Menu Close

Membakar Al-Quran: Penistaan agama atau kebebasan berekspresi?

Politikus asal Denmark-Swedia melakukan aksi bakar Al-Quran. Reuters

Rasmus Paludan, politikus ultranasionalis berkewarganegaraan ganda Denmark-Swedia, kembali melakukan aksi membakar Al-Quran pada 27 Januari lalu di depan sebuah mesjid di Kopenhagen, ibu kota Denmark.

Sebelumnya pada 21 Januari, ia melakukan aksi serupa di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm, ibu kota Swedia, sebagai bentuk protes terhadap Turki - negara dengan mayoritas penduduk Muslim - yang ia anggap kerap menghalangi Swedia untuk bergabung menjadi anggota Aliansi Pertahanan Negara Atlantik Utara (NATO).

Tindakan Paludan telah menyulut amarah publik, terutama yang berasal dari negara Islam dan negara mayoritas Muslim, termasuk Indonesia, rumah bagi populasi Muslim terbesar di dunia. Kedutaan Besar Swedia di Jakarta menjadi sasaran demonstrasi massa setelah aksi Paludan tersebut.

Negara-negara Arab termasuk Saudi Arabia, Qatar, Uni Emirat Arab, Kuwait dan Iran, secara terbuka mengecam keras aksi pembakaran Al-Quran itu.

Banyak negara Muslim yang juga mengecam pemerintah Swedia dan Denmark atas izin yang diberikan pada Paludan untuk melakukan aksi pembakaran Al-Quran itu, dengan alasan hak kebebasan berekspresi. Saat melakukan aksinya, sambil berorasi yang isinya banyak menghina Nabi Muhammad, Paludan bahkan dijaga ketat oleh kepolisian.

Apakah memang tindakan Paludan tersebut adalah bagian dari kebebasan berekspresi (freedom of expression) atau sudah merupakan tindakan penodaan agama (blasphemy)?

Instrumen hukum tentang kebebasan berekspresi

Pasal 19 dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang sudah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005, menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi. Hak berekspresi ini mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala jenis pemikiran, baik secara lisan, tertulis atau cetak, dalam bentuk karya seni, atau melalui media lain.

Sementara itu, Komentar Umum No. 34 dari Komite HAM PBB tahun 2011 terhadap Pasal 19 ICCPR menyebutkan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah kondisi yang sangat diperlukan dan penting untuk perkembangan masyarakat di mana pun mereka berada, dan merupakan batu fondasi bagi setiap masyarakat yang bebas dan demokratis.

Dengan demikian, kebebasan berekspresi menjadi wahana untuk pertukaran dan pengembangan pendapat. Kebebasan berekspresi juga menjadi syarat untuk mewujudkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas yang dibutuhkan untuk melindungi dan menjunjung tinggi HAM.

Namun, hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak tergolong dalam nonderogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun). Oleh karena itu, pelaksanaan atas hak tersebut dapat dibatasi.

Prinsip-prinsip mengenai ketentuan pembatasan dan pengurangan hak yang diatur dalam ICCPR terkandung dalam Prinsip Siracusa, yang mengatur bahwa hak dan kebebasan dalam hak sipil dan politik harus sejalan dengan penghormatan terhadap hak, reputasi dan kebebasan orang lain.

Berdasarkan Prinsip Siracusa, jika suatu negara menggunakan moralitas publik sebagai dasar untuk membatasi HAM, negara yang bersangkutan harus menunjukkan bahwa pembatasan tersebut penting untuk menjaga penghormatan terhadap nilai-nilai fundamental rakyatnya.

Prinsip Siracusa juga menegaskan bahwa UU bisa memberikan batasan hak dengan tujuan melindungi keselamatan publik, yang mencakup perlindungan terhadap kehidupan dan integritas fisik individu, atau kerusakan parah pada harta benda mereka.

Dengan demikian, hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi bukanlah hak universal, melainkan memiliki pembatasan tertentu yang diatur menurut hukum dan dibutuhkan untuk menghormati hak atau nama baik pihak lain, sekaligus melindungi keamanan nasional dan menjaga ketertiban umum.

Penting untuk kita catat bahwa pembatasan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi juga tidak boleh diberlakukan secara sewenang-wenang.

Beda negara, beda aturan

Swedia dan Denmark adalah dua negara yang meratifikasi ICCPR. Oleh karena itu, dalam merespons aksi pembakaran Al-Quran oleh Paludan, mereka pun seharusnya mempertimbangkan artikulasi kebebasan berekspresi dan batasannya yang diatur dalam pasal 19 ICCPR, Komentar Umum No. 34/2011, dan Prinsip Siracusa.

