Menu Close
Bisakah pekerja lansia Indonesia merasakan manfaat bekerja?
Ilustrasi pekerja lansia. Thammanoon Khamchalee/Shutterstock

Manfaat bekerja untuk lansia: bisakah dirasakan pekerja Indonesia?

Jumlah penduduk Indonesia mencapai 278 juta jiwa pada pertengahan 2023. Sebanyak 11,75% atau 32,6 juta orang di antaranya merupakan lanjut usia (lansia). Artinya, 1 dari 10 penduduk Indonesia merupakan lansia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), proporsi lansia tersebut menandakan bahwa Indonesia sudah memasuki fase penuaan penduduk (ageing population).

Fase penuaan penduduk disertai dengan pertambahan jumlah lansia yang masih bekerja. Penelitian mengungkapkan lebih dari setengah penduduk lansia di Indonesia masih aktif bekerja. Salah satu alasannya adalah demi menyambung hidup.

Tidak cukup sampai di situ, lansia masih harus bergelut dengan tantangan lain berupa masalah kesehatan akibat proses penuaan (sindrom geriatri), seperti alzheimer, demensia, penyakit jantung, dan osteoporosis (pengeroposan tulang).

Meski dibayang-bayangi masalah kesehatan, beberapa penelitian justru menyebut bahwa efek negatif penuaan ini bisa dikurangi dengan tetap aktif secara fisik, mental, maupun sosial, salah satu caranya adalah dengan bekerja. Lantas, bisakah manfaat ini dirasakan pekerja lansia Indonesia?

Manfaat bekerja untuk lansia

Umumnya, untuk menjaga kesehatan, lansia perlu rutin berolahraga, mengonsumsi makanan sehat dengan gizi seimbang, dan mendapatkan perawatan kesehatan.

Di luar itu, lansia bisa menjalani gaya hidup aktif untuk menghambat dan memperlambat risiko masalah kesehatan akibat proses penuaan dengan bekerja.

Setidaknya ada empat manfaat penting bekerja bagi lansia.

Pertama, bekerja dapat mengurangi risiko lansia merasakan kesepian dan kurangnya kesempatan berinteraksi dengan orang lain (isolasi sosial). Kedua kondisi ini tidak boleh dianggap sepele, karena kesepian dan isolasi sosial dapat meningkatkan risiko demensia sebesar 50%.

Demensia adalah penyakit yang mengurangi daya ingat dan berpikir. Dengan berinteraksi bersama rekan kerja, risiko lansia mengalami demensia diharapkan bisa berkurang. Selain itu, aktivitas fisik saat bekerja bisa mengurangi risiko terkena gangguan kognitif, seperti demensia vaskular. Ini adalah kondisi menurunnya daya ingat dan berpikir akibat berkurangnya aliran darah ke otak.

Kedua, bekerja dapat membantu menjaga kesehatan mental, perilaku, dan pikiran lansia di kehidupan sosialnya (psikososial), karena kegiatan ini bisa menumbuhkan kepercayaan diri, kepuasan hidup, dan dukungan sosial yang berdampak positif bagi lansia.

Ketiga, risiko mengalami penurunan fungsi kognitif atau kemampuan berpikir lansia diduga juga bisa berkurang jika mereka bekerja. Penelitian menunjukkan bekerja bisa memberikan efek positif pada cognitive reserve, yaitu kemampuan otak dalam mempertahankan fungsinya meskipun mengalami kerusakan atau penuaan.

Bekerja bantu memperkuat pengembangan sirkuit saraf alternatif yang mendukung kinerja cognitive reserve. Meski begitu, penelitian lanjutan diperlukan untuk mengonfirmasi temuan sejenis ini, terutama karena kurang beragamnya profesi pekerja lansia yang memperoleh manfaat perkembangan fungsi kognitif.

Jenis profesi yang dapat melawan penuaan otak menurut penelitian merupakan pekerjaan yang membutuhkan kemampuan analisis ataupun interaksi sosial yang kompleks, contohnya pengajar, pengacara, pekerja sosial, data analyst, dan tukang reparasi jam.

Kenyataannya mungkin berbeda

Bekerja mungkin mendatangkan banyak manfaat kesehatan, tetapi di Indonesia situasinya berbeda. Masih banyak lansia terpaksa bekerja karena terjerat kemiskinan.


Read more: Tanpa uang pensiun dan jaminan hari tua, masih banyak lansia terjerat kemiskinan dan terpaksa bekerja


Indonesia, yang baru memasuki fase penuaan penduduk, belum memiliki kebijakan yang menguntungkan lansia. Menurut data BPS tahun 2023, sekitar 85% lansia bekerja di sektor informal yang umumnya tidak menawarkan perlindungan, kontrak kerja, maupun upah yang memadai.

Sebanyak 20% lansia bahkan bekerja lebih dari 48 jam dalam seminggu, melebihi jam kerja maksimum per pekan, yaitu 40 jam/minggu. Rata-rata penghasilan pekerja lansia hanya sebesar Rp1,62 juta per bulan–jauh di bawah upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah.

Di sisi lain, ada beberapa jenis pekerjaan yang mengharuskan lansia bekerja dalam waktu lama dengan sedikit gerak (sedentary behavior). Waktu luang yang sedikit dengan durasi kerja yang panjang menyulitkan lansia beraktivitas fisik.

