Menu Close

Literasi kesehatan soal HIV di sekolah masih rendah, bagaimana cara meningkatkannya

CDC

Salah satu cara untuk mencegah penularan HIV/AIDS adalah meningkatkan pemahaman terkait pola penularan dan menghindari faktor risiko penyakit menular ini di kalangan siswa di sekolah.

Ada lebih dari 200 ribu sekolah baik negeri maupun swasta, dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, yang potensial menjadi medium kampanye dan edukasi mencegah HIV.

Masalahnya, sebuah riset pada 2017 dari Universitas Indonesia menemukan hampir 50% pelajar kurang pengetahuan terkait HIV. Riset ini menggunakan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2012, dengan sampel sekitar 8.300 remaja usia 15-19 tahun.

Riset lainnya pada 2011, dari data sekitar 14 ribu remaja, juga menunjukkan lebih dari 60% responden memiliki level pengetahuan kurang terkait HIV. Sebuah studi lain melaporkan bahwa kurangnya pengetahuan siswa SMA ini potensial terbawa sampai ke usia dewasa saat berkeluarga.

Sebenarnya, kurikulum sekolah di level SMA sudah mengintegrasikan bahasan virus HIV dalam pelajaran biologi untuk meningkatkan pemahaman remaja. Namun, guru perlu memperbanyak dan memperdalam pokok bahasan HIV untuk meningkatkan pemahaman siswa mengenai pencegahan HIV dengan studi kasus yang riil di masyarakat, termasuk menghadirkan pengidap HIV di ruang kelas. Progam pengabdian masyarakat yang kami kerjakan pada 2020 di sekolah di Sidoarjo, Jawa Timur, memberikan gambaran masalah tersebut.


Read more: Data Bicara: kasus HIV di Indonesia meningkat dalam 10 tahun terakhir, bagaimana cara mengendalikannya?


Usia produktif rentan penularan HIV

HIV, Human Immunodeficiency Virus, merupakan virus yang dapat menginfeksi leukosit atau sel darah putih sehingga melemahkan sistem kekebalan tubuh.

Penularan HIV melalui cairan tubuh dari orang yang terinfeksi, misalnya darah, ASI (air susu ibu), semen (sperma) dan cairan vagina. HIV juga dapat ditularkan dari suami positif HIV lalu ke ibu hamil dan akhirnya ke anak. Berpelukan, berjabat tangan, atau berbagi benda pribadi, makanan, atau air tidak menularkan HIV.

Menurut data profil kesehatan Indonesia 2019, jumlah kasus baru HIV di Indonesia pada 2019 mencapai 50.282 orang.

Dari persebaran usia, kasus HIV terjadi pada usia antara 4-50 tahun. Usia produktif 25-49 tahun paling tinggi di antara usia lainnya (70,4%). Usia ini merupakan usia produktif bekerja, termasuk usia yang sudah matang membangun rumah tangga. Disusul peringkat kedua adalah usia 20-24 tahun (15%). Mereka adalah usia produktif untuk kuliah atau mulai bekerja.

Dari sisi wilayah, data Infodatin (2020) menunjukkan kasus infeksi HIV banyak dilaporkan dari Jawa Timur sebagai posisi teratas, disusul Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua, dan provinsi lainnya.

Temuan lainnya, dari sekitar 2,3 juta ibu hamil yang diperiksa, sekitar 6.400 (0,27%) di antaranya positif HIV. Dari jumlah itu, provinsi yang paling banyak melaporkan ibu hamil positif HIV adalah Sulawesi Utara (3,06%), Sulawesi Tenggara (1,44%) dan Papua (1,12%).

Fenomena ini masih belum dipahami masyarakat. Artinya tidak semua masyarakat tahu bahwa ada kasus HIV pada ibu hamil. Kejadian ini dapat terjadi karena ibu tertular dari suaminya yang telah positif HIV.

Dalam progam pengabdian masyarakat yang kami lakukan pada 2020 di sekolah di Sidoarjo, Jawa Timur, kami menghadirkan seorang ibu dengan HIV di depan para guru biologi. Sang ibu mengatakan bahwa suaminya yang bekerja sebagai penegak hukum sering pulang malam dari kantor. Setelah dia dites HIV dan dinyatakan positif, barulah dia tahu bahwa suaminya sering bermain seks dengan perempuan lain di luar rumah.


Read more: Angka infeksi HIV pada ibu hamil naik, bagaimana kita bisa ikut mencegahnya


Sekolah tempat edukasi HIV/AIDS strategis

Laporan pada 2018 dari Universitas Padjadjaran menunjukkan remaja perempuan lebih banyak pernah mendengar tentang HIV/AIDS dibanding remaja laki-laki. Sumber informasi yang banyak mereka ketahui adalah dari guru sekolah, teman, dan internet. Cara mencegah HIV, menurut sebagian besar remaja, adalah membatasi hubungan seksual hanya dengan satu pasangan. Ini artinya mereka telah mengetahui salah satu cara mencegah penularan HIV.

Sekolah bisa berperan besar untuk meningkatkan literasi kesehatan remaja terkait HIV melalui pembelajaran yang lebih aktual dan kontektual.

