Menu Close

Mengapa kampanye ASI tidak menyenangkan industri susu formula dan pendukungnya

Jika tidak ada halangan medis dan non-medis yang signifikan, pemberian ASI perlu diupayakan semaksimal mungkin. Laura Garcia/Pexels

Artikel ini untuk memperingati Pekan Menyusui Sedunia (World Breastfeeding Week), 1-7 Agustus.

Pertentangan antara kelompok yang memandang “air susu ibu (ASI) adalah hak bayi” dan kelompok yang memandang “menyusui atau tidak adalah hak ibu” bisa dirunut dalam gerakan yang kompleks selama satu abad terakhir. Kampanye yang kedua acapkali justru menguntungkan produsen susu formula, baik langsung maupun tidak langsung.

Berbagai kampanye pro-ASI muncul awal 1900-an sebagai reaksi dari promosi masif dan agresif industri susu formula yang marak sejak abad ke-19 di Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan Swiss. Salah satu tokohnya adalah dokter Cicely Williams, yang dikenal vokal menentang komersialisasi susu formula pada 1932.

Setelah itu, muncul berbagai kampanye mendukung ASI seperti “breast is best” (ASI yang terbaik). Kampanye-kampanye ini berperan mengubah pola pikir masyarakat yang sebelumnya sempat memandang susu formula sebagai makanan terbaik dan merupakan simbol status sosial orang tua bayi.

Akan tetapi, oleh sebagian orang, ternyata kampanye ASI dianggap mendiskreditkan ibu yang tidak menyusui. Salah satu kampanye yang belakangan timbul sebagai reaksi terhadap “breast is best” adalah jargon “fed is best” (makanan apa pun terbaik).

Para aktivis yang menolak argumen “ASI hak bayi” umumnya menggadang-gadang formula sebagai solusi jitu. Amy Tuteur, dokter kebidanan asal Amerika Serikat sekaligus penulis buku parenting, misalnya, awal tahun lalu mengkritik pedas British Medical Journal (BMJ) saat jurnal kedokteran tersebut memboikot pemasangan iklan susu formula.

Amy membela formula dengan menulis “formula menyelamatkan dan meningkatkan kehidupan yang tak terhitung jumlahnya setiap tahun dan tidak membahayakan siapa pun”.

Kita perlu memahami kedua jargon kampanye tersebut secara proporsional. Kegagalan memahami kampanye secara utuh berpotensi menciptakan persepsi masyarakat yang penuh penghakiman dan mudah menghujat ibu yang tidak menyusui. Kedua pesan kampanye tidak harus dibenturkan secara ekstrem, sebaliknya keduanya justru saling melengkapi.

Kondisi umum versus kondisi khusus

Ahli kesehatan dan dunia kesehatan sampai saat ini menyatakan dengan jelas bahwa ASI adalah pilihan makanan terbaik bagi bayi. Walaupun demikian, harus diketahui pula bahwa ada beragam situasi atau keadaan khusus saat ASI mustahil diberikan pada bayi. Hal ini bukan berarti anak tidak bisa tumbuh dan berkembang dengan optimal.

Di sisi lain, susu formula tidak perlu dimusuhi berlebihan, karena susu jenis ini diperlukan dalam kondisi tertentu. Namun juga susu formula jangan dinormalisasi (dianggap sebagai hal yang normal) karena keserakahan industri yang diberi panggung bisa kembali merusak sistem kesehatan. Diperlukan keseimbangan dalam menyikapi kedua pesan kampanye.

Kedua kampanye, “breast is best” dan “fed is best”, sebenarnya punya itikad baik. Namun tanpa konteks yang benar dan akurat, salah tafsir sangat mudah terjadi, terutama antara dua kutub ekstrem yang mengatasnamakan pembela “hak bayi” dan penjunjung “hak ibu”.

Benar bahwa ibu berhak atas tubuhnya. Namun perlu diingat bahwa ada hak bayi untuk memperoleh asupan terbaik berdasarkan keilmuan termutakhir. Maka jika memang tidak ada halangan medis atau sosioekonomi, ASI tetap harus menjadi prioritas.

Namun, dalam kasus khusus misalnya, tidak seorang pun berhak menghakimi korban perkosaan yang tidak mampu menyusui akibat trauma psikis. Pun terhadap ibu bekerja yang, jika ia menyusui, ia hanya bisa memberi makan bayinya tapi tidak bisa menafkahi anggota keluarga lainnya.

Mengapa ada kampanye “breast is best”?

Ilmu pengetahuan saat ini menunjukkan bukti bahwa ASI adalah nutrisi yang unggul dibandingkan susu formula maupun makanan lainnya. Hal ini ditunjang dengan banyaknya riset yang melaporkan beragam manfaat air susu ibu dan menyusui baik untuk ibu maupun bayi.

Itu sebabnya sampai saat ini pemberian ASI masih menjadi rekomendasi WHO bagi seluruh negara. Kesadaran publik tentang khasiat ASI mulai meningkat sejak rekomendasi tersebut diterbitkan pada 1989.

ASI adalah intervensi kesehatan masyarakat, terutama dalam menurunkan angka kematian bayi. Bayi yang tidak mendapatkan ASI memiliki risiko meninggal (pada 2 tahun pertama masa kehidupan) 14 kali lebih tinggi dibanding bayi yang diberi ASI eksklusif. Pemberian ASI adalah investasi yang baik, apalagi bagi negara dengan akses air bersih yang tidak merata seperti Indonesia.

