Menu Close

Membaca bagaimana figur anak merefleksikan ideologi rezim politik dalam sinema Indonesia

Sejumlah anak tanpa menggunakan masker menonton film layar tancap di kawasan Sawangan, Depok, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/wsj

Artikel ini terbit dalam rangka Hari Anak Nasional yang jatuh pada tanggal 23 Juli

Kajian mengenai representasi anak dalam sinema di Cina, Jerman, dan India mengaitkan tokoh anak-anak sebagai representasi ideologi dominan dari rezim politik yang berkuasa di negaranya.

Riset saya mengenai anak-anak dan representasi dalam sinema Indonesia pada tahun 2019 menemukan bahwa kecenderungan tersebut juga terdapat dalam sinema Indonesia.

Dari tahun 1951 hingga 2019, industri sinema Indonesia sudah memproduksi setidaknya 93 film bergenre anak-anak. Pada periode tersebut, setidaknya terjadi tiga kali pergantian rezim politik yang mengusung arah ideologi dan sistem politik yang yang berbeda.

Dari semua film yang ada, saya melihat pola di mana tokoh anak merefleksikan ideologi politik rezim yang berkuasa dan hal itu nyata di ketiga periode tersebut:

1. Nasionalisme dan trauma perang pada periode 1951 - 1965

Pada periode dua dekade awal kemerdekaan ini, film menampilkan tokoh anak-anak dalam konteks narasi nasionalisme dan revolusi kemerdekaan.

Lalu dokumentasi sejarah ditampilkan sebagai bagian dari cerita fiksi.

Si Pintjang (1951) dirilis dua tahun setelah Perang Kemerdekaan berakhir pada 1949, menampilkan tokoh Giman yang digambarkan sebagai yatim piatu korban perang. Giman hidup di jalanan hingga bertemu seorang Yudono, mantan pejuang kemerdekaan. Yudono membuat penampungan anak jalanan dan menanamkan rasa bela negara melalui baris berbaris dan menghormati simbol negara.

Lalu ada film Djenderal Kantjil (1958). Dalam film tersebut, ada anak bernama Arman yang terobsesi menjadi jenderal dan mempunyai pistol mainan sebagai identitasnya. Tiap hari Arman selalu parade keliling kampung dengan pasukan perangnya. Kampung mereka tiap malam kemalingan, sampai Arman dan pasukannya menangkap si maling. Keberhasilan Arman dirayakan warga tapi disesali bapaknya. Ia menilai Arman dan pasukannya menimbulkan keributan sehingga harus dibubarkan.

Nasionalisme terasa kental pada kedua film itu. Hal ini senada dengan ideologi nasionalis dan revolusi presiden Soekarno.
Saat itu, pemerintah perlu menertibkan situasi tidak stabil pada masa awal kemerdekaan. Untuk memulihkan situasi, film-film anak tersebut menekankan peran dan otoritas orang dewasa sebagai yang mewakili negara.

Hubungan antara orang dewasa dan anak-anak muncul di film sebagai simbolisasi hubungan negara dan warganya. Karakter anak-anak digambarkan sebagai pemberontak melawan otoritas. Namun konsekuensinya, mereka dianggap memunculkan ketidakteraturan, sehingga perlu ditata. Film-film ini menggambarkan karakter anak-anak sebagai simbol nasionalisme dalam konteks awal berdirinya negara Indonesia secara formal.

Film-film anak tersebut juga memunculkan rasa trauma perang. Si Pintjang menggambarkan anak-anak korban perang menjadi gelandangan diabaikan negara. Sementara Djenderal Kantjil menampilkan trauma konflik militer bersenjata.

2. Narasi melodramatik dan dominasi keluarga dalam masa Orde Baru

Ahli media dari Australia Krishna Sen mengatakan bahwa salah satu strategi politik Orde Baru (1966-1998) dalam mengembangkan identitas nasional adalah dengan menggunakan media film.

Misalnya untuk menunjukkan keberhasilan ideologi pembangunan pada masa itu, film saat itu banyak menggambarkan perubahan sosial di masyarakat seperti pembangunan fisik di kota.