Denmark pernah memiliki peraturan tentang penodaan agama (Blasphemy Law) yang berlaku sejak 1683, sebelum kemudian dicabut oleh Parlemen Denmark pada 8 Juni 2017, dengan alasan bahwa ekspresi dan kebebasan berbicara terhadap agama tertentu tidak perlu diatur oleh UU.

Di Swedia, peraturan tentang penodaan agama sudah dihapuskan pada tahun 1949. Kemudian pada tahun 1970, delik terhadap penodaan agama yang lebih sempit juga dicabut.

Negara lain di Eropa yang sudah menghapuskan delik penodaan agama adalah Belanda (2014), Islandia (2015), Norwegia (2015), Malta (2016) dan Prancis (2017).

Negara Eropa lainnya seperti Austria, Finlandia, Jerman, Yunani, Irlandia, Italia, Polandia, Portugal, Rusia, Spanyol, Swiss, Inggris, dan Vatikan masih mempertahankan hukum terkait penghinaan terhadap agama, tapi aturannya tidak terlalu ketat, lebih halus, dan jarang diterapkan.

Jika aksi serupa terjadi di Indonesia, pelakunya akan diancam dengan pasal penodaan agama yang diatur dalam dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lama.

Sementara itu, dalam KUHP yang baru disahkan, UU No. 1 tahun 2023, delik penodaan agama bahkan diatur lebih luas dalam Pasal 300-305, dengan hukuman penjara paling lama lima tahun.

Di Indonesia, contoh kasus penodaan agama yang mirip dengan aksi Paludan adalah pasangan suami istri di Sukabumi yang memvideokan aksi mereka menginjak Al-Quran. Mereka divonis pidana empat tahun penjara pada 2022 karena terbukti melanggar UU ITE 2008 jo 2016 dan pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.

Kasus lain adalah Rian Syahputra, warga Kota Medan, yang divonis tiga dan satu tahun penjara pada 2022, karena menyebarkan video aksi asusila menempelkan alat kelaminnya ke Al-Quran.

Tuntutan-tuntutan pidana sedemikian keras tidak bisa kita harapkan terjadi di Denmark dan Swedia.

Dalam kasus Paludan, Pemerintah Swedia kini menghadapi dua kondisi yang kontradiktif. Di satu sisi, masyarakat global, terutama dari negara mayoritas Islam, mendesak Swedia untuk melindungi dan menghormati simbol-simbol suci agama Islam. Di sisi lain, ada kebutuhan juga untuk menghormati hak atas kebebasan berekspresi.

Berusaha mengambil sikap tengah, Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson menyampaikan melalui Twitter resminya bahwa “kebebasan berekspresi adalah bagian mendasar dari demokrasi. Tapi apa yang legal belum tentu sesuai. Membakar buku yang suci bagi banyak orang adalah tindakan yang sangat tidak sopan. Saya ingin mengungkapkan simpati saya untuk seluruh umat Muslim yang tersinggung dengan apa yang terjadi di Stockholm hari ini.”

Swedia berusaha menekankan bahwa aksi Paludan adalah tindakan tidak bermoral yang harus dikecam, tetapi secara hukum tidak bisa dilarang. Namun, sikap tersebut ternyata belum cukup untuk memulihkan ketersinggungan umat Muslim akan penghinaan terhadap simbol Islam.

Masalahnya, jika pemerintah Swedia bersikap terlalu lunak dan gagal mengambil tindakan, dunia bisa terprovokasi dengan narasi penyebaran Islamofobia dan xenofobia (ketakutan atau kebencian terhadap warga negara asing). Ini bisa menyebabkan perpecahan umat manusia.

Sebagai warga negara, kita sepenuhnya punya hak untuk meyakini bahwa membakar Al-Quran dan kitab suci agama atau keyakinan apapun bukanlah bagian dari hak atas kebebasan berekspresi, tetapi termasuk provokasi dan penodaan terhadap agama dan keyakinan.

Sudah waktunya para pemimpin negara dan organisasi keagamaan internasional menginisiasi langkah-langkah yang lebih serius untuk melindungi simbol keagamaan atau praktik ibadah keagamaan – terlepas agama apa pun itu – dan tidak hanya memberikan narasi-narasi kosong dengan mengutuk dan menyatakan kecaman.

Ini semua agar di masa depan tidak ada lagi penghinaan terhadap kitab suci dan praktik keagamaan dengan berkedok kebebasan berekspresi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now