Kabar mengenai ancaman gempa megathrust yang mengintai kawasan selatan Pulau Jawa kembali ramai diberitakan beberapa pekan terakhir ini.
Megathrust adalah gempa bumi sangat besar yang terjadi di zona subduksi—tempat pertemuan antara lempeng benua dan samudra. Ketika kedua lempeng itu bertemu, lempeng samudra yang lebih berat akan terdorong ke bawah sehingga memicu gempa yang sangat besar.
Para ilmuwan memprediksi bahwa gempa megathrust dengan magnitudo besar berpotensi menimbulkan bencana susulan seperti tsunami dan likuifaksi (pencairan tanah).
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat terdapat 13 zona megathrust di wilayah Indonesia, dua di antaranya sudah ratusan tahun tidak mengalami gempa akibat pergeseran kulit bumi atau tektonik, yaitu zona Mentawai-Siberut dan Selat Sunda. Ini biasa disebut dengan seismic gap.
Berita mengenai ancaman megathrust sebenarnya bukan hal baru. Pemberitaan serupa sudah muncul di beberapa media sejak beberapa tahun lalu, misalnya pada Maret 2018, Agustus 2019, dan setelah gempa Pandeglang di Banten pada Januari 2022.
Meski demikian, pola pemberitaannya masih fluktuatif, menunjukkan bahwa banyak media belum memiliki pendekatan yang sistematis dan berkelanjutan dalam menyajikan informasi seputar megathrust. Akibatnya, respon publik terhadap berita tersebut cenderung reaktif seperti pembatalan pemesanan di restoran-restoran sekitar kawasan pantai di Gunungkidul, Yogyakarta.
Tak hanya dibayangi ancaman megathrust, banyaknya titik rawan bencana membuat Indonesia rentan terhadap berbagai bencana alam lainnya seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami. Sebagai negara dengan iklim tropis lembap, Indonesia juga rawan banjir dan tanah longsor.
Sayangnya, pemerintah—sebagai pihak yang paling berwenang—acap gagal menyampaikan komunikasi risiko dengan baik, sehingga membuat pemberitaan mengenai bencana sering kali simpang siur. Bahkan, antarinstitusi pun kerap tidak sejalan. Pada medio 2018 misalnya, polisi sempat hendak memidanakan BMKG dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknolog (BPPT) karena informasi mengenai ancaman gempa megathrust yang mereka sampaikan dianggap meresahkan dan merugikan perekonomian lokal.
Dalam situasi seperti ini, Indonesia memerlukan komunikasi risiko yang efektif untuk membangun kesadaran dan kesiapsiagaan berkelanjutan dengan memadukan pengetahuan ilmiah dengan budaya lokal.
Seperti apa komunikasi risiko yang efektif?
Komunikasi risiko melibatkan pertukaran informasi dan pandangan mengenai risiko serta faktor-faktor terkait.
Dalam penyampaian informasi bencana, membangun kepercayaan masyarakat menjadi elemen kunci. Kepercayaan yang tinggi terhadap sumber informasi dapat meningkatkan efektivitas komunikasi risiko dan memengaruhi respon masyarakat terhadap ancaman bencana. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemerintah seringkali dianggap sebagai sumber informasi risiko yang paling dipercaya.
Komunikasi risiko juga harus fleksibel agar dapat disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan yang ada. Banyak pakar menyebutkan bahwa tidak ada model komunikasi risiko tertentu yang paling mujarab untuk semua krisis. Setiap krisis membutuhkan pendekatan yang sesuai dengan situasi lokalnya.
Bagaimana seharusnya merespon informasi bencana?
Waspada secara terus-menerus terhadap ancaman bencana bisa melelahkan secara psikologis. Sebaliknya, mengabaikan ancaman bisa meningkatkan risiko, berupa melakukan respon yang tidak tepat ketika bencana terjadi.
Bagaimana seharusnya kita merespon informasi bencana?
1. Membentuk budaya sadar bencana
Masyarakat membutuhkan budaya sadar bencana. Greg Bankoff, ahli sejarah bencana dari Inggris, menyebutnya sebagai ‘cultures of disasters’. Dalam 'budaya sadar bencana’ ini, ancaman bencana alam telah terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, menciptakan pemahaman kolektif tentang risiko dan respons terhadap bencana.
