Trigger warning: Artikel ini ini mengandung konten kekerasan eksplisit yang dapat memicu perubahan kondisi emosi dan mental pembaca.
Hubungan asmara seharusnya menjadi ruang untuk mendapatkan dan mengeksplorasi hal-hal positif, seperti kebahagiaan, perhatian dan rasa aman. Faktanya, hubungan asmara juga bisa muncul dalam manifestasi yang sangat bertolak belakang–menjadi sumber penderitaan, rasa sakit dan trauma.
Menurut data lembaga layanan dari Komnas Perempuan tahun 2023, angka kekerasan dalam pacaran (hubungan asmara tanpa ikatan pernikahan resmi) menunjukkan prevalensi tertinggi dari seluruh varian kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia. Jumlah laporan kekerasan dalam pacaran mencapai 3.528 kasus, melebihi angka kekerasan terhadap istri (3.205 kasus) dan kekerasan terhadap anak perempuan (725 kasus), dengan bentuk-bentuk yang mencakup kekerasan fisik, emosional, verbal, sosial dan seksual.
Bukan sekadar statistik, angka tersebut menunjukkan bahwa saat ini perempuan di Indonesia masih sangat rentan menjadi korban kekerasan. Terlebih, perempuan yang sedang berada dalam hubungan pacaran.
Sayangnya, 40-70% korban kekerasan dalam hubungan pacaran memilih untuk tetap bertahan dalam hubungan yang tidak sehat, sekalipun mereka mengalami kerugian fisik, mental dan material yang luar biasa besar.
Ini karena karena manusia cenderung tidak sepenuhnya rasional, mereka sering kali dipengaruhi oleh berbagai bias kognitif.
Alasan bertahan
Beberapa penelitian sebelumnya telah mencoba mengungkap apa saja alasan korban kekerasan dalam hubungan pacaran memilih bertahan, antara lain karena korban pernah menjadi korban kekerasan pada masa kanak-kanak, sehingga cenderung mentolerir perilaku kekerasan, adanya tekanan psikologis dari pasangan, ketergantungan finansial dan relasi kuasa yang timpang. Ditambah lagi adanya pengaruh iklim patriarki yang dominan dalam masyarakat Indonesia, sehingga korban, yang mayoritas perempuan, menjadi kesulitan bersikap asertif dan menjadi tidak berdaya.
Selain faktor-faktor penyebab yang telah disebutkan di atas, salah satu faktor yang juga sangat berperan dalam menentukan keputusan korban untuk memilih bertahan adalah adanya bias kognitif—kesalahan alam bawah sadar dalam berpikir, memproses, dan menafsirkan informasi.
Studi menunjukkan bahwa bias kognitif dapat mengaburkan persepsi korban tentang situasi nyata yang mereka hadapi. Ini berperan sebagai jebakan mental yang meyakinkan individu untuk tetap bertahan dalam hubungan berbahaya.
Berdasarkan penelitian yang kami lakukan pada 2024, terdapat setidaknya lima jenis bias kognitif yang berperan dalam menentukan keputusan tersebut.
1. Bias ‘framing’: ‘Dia telah mengambil kehormatanku’
Bias framing terjadi ketika seseorang menafsirkan informasi berdasarkan bagaimana informasi tersebut disajikan atau dipaparkan. Dalam konteks kekerasan dalam pacaran, korban sering kali “membingkai” pengalaman mereka, seperti kehilangan keperawanan, sebagai kehilangan kehormatan.
Salah satu korban dalam penelitian kami menyatakan:
“Karena saya pikir dia sudah ambil kehormatanku, jadi dia harus bertanggung jawab ke saya, jadi biar saya diperlakukan bagaimana saya tetap bertahan dengan dia”
Padahal, kehilangan keperawanan tidak selalu berarti kehilangan kehormatan. Banyak perempuan dalam penelitian ini merasa bahwa mereka telah memberikan sesuatu yang sangat berharga kepada pasangan, oleh karena itu, mereka merasa wajib untuk tetap bertahan dalam hubungan tersebut.
2. Bias emosional: ‘Saya takut kehilangan dia’
Bias emosional juga memainkan peran yang sangat kuat. Bias ini membuat seseorang mengambil keputusan berdasarkan emosi, bukan logika. Banyak korban kekerasan dalam pacaran tetap bertahan karena perasaan cinta yang mendalam atau ketakutan akan kesendirian. Salah satu korban dalam penelitian ini mengatakan:
“Saya takut ditinggalkan sama dia, makanya saya rela kalau dia lakukan kekerasan ke saya yang penting dia tidak tinggalkan saya”
Perasaan ini sering kali lebih kuat daripada logika, membuat korban sulit menyadari betapa berbahayanya hubungan yang sedang ia jalani.
