Menu Close

Mengapa korban perkosaan sedarah sulit melapor dan keluar dari tindakan kekerasan

Flickr, CC BY

Pemerkosaan pada dasarnya adalah bentuk kekerasan dan kejahatan kesusilaan terhadap yang bisa terjadi kapan saja, menimpa siapa saja, dan di mana saja.

Pemerkosaan yang dilakukan oleh pelaku yang memiliki hubungan darah merugikan perempuan yang menjadi korban dan menimbulkan trauma serius karena menempatkan korban dalam situasi serba salah.

Data dari Komisi Nasional Perempuan pada 2019 saja menunjukkan dari 2.341 kasus kekerasan terhadap anak perempuan, ada 770 kasus yang merupakan hubungan inses. Angka ini yang paling besar dari kategori lainnya, yakni kekerasan seksual 571 kasus, kekerasan fisik 536, kekerasan psikis 319, dan kekerasan ekonomi 145 kasus.

Saya melakukan penelitian terhadap kasus pelecehan dan tindak kekerasan seksual khususnya terhadap kerabat sedarah (inses), yaitu anak perempuan. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan sekaligus menyusun peta pola terjadinya kasus-kasus pelecehan dan tindak kekerasan seksual inses terhadap anak-anak perempuan yang terjadi dalam keluarga dalam kurun.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di Indonesia, pelakunya paling banyak adalah ayah kandung atau ayah tiri korban.

Korban perkosaan inses tidak bisa memberontak karena tekanan sosial dan budaya, dan memiliki ketergantungan pada figur ayah. Anggota keluarga lain pun tidak bisa diharapkan karena tidak memiliki kekuatan untuk menolong.


Read more: Riset: Pandangan soal "keperawanan" turut berperan dalam kerentanan remaja yang dilacurkan


Pola kejadian

Penelitian dilakukan terhadap kasus terjadi di dalam keluarga dalam kurun waktu 2010 hingga 2017, khususnya kasus yang sempat diberitakan di media massa. Data dikumpulkan lewat studi literatur dari 137 kasus yang diberitakan di media massa dan melalui wawancara dengan 14 orang responden di Jawa Timur.

Hampir semua kasus pemerkosaan inses selalu diawali dengan ancaman dan kekerasan. Pemerkosa menggunakan berbagai akal dan cara untuk memperdaya korban, menekan dengan ancaman untuk menghentikan dukungan dana. Korban memiliki ketergantungan ekonomi dan menghadapi ancaman kekerasan.

Dalam berbagai kasus, korban perkosaan inses umumnya tidak berdaya karena mereka ketakutan dan tidak memiliki kekuatan untuk melawan.

Korban biasanya berada dalam posisi lemah, tidak mampu mengelak dari situasi. Bahkan, terkadang perkosaan terjadi dengan sepengetahuan ibu korban yang sama tidak berdaya di hadapan suaminya.

Berbeda dengan tindak perkosaan non-inses yang biasanya terjadi dalam satu kesempatan, perkosaan inses umumnya berlangsung dalam kurun waktu yang relatif lama, bahkan bertahun-tahun.

Dari 137 kasus yang diteliti, separuhnya terjadi lebih dari 1 tahun: 22% kasus berlangsung 1-2 tahun, 17% berlangsung 3-4 tahun, dan 11% kasus di atas 5 tahun.

Kasus perkosaan inses bisa berlangsung hingga bertahun-tahun karena ketidakberdayaan dan posisi korban yang ketergantungan dengan pelaku. Bentuk ancaman yang dilakukan antara lain mengancam tidak menyekolahkan, memukul korban, melukai, atau bahkan membunuh ibu korban jika melaporkan apa yang mereka alami.

Dalam kenyataan, korban yang masih anak-anak juga mengalami dilema.

Di satu sisi mereka terpaksa hidup dalam lingkungan sosial dengan ancaman dan pemerkosaan, di sisi yang lain mereka memiliki pemahaman bahwa inses adalah aib yang memalukan keluarga dan dirinya sendiri.

Lebih lanjut, penelitian saya menemukan bahwa sebagian besar kasus (89%) hanya diketahui oleh pelaku dan korban.

Sisanya, kasus perkosaan inses sebenarnya diketahui oleh pihak lain.

Untuk kasus yang dipergoki ibu kandung, kakek, nenek atau anggota keluarga lain, biasanya akan mengakibatkan reaksi besar dan tidak perlu waktu lama bagi pihak keluarga untuk akan melaporkan pelaku.

Studi ini juga menemukan ada beberapa ibu yang tahu anaknya menjadi korban tetapi mereka tidak melakukan apa-apa. Selain takut pada ancaman suami, mereka juga tidak ingin aib keluarganya terbongkar di hadapan publik.

Berdiam diri dan menyimpan rapat-rapat aib keluarganya tanpa mempertimbangan penderitaan sang anak adalah hal yang seringkali dilakukan ibu di bawah dominasi ideologi patriarkis.

Bagi ibu yang lebih berdaya dan memiliki posisi yang kuat dibanding suami, mereka tidak akan berdiam diri ketika mengetahui anaknya menjadi korban. Hal ini terbukti dengan pelapor kejadian perkosaan inses sebagian besar adalah ibu korban (63%).

Banyak ibu korban yang memilih melaporkan kasus yang dialami anaknya kemudian bahkan memilih bercerai dengan suaminya karena menganggap tindakan yang dilakukan suaminya benar-benar kelewat batas.

Sisanya dari 137 kasus, sebanyak 23% dilaporkan saudara korban, 4% dilaporkan kakek atau nenek korban, dan 10% dilaporkan korban itu sendiri.


Read more: Mendorong peran hakim dalam mencegah perkawinan anak


Posisi lemah

Anak-anak yang menjadi korban perkosaan inses umumnya memiliki ketergantungan dan tekanan sosial yang kuat dari pelaku, umumnya figur ayah yang superior.

Dalam analisis saya, bagi pelaku, tindakan inses merupakan bentuk sanksi yang terselubung terhadap ibu yang dinilai tidak mampu berpartisipasi dalam tuntutan peranan seksual sebagai istri.

Dalam berbagai kasus, perkosaan inses umumnya lebih banyak terjadi saat posisi ibu tersubordinasi sehingga tidak bisa melindungi anak perempuannya dari penganiayaan seksual yang dilakukan anggota keluarga lain, terutama ayah korban.

Untuk mencegah agar perkosaan tidak kembali terjadi, selain perlu dilakukan upaya perlindungan anak (korban) dalam bagian dari proses pemberdayaan perempuan (ibu).

Yang tak kalah penting adalah bagaimana mengembangkan pendekatan yang berbasis dukungan komunitas.

Ini misalnya dilakukan dengan mengembangkan kerjasama dengan kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di tingkat lokal, kelompok akar rumput keagamaan (seperti Fatayat Nahdlatul Ulama, ‘Aisyiyah Muhammadiyah, atau Wanita Katolik) dan berbagai organisasi sosial-kemasyarakatan lainnya yang peduli kepada upaya perlindungan hak anak.

Dengan dukungan komunitas, ketidakberdayaan dan posisi lemah ibu dan anak perempuan akan dapat dibantu dan dilindungi.

Nashya Tamara ikut berkontribusi dalam penerbitan artikel ini


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now