Praktik sains terbuka (open science) yang bertujuan agar hasil sains bermanfaat bagi publik, kini semakin populer. Secara umum, sains terbuka berarti praktik sains yang memiliki unsur transparansi, penyebarluasan, dan inklusivitas.
Praktik ini mendukung penyebarluasan hasil riset dan keterlibatan akademisi serta masyarakat karena memegang prinsip kerja kooperatif dan kolaborasi. Ini membuat sains menjadi tersedia dan mudah diakses publik.
UNESCO merekomendasikan praktik sains terbuka sebagai cara untuk menyebarluaskan hasil riset dan mengurangi kesenjangan (gap) dalam akses. Untuk mendukung ini, UNESCO menyediakan perangkat bagi pihak yang ingin mengimplementasikan sains terbuka, termasuk soal pendanaan. Beberapa universitas juga telah menyampaikan komitmennya untuk mendukung praktik ini, misalnya di Finlandia dan Swiss.
Praktik sains terbuka berdampak secara langsung pada komunikasi sains—cara saintis (ilmuwan) berkomunikasi dengan masyarakat luas. Sebab, praktik sains terbuka dapat membuka dialog antara akademisi dengan publik sehingga hasil riset dapat dipergunakan dengan baik.
Dalam konteks Indonesia, penerapan praktik sains terbuka juga dapat meningkatkan dampak saintifik serta menjadi bagian dari transformasi pendidikan tinggi.
Memahami komunikasi sains
Komunikasi sains bertujuan agar masyarakat memahami hasil-hasil riset dengan lebih mudah dengan cara “membumikan” sains.
Secara luas, komunikasi sains yang baik diharapkan dapat menghilangkan peluang terjadinya “kutukan ilmu pengetahuan,” yaitu adanya bias atau kesenjangan pengetahuan yang dimiliki oleh akademisi dengan publik. Kesenjangan ini sering membuat akademisi melihat solusi bukan dari perspektif publik (orang awam).
Sains terbuka untuk mendukung komunikasi sains
Contoh dari praktik sains terbuka misalnya preregistrasi, open data, open material, open access, dan lainnya. Beberapa contoh praktik sains terbuka untuk mendukung komunikasi sains yang dapat diimplementasikan di Indonesia adalah:
1. Mempublikasikan hasil riset secara ‘open access’
Modus penerbitan open access (OA) memungkinkan hasil riset untuk diakses secara luas. Sebab, open access mengizinkan publik mengunduh hasil riset dalam bentuk artikel ilmiah secara bebas.
Saat ini, penerbit jurnal ilmiah mendukung penerbitan OA untuk riset yang wajib diterbitkan. Ini membantu akademisi mengetahui hasil riset terbaru, terutama bagi akademisi di universitas yang tidak mampu berlangganan jurnal yang bereputasi baik (sering diartikan sebagai jurnal bergengsi, seperti jurnal terbitan Elsevier dan Springer Nature.
Hasil riset bersifat OA akan memudahkan komunikasi antar peneliti mengenai substansi artikel. Ini sekaligus dapat mengurangi kesenjangan pengetahuan antar peneliti yang merupakan nilai dari praktik sains terbuka.
Namun, biaya publikasi OA yang tinggi, khususnya ke jurnal-jurnal yang bergengsi, menjadi kendala bagi peneliti di Indonesia. Hal ini membatasi kemampuan mereka untuk menerbitkan di jurnal bergengsi.
Akademisi tentu menginginkan agar hasil risetnya dapat diakses oleh publik, tetapi kebijakan beberapa jurnal bergengsi terkait article processing charge (biaya publikasi) yang cukup tinggi, membuat akademisi, khususnya dari negara-negara berkembang, akhirnya memilih untuk memublikasikan hasil risetnya dalam bentuk non open-access.
Pemangku kebijakan, seperti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) serta universitas dan lembaga riset semestinya dapat mendukung agar riset yang didanai publik diterbitkan secara OA. Komitmen ini juga penting sebagai tanggapan atas rekomendasi UNESCO untuk sains terbuka.
Dukungan kebijakan akan meningkatkan kepercayaan diri akademisi dengan cara meningkatkan kualitas risetnya. Ini juga dapat mengubah persepsi akademisi jurnal yang bereputasi adalah jurnal yang bergengsi (atau jurnal mahal) agar peneliti Indonesia bisa lepas dari jeratan komersialisasi sains yang dilakukan oleh penerbit raksasa dunia.
2. Menerbitkan hasil riset di preprint server
Di Indonesia, saat ini telah tersedia preprint server (pengarsipan artikel secara online yang dipersiapkan untuk publikasi formal) untuk menyampaikan hasil riset. RINarxiv dapat digunakan akademisi untuk menyampaikan hasil risetnya dalam bentuk preprint (pracetak).
Peran preprint sebagai hub komunikasi sangat penting untuk klaim hasil riset lebih cepat dan menyampaikannya kepada akademisi atau publik secara luas.
Beberapa penerbit, seperti IOP Publishing Limited dan Springer, telah mendukung untuk publikasi awal di preprint server. Dalam konteks Indonesia, akademisi dapat menggunakan hasil riset di preprint server untuk mengetahui topik riset terbaru secara cepat. Komunikasi antar periset pun dapat terjalin. Untuk mendukung ini, diperlukan kebijakan yang menguatkan eksistensi preprint server di indonesia.
