Menu Close
Anak-anak berdiri di pinggir pantai saat matahari tenggelam.

Lautan telah menjadi lebih stabil, sayangnya ini bukan berita baik

Kalau kita mudah mabuk laut, kata “stabil” mungkin bukan hal pertama yang akan kita ingat soal lautan.

Namun, saat suhu global naik, lautan di dunia, secara teknis, menjadi lebih stabil.

Ketika para ilmuwan berbicara soal stabilitas lautan, mereka mengacu kepada bagaimana lapisan lautan yang berbeda bercampur satu sama lain.
Dalam studi terbaru, dari hasil analisis jutaan sampel, terungkap bahwa selama 5 dekade terakhir, stabilitas lautan meningkat enam kali lebih cepat dari yang diantisipasi oleh para ilmuwan.

Stabilitas lautan adalah pengatur penting untuk iklim global dan produktivitas ekosistem laut yang merupakan sumber pangan bagi manusia di dunia.

Ia mengontrol bagaimana panas, karbon, nutrien, dan gas terlarut berpindah-pindah antara lapisan atas dan bawah lautan.

Jadi, meski pun laut yang lebih stabil terdengar seperti hal yang menggembirakan, sebenarnya ini kurang menyenangkan dalam realitas.

Ini bisa berarti lapisan atas menyerap lebih banyak panas, tidak menyimpan nutrien, yang membawa dampak besar bagi kehidupan dan iklim lautan.

Bagaimana lautan mengalirkan panas

Suhu permukaan laut mendingin semakin jauh dari ekuator dan semakin dekat kutub.

Ini sebuah poin sederhana, tetapi memiliki implikasi yang besar.

Suhu, bersama dengan salinitas dan tekanan, mengontrol kepadatan air laut. Artinya, permukaan laut menjadi lebih padat saat menjauhi daerah tropis.

Kepadatan air laut juga meningkatkan kedalaman karena cahaya matahari yang menghangatkan lautan terserap di permukaan, sedangkan lautan dalam penuh dengan air dingin.

Perubahan kepadatan dengan kedalaman ini yang disebut oleh ahli kelautan sebagai stabilitas.

Semakin cepat meningkat, maka lautan semakin stabil.


Tulisan ini bagian dari Oceans 21
Serial kami terkait lautan global yang dibuka dengan 5 profil samudra. Nantikan artikel-artikel baru terkait keadaan laut dunia menjelang konferensi iklim PBB berikutnya, C0P26. Serial ini merupakan persembahan dari jaringan internasional The Conversation.


Lautan terbagi menjadi dua lapisan, masing-masing memiliki tingkatan stabilitas yang berbeda.

Lapisan permukaan yang sudah tercampur menempati bagian atas (kira-kira) 100 meter, di mana panas, air tawar karbon, dan gas terlarut bertukar dengan atmosfer.

Turbulensi akibat angin dan ombak pada permukaan laut mencampurkan semua air menjadi satu.

Lapisan paling bawah dinamakan abyss, jurang yang sangat dalam yang mencapai ratusan meter hingga dasar laut.

Jurang ini sangat dingin dan gelap, arusnya yang lemah perlahan-lahan mengalirkan air ke seluruh Bumi dan tetap terisolasi dari permukaan selama berpuluh-puluh atau berabad-abad lamanya.

Jurang dan lapisan campuran permukaan dibatasi sesuatu yang disebut pycnocline. Ini mirip seperti lapisan plastik yang sangat tipis yang kita gunakan untuk membungkus makanan tidak begitu terlihat dan fleksible, tetapi bisa mencegah air masuk.

Ketika lapisan ini sobek, yang terjadi akibat turbulensi di lautan, maka air bisa bocor ke arah atas dan bawah.

Namun, ketika suhu global meningkat dan lapisan permukaan atas menyerap lebih banyak panas, maka pycnocline menjadi lebih stabil, membuat air di permukaan dan jurang lebih sulit untuk bercampur.

Dua ubur-ubur berenang dekat lapisan yang terlihat kabur di lautan.
Ubur-ubur berada dekat pycnocline di fjord di daerah Swedia. W. Carter/Wikipedia, CC BY

Lalu, apa masalahnya?

Ada sabuk aliran air laut yang tidak terlihat yang memindahkan air hangat dari ekuator ke kutub, di mana ia mendingin dan menjadi lebih padat sehingga tenggelam, kembali ke ekuator di kedalaman.

Selama perjalanan ini, panas yang diserap di permukaan laut dipindahkan ke jurang, membantu mendistribusikan kembali beban panas laut, yang diakumulasi dari atmosfer yang memanas dengan cepat akibat emisi gas rumah kaca kita.

Jika pycnocline yang lebih stabil menyerap lebih banyak panas di permukaan laut, ini dapat mengganggu keefektifan laut menyerap panas berlebih dan memberikan tekanan kepada ekosistem perairan dangkal yang sensitif, seperti terumbu karang.

Stabilitas meningkat, nutrien mengering

Sama seperti permukaan laut mengandung panas yang harus dicampur ke bawah, jurang yang mengandung banyak sekali cadangan nutrisi perlu dicampur ke atas.

Bahan penyusun untuk sebagian besar ekosistem laut adalah fitoplankton: ganggang mikroskopis yang menggunakan fotosintesis untuk membuat makanan sendiri dan menyerap sejumlah besar CO₂ dari atmosfer, serta menghasilkan sebagian besar oksigen dunia.

Fitoplankton hanya dapat tumbuh apabila mendapatkan cukup cahaya dan nutrisi.

Selama musim semi, cahaya matahari, hari yang lebih panjang dan angin yang lebih ringan memungkinkan pycnocline musiman terbentuk di dekat permukaan.

Semua nutrisi yang terperangkap di atas pycnocline ini akan cepat digunakan oleh fitoplankton saat mereka tumbuh, atau diistilahkan sebagai musim semi.

Citra satelit yang menggambarkan biru cerah di lepas pantai barat daya Inggris.
Alga di lepas pantai barat daya Inggris. Andrew Wilson and Steve Groom/NASA

Agar fitoplankton di permukaan tetap tumbuh, maka nutrisi dari jurang harus melewati pycnocline.

Akhirnya, muncul masalah lain.

Jika fitoplankton kekurangan nutrisi akibat pycnocline yang terlalu kuat, maka akan ada sedikit makanan untuk sebagian besar kehidupan laut, mulai dari hewan pemakan alga, ikan kecil, hingga hewan besar seperti hiu dan paus.

Lautan yang stabil kurang efektif dalam memindahkan panas ke laut dalam dan mengatur iklim, memberikan dampak buruk bagi jaring makanan di permukaan yang menjadi sumber manusia untuk gizi.

Perlukah kita khawatir?

Sirkulasi lautan terus berkembang dengan variasi alami dan perubahan yang disebabkan oleh manusia.

Meningkatnya stabilitas pycnocline hanyalah salah satu bagian dari teka-teki yang sangat kompleks yang berusaha dipecahkan oleh ahli kelautan.

Untuk memprediksi perubahan iklim di masa depan, kita menggunakan model numerik lautan dan atmosfer yang harus mencakup semua proses fisik yang bertanggung jawab terhadap perubahan tersebut.

Kita hanya tidak memiliki komputer yang cukup kuat untuk menyertakan efek proses turbulen skala kecil dalam model yang mensimulasikan kondisi dalam skala global.

Kita tahu bahwa aktivitas manusia memiliki dampak yang lebih besar dari yang diharapkan bagi planet Bumi dan kita mungkin tidak akan suka dengan konsekuensi yang harus dihadapi.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now