Orde Baru juga memakai film anak untuk mempromosikan identitas nasional dan ideologi pembangunan. Salah satu contoh yang paling populer kala itu adalah serial Unyil.

Boneka Unyil dan kawan-kawannya. Wikimedia Commons, CC BY-NC

Peran Perusahaan Produksi Film Negara (PPFN), yang memproduksi Unyil menjadi strategis. PPFN juga memproduksi film anak-anak dengan narasi serupa: Harmonikaku (1979), Juara Cilik (1980), Cita Pertiwi (1980), Hadiah buat si Koko (1980), dan Serangan Fajar (1981).

Semua film-film itu memunculkan narasi anak keluarga sederhana. Tokoh utamanya berjuang demi kehidupan yang lebih baik dibantu instrumen negara. Peran sekolah dan keluarga menjadi dominan dalam membangun figur warga negara yang ideal.

Beberapa film bahkan turut mempromosikan figur Suharto, penguasa Orde Baru, sebagai figur bapak panutan. Serangan Fajar adalah salah satu film yang memunculkan simbolisasi bapak negara kepada Suharto. Temon, tokoh utama dalam film, berkelana semasa perang kemerdekaan, untuk mencari bapaknya. Sosok bapak itu disematkan pada sosok Suharto

Orde Baru juga membatasi ruang gerak produksi film, sehingga sutradara film memilih tema melodramatik yang lebih aman secara politis.

Film seperti Ratapan Anak Tiri (1973), Anak Yatim (1973), Di mana Kau Ibu (1973), dan Ratapan Si Miskin (1974) adalah contoh dari film yang mengusung genre anak-anak melodramatik.

Narasi umum yang digunakan menempatkan posisi keluarga dengan sosok negatif perempuan melalui figur ibu tiri jahat. Sosok bapak hadir sebagai figur yang welas asih. Hal tersebut selaras dengan budaya patriarki yang menempatkan bapak sebagai figur utama. Anak-anak digambarkan lemah dan perlu diselamatkan oleh negara, terutama pada masalah domestik. Sosok dokter rumah sakit pemerintah, kepala desa, dan polisi yang kebanyakan laki-laki menjadi umum dalam narasi film.

3. Dominasi sekolah dan simbol nasional dalam periode pasca Orde Baru

Tumbangnya Orde Baru pada 1998 memunculkan asumsi sinema Indonesia yang beragam meskipun residu ideologi Orde Baru masih terasa.

Hal ini bisa terlihat dari narasi keberagaman yang coba diangkat dengan munculnya tokoh-tokoh minoritas, namun kehadiran mereka hanya sebatas warga negara Indonesia yang harus taat dan berbakti pada negara. Hal ini bisa terlihat dari Denias, Senandung di Atas Awan (2006) dan Kita Punya Bendera (2008) .

Figur Denias, anak Papua yang ingin bersekolah membawa narasi bahwa Papua memerlukan Indonesia untuk maju. Narasi diperkuat dengan penonjolan peran militer, melalui sosok guru yang merupakan anggota pasukan khusus militer di Papua. Simbol militer ditampilkan eksplisit dalam narasi.

Simbol negara dan sekolah juga dominan pada Kita Punya Bendera. Timmy, anak etnis Cina, merasa tidak punya identitas sebagai orang Indonesia. Bagi gurunya, identitas dikenali melalui kemampuan mempraktikkan budayanya. Teman-temannya membantu Timmy menegaskan identitasnya melalui perayaan Tahun Baru Cina.

Identifikasi nasionalisme dan ketaatan pada negara dimunculkan melalui seragam dan bendera. Narasi perjuangan Denias dan Timmy disimpulkan melalui pengakuan identitas anak Indonesia melalui simbol yang berkaitan dengan merah putih. Denias mengenakan seragam sekolah berwarna merah putih; Timmy menjadi petugas pengibaran bendera di sekolahnya.

Sinema Indonesia merepresentasikan anak-anak dalam beragam sosok: karakter pemberontak dalam masyarakat, hingga sosok tidak berdaya dalam keluarga. Namun, karakter anak-anak tersebut secara konsisten dan terus-menerus digunakan untuk merepresentasikan identitas ideal warga negara Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now