Menu Close
Elnur/shutterstock.

Mengapa ‘student loan’ berpotensi memperburuk ketidakadilan dalam sistem pendidikan Indonesia

Wacana mengenai penerapan ‘student loan’ (pinjaman pendidikan) di Indonesia semakin santer terdengar dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun masih dalam tahap pembahasan, ide ini telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan mahasiswa dan masyarakat luas.

Student loan, yang dipromosikan sebagai solusi untuk memberikan akses yang lebih luas terhadap pendidikan tinggi, sebenarnya menyimpan potensi bahaya yang besar. Di balik janji-janji manis untuk mempermudah biaya pendidikan, terdapat perangkap kapitalisme yang siap menjebak mahasiswa dalam lingkaran utang yang tak kunjung usai.

Tanpa kewaspadaan yang cukup, kebijakan ini bisa membawa dampak negatif yang lebih luas, memperparah ketidakadilan sosial, dan semakin mengokohkan kontrol kapitalis atas tenaga kerja.

Antara harapan dan jebakan

Para pemasar student loan percaya bahwa skema ini membuka peluang bagi mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah untuk mendapatkan pendidikan tinggi tanpa harus memikirkan biaya di muka.

Namun, kebijakan ini berpotensi menjerumuskan mahasiswa ke dalam utang yang tidak perlu. Kita bisa melihat dampak buruk dari kebijakan ini di negara-negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris yang sudah lama menerapkan skema student loan.

Di negara-negara tersebut, mahasiswa lulus dengan utang besar, yang tidak hanya membatasi pilihan karier mereka, tetapi juga menciptakan ketergantungan finansial jangka panjang.

Alih-alih menjadi alat untuk memberdayakan generasi muda, student loan justru menjadi instrumen kontrol kapitalis yang memperkuat sistem tenaga kerja murah.

Mahasiswa yang lulus dengan beban utang besar sering kali terpaksa menerima pekerjaan bergaji rendah demi melunasi utang mereka. Ini adalah jebakan halus yang memperkuat stratifikasi sosial—yang kaya tetap bebas dari beban utang, sementara yang miskin semakin tertekan.

Ciptakan keterasingan

Wacana student loan di Indonesia berpotensi menciptakan alienasi atau keterasingan bagi mahasiswa kelas menengah ke bawah. Pasalnya, jika kebijakan ini diterapkan, mahasiswa dari keluarga yang kurang mampu akan dipaksa mengambil pinjaman untuk melanjutkan pendidikan mereka.

Utang tersebut, yang awalnya dijanjikan sebagai solusi untuk mengejar impian pendidikan, pada akhirnya bisa berubah menjadi jerat yang mengikat masa depan mereka. Setelah lulus, mereka akan dihadapkan pada realitas yang suram, yaitu beban utang yang harus dilunasi, sementara pasar kerja menawarkan upah rendah.

Menurut perspektif Marxisme, alienasi terjadi ketika individu kehilangan kendali atas hidup dan hasil kerja mereka dan menjadi sekadar alat produksi dalam sistem kapitalis.

Dalam konteks student loan, mahasiswa yang terlilit utang akan kehilangan kebebasan untuk menentukan pilihan karier yang benar-benar mereka inginkan. Mereka harus menerima pekerjaan apapun yang memungkinkan mereka melunasi utang—bahkan jika pekerjaan itu tidak sesuai dengan passion dan potensi mereka.

Perangkap kapitalisme

Student loan pada dasarnya adalah instrumen kapitalis yang halus namun efektif. Dengan menciptakan sistem yang ‘memaksa’ mahasiswa berhutang untuk pendidikan, kapitalisme memperluas cengkeramannya ke dalam sektor pendidikan.

Kapitalisme mengubah pendidikan—yang seharusnya menjadi alat pembebasan dan pemberdayaan—menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Mahasiswa tidak lagi dipandang sebagai individu yang mengejar ilmu, melainkan konsumen yang harus membayar untuk mendapatkan akses.

Dalam sistem ini, perguruan tinggi berubah menjadi perusahaan yang menjual jasa pendidikan, sementara mahasiswa menjadi pelanggan yang harus membayar dengan utang.

Kapitalisme mengokohkan posisinya dengan memastikan bahwa setiap langkah yang diambil mahasiswa selalu terkait dengan kewajiban finansial. Mereka yang tidak mampu membayar secara langsung dipaksa meminjam, dan pada akhirnya, mahasiswa terperangkap dalam lingkaran utang yang memperkuat kontrol kapitalis atas masa depan mereka.

Bagaimana menghindari perangkap

1. Belajar dari negara lain

Kita bisa belajar dari negara-negara yang telah lebih dulu menerapkan student loan. Di AS, utang pendidikan telah menjadi krisis nasional, dengan total utang mahasiswa mencapai lebih dari US$1,5 triliun (sekitar Rp22.500 triliun).

Sementara itu, ribuan lulusan terjebak dalam lingkaran utang yang memengaruhi pilihan hidup mereka, mulai dari karier hingga keputusan pribadi seperti membeli rumah atau memulai keluarga.

Ini adalah bentuk eksploitasi yang halus ketika pendidikan digunakan sebagai alat untuk memperluas cengkeraman kapitalisme atas individu.

Indonesia harus berhati-hati agar tidak jatuh ke dalam perangkap yang sama. Meskipun tujuan dari student loan adalah untuk memperluas akses pendidikan, dampak jangka panjangnya bisa sangat merugikan mahasiswa dan masyarakat secara keseluruhan. Student loan bisa menciptakan generasi muda yang terbebani utang, kehilangan daya tawar di pasar kerja, dan semakin teralienasi dari potensi mereka.

2. Akses pendidikan yang adil dan inklusif

Alih-alih menerapkan kebijakan student loan yang berpotensi menjerumuskan mahasiswa dalam utang, pemerintah sebaiknya fokus pada upaya lain yang lebih adil dan inklusif untuk memperluas akses pendidikan. Pendidikan harus dipandang sebagai hak asasi, bukan komoditas yang diperjualbelikan.

Langkah-langkah seperti subsidi pendidikan, penghapusan biaya kuliah untuk kalangan menengah ke bawah, atau peningkatan anggaran untuk beasiswa adalah solusi yang jauh lebih baik.

Pendidikan seharusnya membebaskan, bukan mengekang. Artinya, mahasiswa harus diberikan kebebasan untuk mengejar karier yang mereka inginkan, tanpa terbebani oleh kewajiban finansial yang mengikat. Dengan menghindari penerapan student loan, Indonesia dapat menciptakan sistem pendidikan yang lebih adil—semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang terlepas dari latar belakang ekonomi mereka.

Wacana student loan di Indonesia harus disikapi dengan kritis karena skema ini bukan sekadar pinjaman, tetapi alat kontrol kapitalis yang mengalienasi mahasiswa dari masa depan ekonomi mereka.

Jika Indonesia ingin menciptakan sistem pendidikan yang adil dan merdeka, kebijakan seperti ini harus ditolak. Sebagai gantinya, pemerintah harus fokus pada kebijakan yang benar-benar memperluas akses tanpa membebani mahasiswa. Sehingga, pendidikan dapat berfungsi sebagai alat pembebasan, bukan instrumen pengendalian.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 191,300 academics and researchers from 5,063 institutions.

Register now