Menu Close

Lulusan hukum berperan penting dalam penyelesaian sengketa bisnis atau ‘arbitrase’, tapi kampus belum siapkan mereka dengan baik

(Flickr/verkeorg), CC BY-SA

Ambisi Indonesia meraih pertumbuhan ekonomi terbesar kelima di dunia pada 2025 memicu berbagai kebijakan yang mendorong investasi dan transaksi bisnis. Namun, seiring pertumbuhan transaksi, potensi munculnya sengketa bisnis pun bertambah.

Di sini, arbitrase – suatu jalur hukum yang lebih efisien dan transparan ketimbang pengadilan dengan menunjuk ahli hukum bisnis sebagai penengah – telah menjadi forum penyelesaian sengketa yang kian populer di kalangan pebisnis.

Menurut Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), penyedia jasa arbitrase independen bentukan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), lembaganya setiap tahun menerima setidaknya 100 permintaan penyelesaian sengketa bisnis.

Masalahnya, meski kebutuhan terhadap arbitrase semakin meningkat, saya sebagai dosen hukum, dan juga BANI, memandang bahwa tidak banyak mahasiswa maupun sarjana hukum di lapangan yang memahami karakteristik, prinsip-prinsip penting, maupun tata cara dalam proses arbitrase.

Padahal, banyak lulusan hukum tersebut kelak mengemban peran penting dalam dunia arbitrase. Mereka menjadi penengah atau “arbiter” hingga menjadi advokat hukum yang mewakili para pihak yang bersengketa.

Ada beberapa kemungkinan yang bisa menyebabkan hal tersebut. Misalnya, tidak diberikannya pengertian yang komprehensif mengenai arbitrase di bangku kuliah, arbitrase tidak diberikan tempat yang penting dalam kurikulum, dan/atau para calon sarjana hukum belum memiliki minat terhadap arbitrase.

Peran krusial lulusan hukum dalam arbitrase

Kerahasiaan, kecepatan, profesionalisme, transparansi, dan kredibilitas suatu proses arbitrase, menjadi hal-hal krusial yang dibutuhkan dunia industri.

Pertama, salah satu subjek yang memegang peran krusial adalah sang ‘arbiter’. Arbiter tak hanya harus menuntut terselesaikannya sengketa, tapi juga memastikan resolusi konflik berlandaskan kebenaran dan keadilan.

Dalam pengamatan kami, banyak lulusan hukum yang menjadi arbiter sering terjebak dalam ‘positivisme’. Artinya, mereka kerap hanya mempersoalkan apa kata hukum dan juga ketentuan dalam klausul perjanjian bisnis, tanpa memahami lika-liku konflik tersebut.

Padahal, seorang pemecah masalah harus melampaui apa yang ada di balik teks atau substansi dasar dalam sengketa. Seorang arbiter juga harus mengetahui persoalan bisnis, sebagai objek dari dunia arbitrase.

Hanya melihat hukum dan ketentuan dalam perjanjian tanpa memahami bisnisnya tidak akan mengarah pada penyelesaian yang adil dan baik.

Kedua, subjek yang juga penting adalah para pihak yang bersengketa maupun para advokat yang mewakilinya.

Kemungkinan besar, banyak di antara lulusan hukum nanti yang justru akan menjadi advokat ketimbang menjadi arbiter yang memang terbatas jumlahnya.

Aspek penting yang dijalankan lulusan hukum yang mengemban peran ini adalah pembelaan. Proses pembelaan yang baik harus bertumpu pada kebenaran dan keadilan dalam penyelesaian sengketa. Pembelaan harus dilandasi fakta-fakta yang valid dan objektif, bukan data-data yang palsu.

Aturan hukum – termasuk UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Kode Etik Advokat Indonesia – mengharuskan advokat hukum dalam arbitrase untuk menjalankan pembelaan secara das sollen (taat hukum) dan menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran. Bahkan, jika ada permintaan dari pebisnis yang mereka bela yang bertentangan dengan integritas tersebut, para advokat harus menolaknya (Pasal 3).

Para lulusan hukum yang terlibat arbitrase harus memahami pentingnya kode etik arbiter dan advokat hukum. (Unsplash/Ben Rosett), CC BY

Sayangnya, menurut cerita Ketua BANI, di lapangan ada banyak advokat hukum yang seringkali melanggar prinsip sakral di atas.

Bahkan, persekongkolan tak hanya antara pebisnis yang bersengketa dengan advokat mereka, tapi juga antara para pihak dengan sang arbiter sebagai penengah hukum.