Selain itu, teori perkembangan asal muasal kesehatan dan penyakit menyatakan risiko berbagai penyakit metabolik pada masa dewasa, termasuk diabetes, hipertensi, penyakit jantung, hingga kanker, sebenarnya sudah bermula sejak awal kehidupan. Hal ini membuat banyak peneliti menaruh perhatian khusus pada 1000 hari pertama kehidupan dimulai dari kehamilan dan dua tahun masa bayi, dan efeknya pada berbagai penyakit.

Hasilnya, nutrisi yang diterima seorang individu saat berada dalam rahim ibu (janin) dan masa bayi merupakan salah satu faktor lingkungan utama yang mempengaruhi risiko kesehatan dan penyakit pada masa dewasa tersebut.

Kandungan makronutrien, hormon, dan faktor bioaktif dalam ASI berasosiasi dengan pengaturan nafsu makan dan pola tumbuh kembang bayi yang optimal serta penurunan risiko obesitas dan penyakit metabolik lainnya berpuluh tahun kemudian.

Dalam hal ini, pemberian ASI seoptimal dan semaksimal mungkin tidak hanya berdampak baik pada bayi tersebut secara individual, tapi juga untuk komunitas karena membantu menurunkan angka kejadian berbagai penyakit tidak menular pada masa mendatang.

Meski demikian, tidak semua ibu bisa bisa menyusui bayinya. Pemberian ASI tidak selalu bisa dilakukan oleh ibu baik karena faktor medis maupun non-medis. Bagi sebagian orang dari kubu yang ekstrem, jargon “breast is best” bisa seolah mengindikasikan kegagalan ibu dan keluarganya memberi yang asupan terbaik pada bayinya.

WHO pun bahkan membolehkan pemberian susu formula pada bayi jika terdapat halangan medis baik dari sisi ibu maupun bayi. Walau relatif jarang, ada kondisi medis seperti galaktosemia klasik, saat bayi tidak mampu mencerna galaktosa dengan normal sehingga ASI justru bisa mengancam nyawanya.

Faktor lingkungan pun bisa berujung pada rekomendasi yang berbeda. Contohnya ibu dengan HIV. Di area yang rawan gizi buruk dan infeksinya tinggi, ibu dengan HIV disarankan tetap menyusui, namun di negara maju yang akses terhadap air bersih dan susu formula mudah dijangkau, ASI tidak menjadi rekomendasi.

Selain itu, walau bukan alasan mutlak, banyak ibu kesulitan menyusui saat mengalami infeksi payudara dan depresi pasca-kelahiran. Di luar aspek medis, ada pula faktor sosio-ekonomi yang tidak memungkinkan ibu menyusui. Faktor ini sangat kompleks dan tidak seragam antara satu ibu dengan yang lainnya.

Mengapa ada kampanye “fed is best”?

ASI memang makanan terbaik bagi bayi, tapi penafsiran kampanye kencang pro-ASI tanpa konteks bisa membuat para ibu tertekan. Tidak bisa dimungkiri bahwa gencarnya kampanye ASI dapat membuat sebagian ibu merasa gagal ketika tidak mampu menyusui. Padahal, kebahagiaan ibu sangat mempengaruhi kesehatan bayi.

Slogan “fed is best” muncul sebagai respons dari kampanye “breast is best” yang dianggap kurang inklusif terhadap ibu yang tidak memberi ASI.

Gerakan ini sebenarnya tetap mendukung ASI namun berempati kepada ibu-ibu yang memilih susu formula atau mencampur keduanya. “Fed is best” dan kampanye sejenisnya tidak menitikberatkan ASI sebagai pilihan yang lebih tinggi. Yang lebih dijunjung adalah kemerdekaan otoritas ibu terhadap tubuh dan pilihannya; dari ibu yang menolak menyusui karena alasan apa pun sampai ibu yang menyusui di tempat umum.

Yang menjadi masalah, walau terkesan lebih netral dan menghargai pilihan ibu, penafsiran tanpa konteks juga memiliki risiko, sebab ASI dan susu formula tidak seharusnya dijadikan pilihan bebas yang setara.

Walau berbagai produsen susu formula sudah berupaya keras menyesuaikan dan memperkaya kandungan susu formula agar setara dengan ASI, terdapat banyak komponen ASI yang tidak tergantikan, terutama faktor bioaktif termasuk antibodi, hormon, sel-sel imun, dan lain-lain.

Itulah sebabnya, dari segi kesehatan, susu formula seharusnya hanya diberikan pada situasi yang ASI tidak memungkinkan.

Menormalisasi kesetaraan ASI dan formula berpotensi membuka kembali celah komersialisasi susu formula dan menjadikan perjuangan selama ini sia-sia.

ASI jika mampu

Selain akses informasi dan edukasi, sebenarnya masih banyak aspek yang perlu ditingkatkan untuk mempermudah ibu untuk menyusui, dan hal ini membutuhkan dukungan keluarga dan peran banyak pihak.

Misalnya, perlu ada kebijakan cuti hamil dan melahirkan yang memadai, penyediaan fasilitas menyusui di tempat kerja dan ruang publik, serta dukungan nutrisi dan psikososial yang cukup untuk ibu menyusui.

Akhirnya, baik menyusui atau tidak, semua ibu punya perjuangannya masing-masing, entah itu cibiran ketika menyusui di tempat umum maupun hujatan kerabat karena memberikan susu formula.

Meski demikian, menimbang manfaat ASI jangka pendek dan panjang untuk ibu, bayi, dan komunitas, sebaiknya penggunaan formula difungsikan sebagaimana muasalnya: alternatif asupan bayi yang aman pada kondisi ketiadaan ASI.

Jadi, jika tidak ada halangan medis dan non-medis yang signifikan, pemberian ASI perlu diupayakan semaksimal mungkin. Jangan terbujuk rayu promosi industri susu formula.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now