Menu Close
Memilih investasi yang tepat
Papan di Bursa Efek Indonesia menunjukkah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup di zona merah. Muhammad Adimaja/aww/ANTARA FOTO

Memilih investasi yang tepat di tengah ketidakpastian ekonomi

Tahun 2023 dimulai dengan beberapa tantangan ekonomi yang harus dihadapi, seperti invasi Rusia, ketidakpastian global, gangguan rantai pasok, fluktuasi harga komoditas, dan tingginya inflasi.

Namun, di tengah kondisi yang sulit, orang masih harus mencari cara untuk menumbuhkan kekayaan mereka demi mencapai kesejahteraan yang maksimum, yang lazimnya dilakukan dengan cara investasi.

Tapi apakah ini merupakan pilihan yang tepat di tengah situasi saat ini? Apa saja yang perlu diperhatikan dan dihindari dalam berinvestasi di tengah ketidakpastian ekonomi sekarang ini?

Sebelum berinvestasi

Langkah paling awal sebelum memulai investasi ialah untuk tidak memaksakan diri. Jangan mengorbankan kebutuhan primer (sandang, pangan, papan) dan sekunder (telepon genggam, asuransi, internet) demi bisa berinvestasi. Jangan juga mengambil pinjaman. Pinjaman malah berisiko menambah beban keuangan Anda jika investasi tak membuahkan hasil sementara pinjaman tetap harus dibayar.

Langkah berikutnya ialah memastikan tersedianya dana darurat sebelum berinvestasi, unruk mengantisipasi kejadian luar biasa saat uang Anda sedang tertahan di investasi tertentu. Lazimnya, tabungan dana darurat biasanya sebesar enam hingga sembilan kali biaya hidup.

Langkah krusial selanjutnya ialah pahami terlebih dulu instrumen investasi yang kita inginkan. Ada berbagai macam instrumen investasi yang bisa dijajal, mulai dari saham dengan imbal hasil tinggi dan risiko tinggi, obligasi dengan imbal hasil dan risiko rendah, atau reksadana dengan campuran keduanya.

Teori perilaku keuangan menyatakan orang akan lebih sembrono dalam berinvestasi karena ketakutan menghadapi kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian, yang dikenal sebagai self-preservation heuristics. Karena ketakutan menghadapi turbulensi ekonomi, kita menjadi lebih irasional dalam mengambil keputusan dan melupakan empat langkah di atas.

Ini menyebabkan terganggunya kesehatan mental, terjebak di skema informasi yang menyesatkan, dan juga terlibat di investasi bodong.


Read more: Ketamakan hingga terjerat _influencers_, penipuan investasi Indonesia capai Rp 110 triliun. Bagaimana cara cegah investasi bodong?


Pahami produk investasi yang sesuai

Setidaknya, ada lima produk investasi yang menjadi pertimbangan investor ritel (perorangan) untuk dipilih pada periode ekonomi global yang kelam saat ini. Instrumen tersebut yaitu obligasi pemerintah, emas (logam mulia), reksadana, saham, dan mata uang kripto. Sebagai catatan, emas di sini ialah emas logam mulia atau emas batangan, dan bukan perhiasan.

Untuk orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang investasi, obligasi pemerintah – yaitu surat utang yang diajukan pemerintah untuk memperoleh pendanaan tertentu – jadi pilihan yang relatif aman. Selain bebas risiko, konsep investasi obligasi tidak jauh berbeda dengan menabung.

Sebuah studi dari Thailand menunjukkan bahwa masyarakat memperlakukan obligasi layaknya tabungan karena kemiripan keduanya. Oleh karenanya, orang awam tidak akan sulit memahami tentang model investasi dari obligasi.

Selain obligasi pemerintah, emas bisa menjadi pilihan lainnya untuk tiga alasan. Pertama, orang Indonesia lebih memahami konsep imbal balik emas, yang mungkin karena budaya investasi yang cenderung konservatif atau hati-hati.

Kedua, tingkat risiko emas relatif lebih kecil dibandingkan instrumen investasi lainnya, dan bahkan pergerakan harga emas mengikuti pergerakan inflasi. Semakin tinggi inflasi, semakin tinggi harga emas.

Terakhir, emas merupakan instrumen investasi yang secara empiris dan historis sudah terbukti daya tahannya menghadapi turbulensi ekonomi, dan kerap jadi pilahan utama ketika pasar uang goyang.

Investasi emas
Emas merupakan investasi aman di segala kondisi ekonomi. Jingming Pan/unsplash, CC BY

Pikirkan risikonya

Lantas, apakah instrumen investasi lainnya seperti saham, reksadana, dan kripto menjadi pilihan yang salah? Balik lagi ke argumen bahwa kita harus memahami terlebih dahulu tentang produk-produk investasi tersebut sebelum menanamkan modal kita di sana.

Berinvestasi saham memerlukan pengetahuan dan penyisihan waktu yang lebih untuk mengamati pergerakan saham, kinerja perusahaan, serta sentimen ekonomi dan politik yang berpengaruh pada harga saham. Pandangan bahwa investasi saham sama dengan tabungan menjadi awal kesalahkaprahan yang terjadi selama ini. Sebab, setiap sektor dan industri di Bursa Efek Indonesia memiliki korelasi yang berbeda dengan ketidakpastian ekonomi.