Persekongkolan dan kolusi adalah hal terlarang dalam proses arbitrase – iktikad yang baik harus menjadi semangat utama. Para lulusan hukum harus diajarkan bahwa arbitrase harus fokus pada selesainya sengketa dengan adil, bukan 'menang’-nya sengketa.

Fakultas hukum harus siapkan calon praktisi arbitrase dengan lebih baik

Mengingat masih banyaknya masalah yang muncul di antara para lulusan hukum di atas, kami memandang bahwa fakultas hukum harus lebih baik lagi dalam mempersiapkan mahasiswa mereka guna menunjang iklim arbitrase di Indonesia.

Pertama, memastikan bahwa materi-materi terkait arbitrase mendapatkan perhatian dalam kurikulum pendidikan tinggi hukum.

Saat ini, tidak banyak perguruan tinggi hukum yang menjadikan mata kuliah arbitrase sebagai mata kuliah wajib fakultas.

Sepengetahuan kami, dari 524 lembaga pendidikan tinggi yang menyediakan program studi ilmu hukum, hanya Fakultas Hukum Universitas Padjajaran yang menjadikan arbitrase sebagai mata kuliah wajib. Sebab, banyak guru-guru besar di sana fokus pada arbitrase. Di antaranya adalah Profesor Huala Adolf, Profesor Ahmad Ramli, dan Profesor Mieke Komar.

Perguruan tinggi pun tak banyak yang menjadikan arbitrase sebagai mata kuliah wajib saat peminatan. Bahkan, arbitrase tidak mendapatkan kejelasan mengenai di bawah bidang studi hukum mana materi ini diampu.

Kedua, memastikan bahwa mahasiswa hukum memiliki pengetahuan substansi yang baik dalam memecahkan persoalan dalam dunia arbitrase.

Objek utama arbitrase adalah sengketa bisnis. Sekadar tahu prosedur arbitrase tanpa memahami industri, terutama lika-liku bisnis yang dipersengketakan, tidak akan berarti apa-apa.

Dalam pengajaran saat ini, misalnya, materi di berbagai fakultas hukum seringkali hanya berpusat pada aspek prosedural atau tata cara arbitrase sesuai yang tertera pada UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase.

Fakultas hukum harus lebih banyak memasukkan silabus yang memperkuat wawasan mahasiswa akan dunia industri di Indonesia. Dosen pun bisa lebih banyak mengangkat kasus-kasus yang membantu mahasiswa memperdalam pemahaman akan lika-liku bisnis.

Menurut pengalaman BANI, hal inilah yang justru menjadi kunci keberhasilan proses penyelesaian sengketa bisnis.

Ketiga, memastikan lulusan hukum memiliki kemampuan penyelesaian sengketa berdasarkan keadilan dan kebenaran.

Pendidikan harus menjadi tempat bagi mahasiswa untuk berdebat mengenai makna keadilan dan kebenaran. Pendidikan tidak boleh menjadi tempat yang hanya sekadar mengajarkan konsep, tanpa akhirnya memperdebatkan konsep-konsep tersebut dalam dunia nyata.

Ruang kuliah harus menjadi tempat mahasiswa bisa saling memperdebatkan tentang makna keadilan dalam berbagai kasus dunia nyata. (Unsplash/Edwin Andrade), CC BY

Menelusuri berbagai putusan, misalnya, sebaiknya tak hanya sempit dalam konteks di Indonesia, tapi juga di luar negeri. Ini akan memberikan pengalaman bagi para mahasiswa mengenai bagaimana menimbang-menimbang keadilan.

Fakultas hukum dapat mengajak mahasiswa memperdebatkan kasus-kasus hipotetis, lalu meminta mereka menganalisis dan menyampaikan solusinya. Dengan kata lain, perdebatan yang ramai – ketimbang penyampaian satu arah – adalah cara yang lebih tepat mendidik mahasiswa hukum menjadi pemecah masalah.

Selain itu, prinsip keadilan juga berarti bahwa lulusan hukum yang menjadi praktisi arbitrase harus menjaga etika sebaik-baiknya.

Fakultas hukum harus lebih tegas menekankan pada mahasiswa tentang kode etik arbiter dan advokat hukum, serta dampaknya pada masyarakat jika hal tersebut mereka langgar.

Belum terpenuhinya berbagai hal ini, menurut kami, menjadi salah satu sebab banyaknya lulusan hukum memiliki wawasan arbitrase yang lemah di saat jalur ini telah menjadi forum penyelesaian sengketa yang paling sering dipilih.


Anangga W. Roosdiono, Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), juga berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,800 academics and researchers from 4,938 institutions.

Register now