Kompetensi Dasar yang ditetapkan Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan tahun 2013, misalnya, di Mata pelajaran Biologi kelas X (kelas 1 SMA) terdapat kompetensi yang berkenaan dengan penyakit HIV-AIDS. Yakni membuat usulan tindakan preventif untuk meminimalkan dampak infeksi virus (HIV, SARS, herpes, hepatitis, influenza, rabies, polio, campak, dan COVID-19) pada manusia dan menjelaskan peran virus dalam rekayasa genetika (kompetensi 4.4).

Wawancara mendalam tim kami dalam kegiatan pengabdian masyarakat di Sidoarjo terhadap guru-guru biologi menunjukkan bahwa mempelajari HIV/AIDS selama ini sebatas pada mencari informasi di internet. Lalu siswa diminta membuat makalah dan presentasi, atau membuat poster. Ada juga yang lebih mempelajari sains dasar yaitu permainan merangkai potongan gambar siklus HIV dan menjelaskannya. Dari semua itu, semua pembelajaran bersifat teoritis.

Untuk mendapat pengalaman pembelajaran yang berbeda, tim kami di forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Biologi Sidoarjo menghadirkan narasumber seorang ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS (ODHA, orang dengan HIV-AIDS). Para guru mengatakan baru pertama kali ini mereka bertemu dan mendengarkan pengalaman dari ODHA secara langsung (tatap muka). Pertemuan ini membuat mereka terharu dan kagum terhadap perjuangan ODHA untuk bertahan hidup.

Para guru juga mengaku kaget bahwa persepsi ODHA berbadan kurus atau sakit-sakitan adalah salah. Karena narasumber yang mengidap HIV itu tampak seperti orang seperti status gizi normal. Semua peserta menyadari bahwa ternyata tidak semua ODHA tertular karena perilaku berisiko seperti penggunaan jarum suntik narkotika secara bergantian, ataupun berganti-ganti pasangan.

Pandangan para guru ini cocok dengan hasil sebuah studi yang menunjukkan bahwa pengetahuan yang kurang tentang HIV/AIDS berhubungan dengan stigma terhadap ODHA. Ini bisa jadi benar, karena anggapan masyarakat bahwa HIV dibawa oleh pekerja seksual komersial (PSK) dan pemakai narkotika.

Konsep penularan HIV dalam rumah tangga hingga ditemukannya kejadian ibu hamil positif HIV masih belum disebarkan kepada siswa yang kelak akan berumah tangga. Edukasi apa yang kita harus lakukan ketika dihadapkan situasi sedang bersama ODHA juga sepertinya belum terjamin merata di semua sekolah.

Penularan HIV bisa diperoleh dari pasangan yang berisiko dan akhirnya berlanjut kepada bayi yang ada di dalam kandungan ibu yang terkena HIV, sehingga bayi bersangkutan menjadi anak dengan HIV/AIDS (ADHA).

Stigma dari masyarakat terhadap ODHA adalah bahwa ODHA terjadi karena perbuatan mereka sendiri. Sehingga terpasang persepsi bahwa penyakit tersebut menjadi sebuah hukuman (kutukan) untuk mereka. Selain itu ada kekhawatiran dan ketakutan akan tertular HIV apabila ODHA duduk di sebelah kita. Pengalaman bertemu langsung dengan ODHA seperti ini tentu tidak semua sekolah mendapatkannya.


Read more: Stigma masyarakat menghambat pemenuhan hak asasi anak dengan HIV/AIDS di Indonesia


Agenda ke depan

Dari pengamatan kami di lapangan itu, Musyawarah Guru Mata Pelajaran Biologi perlu menyusun poin-poin yang jelas ketika membahas virus HIV dalam pelajaran biologi.

Penguatan materi HIV dari tenaga kesehatan yang berpengalaman perlu disosialisasikan kepada guru secara berkala untuk mengenal aspek virus, penularan, dan gejala sakit. Guru perlu sesekali menghadirkan penderita HIV untuk bercerita di depan siswa di kelas.

Hal yang sangat penting adalah tidak melupakan aspek kemanusiaan ketika berjumpa langsung dengan ODHA karena kelak siswa akan hidup bersama masyarakat serta membangun rumah tangga yang sehat.

Dinas Kesehatan perlu menggandeng Dinas Pendidikan dan sekolah untuk terus mensosialisasikan bahaya HIV.

Pengukuran pengetahuan siswa juga perlu dilakukan secara berkala sebelum kita melepas mereka saat tamat sekolah. Guru biologi juga perlu bekerja sama dengan guru agama untuk mengadakan program religius untuk siswa sebagai upaya untuk mencegah perilaku berisiko terkena HIV.

Upaya ini tidak bisa ditunda-tunda lagi, mengingat populasi siswa yang sangat banyak dan potensi terancam yang tidak kita duga. Jika dibiarkan berjalan seperti biasa, ada kekhawatiran mereka akan salah pergaulan dan berperilaku risiko tinggi HIV/AIDS ketika lulus, hidup bersama masyarakat, dan berumah tangga.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now