Menu Close
Perempuan Indonesia melakukan unjuk rasa menuntut hak-hak perempuan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di depan Istana Presiden di Jakarta tahun 2017 Bagus Indahono/EPA

Mengapa kelompok liberal dan konservatif perlu mendukung RUU PKS

Sebagai korban, teman dan keluarga korban pelecehan seksual, penolakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) membuat saya sangat kecewa.

PKS menyatakan bahwa definisi kekerasan seksual dalam RUU tersebut mengandung nilai-nilai liberal yang memperbolehkan perilaku seks bebas dan menyimpang.

Banyak yang menganggap pernyataan PKS tersebut keliru. Mendefinisikan pelecehan seksual sebagai hubungan seksual tanpa persetujuan bukan berarti membolehkan hubungan dengan persetujuan, sebab perzinaan telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Saya pernah meneliti tentang nilai-nilai liberal dan Islam, dan menurut saya klaim kelompok konservatif bahwa RUU PKS bertentangan dengan ajaran Islam dan pelecehan seksual merupakan akibat nilai-nilai liberal menyesatkan. Menghapuskan kekerasan seksual merupakan kepentingan kelompok liberal maupun konservatif.

Nilai-nilai Liberal versus Islam

Masyarakat sering menganggap paham liberal dan Islam berada pada ujung spektrum yang berlawanan sehingga perbedaan antara keduanya berkontribusi terhadap benturan peradaban. Salah satu aspek benturan ini yaitu dalam hal agama.

Pada penelitian saya tentang media Amerika, sekularisme, individualisme, dan nilai-nilai liberal mendorong tradisi yang menganggap agama sebagai ranah pribadi. Sementara itu, masyarakat Islam menganggap agama sebagai bahasan publik. Muslim tidak hanya menghargai hubungan individu dengan Tuhan tetapi juga interaksi sesama manusia. Oleh sebab itu, ekspresi religius Islam banyak ditemukan di ruang publik.

Dalam semangat yang sama

Namun demikian, kekerasan seksual berlawanan dengan nilai-nilai liberal maupun Islam.

Nilai-nilai liberal menjunjung hak-hak individu. Kaum liberal percaya bahwa setiap orang harus diperlakukan sama terlepas dari suku bangsa, gender, kelompok etnis, kekuatan politik, dan kondisi ekonominya.

Sementara itu, Islam menghormati hak perempuan. Setiap anak Muslim pernah mendengar kisah Nabi Muhammad yang mengajarkan untuk terlebih dulu menghormati ibu daripada ayah. Di bawah kepemimpinan Muhammad, hak-hak perempuan lebih diperhatikan dibandingkan dengan sistem sebelumnya. Islam juga mengajarkan untuk menghormati orang lain dan melindungi orang-orang yang lebih lemah dan tertindas.

Nilai-nilai ini harusnya menjadi alasan untuk melindungi perempuan dan kelompok rentan lainnya dari pelecehan seksual.

Menghadapi masalah yang sama

Sebagai akibat dari hierarki gender yang tidak adil antara pria dan wanita, kasus pelecehan seksual memiliki karakteristik yang mirip di mana-mana.

Kebiasaan menyalahkan korban (victim blaming) banyak terjadi di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim dan di negara demokrasi liberal Amerika Serikat.

Salah satu contoh umum victim blaming adalah menyalahkan korban karena pakaian yang dikenakannya.

Di Indonesia, pelecehan seksual terjadi pada perempuan, apapun pakaian yang mereka kenakan. Seorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada, Agni (bukan nama sebenarnya), diperkosa oleh temannya ketika mengenakan hijab.

Baiq Nuril, seorang guru yang dipenjara karena melaporkan pelecehan seksual oleh atasannya, juga memakai hijab.

Di Amerika ada sebuah pameran yang menunjukkan pakaian yang dikenakan oleh korban ketika mengalami kekerasan seksual dan kebanyakan pakaian biasa saja. Gerakan serupa lainnya muncul untuk melawan kebiasaan menyalahkan korban.

Victim blaming juga menyebabkan perempuan tidak melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya. Hal ini terjadi di Indonesia dan Amerika Serikat. Para korban juga mengalami trauma fisik dan psikologis, serta kerugian finansial.

Mengapa terjadi penolakan?

Kelompok liberal dan Muslim berjuang demi tujuan yang sama untuk melindungi hak-hak perempuan. Jadi, seruan dari kaum Muslim konservatif Indonesia untuk menolak RUU PKS karena dianggap mempromosikan nilai-nilai liberal patut dipertanyakan.

Dari sejarahnya, penolakan PKS dapat dilihat sebagai tindakan politis untuk menarik pemilih di negara yang dominan Muslim ini.

Lupakan politik, ayo lindungi perempuan

Pelecehan seksual di banyak negara membuktikan bahwa masalah ketidakadilan gender lazim terjadi di hampir semua budaya.

Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan pertama kali diadopsi pada tahun 1979. Sejumlah 189 negara, termasuk Indonesia, telah meratifikasinya.

Akan tetapi, Indonesia tertinggal dalam mengatasi kekerasan seksual terhadap perempuan. Negara tetangga seperti India dan Filipina telah mengesahkan undang-undang anti kekerasan seksual.

Kelompok Muslim konservatif seharusnya tidak mengabaikan masalah sebenarnya di balik kekerasan seksual di Indonesia, yaitu subordinasi perempuan. Mereka harus melupakan politik dan fokus untuk memfasilitasi keadilan, pemulihan, dan perlindungan bagi para korban, seperti yang diusulkan RUU PKS.

Mereka juga seharusnya tidak menyalahkan kaum liberal karena mereka berjuang untuk tujuan yang sama.

Oleh sebab itu, akan lebih baik untuk fokus untuk mencapai tujuan bersama dalam melawan kekerasan seksual daripada perbedaan-perbedaan.

Apakah kita seorang konservatif, liberal, korban, teman atau keluarga korban, mari kita berjuang bersama. Semakin banyak yang terlibat, semakin baik, bukan?

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now