Menu Close
Pelajar laki-laki dan perempuan berkampanye menolak menjadi target pemasaran rokok di Jakarta, Februari 2017. Lentera Anak

Mengapa rokok menghambat tercapainya kesetaraan gender di Indonesia

Artikel diterbitkan untuk memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret.

Semangat untuk mencapai kesetaraan gender terus digaungkan di seluruh dunia. Masalahnya, kesetaraan gender akan sulit dicapai jika hak untuk hidup sehat, salah satu hak asasi manusia, bagi perempuan belum terpenuhi.

Salah satu yang mengancam kesehatan perempuan adalah konsumsi tembakau baik oleh perempuan atau laki-laki. Setiap tiap tahun, sebanyak 2 juta perempuan di dunia menjadi korban jiwa akibat konsumsi tembakau. Setidaknya 700 ribu perempuan di dunia meninggal akibat paparan pasif asap rokok.

Meski angka perokok perempuan di Indonesia masih lebih rendah dibanding laki-laki, angka ini terus naik dari 2,5% pada 2016 menjadi 4,8% pada 2018.

Kematian dan kenaikan angka perokok tidak terjadi begitu saja. Sejak 1960, industri rokok di Barat dan kemudian di seluruh dunia secara sengaja menggunakan narasi emansipasi, modern, kebebasan, dan daya tarik seksual dalam iklan-iklannya untuk menggaet perempuan menjadi perokok.

Risiko penyakit pada perempuan merokok

Berbeda dengan perokok laki-laki, perempuan yang merokok memiliki risiko kesehatan tambahan, seperti kanker leher rahim, kanker payudara, melahirkan bayi prematur dan berat badan rendah.

Masalah-masalah kesehatan yang dialami perempuan Indonesia telah menyebabkan mereka kehilangan waktu 36 juta tahun untuk hidup sehat. Perkiraan itu didapatkan dari perhitungan kematian perempuan pada 2019 yang mencapai 780 ribu kasus.

Ini menandakan bahwa rokok memperburuk ketimpangan gender dalam kesehatan.

Banyak orang berpikir bahwa fenomena merokok pada perempuan mencerminkan bangkitnya kebebasan berekspresi perempuan yang selama ini dikekang oleh budaya patriarki di Indonesia. Ada juga yang berpikir bahwa perempuan merokok sebagai bentuk pembuktian identitas bahwa mereka setara dengan laki-laki.

Sejak awal abad ke-20, pelan-pelan kebiasaan merokok pada perempuan tidak lagi tabu di masyarakat. Hal ini tidak lepas dari gerakan feminisme yang berjuang untuk menghapuskan diskriminasi berbasis gender. Salah satunya dengan berusaha untuk mendobrak citra negatif yang melekat pada perokok perempuan.

Namun, “perlawanan dengan merokok” itu di kalangan perempuan kelas bawah harus dibayar dengan banyaknya perempuan yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan karena konsumsi rokok. Pendapatan rumah tangga yang seharusnya dibelanjakan untuk kebutuhan nutrisi dan pendidikan dialihkan untuk membeli rokok.

Kemiskinan ini tidak jarang menjadi pemicu kekerasan dalam rumah tangga yang merugikan perempuan. Buruh perempuan di sektor produksi rokok hidup dalam kondisi kesejahteraan dan kesehatan yang buruk. Padahal, lebih dari setengah petani tembakau dan 94% buruh pabrik rokok adalah perempuan.

Industri rokok menyasar perempuan

Studi menunjukkan bahwa bungkus rokok adalah salah satu media bagi industri rokok untuk mempromosikan citra feminin. Misalnya melalui pemilihan warna, gambar, deskripsi (“light”, “mild”, “smooth”), maupun bentuk kemasan rokok.

Bahkan sekarang, perusahaan rokok menggunakan media sosial dan influencer perempuan untuk mempromosikan produk-produknya. Berkedok dukungan untuk emansipasi perempuan, industri rokok membuat program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) bagi perempuan di negara-negara berkembang.

Kita patut mempertanyakan, apakah perempuan merokok atas dasar keputusan sendiri secara sadar karena faktanya mereka dibombardir oleh iklan dan pemasaran masif yang menyesatkan dan ditujukan untuk menarik mereka.

