Menu Close
Penonton sedang menikmati pertunjukan musik di salah satu komunitas hip hop di Wijilan, Yogyakarta. The Conversation Indonesia/Edi Dwi Riyanto, Author provided (no reuse)

Laporan Kill the DJ ke polisi soal hak cipta lagunya tidak sejalan dengan budaya hip hop

Penyanyi rap Marzuki “Juki” Mohammad, terkenal dengan sebutan Kill the DJ, meradang dengan viralnya sebuah video yang memuat para pendukung calon presiden Prabowo Subianto yang mengubah lirik salah satu lagunya, Jogja Istimewa, dalam sebuah acara kampanye.

Juki, pendiri Jogja Hip Hop Foundation, mengunggah video tersebut dan meluapkan kemarahannya di akun Instagram miliknya. Dia mengatakan bahwa lagu tersebut dipakai tanpa izinnya.

Dia kemudian menuntut secara hukum orang yang menyebarluaskan video tersebut dengan tuduhan melanggar hak cipta.

Juki secara terbuka menyatakan bahwa dia adalah pendukung Joko “Jokowi” Widodo. Namun terlepas dari isu politik, klaim Juki bahwa dia adalah pemilik tunggal hak cipta atas lagu tersebut pada dasarnya bermasalah.

Selama 10 tahunan ini, saya telah melakukan beberapa penelitian tentang hip hop dari sudut pandang budaya. Penelitian doktoral saya mengkaji tentang perkembangan hip hop di Yogyakarta. Secara teoretis, budaya hip hop dibangun dari semangat mencomot dan mengkompilasi suara serta teks dari berbagai macam sumber. Berangkat dari sini, saya berpendapat bahwa klaim Juki atas hak cipta lagunya tidak sejalan dengan budaya hip hop.

Di belakang proses kreatif

Ini bukan kali pertama Juki protes atas penggunaan lagunya oleh pihak lain. Sebelumnya, Juki menentang penggunaan lagu yang sama oleh Dinas Kebudayaan kota Yogyakarta. Juki mengatakan bahwa penggunaan tersebut melawan hukum. Namun, Juki tidak melaporkan kasusnya ke ranah hukum.

Sebetulnya tidaklah semudah itu melacak keaslian lagu Jogja Istimewa. Kesulitan ini muncul karena hampir semua unsur dari lagu tersebut : lirik, suara, dan visual diambil dari sumber-sumber lain.

Juki menulis lirik Jogja Istimewa. Balance, salah satu anggota Jogja Hip Hop Foundation, yang membuat musiknya.

Juki mengakui bahwa lirik yang dia buat hanya sekitar 30%, sementara sisanya dia kutip dari berbagai macam sumber. Misalnya dia mengambil kutipan dari pidato atau tulisan para tokoh terkemuka seperti Sostro Kartono (saudara kandung Kartini) dan Sultan Hamengku Buwono IX.

Suara yang terdengar dari lagu ini juga sangat akrab di telinga sebagian besar warga Yogyakarta karena suara-suara tersebut diambil dari suara drum dan suling yang dimainkan oleh para prajurit Kraton Yogyakarta ketika sedang berparade.

Secara visual, hampir semua gambar yang ada di klip video Jogja Istimewa diambil dari acara-acara kebudayaan di Yogyakarta. Banyak adegan yang diambil dari berbagai acara yang penyelenggaraannya tidak ada kaitannya dengan pembuatan klip video Jogja Istimewa.

Proses kreatif di belakang penciptaan lagu Jogja Istimewa menunjukkan kehebatan Juki sebagai seniman yang mampu menghidupkan kembali latar belakang budaya dan tradisinya untuk kemudian diproduksi ulang dengan menggunakan musik hip hop. Akan tetapi, kaitannya dengan hak cipta, hip hop punya cerita tersendiri.

Hip hop versus nilai-nilai orisinalitas

Musisi hip hop atau rap seringkali mendaur ulang musik orang lain yang kemudian ditampilkan ulang sesuai gaya artis itu sendiri. Proses kreatif musik hip hop melibatkan pengambilan dan proses kompilasi suara maupun teks yang pernah dibuat oleh orang lain, yang dikenal dengan sebutan remix.

Professor Lawrence Lessig dari Stanford Law School mendefinisikan remix sebagai sebuah proses ketika seorang seniman mencampur berbagai macam teks untuk menghasilkan sesuatu yang baru.

Berdasarkan proses kreatif yang dijelaskan di atas, Jogja Istimewa dibuat dengan menggunakan teknik remix.

Oleh karena itu proses kreatif lagu hip hop sering mendapat masalah terkait hak cipta.

Profesor hukum Kim D. Chanbonpin dari John Marshall Law School di Chicago berpendapat bahwa hip hop bukanlah produk musik yang benar-benar “orisinal”.

Chanbonpin juga mengakui bahwa proses pengambilan teks atau suara dari sumber lain dalam produksi lagu hip hop sering bertentangan secara hukum. Melihat sifat dari proses kreatif hip hop, Chanbonpin percaya bahwa hip hop “tidak bersandar pada hukum hak cipta, tetapi mereka memiliki gagasan tersendiri mengenai orisinalitas dan inovasi”.

Lessig dan Chanbonpin cenderung percaya bahwa era yang mengagung-agungkan hak cipta sebaiknya diakhiri karena “sifatnya yang merusak” kesempatan kaum marjinal yang tidak memiliki sumber daya untuk mendukung proses kreatif mereka.

Semangat hip hop

Jogja Istimewa merupakan salah satu lagu terbaik yang diciptakan dengan menggunakan teknik remix. Lagu ini telah melambungkan para artisnya menuju ketenaran. Akan tetapi, merunut keaslian dan hak cipta atas lagu Jogja Istimewa bukanlah perkara mudah. Bahkan secara teori, upaya ini justru berlawanan dengan semangat hip hop.

Semangat inilah yang telah memberikan peluang pada anak-anak miskin di Bronx, New York, Amerika dan di seluruh dunia untuk memberi sumbangsih mereka kepada dunia seni budaya. Semangat itu pulalah yang acap kali diserang oleh mereka yang mendukung hukum hak cipta.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now