Menu Close
Mahasiswa membakar kantor organisasi Pemuda Komunis pada Oktober 1965. Aksi ini menyusul peristiwa G30S. Getty Images, CC BY

Melihat sejarah rivalitas kelompok kiri dan Islam, serta “Buku Putih” yang melanggengkan sikap antikomunis di Indonesia

Hingga saat ini, Partai Komunis Indonesia (PKI) masih dianggap sebagai aktor utama atas percobaan kudeta terhadap pemerintah Indonesia yang terjadi pada 30 September 1965 (atau biasa disebut G30S).

Banyak dari masyarakat luas yang mengaitkan pandangan PKI dengan ateisme (tidak percaya adanya Tuhan). Mereka juga menganggap individu yang mendukung komunisme, menganut paham komunis, atau merupakan keturunan kelompok kiri sebagai musuh Islam.

Bahkan setelah jatuhnya Orde Baru, pemerintah bersama kelompok Islam konservatif masih melabelkan stigma negatif terhadap PKI dan penganut komunis. Stigma tersebut tak lepas dari sejarah perselisihan antara kelompok Islam dengan pengikut serta pendukung PKI sebelum lahirnya negara Indonesia.

Media-media seperti buku dan film menjadi kanal yang paling sering digunakan para pemangku kepentingan untuk menanamkan, bahkan memperkuat, persepsi bahwa komunis itu anti-Islam.

Riset ini berupaya memahami bagaimana sentimen anti-komunis ini berkembang kuat di banyak kalangan kelompok Muslim Indonesia dengan melihat beberapa kejadian – dari Peristiwa Madiun pada 1948 hingga Peristiwa Kanigoro pada awal 1965 – serta berbagai media propaganda yang menyertai peristiwa-peristiwa tersebut dan memperparah persepsi antikomunis.

“Buku Putih” (White Book of the PKI Terror in Kanigoro), yang muncul setelah Peristiwa Kanigoro, menjadi salah satu buku yang paling berpengaruh dalam memperkuat narasi antikomunis di kelompok Muslim Indonesia.

Konstruksi sosial atas antikomunis

Dalam sejarahnya, persepsi antikomunis tidak lepas dari persaingan politik antara kelompok kiri dan kelompok Islam yang kemudian berkembang menjadi dikotomi ‘kelompok komunis vs kelompok Islam’. Namun, klasifikasi kelompok komunis dan Islam ini tidak sepenuhnya mutlak. Di antara kelompok komunis juga ada Muslim, begitu juga sebaliknya. Di kelompok Sarekat Islam Putih, yang berhaluan kanan, ada simpatisan komunis.

Perseteruan muncul pertama kali pada tahun 1915-1930, kemudian semakin menguat selepas Peristiwa Madiun – konfrontasi antara pemerintah dengan Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang terdiri dari beberapa kelompok kiri termasuk PKI, Partai Sosialis, dan Partai Buruh Indonesia – di Madiun, Jawa Timur, pada 1948.

Bagi kelompok antikomunis, Peristiwa Madiun bukan hanya pemberontakan oleh PKI yang dipimpin Musso melawan pemerintah Indonesia, tetapi juga serangan terhadap umat Islam.

Ini karena kelompok antikomunis dekat dengan partai-partai Islam, termasuk Partai Masyumi, salah satu partai yang konsisten dan keras menentang PKI dan komunisme.

Kelompok antikomunis mengklaim bahwa kebanyakan sandera politik Musso yang tewas adalah Muslim terkemuka. Maka dari itu, mereka menggambarkan Peristiwa Madiun sebagai pembunuhan terhadap pemimpin Muslim. Inilah yang memicu anggapan bahwa komunis memusuhi umat Islam.

Pada awal 1960-an, ketegangan antara kelompok komunis dan antikomunis terlihat semakin jelas. Selama Presiden Sukarno menerapkan Demokrasi Terpimpin (1959-1966), ia memusatkan kekuasaan pada dirinya sendiri. Sementara, kelompok komunis fokus pada gerakan akar rumput, baik di perkotaan maupun pedesaan, di kalangan pemuda, kelas pekerja dan kaum tani.

Selama periode reformasi tanah –- kebijakan nasional untuk redistribusi tanah –- Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi massa petani yang sering dihubungkan dengan PKI, kerap menerapkan kebijakan ini terhadap pemilik tanah yang sebagian besar adalah ulama. Ini sering menimbulkan konflik, dan menyerang ulama pemilik tanah dipandang sebagai upaya melawan Muslim.

Dalam hal kebudayaan, dari tahun 1960 hingga 1965, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sayap komunis yang bertanggung jawab atas kebudayaan, sering mengadakan seni pertunjukan ludruk yang aksi pementasannya dianggap menghina kelompok antikomunis.

Pertunjukan ludruk sering diadakan sebagai sarana propaganda politik di daerah-daerah di mana anggota komunis berada.

Salah satu pertunjukan ludruk yang meresahkan kelompok antikomunis adalah drama yang mengangkat judul “Gusti Allah Telah Mati” di Kediri. Inilah salah satu cikal bakal kelompok Islam mengasosiasikan pandangan PKI dengan ateisme.

Film “Pengkhianatan G30S PKI”, yang menayangkan interpretasi negara atas peristiwa G30S, menjadi sesuatu yang sangat diyakini kelompok antikomunis sebagai kebenaran. Dengan menggunakan sentimen agama, kelompok antikomunis menganggap bahwa tindakan sadis gerakan G30S menunjukkan kalau komunis tidak beragama dan bertuhan.

