Menu Close
ARMS yang dipasang di Pemuteran, Bali. (sumber: BIONESIA)

Mengenal ARMS: terumbu karang buatan untuk riset keanekaragaman hayati laut

Meski memiliki laut yang luas, Indonesia masih berkutat pada persoalan data keanekaragaman hayati atau biodiversitas laut yang minim dan belum terpadu.

Data ini tersebar di berbagai lembaga: pemerintah, Badan Riset dan Inovasi Nasional, maupun organisasi swasta. Setiap institusi pun memiliki metodenya masing-masing sehingga hasil penelitian mereka belum tentu sama.

Jika dibiarkan, perbedaan tersebut berisiko menyebabkan kerancuan data. Akibatnya, upaya pengelolaan biodiversitas laut Indonesia berisiko tidak optimal.

Indonesia membutuhkan metode pengumpulan data yang terstandardisasi, dengan pelaksanaan yang lebih singkat, dan dapat dilakukan di ekosistem laut mana pun. Yang terpenting, metode ini harus mudah dilakukan oleh berbagai jenis atau tingkatan penelitian, termasuk peneliti muda yang kini banyak bermunculan di Indonesia.

Kami mengusulkan pengumpulan data biodiversitas laut dengan alat Autonomous Reef Monitoring Structure (ARMS). ARMS adalah terumbu buatan yang dapat berfungsi sebagai ‘apartemen’ berbagai organisme perairan laut ataupun tawar.

ARMS pertama kali dikenalkan oleh sekelompok peneliti dari Amerika pada 2004. Bak terumbu karang, ARMS diharapkan mampu mengundang berbagai macam organisme bergerak seperti ikan, kepiting, udang ataupun organisme sesil (menetap) seperti karang maupun spons laut, untuk tinggal di dalamnya.

ARMS bisa menjadi metode yang efektif untuk penelitian biodiversitas laut dibandingkan metode lainnya. Sebab, alat ini dapat diletakkan sesuai waktu yang peneliti harapkan. ARMS pun dapat dipasang di dasar laut berpasir, berbatu, ataupun tertutup terumbu karang. Beberapa penelitian juga sedang dilakukan untuk melihat efektivitas ARMS untuk melihat biodiversitas laut dalam.

Bagaimana ARMS bekerja?

Penyelam saat mengambil ARMS. (BIONESIA, Smithsonian Institution, NatGeo)

ARMS terbuat dari lapisan pipa PVC (polifinil klorida) yang tersusun seperti lantai pada rumah susun.

Setiap PVC dibuat dengan ukuran berbeda-beda. Lantai dasarnya berbentuk persegi panjang (panjang 45cm x lebar 35 cm x tinggi 1,27 cm). Di atasnya terdapat sembilan lantai berbentuk persegi (22,5 cm x 22,5 cm x 0,63 cm).

ARMS diletakkan pada berbagai permukaan dasar perairan pada kedalaman dan waktu tertentu sesuai kebutuhan peneliti. Kami biasanya menempatkan ARMS sekitar 2 bulan sampai setahun. Pemantauan – untuk periode penelitian yang panjang – kami lakukan setiap dua bulan sekali karena mempertimbangkan cepatnya pertumbuhan makhluk seperti spons laut, alga, ataupun karang.

Setelah waktunya cukup, ARMS akan diambil dan dibawa ke laboratorium. Di sana para peneliti mengamati seluruh organisme yang hidup di ARMS kemudian mencatatnya.

Pengamatan organisme penghuni ARMS juga dilakukan secara molekuler. Caranya dengan menggerus setiap lantai lalu melumatkannya dengan blender. Peneliti kemudian mengambil sampel lumatan ini untuk dianalisis dengan mikroskop ataupun peralatan lainnya.

Beraneka analisis dari ARMS

Penggunaan ARMS memungkinkan para peneliti untuk menganalisis banyak hal, seperti:

1) Pola keberagaman genetika

Kami menggunakan ARMS untuk menelaah pola keragaman genetika dari organisme eukariotik organisme dengan sel nukleus berlapis membran (seperti, hewan, tumbuhan, maupun jamur) dan organisme mikroba laut Indonesia dari barat hingga timur.

Dalam penelitian ini, kami bekerja sama dengan beberapa institusi riset, universitas, dan lembaga swadaya masyarakat Indonesia dan Amerika Serikat.

Riset menggunakan ARMS yang diletakkan di kedalaman 5-12 meter selama 3 tahun (2013-2016). Kami kemudian menganalisisnya dengan pendekatan Next Generation Sequencing (NGS), untuk membaca urutan DNA secara masif.

Metode ini menjadi pelengkap untuk berbagai analisis keanekaragaman hayati seperti identifikasi spesies baru, rekontruksi sejarah evolusi, analisis genomik, dan pemetaan lingkungan serta ekosistem.

