayah tersebut.

Ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi ASEAN – khususnya bagi kepemimpinan Indonesia di ASEAN pada tahun 2023 – dalam memaknai peran konstruktif ASEAN atas isu Selat Taiwan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now