Contoh sederhananya ialah ketika harga komoditas yang tinggi menyebabkan inflasi yang tinggi, harga saham-saham energi pun akan ikut terkerek. Tapi saham-saham teknologi akan mengalami kerugian karena mahalnya inovasi dan kurangnya daya beli.

Bursa Efek Indonesia
Imbal tinggi saham memiliki risiko yang tinggi pula. Muhammad Adimaja/aww/ANTARA FOTO

Acaknya harga saham kerap menjadi penyebab kenapa investor perorangan sering terjebak di skema pump-and-dump yang biasanya diinisasi influencers atau grup privat saham. Skema ini merujuk pada pemberian informasi yang salah atau berlebihan agar orang-orang berbondong-bondong membeli suatu saham dan sehingga harganya terdongkrak, menguntungkan mereka yang sudah membeli dulu saham tersebut dan kemudian menjualnya di harga tinggi. Oleh karena itu, investasi saham memerlukan kearifan dan keberuntungan yang lebih dibandingkan produk-produk lainnya.

Senada, masyarakat pun sering salah memahami bahwa reksadana sama seperti seperti tabungan. Bahkan banyak orang yang tidak paham bahwa reksadana itu banyak jenisnya – yaitu, pasar uang (berasal dari investasi pasar uang yang jatuh tempo kurang dari satu tahun seperti deposito dan obligasi), pendapatan tetap (80% portfolionya berasal dari pendapatan tetap seperti obligasi), saham, campuran, dan komoditas.

Setiap jenis reksadana memiliki tingkat risiko yang berbeda-beda dan memiliki katalis pergerakan yang berbeda-beda pula. Misalnya saja, kenaikan inflasi menjadi sentimen positif buat reksadana pendapatan tetap, tetapi menjadi katalis negatif untuk reksadana saham. Perlu dicatat, reksadana memiliki tingkat risiko relatif lebih besar daripada obligasi pemerintah.

Terakhir adalah mata uang kripto, instrumen yang tengah diminati investor ritel. Sebuah studi membuktikan bahwa orang berinvestasi di mata uang kripto lebih karena Fear of Missing Out (FOMO, takut tertinggal suatu tren). Akibatnya, banyak investor mata uang kripyo yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup dan tetap berinvestasi di sana.

Temuan empiris kajian keuangan tidak bisa menjelaskan pergerakan harga mata uang kripto, yang tak memiliki skema pengawasan dan terdesentralisasi. Artinya, sangat sulit untuk memahami faktor risikonya dan ini buruk untuk berinvestasi.

Satu satunya teori yang menjelaskan pergerakan mata uang kripto ialah The Greater Fool’s Theory. Menurut teori ini, seseorang akan membeli mata uang kripto dengan harapan bahwa harganya akan naik, meskipun mereka sendiri sadar satu-satunya cara untuk harga naik ialah ada “orang yang lebih bodoh” dari mereka membeli dengan harga lebih tinggi.

Catatan lainnya, mata uang kripto memiliki tingkat risiko terbesar dibandingkan produk-produk investasi di atas. Bitcoin misalnya, sempat memiliki imbal balik tidak jauh berbeda dengan logam mulia pada 2021. Hanya saja, orang awam hanya melihat nominal imbal balik yang tinggi tanpa memahami fenomena apa yang terjadi di setiap imbal balik tersebut.


Read more: Pakar Menjawab: Mengapa investor harus memiliki pertimbangan yang mantap sebelum berinvestasi kripto?


Catatan penting ketika berinvestasi

Selain memilih instrumen yang tepat, penting untuk melakukan diversifikasi.

Ini berarti menempatkan uang kita dalam berbagai jenis investasi. Krisis keuangan global tahun 2008 sudah mengajarkan kita bagaimana orang-orang yang memiliki diversifikasi lintas produk investasi memiliki tingkat pengembalian yang lebih tinggi dibandingkan orang orang yang fokus pada satu jenis produk.

Tetapi, jangan lupa juga bahwa diversifikasi berlebihan menghasilkan keputusan keuangan yang tak optimal dan bisa merugikan kita. Di teori keuangan perilaku hal ini dijelaskan sebagai diversification heuristic, yaitu ketika seseorang melakukan diversifikasi yang berlebihan karena ketakutan atas risiko yang terjadi. Akibatnya, tingkat imbal balik menjadi jauh lebih kecil.

Ada tiga catatan tambahan dalam memilih investasi di kondisi ekonomi saat ini. Pertama, jangan lupa untuk selalu mengevaluasi investasi secara berkala dan menyesuaikan portofolio sesuai dengan perubahan kondisi ekonomi. Kedua, jangan sungkan untuk konsultasi kepada profesional.

Dan yang terakhir, pastikan produk investasi yang dipilih legal dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan Indonesia (OJK).


Read more: Apa itu rupiah digital? Apa manfaatnya? Bagaimana tantangannya?


Kembali ke pertanyaan awal, investasi apa yang sebaiknya kita pilih di kondisi ekonomi saat ini? Ikut selera dan kemampuan masing-masing saja, asal dibekali pengetahuan cukup.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now