“Buku Putih” Peristiwa Kanigoro 1965

Peristiwa Kanigoro 1965 kemudian menjadi satu insiden yang memperkuat sentimen keagamaan dalam isu ekonomi, politik, dan budaya yang sudah semakin gencar sebelumnya.

Peristiwa ini terjadi di Pondok Pesantren Al-Jauhar di Desa Kanigoro, Kediri, pada 13 Januari 1965. Saat itu, kelompok PKI datang menyerbu pesantren milik kiai Nahdlatul Ulama (NU) itu ketika Pelajar Islam Indonesia (PII) tengah mengadakan pelatihan mental.

Kala itu, Kanigoro dikenal sebagai basis PKI. Sementara, PII merupakan organisasi yang dianggap dekat dengan Partai Masyumi.

Menyusul peristiwa ini, kerabat salah satu alumni pelatihan mental PII bernama Basori menulis ulang “Buku Putih” yang menggambarkan peristiwa Kanigoro sebagai sepenuhnya masalah moralitas. Narasi ini menjadi titik penting memahami pandangan antikomunis oleh kelompok Islam yang masih sangat kental sampai saat ini.

Secara konten, Buku Putih ini terang-terangan menekankan dan meyakini para pembaca bahwa komunis adalah musuh semua Muslim. Judul buku tersebut menggunakan istilah “teror” untuk merujuk serangan PKI. Pada halaman pengantar tertulis,

Jelas bahwa sasaran teror tersebut adalah benar-benar UMAT ISLAM SELURUHNYA”.

Buku itu pun memuat banyak kutipan yang menggambarkan bahwa komunis menganggap Al-Qur'an ‘menjijikkan’.

Selain itu, Buku Putih ini memuat jabaran bagaimana anggota PKI melanggar nilai-nilai Islam, seperti “masuk masjid dengan tidak sopan”, “mencuri beberapa barang di masjid”, “memasukkan Al-Quran kemudian menginjak-injaknya, dan menghinanya”. Tindakan anggota PKI dalam serangan itu juga dijabarkan oleh penulis sebagai “penghinaan, provokasi, ancaman, dan pelecehan, mengikat orang yang tidak bersalah, dan menendang sesama manusia”.

Tuduhan-tuduhan tersebut sering diulang-ulang dalam tulisan, ditambah pernyataan-pernyataan yang menunjukkan cara komunis membatasi kebebasan beragama dan menghalangi praktik keagamaan, seperti shalat di masjid.

Di sisi yang lain, menurut laporan surat kabar Harian Rakjat tahun 1965, PKI sudah membantah semua tuduhan bahwa anggota mereka menginjak Al-Qur'an.

PKI juga menyatakan bahwa mereka menyerbu pelatihan mental PII karena menduga pelatihan itu adalah bagian dari gerakan kontrarevolusi melawan Nasakom (konsep ‘Nasionalisme, Agama, dan Komunisme’ yang menjadi ciri khas Demokrasi Terpimpin Sukarno). Terlebih lagi, saat itu Partai Masyumi adalah partai politik terlarang. PKI sempat menegaskan bahwa urusan Kanigoro adalah sepenunya masalah politik, tidak ada kaitannya dengan agama.

Melampaui narasi moralitas

Hingga kini, insiden-insiden yang melibatkan penyerangan terhadap tokoh Islam masih sering dikait-kaitkan dengan komunis.

Pada September 2020, Sekretaris Jenderal Front Pembela Islam (FPI), Munarman, menuduh bahwa pelaku penusukan Syekh Ali Jaber, seorang ulama terkenal di Bandar Lampung, adalah seorang komunis.

Pada Januari 2018, seorang aktivis lingkungan, Heri Budiawan atau ‘Budi Pego’, dijatuhi hukuman sepuluh bulan penjara karena dituduh memasang ‘logo PKI’ saat memprotes pembangunan tambang emas di Banyuwangi, Jawa Timur.

Pada Mei 2016, lembaga dan yayasan bantuan hukum Indonesia di Surabaya, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Jakarta merilis laporan mengenai bagaimana pemalsuan isu komunis telah mengancam akses keadilan sosial. Mereka mencontohkan seorang saudagar di pasar Limbangan, Jawa Barat, yang dituduh sebagai komunis setelah mengkritik seorang ustadz.

Presiden Joko Widodo, dalam kampanye pemilu presiden 2014, bahkan dituduh sebagai keturunan PKI.

Rangkaian konfrontasi dari Peristiwa Madiun hingga Peristiwa Kanigoro memberikan konteks kritis untuk memahami oposisi ideologis kelompok Islam terhadap komunisme di Indonesia hingga kini. Komunis kini tidak lagi dilihat sebagai sebuah partai politik yang pernah eksis dalam sejarah Indonesia, tapi juga seakan muncul melalui berbagai bentuk diskursus.

Sayangnya, tidak banyak orang yang berani membicarakan sisi lain tentang PKI, karena khawatir akan dianggap anti-Islam, agama mayoritas di Indonesia.

Saat ini saja, banyak orang masih enggan membicarakan tentang pembunuhan massal terhadap ribuan orang yang diduga komunis selama 1965-1966.

Berbeda dengan narasi tentang peran PKI dalam G30S, diskursus pembunuhan massal ini terkesan sunyi. Terakhir, di Indonesia, narasi dominannya adalah membicarakan komunisme dari segi moralitas, bukan ideologi politik-ekonomi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now