Masih banyak pekerja lansia yang terjerat kemiskinan.
Masih banyak pekerja lansia yang terjerat kemiskinan. Dexa Std/Shutterstock

Dari segi fasilitas, tidak semua tempat kerja menyediakan gym atau jalur pejalan kaki (walking path) untuk memfasilitasi lansia melakukan aktivitas fisik.

Persoalan lainnya, diskriminasi usia di tempat kerja rentan dialami lansia, terutama yang kurang terampil menggunakan teknologi.

Kondisi pekerjaan yang tidak menguntungkan berpotensi menimbulkan stres pada lansia. Hal ini dapat memicu efek negatif terhadap kemampuan otak untuk berubah dan beradaptasi (plastisitas saraf).

Stres akibat tekanan pekerjaan yang terlalu besar dapat memengaruhi plastisitas saraf dan berisiko menimbulkan gangguan suasana hati (mood disorder), seperti rasa gelisah hingga depresi. Hal ini diperparah dengan berkurangnya kemampuan adaptasi otak lansia sehingga menyebabkan mereka kian sulit beradaptasi terhadap faktor pemicu stres (stresor).

Stres berkelanjutan dapat memicu penyakit hilangnya fungsi dan struktur sel saraf (neurodegeneratif), seperti demensia dan alzheimer. Karena stres menyebabkan peradangan jangka panjang yang dapat merusak sel-sel otak.

Butuh keterlibatan pemerintah dan pengusaha

Bekerja bisa mendatangkan banyak manfaat bagi lansia, tidak hanya dari sisi finansial, tetapi juga kesehatan dan sosial. Namun, keterlibatan pemerintah dan pengusaha sangat diperlukan agar manfaat ini bisa dirasakan pekerja lansia secara merata.

Pemerintah diharapkan membuat kebijakan yang ramah bagi pekerja lansia, misalnya penyelenggaraan program ketenagakerjaan untuk lansia. Lansia yang akan mengikuti program ini harus melewati pemeriksaan kesehatan dan penilaian fungsi kognitif (skrining kognitif) terlebih dahulu.

Pemeriksaan kesehatan fisik sedari awal dapat membantu mengidentifikasi kondisi, seperti masalah jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular) serta gangguan pada area muskuloskeletal yang meliputi fungsi sendi, otot, ligamen, saraf, tendon, dan tulang belakang. Selain itu, pemeriksaan kesehatan fisik juga berguna untuk melacak adanya masalah penglihatan dan pendengaran yang mungkin membatasi kemampuan bekerja lansia secara aman dan nyaman.

Deteksi dini kondisi tersebut memungkinkan adanya penyesuaian di tempat kerja sehingga memastikan para lansia dapat bekerja tanpa mengorbankan kesehatan mereka, termasuk mencegah lansia mengalami cedera di tempat kerja.

Pemeriksaan kesehatan lansia diperlukan sebelum mereka bekerja.
Pemeriksaan kesehatan lansia diperlukan sebelum mereka bekerja. Leungchopan/Shutterstock

Penilaian fungsi kognitif sama pentingnya karena pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi masalah potensial, seperti gangguan kognitif ringan yang memerlukan dukungan segera (intervensi dini), seperti penyesuaian tugas dalam pekerjaan atau pemberian program pelatihan agar lansia tetap bisa terlibat dalam pekerjaan yang bermakna.

Pemeriksaan fisik dan kognitif memastikan pekerja lansia bisa bekerja sesuai dengan kemampuan mereka, mengurangi risiko kesalahan terkait pekerjaan, mempertahankan produktivitas, dan mendukung kesejahteraan mental mereka.

Apabila pekerja lansia mengalami masalah kesehatan, pemerintah bisa membuat kebijakan berupa pemberian cuti yang dibayar (paid leave) ataupun tidak dibayar (unpaid leave).

Bersama pengusaha, pemerintah juga bisa menyediakan lapangan pekerjaan dan lingkungan kerja yang ramah lansia. Penting untuk menciptakan ruang kerja yang memberikan kenyamanan (ergonomis), contohnya pengadaan kursi, meja, dan penerangan yang bisa disesuaikan sehingga mengurangi ketegangan pada persendian, otot, dan penglihatan lansia.

Sediakan pula ruang terbuka hijau agar lansia dapat beristirahat, stretching, atau olahraga ringan sembari berinteraksi dengan rekan kerja lainnya.

Pemberi kerja juga dapat mempertimbangkan jam kerja yang fleksibel untuk jenis pekerjaan tertentu sehingga lansia dapat bekerja dari rumah. Hal ini bisa mengurangi durasi bepergian, stres, dan kelelahan lansia.

Indonesia juga bisa belajar dari The Senior Community Employment Program (SCSEP) yang diterapkan Amerika Serikat. Lansia peserta SCSEP akan ditugaskan di pos pelayanan publik, seperti sekolah, perpustakaan, dan organisasi pelayanan sosial. Penempatan tersebut berdasarkan keterampilan, minat, kemampuan, dan kebutuhan tiap peserta. Pekerja lansia SCSEP akan mendapatkan upah yang setimpal.

Dengan keterlibatan pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan pengusaha yang turut menyediakan lapangan pekerjaan, diharapkan manfaat bekerja benar-benar bisa dirasakan pekerja lansia di Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 191,300 academics and researchers from 5,061 institutions.

Register now