Adanya preprint server yang dapat diakses oleh publik, memungkinkan masyarakat luas mendapatkan informasi mengenai hasil riset terbaru dan mengaksesnya sesuai kebutuhan. Hal ini dapat meningkatkan literasi publik terhadap hasil riset.
3. Menulis hasil riset dalam bentuk artikel ilmiah populer
Tantangan dalam komunikasi sains adalah bagaimana mengomunikasikan sains dengan bahasa yang mudah dipahami semua orang. Penyebarluasan hasil riset pada media ilmiah populer dengan bahasa lugas adalah salah satu solusinya. Sebab, hasil riset yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah umumnya menggunakan bahasa akademis yang belum tentu dipahami masyarakat luas.
Dalam prinsip sains terbuka, akademisi harus mampu menyampaikan hasil risetnya di media populer agar isinya lebih mudah dipahami dan diakses masyarakat. Ini memiliki nilai jauh lebih tinggi dibandingkan skor pada formulir kenaikan pangkat/jabatan dosen untuk tulisan yang diterbitkan di media massa. Menulis di media populer tidak hanya mengenai reward, tetapi lebih kepada pertanggungjawaban ke publik atas hasil riset yang dilakukan.
Karena itu, pemerintah perlu membuat sistem atau kebijakan yang mendukung akademisi menyampaikan hasil risetnya di media populer.
4. Menyampaikan hasil riset melalui media sosial
Tidak sedikit akademisi yang melihat media sosial (medsos) sebagai wahana strategis untuk menyebarluaskan risetnya. Memang, media sosial saat ini dapat menjadi alat untuk menyampaikan hasil riset secara luas. Akademisi dapat menyampaikan poin-poin temuan penting dari risetnya kepada publik sembari menunggu proses publikasi di jurnal ilmiah.
Laman pribadi akademisi dapat pula digunakan sebagai sarana untuk diseminasi hasil riset. Hasil riset yang disampaikan melalui laman pribadi akademisi akan memudahkan publik mendapat informasi hasil riset. Media sosial juga membuka peluang terjadinya komunikasi antara akademisi dengan publik yang memerlukan hasil riset tersebut.
Praktik ini merupakan bagian dari komunikasi sains karena “mempertemukan” akademisi dengan masyarakat luas di platform medsos dan laman pribadi. Dukungan terhadap praktik ini pun telah ada, sebut saja pedoman menggunakan media sosial Twitter/X untuk akademisi dan pedoman membagikan riset di media sosial.
Selain akun pribadi, akun media sosial universitas juga bisa digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan hasil riset akademisi ke publik. Sebagai aktor utama dalam sains terbuka, universitas perlu menyadari perannya dalam komunikasi sains.
Penyebarluasan hasil riset yang dilakukan universitas dapat meningkatkan literasi publik sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban atas riset yang didanai publik. Universitas dapat membuat ringkasan riset dengan bahasa ringan, atau membuat sesi tanya jawab dengan peneliti. Tanya jawab ini juga dapat dikembangkan menjadi tayangan audio-visual berformat podcast.
5. Menyerahkan hasil riset kepada pemangku kebijakan
Penyerahan hasil riset kepada pemangku kebijakan, misalnya pemerintah daerah, adalah contoh dari nilai inklusif dalam sains terbuka. Hasil riset tidak hanya dinikmati oleh kelompok akademisi saja, tetapi juga digunakan dalam konteks penyusunan kebijakan.
Kolaborasi antara universitas dan pemerintah daerah akan menguatkan komunikasi sains di antara keduanya. Penyerahan hasil riset ini merupakan komitmen dari akademisi agar hasil sains dapat dirasakan oleh masyarakat luas.
Forum diskusi kelompok terpumpun (FGD) juga dapat dipergunakan sebagai sarana komunikasi sains dalam konteks ini. Melalui FGD, hasil riset memiliki peluang besar untuk dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan.
6. Berkolaborasi dengan media massa atau jurnalis
Saat ini, jumlah media massa yang memiliki berita atau rubrik mengenai sains terus menurun. Kondisi ini tentunya tidak mendukung komunikasi sains. Terlebih, jurnalis dan peneliti dapat berbeda kepentingan dan sudut pandang. Misalnya, seorang jurnalis bisa membuat berita sebombastis mungkin untuk menarik pembaca, sementara peneliti enggan terbawa-bawa menjadi viral karena berita tersebut.
Karena itu, akademisi perlu berkolaborasi dengan jurnalis untuk menyuburkan jurnalisme sains (science journalism). Kolaborasi ini sebaiknya dibina berdasarkan kesepakatan dan dalam semangat bahwa sains harus diberitakan secara akurat agar manfaatnya terasa di masyarakat luas. Seluruh materi yang akan dipublikasikan, misalnya, harus terlebih dahulu disetujui oleh mitra peneliti. Peneliti juga berhak untuk merevisi berita atau bahkan meminta penurunan (take down) berita secara permanen dalam kondisi tertentu.
Model kolaborasi ini akan memudahkan akademisi menyampaikan hasil risetnya ke publik sekaligus menawarkan sudut pandang baru ke jurnalis bahwa berita mengenai hasil riset juga menarik untuk diketahui publik.
Dengan adanya praktik-praktik sains terbuka seperti di atas, komunikasi sains antara akademisi dengan publik dapat meningkat sehingga literasi publik terhadap sains pun dapat semakin kuat.