Hasilnya, dari lima lokasi, riset kami membuktikan perairan Indonesia Timur (di Bali, Raja Ampat, dan Teluk Cendrawasih) memiliki keberagaman genetika lebih tinggi dibandingkan perairan di darat Indonesia (Aceh dan Kepulauan Seribu).

Keindahan laut Raja Ampat
Pemandangan bawah laut di Distrik Misool, Kab. Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. (Fakhrizal Setiawan/Wikimedia Commons)

2) Perubahan ekosistem

Selain pendekatan molekuler, ARMS juga digunakan untuk melihat perubahan komposisi suatu ekosistem dengan pendekatan morfologis. Pendekatan ini menekankan pengamatan karakter pembeda pada bagian tubuh antar jenis ataupun antar spesies.

Studi terbaru kelompok kami yang terbit di Journal of Regional Studies in Marine Science menggunakan ARMS untuk melihat perbedaan komposisi organisme sesil seperti karang, spons, dan alga, maupun makhluk dekapoda (bergerak) seperti kepiting dan udang selama setahun di Pemuteran, Bali. Dalam waktu tersebut, kami mencatat perubahan komposisi ekosistem setiap dua bulan selama setahun.

Hasilnya, kami menemukan organisme sesil penghuni ARMS saling berkompetisi mendapatkan ruang.

Pada empat bulan pertama, ARMS akan didominasi oleh alga. Sedangkan pada waktu selanjutnya, dominasi alga direbut oleh berbagai jenis makhluk tidak bertulang belakang maupun sesil seperti spons laut. Alga dan spons laut adalah makanan berbagai jenis dekapoda yang hidup di ARMS.

Susunan plate atau lantai ARMS dan perubahan komposisi organisme menetap (sesil) setiap pengambilan ARMS selama 2 bulan sekali dalam setahun pengamanatan yang ditaruh di Pemuteran, Bali. (Sumber: Sembiring et al., 2023; BIONESIA)

3) Mengamati dampak tekanan lingkungan

Kami juga menggunakan ARMS untuk melihat tekanan lingkungan (seperti polusi) akibat aktivitas manusia terhadap biodiversitas di Kepulauan Seribu, Jakarta.

Penelitian berbasiskan analisis Next Generation Sequencing (NGS) ini menunjukkan, kedekatan ekosistem terumbu karang kepada tidak serta merta mengurangi keanekaragaman hayatinya.

Meski ada indikasi biodiversitas berkurang, perubahan lingkungan juga bisa menciptakan keanekaragaman hayati yang unik dan berbeda jika dibandingkan dengan daerah tanpa gangguan.

Sampah laut Aceh
Penyelam memperlihatkan sampah plastik yang diambil dari dalam laut kawasan Pantai Kuta Timu, Kota Sabang, Aceh. (Khalis Surry/Antara)

4) Potensi spesies invasif

ARMS juga bermanfaat untuk mendeteksi penyebaran spesies invasif di suatu lokasi.

Peneliti Swedia menggunakan ARMS untuk melihat persebaran Juxtacribrilina mutabilis, organisme jenis bryozoa (seperti lumut laut) yang berasal dari Jepang. Baru-baru ini, makhluk tersebut masuk ke wilayah perairan Eropa akibat dari lalu lintas perkapalan sehingga bisa mengancam ekosistem sekitar.

Tantangan ke depan

Studi menggunakan ARMS dapat membantu Indonesia untuk mengurangi bias dalam perhitungan biodiversitas.

ARMS juga bisa melengkapi metode pengamatan langsung dalam penilaian keanekaragaman hayati. Pengamatan langsung memang menghasilkan data yang akurat, tapi hasil-hasil pengamatannya bisa sulit dibandingkan karena faktor perbedaan tingkat keahlian para pengamat.

Untuk mengoptimalkan fungsi ARMS, Indonesia dapat memperkuat beberapa riset pendukung, seperti studi bioinformatika (analisis data biologis) dengan kapasitas data yang besar dan rumit.

Indonesia juga masih perlu menyediakan fasilitas dan basis data morfologi (terkait bentuk tubuh spesies) dan genetika biodiversitas. Basis data ini haruslah terpadu untuk memudahkan peneliti mencari informasi pembanding, serta memperoleh serial data dalam menilai biodiversitas laut.

Indonesia juga dapat memanfaatkan ARMS guna menjelajahi biodiversitas di laut dalam yang masih jarang diteliti.

Sejauh ini, bodiversitas lebih jamak dijelajahi di laut dangkal (kedalaman 0 - 30 m). Masih ada peluang bagi Indonesia untuk menempatkan ARMS di laut dalam seperti zona mesofotik (kedalaman >30 - 150 m) secara berkala dan dalam wilayah yang luas.

Untuk menggenjot eksplorasi, pemerintah dapat bermitra dengan perguruan tinggi, Badan Riset dan Inovasi Nasional, lembaga swadaya masyarakat, maupun sektor swasta. Upaya gotong royong untuk membuat basis data biodiversitas laut maupun analisis bioinformatika yang besar dan rumit juga bisa menjadi pilihan langkah yang apik.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now