Menu Close

Mayoritas pemudik berasal dari wilayah dengan kasus COVID-19 tinggi, inilah mengapa mudik selama pandemi harus dilarang

Warga berjalan di samping spanduk larangan mudik di kompleks pasar Induk Wonosobo, Jawa Tengah.
Pemerintah melarang masyarakat untuk melakukan mudik Lebaran selama 6-17 Mei 2021. Anis Efizudin/Antara Foto

Minggu lalu, pemerintah secara resmi melarang mudik Lebaran 2021 karena Indonesia belum terbebas dari pandemi COVID-19.

Pemerintah bahkan telah menegaskan bahwa larangan mudik ini sudah final dan ini telah ditindaklanjuti dengan penerbitan sebuah Peraturan Menteri Perhubungan sebagai upaya untuk mengatur pergerakan masyarakat pada masa Lebaran.

Menurut kami, keputusan ini sangat tepat. Berdasarkan hasil penelitian kami tentang potensi pola aliran mudik pada masa pandemi, intervensi pemerintah, dalam hal ini kebijakan larangan mudik, sangat diperlukan dalam menekan mobilitas masyarakat yang berpotensi meningkatkan penyebaran COVID-19.

Hal ini penting mengingat mudik adalah fenomena sosial besar dan berisiko menciptakan simpul-simpul baru kasus COVID-19 di berbagai daerah di Indonesia.

Mengapa mudik perlu dilarang?

Fenomena mudik mulai membesar sejak berkembangnya kota-kota besar di Indonesia pada awal 1970-an.

Warga kota, khususnya pendatang dari desa yang telah bermigrasi cukup lama ke kota biasanya mudik pada hari libur kerja yang panjang dan bermakna kultural seperti Hari Raya Idul Fitri, Natal, atau Tahun Baru.

Dari tahun ke tahun, di luar masalah ketersediaan transportasi, mudik tidak pernah menjadi hal yang mengkhawatirkan. Namun, sejak pandemi melanda, mudik menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan.

Pada masa pandemi, kota-kota besar tidak hanya menjadi pusat kegiatan ekonomi, tapi juga menjadi simpul penyebaran virus COVID-19.

Berdasarkan peta sebaran kasus COVID-19 oleh Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, berbagai wilayah khususnya kota-kota besar di Pulau Jawa kini menjadi pusat kasus COVID-19 terbanyak.

Pola rencana mudik pada masa awal pandemi

Pada masa awal pandemi, kami bersama Tim Panel Sosial Kebencanaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan survei pandangan masyarakat terhadap mobilitas dan transportasi selama pandemi COVID-19.

Survei ini dilaksanakan secara daring menggunakan platform Google Form pada 28 Maret-2 April 2020. Jumlah responden yang dianalisis sebanyak 4.602; jumlah responden laki-laki 50% dan perempuan 49,99%.

Kami menemukankan bahwa dalam situasi pandemi, 60,64% responden berencana mudik pada waktu Lebaran tahun lalu.

Dari data pemudik tersebut, kami memetakan kemungkinan aliran mudik, yaitu antara kabupaten/kota tempat tinggal dengan rencana tujuan perjalanan mudik atau ke luar kota.

Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) menjadi wilayah dengan calon pemudik terbesar di Indonesia, yaitu sebesar 37,65% dengan tujuan mudik yang tersebar di beberapa wilayah.

Potensi pola aliran mudik. Panah dan lebar pita berturut-turut menunjukkan arah dan besarnya aliran. Prasojo, Aini, & Kusumaningrum, 2020, Author provided

Aliran mudik terbesar terjadi dari Jabodetabek menuju Jawa Tengah (Jateng) dengan persentase sebesar 10,44% dari responden yang berencana mudik Lebaran. Selain Jawa Tengah, wilayah tujuan utama lain adalah Jawa Barat (6,38%), Sumatera (5,54%), Jawa Timur (4,99%), dan Yogyakarta (3,71%).

