Menu Close

Memperingati Hari Kartini: Perempuan Papua masih menghadapi banyak hambatan untuk berkiprah di ranah publik

Sejumlah mahasiswa dan warga Papua, yang tergabung dalam Komite Nasional Papua Barat, melakukan aksi protes di depan Istana Negara.
Warga Papua. Ujang Zaelani/Antara Foto

Di Papua, para perempuan – yang sering disebut “mama-mama Papua” – merupakan pemain utama dalam menggerakan perekonomian, khususnya di bidang pertanian, melalui penjualan sayur hasil berkebun.

Namun, bagaimana dengan peran perempuan Papua dalam ranah publik dan pengambilan kebijakan?

Sampai hari ini, masih sangat sedikit perempuan Papua yang menduduki jabatan publik, baik di level nasional maupun daerah.

Lemahnya implementasi kebijakan afirmasi hak politik perempuan, disertai kentalnya budaya patriarki yang membebankan sepenuhnya urusan domestik pada perempuan, menjadi hambatan utama sulitnya para perempuan di Papua mengambil peran sebagai pembuat kebijakan.

Pentingnya kebijakan afirmasi perempuan

Upaya mendorong partisipasi perempuan di Papua untuk menjadi aktor dalam pengambilan kebijakan sebenarnya sudah dimulai sejak 20 tahun lalu, melalui penerapan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) nomor 21 tahun 2001.

UU Otsus diturunkan ke dalam beberapa Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang membuka peluang bagi para perempuan Papua untuk dapat duduk di ranah pemerintahan melalui lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), dua lembaga yang berperan penting dalam roda pemerintahan di Papua.

Lembaga DPRP memiliki fungsi legislatif dan berwewenang merancang peraturan daerah bersama Gubernur. Sedangkan MRP merupakan lembaga penunjang yang dibentuk sebagai representasi kultural Orang Asli Papua (OAP), yang berperan memberi pertimbangan dan persetujuan bagi kebijakan yang sudah dibahas DPRP bersama Gubernur.

Beberapa perdasus yang menjadi turunan UU Otsus yakni Perdasus Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemilihan Anggota MRP yang mengatur dengan jelas bahwa dari total 51 anggota MRP, harus terdapat masing-masing 17 orang perwakilan masyarakat adat, agama, dan perempuan.

Ada pula Perdasus Nomor 4 tahun 2010 tentang Pemilihan Anggota MRP yang mengatur bahwa jumlah anggota MRP adalah sebanyak 75 orang, dengan masing-masing 25 orang adalah perwakilan masyarakat adat, agama, dan perempuan.

Ketentuan jumlah keterwakilan perempuan dalam MRP tentu merupakan jalan pembuka agar perempuan Papua diberi ruang dalam struktur pemerintahan. Namun MRP saja tidak cukup. Perempuan juga perlu masuk dalam ranah legislasi di DPRP.

Afirmasi perempuan di DPRP memang sudah tercantum dalam Perdasus Nomor 6 Tahun 2014 tentang Keanggotaan DPRP yang ditetapkan melalui Mekanisme Pengangkatan Periode 2014-2019.

Namun, Perdasus tersebut hanya mengatur bahwa kuota keterwakilan perempuan “harus diperhatikan” dari jumlah ¼ dari jatah anggota DPRP yang diangkat. Anggota DPRP yang diangkat sendiri hanya sebesar ¼ dari total kursi DPRD, karena sisanya ditetapkan melalui mekanisme pemilu. Jatah ¼ yang “harus diperhatikan” itu juga bukan dikhususkan untuk perempuan, ada unsur masyarakat adat yang juga berhak atas kuota itu.

Beruntung, UU Otsus lama kemudian direvisi menjadi UU Otsus Nomor 2 Tahun 2021 yang memuat detail bahwa, di DPRP dan DPRK, perempuan harus mengisi sekurang-kurangnya 30% dari jatah ¼ dari total anggota DPRP dan DPRK yang diangkat.

Ketentuan tersebut membuat porsi keterwakilan perempuan lebih besar dibanding dengan ketentuan di perdasus. Dalam konteks kebijakan afirmasi, aturan tentang jumlah keterwakilan memang harusnya ditulis secara rigid agar implementasinya efektif.

Maka dari itu, kebijakan afirmasi dalam UU Otsus baru ini patut diapresiasi dan menjadi satu langkah positif guna membuka ruang bagi perempuan untuk menjadi penentu kebijakan.

Upaya afirmasi di UU Otsus baru ini perlu dikawal maksimal agar target kuota perempuan di DPRP benar-benar tercapai. Perlu juga mengawal partisipasi perempuan dalam pemilihan umum DPRP agar bisa memenuhi target 30% seperti yang terdapat dalam UU Pemilu.

Pelibatan perempuan sejak proses penyusunan hingga evaluasi kebijakan diharapkan dapat mengubah arah kebijakan menjadi lebih ramah gender dan berpihak pada kelompok rentan.

Meskipun dalam praktiknya, kebijakan ramah gender tidak selalu hanya ditentukan oleh perempuan saja, tetapi perspektif perempuan dalam penentuan kebijakan dinilai sangat membantu untuk dapat memahami persoalan serta kebutuhan yang dihadapi perempuan Papua.

Perlunya mengubah perspektif tentang peran perempuan di ranah publik

Walaupun sudah ada produk hukum untuk mendorong keterlibatan perempuan di ranah publik, implementasi di lapangan tetap tidak mudah.

Dalam buku “Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di Tingkat Lokal” karya peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Nina Andriana, dkk, disebutkan beberapa faktor yang membuat perempuan sulit terjun ke ranah politik, yakni pelimpahan penuh tugas domestik kepada perempuan sehingga mereka tidak punya ruang berperan di luar rumah, stigma masyarakat bahwa politik kotor dan tidak tepat bagi perempuan, dan modal sosial serta finansial yang lemah.

Faktor hambatan tersebut muncul akibat kentalnya budaya di Papua yang memandang peran perempuan di ranah publik bukanlah hal lumrah.

Contoh nyata terjadi beberapa waktu lalu pada Oktober 2021, ketika Tim Gugus Tugas Papua UGM berdiskusi dengan tokoh legislatif dan eksekutif di Papua tentang kebijakan afirmasi perempuan Papua.

Selama diskusi itu, muncul berbagai argumen penolakan, dengan alasan ada beberapa suku yang secara adat melarang perempuan menjadi pemimpin dan pengambil kebijakan politik.

Selain penguatan kebijakan afirmasi perwakilan perempuan melalui produk hukum, penting juga upaya mengubah perspektif masyarakat tentang peran perempuan sebagai pemimpin di ranah publik.

Berbagai pihak, termasuk unsur pemerintahan dan partai politik, perlu berkontribusi dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat umum terkait pentingnya peran perempuan di Papua sebagai pengambil kebijakan.

Upaya tersebut diharapkan akan mendorong perempuan Papua agar tidak ragu untuk tergabung dalam kepengurusan partai politik, organisasi kemasyarakatan, maupun peran lainnya di ranah publik.

Masyarakat umum juga perlu diberi pemahaman untuk tidak lagi melimpahkan dan membebankan tugas domestik hanya kepada perempuan, serta mendorong agar aturan adat tidak lagi membatasi ruang gerak perempuan.

Penulis adalah Peneliti Gugus Tugas Papua UGM dan menulis buku “Gender Gus Dur: Tonggak Kebijakan Kesetaraan Gender Era Presiden Abdurrahman Wahid”.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,000 academics and researchers from 4,940 institutions.

Register now