Jumlah penduduk yang tercatat sebagai muslim mendominasi 85% dari total populasi Indonesia. Namun, representasi muslim di antara individu terkaya (konglomerat) sangat rendah secara proporsional. Berdasarkan data Forbes tahun 2023, misalnya, hanya ada 12% pengusaha muslim di antara daftar 50 orang terkaya di Indonesia.
Ada dua hipotesis dari fenomena ini yaitu muslim secara ekonomi tidak kompetitif dibandingkan kelompok lain, dan kondisi politik-ekonomi Indonesia yang tidak dinamis, karena tangga menuju konglomerasi didominasi oleh oligarki.
Kedua hipotesis tersebut secara tidak langsung akan berisiko untuk ekonomi Indonesia. Kurangnya keragaman pada pemilik aset besar, dan stagnansi tangga menuju konglomerasi bisa memengaruhi dinamisme dan kreativitas ekonomi.
Berdasarkan hasil sementara riset saya mengenai Islam dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, setidaknya ada tiga penyebab rendahnya jumlah konglomerat muslim di Indonesia yang bisa kita diskusikan secara teori.
Pertama, terkait pada ajaran agama Islam itu sendiri. Kedua, kurangnya jaringan ekonomi global atau anglo ekonomi pada komunitas muslim. Ketiga, adanya karakteristik kroni kapitalisme di Indonesia.
Konstelasi konglomerat di Indonesia
Ada dua sumber data yang terpercaya dalam mengukur aset konglomerasi di Asia, yaitu Bloomberg Billionaires Index dan Forbes. Artikel ini memilih data Forbes karena data ini sedikit-banyak juga mengukur aset nonpublik atau nonpasar saham.
Forbes tidak menyertakan afiliasi agama di dalam basis datanya, sehingga penulis melakukan kompilasi data untuk memverifikasi afiliasi relijiusitas para konglomerat melalui laporan media, aktivitas sosial media dan data publik yang umumnya menyertakan afiliasi relijius mereka.
Data tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2023, hanya ada 12% Muslim konglomerat dengan kepemilikan aset sekitar US$15,5 miliar atau Rp232 triliun, dibandingkan dengan hampir $230 miliar (Rp3.565 triliun) yang dikendalikan oleh konglomerat dari latar belakang agama lain. Persentase konglomerat muslim berfluktuasi antara 11% dan 14% dari 2004 hingga 2023.
Beberapa pengusaha muslim seperti Bakrie, Aksa Mahmud, dan Jusuf Kalla secara bertahap keluar dari daftar konglomerat Forbes sejak tahun 2009. Namun, mereka tetap menjadi tokoh berpengaruh secara politik dan ekonomi.
Kedua, data Forbes menunjukkan peta dominasi kekayaan yang tidak banyak berubah dalam 30 tahun terakhir. Keluarga Salim, Soeryadjaya, Hartono, Widjaja, dan Riady sudah kaya sejak era Suharto, dan tidak banyak keluarga baru yang mampu menaiki tangga kekayaan. Ini mencerminkan mobilitas yang statis dalam peta konglomerasi Indonesia.
Terakhir, data Forbes tahun 2023 menegaskan peran signifikan keturunan Tionghoa dalam perekonomian Indonesia dengan komposisi 84% dari total konglomerat, dengan aset hampir Rp3.565 triliun. Di tengah diskriminasi sosial dan politik di Indonesia, komunitas Tionghoa mampu mempertahankan dan mengakumulasi aset.
Bukan berarti miskin
Meski jumlah konglomerat muslim cenderung rendah, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan muslim di Indonesia lebih miskin secara persentase dibanding pemeluk agama lain. Tiga provinsi termiskin di Indonesia, Papua, Papua Barat dan NTT mayoritas beragama Kristen dan Katolik.
Sebagian besar muslim Indonesia masuk daftar kelas menengah ekonomi. Secara politik, muslim berpengaruh di birokrasi, parlemen, dan sektor pemerintahan lain. Modal ekonomi yang cukup dan pengaruh politik yang signifikan seharusnya membuka akses pendidikan dan akses sosial yang lebih luas, kemudian memungkinkan muslim untuk mengakumulasi aset dan kekayaan.
Namun, mengapa itu tidak terjadi?
1. Ajaran Islam dan akumulasi kekayaan
Salah satu faktor penting dalam konglomerasi adalah akumulasi aset, yakni ketika individu, keluarga atau grup bisnis, menumpuk kekayaan dan mengembangkannya melalui investasi baru. Perbankan dan dunia finansial merupakan institusi yang memungkinkan terjadinya proses akumulasi aset melalui kredit utang usaha, dan berbagai bentuk investasi.
Muslim di Indonesia, sampai hari ini masih memperdebatkan bahkan cenderung menolak bank konvesional, terutama sistem bunga yang dianggap riba. Perkembangan bank Syariah walau pesat juga masih dalam ruang keraguan beberapa ulama. Secara garis besar, ada sentimen negatif terhadap perbankan dan institusi finansial.