3. Ilusi kontrol: ‘Dia pasti akan berubah suatu saat nanti’
Bias ilusi kontrol adalah bias yang memungkinkan seseorang memiliki keyakinan keliru bahwa ia bisa mengendalikan atau mengubah perilaku orang lain. Banyak korban kekerasan bertahan dalam hubungan karena mereka percaya bahwa tindakan mereka—seperti bersabar atau memaafkan—akan mengubah perilaku pasangan mereka yang toxic.
Seorang korban dalam penelitian kami mengatakan:
“Saya yakin dia akan berubah selama saya bersabar, pasti dia mau mendengarkan saya”
Sayangnya, perilaku abusive (kasar) biasanya terus berlanjut, meskipun korban telah mencoba segalanya. Kondisi ini menjebak mereka dalam siklus harapan dan kekecewaan yang tak berujung.
Read more: KDRT makin marak, kualitas keluarga terancam rusak
4. ‘Loss aversion’: ‘Aku sudah terlalu banyak berkorban’
Bias loss aversion terjadi karena rasa takut yang dirasakan seseorang saat mengalami kehilangan dampaknya selalu lebih besar daripada rasa senang yang ia rasakan saat memperoleh keuntungan.
Sederhananya, manusia secara alami takut kehilangan. Dalam konteks hubungan, ini berarti korban takut kehilangan waktu, usaha, dan investasi emosional yang sudah mereka berikan dalam hubungan. Memutuskan hubungan dan memulai kembali tampak seperti kerugian yang terlalu besar, meskipun bertahan berarti harus menanggung lebih banyak rasa sakit.
Mayoritas korban dalam penelitian ini berpikir bahwa mereka sudah berkorban banyak untuk pasangannya, sehingga merasa rugi jika begitu saja meninggalkannya. Bias ini membuat korban tetap bertahan dalam hubungan yang abusive, dengan harapan pengorbanan mereka bisa terbayar suatu saat nanti.
5. ‘Regret aversion’: ‘Aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama’
Bias regret aversion, terjadi ketika seseorang memilih bertahan dalam situasi yang toxic karena tidak ingin mengulang kesalahan masa lalu kemudian menyesal.
Salah satu korban dalam penelitian kami pernah dipaksa melakukan aborsi oleh pasangannya dan merasa sangat menyesal. Dia memilih untuk tetap tinggal dengan pasangannya karena ingin menghindari membuat keputusan buruk lainnya dengan meninggalkannya.
Bias ini membuat korban lebih fokus pada rasa takut mengulangi penyesalan daripada mencari jalan keluar yang lebih sehat dari hubungan yang penuh kekerasan.
Memutus rantai kekerasan
Faktor-faktor yang membuat korban tetap bertahan dalam hubungan pacaran yang penuh dengan kekerasan sangatlah kompleks. Namun, memahami dinamika psikologis yang dialami korban, termasuk bias-bias kognitif yang berperan dalam pengambilan keputusan mereka dapat memainkan peran penting dalam membantu korban mencari jalan keluar atas situasi yang mereka hadapi.
Dengan memahami bagaimana bias-bias kognitif memengaruhi pengambilan keputusan, para korban secara reflektif dapat mulai membongkar pola pikir yang merugikan yang membuat mereka terjebak dalam hubungan kasar.
Selain itu, pemahaman akan bias-bias kognitif yang berperan dalam pengambilan keputusan korban bisa menjadi alasan yang tepat bagi keluarga, teman, para profesional, serta pemerintah untuk selalu memberikan dukungan kepada korban tanpa harus menghakimi.
Sebab seringkali, korban kekerasan dalam pacaran tidak membutuhkan ceramah, tetapi tempat yang aman untuk mengekspresikan ketakutan dan kesulitan mereka tanpa harus dipermalukan.
Hubungan romantis seharusnya menjadi sumber kebahagiaan dan rasa aman, namun sering kali berkembang ke arah kekerasan dan penderitaan, seperti yang tercermin dalam data kekerasan pacaran di Indonesia.
Berbagai faktor tentunya berperan, terutama bias kognitif yang mampu mengaburkan persepsi dan keputusan korban sehingga berkontribusi pada keputusan untuk tetap bertahan dalam hubungan yang merugikan.