Budaya sadar bencana akan tercermin dalam kesiapsiagaan warga ketika menghadapi berbagai situasi. Contoh ini dapat dilihat pada masyarakat di lereng Merapi yang sudah terbiasa dengan ancaman erupsi gunung.
Ketika status Gunung Merapi dinaikkan menjadi Siaga (Level III), masyarakat sudah tahu harus berbuat apa. Mereka bisa tetap menjalankan kehidupan sehari-hari dengan normal sambil menyiapkan tas darurat, memahami jalur evakuasi, dan mengikuti informasi dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG).
Kebiasaan ini dibentuk melalui edukasi bencana yang panjang sejak pertengahan 1990-an, yakni setelah erupsi Merapi pada 1994. BPPTKG juga telah memulai program Wajib Latih Penanggulangan Bencana (WLPB) untuk masyarakat sejak 2008.
2. Memadukan pendekatan sains dan nilai lokal
Orang mungkin tidak selalu mengingat ancaman gempa, namun pengetahuan dan ingatan tentangnya selalu ada. Sehingga, ketika mereka menerima peringatan dini gempa atau mengalami gempa, respons yang tepat dapat dilakukan karena pengetahuan dan ingatan tersebut tertanam dalam diri mereka.
Contohnya adalah masyarakat Simeulue di Aceh yang mengenal fenomena smong. Ketika terjadi gempa besar disertai surutnya air laut, mereka akan segera berlari ke bukit untuk menghindari tsunami sambil berteriak bersahut-sahutan, “smong, smong, smong”. Dalam bahasa lokal, smong berarti tsunami.
Pengetahuan lokal ini telah menyelamatkan banyak nyawa pada peristiwa tsunami 2004. Tercatat, hanya lima warga Simeulue yang meninggal. Jumlah ini sangat kecil jika dibandingkan dengan ratusan ribu korban di Banda Aceh dan sekitarnya.
Penelitian terbaru kami mengenai fenomena smong menunjukkan bahwa pengetahuan kebencanaan, baik pengetahuan tradisional maupun pengetahuan ilmiah, harus diadaptasi dalam budaya populer atau praktik keseharian agar nilai-nilai tersebut terus melekat dalam budaya itu sendiri.
Setelah tsunami 2004, beberapa seniman Simeulue mengadaptasi kisah tentang smong dalam nandong, nyanyian lokal masyarakat Simeuleu. Pengetahuan lokal ini juga diadaptasi sebagai media edukasi oleh lembaga-lembaga kebencanaan seperti Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), pusat riset, dan organisasi masyarakat sipil yang fokus pada isu kebencanaan.
3. Memprioritaskan ancaman utama
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, orang cenderung lebih responsif terhadap ancaman yang jelas dan langsung dibandingkan dengan ancaman yang lebih abstrak dan jauh, seperti ancaman gempa megathrust.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah, media, lembaga masyarakat sipil, dan para pemangku kepentingan lainnya untuk menempatkan megathrust sebagai ancaman prioritas dalam mitigasi bencana.
Pendekatan top hazard—metode alternatif yang memfokuskan perencanaan pada bahaya dengan risiko dan dampak tertinggi—dapat membantu mengidentifikasi dan mengelola risiko dengan lebih efektif, dengan fokus pada ancaman yang paling signifikan bagi masyarakat.
Warga adalah subjek aktif
Ancaman megathrust bukanlah mitos, tapi sesuatu yang niscaya terjadi. Gempa megathrust diikuti tsunami raksasa yang paling diingat dalam sejarah modern Indonesia adalah tsunami 2004 yang meluluhlantakkan Aceh dan beberapa daerah sekitarnya.
Selain itu, gempa megathrust juga pernah menerjang beberapa kawasan di Jawa, seperti Banten (1903), Yogyakarta (1937 dan 1943), Banyuwangi (1994), dan Pangandaran (2006).
Meskipun ilmuwan belum bisa memprediksi secara pasti kapan gempa besar ini akan terjadi lagi, kita harus mulai menggerakkan ‘budaya sadar bencana’. Ini adalah agenda kolektif yang perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait seperti pemerintah, akademisi dan peneliti, organisasi masyarakat dan keagaaman, lembaga masyarakat sipil, dan pihak swasta.
Dalam praktiknya, kita juga harus melihat masyarakat sebagai subjek aktif dalam mitigasi bencana yang demokratis. Pemberdayaan masyarakat seharusnya menjadi fokus utama dalam membangun budaya sadar bencana yang kuat dan berkelanjutan.