Pada saat yang sama, di Indonesia konsep Zuhud atau asketisme berkembang dengan marak. Ini meliputi ajaran yang menolak hal-hal duniawi yang dianggap berbahaya untuk kehidupan akhirat.
Namun, Islam bukan satu-satunya faktor yang memengaruhi kehidupan muslim. Mereka juga terekspos oleh faktor lain seperti pendidikan, pekerjaan dan budaya. Kelas menengah muslim melakukan aktivitas ekonomi di perbankan konvensional, dan juga terekspos dengan sistem keuangan modern.
Sementara, konsep Zuhud dan asketisme seharusnya memungkinkan muslim untuk memiliki tabungan karena tidak menghamburkan uangnya untuk hal-hal duniawi. Sebagaimana temuan Max Weber di Jerman pada abad ke-19, bahwa asketisme protestan membuat pemeluk Calvinis bekerja keras serta membatasi konsumsi yang tidak perlu.
Perilaku tersebut meningkatkan jumlah tabungan mereka, yang secara tidak disengaja memperkuat posisi modal untuk melakukan investasi pengembangan usaha. Konsekuensinya, di Jerman pada abad ke-19 performa ekonomi pemeluk protestan lebih baik dibandingkan katolik.
Konservatisme ajaran Islam mengenai perbankan dan askestisme muslim walau memberikan asumsi yang menarik, tidak memiliki argumen yang kuat sebagai penyebab kurangnya performa muslim sebagai konglomerat atau pemilik aset.
2. Jaringan global ekonomi yang minim
Di Asia Timur, salah satu sistem aglomerasi bisnis selain Jepang adalah “Tionghoa perantauan”, yang menyediakan koneksi, informasi mengenai peluang bisnis dan perdagangan, dan yang terpenting kepercayaan dalam melakukan bisnis bagi diaspora Tionghoa, terutama di negara-negara di mana etnis Tionghoa mengalami diskriminasi rasial dan politik seperti di Malaysia dan Indonesia.
Kepercayaan yang terinstitusionalisasi secara informal yang berkembang melalui diaspora atau koneksi ideologis penting untuk keterlibatan ekonomi lintas batas, terutama di wilayah dengan institusi negara yang lemah dan korupsi yang marak.
Hal ini membantu mengurangi risiko politik dan biaya transaksi dalam bisnis, memungkinkan pelaku usaha untuk berbisnis dengan aman.
Contoh lain aglomerasi ekonomi adalah jaringan bisnis komunitas Yahudi yang berkembang di Eropa Barat, Timur Tengah dan Amerika Utara.
Umat muslim Indonesia memiliki koneksi ideologis dengan umat muslim lain di Timur Tengah dan Asia, tetapi koneksi ini tidak menjadi aglomerasi ekonomi.
Absennya anglomerasi ekonomi ini adalah fenomena baru, karena penyebaran Islam di Asia dari abad ke-11 hingga ke-18 terjadi melalui perdagangan dan aktivitas ekonomi. Namun, aglomerasi ekonomi muslim meredup secara bertahap dari abad ke-18 hingga saat ini.
Banyak yang mengaitkan redupnya aglomerasi ekonomi muslim dengan kolonialisme, argumen ini tidak sepenuhnya benar. Penelitian Jared Rubin di Timur Tengah menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi muslim Arab sudah melemah sebelum kolonialisme.
Dalam kasus Timur Tengah, penurunan ekonomi muslim memfasilitasi kolonialisme daripada disebabkan oleh kolonialisme.
3. Kroni kapitalisme
Kroni kapitalisme adalah sistem ekonomi yang memungkinkan bisnis berkembang dan bertahan bukan melalui kompetisi pasar, tetapi melalui kolusi antara pejabat dan pengusaha, yang mengarah pada favoritisme, korupsi, dan ketidaksetaraan dalam persaingan bisnis.
Ilmuwan politik, Jeffery Winters memperkenalkan konsep wealth defense untuk menggambarkan agenda oligarki (pemilik aset besar) untuk melindungi dan melestarikan kekayaan mereka, dengan cara memastikan sistem politik dan kebijakan ekonomi terus mendukung kepentingan mereka.
Kroni kapitalisme digerakkan oleh konglomerat dan politisi. Melalui akses khusus, mereka menangkap peluang bisnis dan menutup kompetisi. Dalam asumsi ini, kelas menengah muslim Indonesia dan kelompok lain adalah pendatang baru, dan tangga menuju konglomerasi dikontrol oleh oligarki yang ada.
Karena itu, tidak mengherankan melihat mobilitas rendah dalam elit bisnis Indonesia—yang didominasi oleh kelompok bisnis dan keluarga tertentu selama lebih dari 30 tahun.
Tiga asumsi di atas bisa berubah sepanjang data dan informasi baru keluar sepanjang dari penelitian. Namun, terlepas dari potensi perubahan tersebut, diskusi akademis mengenai kurangnya konglomerasi muslim di Indonesia bisa membuka ruang pembahasan mengenai sistem politik ekonomi di Indonesia, serta hubungan antara agama dan pertumbuhan ekonomi.