Menu Close

Mempertanyakan kembali esensi MUI: untuk membimbing umat atau menimbulkan perpecahan?

Label halal MUI tidak berlaku secara bertahap. M Risyal Hidayat/Antara Foto

Beberapa waktu belakangan ini, publik kembali menyoroti Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebuah lembaga yang terdiri dari para alim dari berbagai organisasi massa (ormas) berbasis agama Islam di Indonesia, dan telah banyak berperan besar bagi umat muslim di tanah air.

Hal ini karena lembaga yang berdiri sejak 26 Juli 1975 itu kerap kali mengeluarkan fatwa yang kontra-produktif, serta merespons hal-hal yang sejatinya tidak perlu mereka tanggapi dan komentari.

Rentetan sikap yang cenderung anti pluralisme

Berdasarkan beberapa penelitian , banyak fatwa yang resmi dikeluarkan MUI, maupun opini-opini yang disampaikan oleh pengurus MUI yang dinilai berpotensi merusak pluralisme yang telah lama tertanam di Indonesia.

MUI yang seharusnya berperan sebagai pemberi bimbingan, tuntunan, dan nasihat kepada masyarakat, justru cenderung menunjukkan sikap konservatif-radikal.

Kecenderungan tersebut salah satunya dapat dilihat dari sejumlah fatwa yang dikeluarkan MUI, terutama selama periode 2005-2010.

Beberapa contohnya adalah fatwa keharaman paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme, fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah, serta fatwa MUI Jawa Timur tentang kesesatan Syiah.

Fatwa-fatwa tersebut tentunya bertentangan dengan semangat persatuan dan kesatuan.

Ada pula pro-kontra yang muncul hampir setiap tahun menjelang perayaan Natal, yakni sikap MUI yang mengharamkan ucapan selamat Natal dan penggunaan atribut Natal bagi orang Islam.

Terbaru, MUI Bekasi mengeluarkan himbauan agar warung-warung makanan tutup di siang hari selama bulan Ramadan. Himbauan tersebut kemudian memicu reaksi negatif dari masyarakat.

Sebagai lembaga pemberi solusi mengenai masalah keagamaan, MUI seharusnya tahu betul bahwa penutupan warung ketika bulan Ramadan sama sekali bukan solusi bagi keberlangsungan puasa seorang muslim.

Bukan hanya karena di Indonesia terdapat banyak masyarakat non-muslim, tapi juga karena selalu ada orang muslim yang tidak wajib puasa, misalnya karena sedang bepergian, sakit, atau alasan yang lainnya.

Tidak heran jika tagar #bubarkanmui kemudian muncul dan viral di media sosial sebagai reaksi masyarakat atas sikap-sikap MUI tersebut.

Yang terkini, hak penerbitan sertifikat halal yang awalnya menjadi domain MUI, per 1 Maret 2022 telah diambil alih oleh Kementerian Agama Republik Indonesia.

Masyarakat, atau setidaknya oknum, menilai bahwa keberadaan MUI saat ini tidak lagi penting. Apalagi ditambah dugaan adanya politisasi fatwa MUI oleh pemerintah.

Intervensi pemerintah

Salah satu tujuan didirikannya MUI adalah menjadi penghubung antara ulama dan umara’ (pemerintah) guna menyukseskan pembangunan nasional. Dari tujuan tersebut, dapat dikatakan bahwa MUI merupakan mitra pemerintah (ṣadīq al-ḥukūmah).

Sebagai mitra, tentu MUI senantiasa ikut menyukseskan program-program pemerintah. Contohnya, selama masa pandemi COVID-19, MUI terlibat aktif dalam mendorong kegiatan pemerintah terkait penanggulangan penyebaran virus corona.

Di sisi lain, MUI pun berhak memberikan kritik dan nasihat kepada pemerintah. Sebagai contoh, MUI pernah mengkritik pemerintah terkait penggeseran hari libur keagamaan.

Meski demikian, studi yang dilakukan oleh M. Atho’ Mudzhar, Guru Besar bidang Sosiologi Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terhadap fatwa MUI pada tahun 1975-1988 menunjukkan bahwa fatwa MUI terindikasi kuat mendapatkan “tekanan” dari pemerintah.

