Menu Close

Mengapa sekolah perlu memperkenalkan dunia kerja pada anak sedini mungkin?

(ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) memperkirakan 152 juta anak di dunia terlibat pekerjaan berbahaya dan eksploitatif. Hal ini juga mendorong lahirnya target penghapusan pekerja anak dalam berbagai agenda global, terutama Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDG (poin 8.7).

Meski demikian, berdasarkan hasil studi kami di SMERU Research Institute, pemerintah sebenarnya telah membedakan konsep ‘pekerja anak’ dan ‘anak yang bekerja’.

Pemerintah menyediakan ruang bagi anak untuk mendalami dunia kerja, tetapi mengharamkan pekerja anak, sebagaimana yang digambarkan ILO di atas.

Anak usia 5–17 tahun boleh berlatih bekerja sepanjang pekerjaannya dalam rangka membantu orang tua, melatih keterampilan baru, atau mendidik anak bertanggung jawab dalam melakukan pekerjaan. Persyaratan lainnya adalah anak harus tetap bersekolah, hanya bekerja pada waktu senggang, dan keselamatan dan kesehatan mereka terjamin.

Saya berpendapat bahwa, dengan memenuhi rambu-rambu di atas secara ketat, sistem pendidikan Indonesia bisa mulai memperkenalkan dunia kerja pada anak sejak dini. Mengapa?

Pada 2021, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka partisipasi murni (APM) di Indonesia – persentase anak yang bersekolah untuk tiap usia jenjang tertentu – mulai menurun pasca level SD.

Anak usia SD (7-12 tahun) yang bersekolah sebesar 97,8%, sementara angkanya menurun menjadi 80,6% untuk SMP (13-15 tahun), dan makin anjlok menjadi 61,7% pada level SMA/K (16-18 tahun).

Artinya, selain 60% anak usia sekolah tidak bersekolah, mereka juga berhenti menempuh pendidikan sebelum mencapai tingkat di mana mereka umumnya diperkenalkan dan dilatih dengan kompetensi dan pengalaman dunia kerja – yakni pendidikan tinggi.

Jumlah penduduk usia SMA yang tidak bersekolah pada tahun 2020, misalnya, setara 14 juta jiwa. Bisa jadi, mereka berujung menjadi pekerja anak. Nasib ini menjadi realitas bagi banyak anak lainnya yang putus sekolah selepas lulus SD dan SMP.

Namun, akibat level pendidikan mereka yang rendah, ditambah belum dibekali dengan kompetensi yang dibutuhkan industri, mereka umumnya bekerja sebagai pekerja domestik atau buruh kasar dengan upah yang rendah.

Beriringan dengan upaya meredam angka putus sekolah demi mencegah banyaknya pekerja anak ini, sistem pendidikan Indonesia juga bisa mulai memasukkan kompetensi dan pengenalan dunia kerja pada pengajaran di sekolah.

Selain membekali pekerja yang berpendidikan rendah, ini pun bermanfaat bagi seluruh murid dari segi pembelajaran maupun penentuan aspirasi karir.

Sayangnya, beberapa akademisi telah menjelaskan bagaimana kurikulum sekolah di Indonesia masih miskin dalam pengenalan kompetensi semacam ini.

Dalam buku mereka Career Development Interventions (2017), peneliti pendidikan Spencer Niles dan JoAnne Harris-Bowlsbey mengatakan bahwa meremehkan proses pengenalan karir di masa kecil adalah layaknya tukang kebun mengabaikan kualitas tanah yang akan ia tanami.

Mengenalkan kerja melalui sekolah

Hasil penelitian di beberapa negara maju dalam lima tahun terakhir menunjukkan bahwa pengenalan berbagai jenis kerja memberi banyak manfaat bagi murid.

Pertama, membantu murid melihat relevansi pelajaran dalam kehidupan. Kedua, meningkatkan mobilitas sosial murid-murid dari level ekonomi rendah. Ketiga, membantu murid untuk tidak mengesampingkan pilihan kerja tertentu tanpa memahami kelebihan dan kekurangannya.

Hasil studi ini juga melaporkan bahwa setelah mengikuti pelajaran terkait karir, 82% dari 9.300 responden murid menyetujui bahwa “Saya sekarang mengerti bagaimana belajar matematika, bahasa Inggris, atau sains bermanfaat dalam banyak jenis pekerjaan”.

Dari 1.200 murid di sekolah dengan anak dari keluarga kurang mampu, 78% mengatakan “Saya sekarang tahu ada banyak pekerjaan yang tersedia ketika saya dewasa”. Selain itu, 74% juga menyatakan “Saya merasa lebih percaya diri dengan apa yang dapat saya lakukan kelak”.


Read more: Banyak pekerja salah jurusan: apa yang harus diperbaiki di sistem pendidikan Indonesia?


Temuan di atas mengisyaratkan bahwa pengenalan kerja kepada murid memperkaya kualitas pembelajaran dan memberi pemahaman bermakna bagi masa depan kehidupan karir mereka.

Program Myfuture, yakni layanan informasi karir tingkat nasional di Australia, menyarankan bahwa dalam mengembangkan pengenalan kerja di sekolah, perlu menimbang antara lain beberapa hal berikut:

  • Pastikan guru merasa nyaman. Untuk menjadi pelaku utama program ini, guru membutuhkan pengetahuan, keterampilan, dan pelatihan yang memadai dalam membawakan materi dan program terkait karir dan pekerjaan.

  • Kaitkan program pengenalan kerja di dalam kurikulum, dan tidak memperlakukannya sebagai sesuatu di luar kurikulum. Pengenalan kerja ini harus bisa memperkaya pembelajaran berbagai mata pelajaran.

  • Libatkan komunitas di sekitar sekolah. Diskusikan dengan orang tua, pelaku bisnis, serikat pekerja, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat tentang berbagai ide yang mungkin dapat mereka sumbangkan.

  • Mulailah lebih awal. Namun, penting untuk menyesuaikan semua kegiatan dengan tingkat kesiapan murid. Hindari cara “satu pendekatan untuk semua” (one size fits all).

Program pengenalan kerja pada dasarnya sesuai dengan kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) tentang Kurikulum Merdeka dan Merdeka Belajar. Tujuannya adalah memberikan otonomi kepada sekolah, guru, dan bahkan murid.

Profesor pendidikan karir di Inggris, Tristram Hooley menyatakan bahwa karir adalah perjalanan seumur hidup yang dimulai jauh lebih awal dari kesadaran banyak orang.

Di masa lalu, kaum muda kerap kali mengenal jalur karir ketika berada di ambang transisi ke dunia kerja. Ini bisa jadi merupakan salah satu alasan mengapa ada banyak sekali mahasiswa dan lulusan kampus di Indonesia yang salah jurusan.

Sudah waktunya kita mempertimbangkan untuk mengenalkan lika-liku kerja melalui sekolah.

Komunitas internasional tentu mengutuk adanya pekerja anak, tetapi nyatanya banyak anak yang terpaksa harus bekerja tanpa persiapan sama sekali. Sembari berupaya mengatasi masalah itu, program pengenalan kerja kepada murid akan membantu mengantar mereka agar kelak berpenghidupan layak.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now