Setelah Jabodetabek, Sumatera menjadi tujuan dengan persentase calon pemudik kedua tertinggi (13,09%). Aliran di wilayah ini didominasi oleh aliran internal atau dalam wilayah Sumatera, sebesar 8,07%.

Beberapa wilayah lain yang diperkirakan juga akan didominasi oleh aliran internal antara lain Jawa Timur (6,97%), Jawa Tengah (5,54%), Jawa Barat (3,02%), dan Sulawesi (2,67%).

Tanpa melihat aliran internal, wilayah yang diperkirakan menjadi pengirim calon pemudik terbanyak di antaranya adalah Jabodetabek (35,77%) dan Sumatera (5,05%), sedangkan wilayah penerima calon pemudik terbanyak adalah Jawa Tengah (19,54%) dan Jawa Timur (10,24%).

Untuk melihat representasi arah mobilitas yang lebih efektif, kami menghitung aliran mudik dengan mencari selisih antara aliran yang keluar dan yang masuk antar pasangan wilayah.

Potensi pola aliran mudik neto. Panah dan lebar pita berturut-turut menunjukkan arah dan besarnya aliran. Prasojo, Aini, & Kusumaningrum, 2020, Author provided

Berdasarkan perhitungan kami aliran mudik terbesar berasal dari Jabodetabek menuju Jawa Tengah. Jabodetabek menjadi wilayah pengirim pemudik terbesar, sedangkan Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah dua provinsi penerima pemudik terbesar dari berbagai wilayah (yang dominan berasal dari Jabodetabek).

Bisa kita bayangkan, jika mudik Lebaran tidak dibatasi, maka risiko penyebaran COVID-19 akan semakin meluas ke berbagai daerah di Pulau Jawa. Bahkan, penambahan kasus yang tinggi tidak bisa terhindarkan karena besarnya mobilitas berasosiasi positif dengan penularan virus.

Pola aliran mudik seperti yang kami sampaikan di atas dapat menunjukkan pola aliran risiko penyebaran COVID-19.

Ini karena manusia berperan sebagai penentu “episentrum” dan besaran risiko wabah.

Bencana lain melibatkan kekuatan alam (seperti gempa) dalam menentukan “episentrum” dan besaran bencana. Namun dalam bencana wabah, peran manusia sangat menentukan dalam pandemi COVID-19.

Semakin banyak mobilitas yang dilakukan oleh manusia, semakin tinggi pula risiko munculnya “episentrum” baru kasus COVID-19.

Maka dari itu, pemetaan potensi pola aliran mudik pada masa pandemi menjadi penting untuk bisa menggambarkan kemungkinan aliran risiko penyebaran COVID-19 yang akan terjadi.


Read more: Mobilitas penduduk meluaskan zona merah COVID-19: larangan mudik dari Jokowi harus diperkuat pengawasannya


Persepsi risiko masyarakat

Selain memetakan pola aliran mudik, cara masyarakat memandang risiko juga perlu diperhatikan.

Berdasarkan hasil survei kami, 43,78 % responden merasa bahwa mudik masih bisa dilakukan pada masa pandemi, proporsi yang cukup tinggi meski masih di bawah 50%.

Pandangan ini menjadi masalah jika banyak warga yang masih merasa aman kemudian nekat mudik meski larangan mudik telah ditetapkan.

Meski pada tahun ini sekitar 5,4 juta penduduk telah mendapatkan vaksin COVID-19 kedua, hal ini tidak serta merta menjadikan keadaan aman sepenuhnya.

Masyarakat masih perlu menjalankan protokol kesehatan, menjaga jarak, dan membatasi mobilitas sebagai bentuk usaha gotong royong dalam menekan kasus penyebaran COVID-19.

Maka dari itu, larangan mudik pada tahun ini perlu didukung dengan kesadaran dan kedisiplinan masyarakat, penegakan aturan kepada penyedia transportasi umum, serta koordinasi yang baik antarpemerintah daerah agar antisipasi penyebaran COVID-19 dapat berjalan optimal.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now