Artinya, ada faktor sosio-politik yang turut memengaruhi MUI dalam menerbitkan fatwa. Di antara fatwa yang tampak terintervensi yaitu fatwa mengenai Keluarga Berencana dan gerakan Syiah di Indonesia.

Seharusnya, penerbitan fatwa atau produk hukum lainnya bersifat netral dan tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun. Netralitas itu penting untuk menjamin bahwa fatwa yang dikeluarkan MUI benar-benar mengacu pada kebaikan bersama.

Jika sebuah fatwa terkontaminasi oleh tekanan dari pihak luar, seperti pemerintah, maka tujuan akan kebaikan dari fatwa tersebut akan dipertanyakan, dan independensi serta objektivitas MUI pun akan diragukan.

MUI tidak bisa mewakili Tuhan

Pada dasarnya, ruang lingkup fatwa MUI meliputi bidang akidah, ibadah, sosial kemasyarakatan, dan ekonomi. Dalam mengeluarkan fatwa, prinsip kehati-hatian, iḥtiyāṭī, harus diutamakan.

Menurut Wakil Presiden Ma'ruf Amin, yang juga Ketua Dewan Pertimbangan MUI, prinsip iḥtiyāṭī dalam bidang ibadah dan akidah diwujudkan melalui pencarian titik temu guna menghindari perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Sedangkan dalam bidang muamalah, prinsip iḥtiyāṭī lebih ditekankan pada tujuan merealisasikan kemaslahatan seluas-luasnya bagi umat.

Fatwa atau opini MUI, dengan demikian, dituntut untuk dapat menyelaraskan antara teks keagamaan dengan konteks sosial masyarakat yang ada saat ini.

Mengacu pada penjelasan tersebut, beberapa fatwa MUI yang disebutkan di atas justru mengindikasikan pengabaian prinsip kehati-hatian.

Jika seorang muslim sekadar mengucapkan selamat natal dan mengenakan atribut keagamaan kepercayaan lain, maka apakah otomatis akidahnya akan luntur?

Jika banyak dari ritual dan prinsip kepercayaan Syiah dan Ahmadiyah yang berbeda dari prinsip Islam yang dianut dan diyakini mayoritas masyarakat, maka apakah serta merta dua kelompok itu sesat?

Lebih jauh, apakah pendapat bahwa penganut Syiah dan Ahmadiyah sesat tersebut kemudian dapat menjadi alasan untuk melakukan tindakan yang menciderai kemanusiaan, termasuk diskriminasi terhadap hak-hak dasar para penganutnya?

Bukankah perihal masuk surga atau neraka adalah hak prerogatif Tuhan?

Suatu organisasi massa memang bisa dikatakan mewakili aliran agama tertentu, tapi tidak bisa mewakili Tuhan.

Oleh karena itu, MUI seharusnya lebih bisa menahan diri agar tetap fokus pada tujuan utamanya: menjadi corong bagi persatuan dan kesatuan.

Mau dibawa ke mana MUI?

Sebagai organisasi besar, seharusnya MUI lebih berfokus pada program dan masalah yang lebih signifikan, seperti kemanusiaan dan perekonomian masyarakat.

Hal remeh temeh seperti boneka arwah, petasan, penamaan jalan, perkara natal, tahun baru, dan mudik, bukanlah domain MUI untuk berkomentar.

MUI perlu sadar kembali bahwa mereka merupakan ormas belaka, dan tidak dapat disebut mewakili umat muslim secara keseluruhan, bukan juga mewakili pemerintah, apalagi mewakili Tuhan.

Fatwa yang dikeluarkan pun sifatnya tidak mengikat. Boleh ditaati, boleh juga tidak.

MUI perlu memperbaiki pola komunikasinya menjadi lebih bijak dan sesuai dengan tujuan sebagai pemersatu bangsa. Sehingga pernyataan yang mereka keluarkan diharapkan tidak hanya memberikan kepastian terkait sikap keagamaan, tapi juga memberikan rasa nyaman dan sejuk bagi masyarakat luas, terlepas apapun kepercayaan dan keyakinannya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now