Menu Close

Mempertanyakan ‘student-centered learning’: mengapa memusatkan pembelajaran pada siswa tidak selalu efektif

(Arief Akbar/Shutterstock)

Pada 2022, Menteri Pendidikan (Mendikbudristek) Nadiem Makarim merilis Kurikulum Merdeka Belajar yang salah satu ciri utamanya adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa, atau “student-centered learning”. Pendekatannya, misalnya, adalah dengan pembelajaran berbasis projek yang dilakukan para murid.

Model pembelajaran ini digadang memiliki segudang manfaat yang mampu membuat peserta didik menjawab tantangan nyata di tengah kompetisi pasar kerja dan industri.

Benarkah demikian?

Meskipun riset menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis projek terbilang ampuh ketika diterapkan pada tingkat pendidikan tinggi, hal yang sama belum tentu berlaku ketika diterapkan pada tingkat pendidikan yang lebih rendah, terutama sekolah dasar (SD).

Kanada, negara yang langganan peringkat 10 besar pada tes global Program of International Student Assessment (PISA), misalnya, adalah salah satu bukti empiris bagaimana peralihan dari metode klasik ke student-centered learning yang kurang tepat dapat berdampak buruk.

Kajian dari lembaga riset C. D. Howe Institute di Kanada menemukan bahwa seiring penerapan kebijakan pembelajaran yang berpusat pada siswa – pendekatan yang kian populer di Amerika Utara – capaian murid-murid Kanada pada mata pelajaran matematika turun signifikan antara tahun 2003-2012.

Pelajaran apa yang bisa diambil oleh Indonesia?

Kurang ideal untuk pembelajar pemula

Pada dasarnya, pembelajaran berbasis projek – yang mendorong murid untuk memperdalam dan menyintesis informasi yang mereka dapatkan melalui projek individu atau kelompok – belum tentu efektif membantu murid menguasai konsep baru, ketimbang jika melalui pengarahan guru.

Alasan utamanaya adalah karena pembelajar pemula – umumnya belum memiliki pengetahuan spesifik atas suatu topik, seperti murid SD dan SMP – punya keterampilan pengaturan diri (self-regulation skills), pengetahuan awal (prior knowledge), dan keterampilan bekerja dalam kelompok (group working skills) yang masih terbatas.

Padahal, mereka sangat butuh berbagai keterampilan ini untuk melancarkan proses pembelajaran berbasis projek. Model pembelajaran ini, misalnya, penuh dengan aktivitas mendiskusikan ide, mempertimbangkan alternatif berbeda atau berbagai sudut pandang yang sulit dilakukan pembelajar tingkat awal.

Belum lagi, tingginya kesenjangan ekonomi yang terjadi di Indonesia semakin memperparah hal ini.

Berbagai riset menunjukkan bahwa status sosioekonomi orang tua memainkan peranan besar dalam proses pendidikan anak. Anak-anak dari kelompok privilese ekonomi tinggi akan cenderung memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih baik dibanding teman sebayanya dari kelompok ekonomi berbeda. Sebab, mereka lebih memiliki akses ke modal struktural seperti sekolah unggulan, hingga modal kultural dan intelektual seperti akses ke bahan bacaan dan museum.

Kondisi guru pun juga sangat menentukan kesuksesan penerapan model pembelajaran berbasis projek di kelas.

Dengan himpitan ekonomi yang menjerat para guru di Indonesia, bukan hal yang mengejutkan jika kita mendapati kompetensi guru di Indonesia terbilang rendah. Riset menunjukkan bahwa ketika guru dibayar rendah, maka kualitas pendidikan yang mereka hasilkan cenderung lebih buruk.

Sebagai gambaran, berdasarkan obrolan informal saya dengan guru swasta tingkat SMP di Kota Medan, sekolah bahkan hanya memberikan upah sebesar Rp 22.000 per jam pelajaran, atau dengan beban 24 jam pelajaran, maka upah bulanan yang diperoleh hanya Rp 528.000. Mereka kerap mencari pemasukan alternatif seperti menjadi pengemudi ojol, hingga berjualan, sehingga memecah konsentrasi.

Mengingat faktor-faktor di atas, termasuk tingkat usia murid yang belum siap menerapkan pembelajaran berbasis proyek, kesenjangan ekonomi para siswa, dan buruknya ekonomi guru yang berimbas pada kualitas mereka, penerapan pembelajaran berbasis projek harus kita pertanyakan kembali.

Laporan dari C. D. Howe Institute di atas menunjukkan bahwa para murid usia 15 tahun (mulai tingkat SMP) yang menjalani pembelajaran berorientasi murid di berbagai daerah di Kanada justru mengalami penurunan skor matematika – bahkan hingga 26 poin – selama sekitar 2003-2012 pada tes-tes global.