Belum lagi, adiksi nikotin yang terkandung pada rokok justru membuat perempuan kehilangan kebebasannya untuk membuat keputusan rasional. Selain faktor biologis, faktor psikososial juga penyebab perempuan lebih rentan mengalami tekanan psikologis. Ini terjadi karena beban peranannya dalam keluarga, pekerjaan, masyarakat sehingga lebih cenderung menggunakan rokok sebagai strategi mengatasi stresnya dibandingkan laki-laki.

Hal ini membuat perempuan lebih sulit berhenti merokok dibandingkan laki-laki. Pada titik ini, perempuan pun kehilangan agensinya untuk menjadi manusia bebas.

Perilaku merokok pada perempuan bukan lagi tentang kebebasan berekpresi dan perlawanan terhadap penindasan jika mereka selama ini menjadi obyek eksploitasi korporasi besar seperti perusahaan rokok untuk meraup keuntungan.

Hentikan stigma negatif pada perokok perempuan, tapi jangan normalisasi merokok

Tidak ada alasan untuk melabeli perempuan yang merokok sebagai perempuan “nakal”. Memberikan stigma negatif pada perokok perempuan, terutama mereka yang berasal dari kelompok yang sudah tertindas (misalnya transpuan, etnis minoritas, kelompok miskin) justru membuat mereka semakin termarginalisasi dan meningkatkan konsumsi rokoknya.

Hal tersebut berpotensi memperparah ketimpangan perilaku merokok dan sosial-ekonomi di masyarakat. Aktivitas merokok bukan simbol valid dari progresivitas perempuan.

Jika gerakan feminisme di Indonesia bercita-cita untuk mencapai kesetaraan gender, maka mereka perlu melawan segala bentuk penindasan pada perempuan. Perempuan harus dibantu untuk keluar dari kemiskinan, dan didorong untuk memiliki kontrol pada tubuh serta hidupnya sendiri. Tentu saja rokok bukanlah jalan mencapai cita-cita tersebut.

Oleh karena itu, gerakan feminisme juga perlu memasukkan agenda pengendalian tembakau dalam perjuangan kesetaraan gender dengan cara bersinergi dengan para pegiat advokasi perbaikan kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia.

Bukan hanya kelompok feminis, kita pun bisa mendorong kesetaraan gender melalui pengendalian tembakau yang kuat.

Pengendalian tembakau untuk kesetaraan

Implementasi kebijakan pengendalian tembakau yang komprehensif, meliputi kawasan tanpa rokok, peringatan bergambar pada bungkus rokok, larangan iklan rokok, dan kenaikan cukai tembakau, terbukti efektif menurunkan konsumsi rokok di seluruh dunia, termasuk pada perempuan. Dengan demikian, langkah penendalian tembakau penting untuk mencapai keadilan bagi semua dan dapat mengurangi ketimpangan gender.

Selain itu, sebagai negara yang meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Indonesia wajib mengeliminasi diskriminasi informasi tentang tembakau dan pengobatan adiksi rokok pada perempuan, dan memastikan kondisi kerja yang sehat yang bebas dari asap rokok.

Banyak hal yang dapat masyarakat lakukan untuk memperjuangkan kesetaraan gender melalui pengendalian tembakau. Misalnya dengan upaya mengekspos praktik-praktik kotor industri rokok yang menargetkan perempuan, menolak kerja sama atau sponsor dari industri rokok untuk acara yang berkaitan dengan emansipasi perempuan, dan kampanye masif tentang dampak negatif rokok bagi perempuan tanpa memperparah stigma pada perokok.

Di level regulasi, kita perlu mendorong revisi Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012. Dorongan ini penting agar kebijakan pengendalian tembakau lebih kuat karena memuat aturan yang melindungi perempuan, seperti memperbesar peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok dan melarang secara total iklan, promosi, dan sponsor.

Bagi peneliti, riset pengendalian tembakau yang sensitif gender perlu diperbanyak. Penelitian juga bisa berfokus pada faktor-faktor psikososial dan struktural yang mempengaruhi perilaku merokok pada perempuan, seperti rasisme dan seksisme.

Akhirnya, pengendalian tembakau yang kuat adalah salah satu kunci bagi Indonesia untuk mengurangi kematian prematur akibat penyakit tidak menular, salah satu target Sustainable Development Goals (SDGs) yang selaras dengan tema UN Women “Gender Equality today for a sustainable tomorrow” untuk memperingati Hari Perempuan Internasional tahun ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,000 academics and researchers from 4,940 institutions.

Register now