Asosiasi negatif ini secara statistik cukup signifikan, dan konsisten pada banyak negara yang berpartisipasi, bahkan negara-negara yang menjadi langganan top 15 tes PISA, termasuk Finlandia, Kanada, dan Selandia Baru. Atas dasar tersebut, banyak negara menguatkan pembelajaran yang berpusat pada guru – setidaknya untuk usia SD dan SMP.

Pembelajaran yang berpusat pada guru masih relevan

Pembelajaran yang berpusat pada siswa, termasuk yang berbasis projek, memang terdengar lebih keren dan progresif. Namun, kita juga perlu memahami bahwa pembelajaran yang berpusat pada guru sesungguhnya juga masih relevan pada abad ke-21, bahkan dalam kondisi tertentu justru lebih baik.

Menurut profesor kepemimpinan pendidikan dari Amerika Serikat (AS), Richard Arends, dalam bukunya “Learning to Teach” – teks yang kerap jadi bacaan wajib mahasiswa S1 di jurusan pendidikan – tidak ada model pembelajaran yang mutlak lebih baik dibandingkan yang lainnya.

Pembelajaran berbasis projek, yang tergolong sebagai model pembelajaran berpusat pada siswa, tentu saja punya kelebihan.

Kelebihan utamanya adalah penerapan masalah yang bersifat dunia nyata, terciptanya kolaborasi dan kerja sama, dan melatih kemampuan pemecahan masalah. Akan tetapi, model ini pun memiliki kekurangan, seperti pengelolaan waktu dan sumber daya yang kompleks sehingga menjadi tantangan bagi siswa dan guru hingga sulitnya proses evaluasi.

Sebaliknya, model pembelajaran yang berpusat pada guru memang memiliki beberapa kekurangan, seperti keterlibatan siswa yang terkadang terbatas dan kurangnya otonomi siswa.

Namun, di sisi lain, ia punya kelebihan, utamanya pengendalian guru terhadap seluruh proses pengajaran yang ideal untuk konteks pembelajar di jenjang-jenjang awal. Guru pemula pun dapat menerapkan model ini dengan cukup mudah dan efisien waktu.

Oleh karena itu, pemilihannya tergantung pada jenjang dan kondisi peserta didik, tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, hingga kemampuan guru dalam menjalankan pembelajaran.

Solusi pendidikan Indonesia bukanlah perombakan total model pembelajaran

Alih-alih sibuk mengotak-atik model pembelajaran di kelas secara total, menurut saya pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menunda dulu penerapan pembelajaran berbasis projek hingga setidaknya jenjang SMA.

Namun, selain itu, ada juga beberapa rekomendasi agar peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia dapat tercapai.

Yang utama, Indonesia wajib memperbaiki kesejahteraan para gurunya terlebih dahulu.

Negara-negara yang memiliki performa baik pada tes PISA memiliki satu kesamaan – guru di sana merupakan profesi yang bergengsi dan dibayar mahal. Hal ini berguna untuk menarik talenta-talenta terbaik bangsa untuk mau berkuliah di jurusan pendidikan, dan bersaing secara sehat untuk menjadi guru.

Jika upah guru bahkan tidak sampai Rp 600.000,- per bulan, talenta mana yang mau berkecimpung di profesi ini?

Selain itu, pemerataan kesempatan pendidikan dan program pengentasan kemiskinan juga krusial.

Solusi negara tidak bisa hanya selesai pada membuat sekolah menjadi berbiaya rendah atau gratis, tetapi juga perlu memeratakan kualitas sekolah publik hingga memerhatikan keadaan murid ketika mereka berada di luar sekolah.

Faktanya, kemampuan belajar anak Indonesia yang rendah juga disebabkan keseharian mereka yang menghambat pembelajaran di sekolah, misalnya harus turut membanting tulang membantu keluarga.

Tentu, visi student-centered learning yang dibawa Kemdikbudristek berangkat dari niat baik untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia. Namun, niat yang tulus dan kebijakan yang efektif adalah dua hal yang berbeda.

Jangan sampai Indonesia bersikap latah – hanya karena melihat sesuatu yang tampak lebih canggih seperti student-centered learning, maka berbondong-bondong untuk meninggalkan apa saja yang dianggap usang, tanpa mempertimbangkan konteks lokal.

Mungkin, kita harus merenungkan ungkapan teoretikus pendidikan Brazil, Paulo Freire:

Kita memiliki metode untuk mendekatkan konten, metode yang mampu membuat kita lebih dekat dengan siswa. Namun, beberapa metode tersebut justru dapat mendorong kita menjadi lebih jauh dari siswa.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now