Seminggu sudah Indonesia kehilangan salah satu tokoh cendekiawan Muslim termasyhurnya, Azyumardi Azra. Beliau meninggal dunia pada Minggu lalu, 18 September 2022 di usia 67 tahun, di tengah masa jabatannya sebagai Ketua Dewan Pers.
Sepanjang hidupnya, Azyumardi konsisten meneliti, menulis, dan menyebarluaskan pandangan yang kosmopolitan dan progresif tentang dunia Islam, pendidikan, politik dan sejarah. Azyumardi selalu mendorong publik–umat Islam pada khususnya–untuk mampu berpikir terbuka dan menerima perbedaan, serta memiliki dorongan untuk terus maju dan berkembang.
Azyumardi memperoleh gelar PhD dari Departemen Sejarah di Columbia University, Amerika Serikat (AS) dengan disertasi berjudul “The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Networks of Middle Eastern and Malay Indonesian Ulama in the Seventeenth and Eighteen Centuries”. Karya ilmiah yang kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia sebagai Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII tersebut, menjadi buku pegangan bagi kajian perkembangan Islam di Asia Tenggara dan global.
Pasca Reformasi, Azyumardi sukses memimpin transformasi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), demi mewujudkan cita-cita integrasi ilmu agama dan ilmu umum dalam institusi pendidikan umat Islam. Gagasan ini sesungguhnya telah dipupuk sejak zaman kepemimpinan rektor sebelumnya Profesor Harun Nasution yang meyakini bahwa umat Islam baru bisa mencapai kemajuan peradaban dengan penguasaan sains dan teknologi.
Bahwa keberhasilan transformasi itu terjadi masa Azyumardi menjadi Rektor, tidaklah mengherankan. Sejak muda, Azyumardi telah menjadi aktivis dan gemar berorganisasi. Ia terlatih mengembangkan pemikiran kritis sekaligus keberanian untuk mewujudkannya.
Sebagai Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat periode 1982-1983, Azyumardi memimpin pembangunan kembali asrama HMI yang terletak di Situ Kuruk menjadi Aula Insan Cita, tempat yang kemudian menjadi pusat kegiatan HMI Cabang Ciputat.
Semasa menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta Jurusan Bahasa Arab, persisnya pada 1980, Azyumardi juga berani berhadapan dengan Profesor Harun Nasution demi mengkritik kenaikan harga SPP.
Di tengah perdebatan, Harun Nasution dengan agak kesal menyuruh Azyumardi pindah duduk ke kursinya. “Sini, coba Saudara duduk di sini! Coba gantikan saya jadi rektor, biar Saudara tahu apa rasanya memimpin!”
Sebuah ucapan yang ternyata menjelma doa.
Nilai optimisme
Azyumardi meninggal dunia saat sedang dalam perjalanan memenuhi undangan menjadi pembicara pada Persidangan Antarbangsa “Kosmopolitan Islam” di Kajang, Malaysia. Makalah yang sedianya akan ia presentasikan dalam seminar tersebut diterbitkan oleh harian Kompas pada 19 September dengan judul “Kebangkitan Peradaban, Memperkuat Optimisme Muslim Asia Tenggara”.
Dalam esai tersebut, Azyumardi bicara tentang bagaimana Muslim di Asia, khususnya Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia yang memiliki jumlah penduduk Muslim terbesar, berpotensi menjadi pusat peradaban dunia. Namun tentu ada prasyaratnya, yakni stabilitas politik, pendidikan, pemberdayaan masyarakat madani, dan pengembangan keadaban masyarakat. Corak optimisme ini sangat khas Azyumardi.
Salah satu dari banyak hal yang saya kagumi dari sosok beliau adalah bagaimana ilmu pengetahuan tidak membuatnya menjadi sosok yang sinis atau fatalis. Semakin banyak hal yang ia pelajari tentang sejarah Islam dan politik global, justru semakin optimis ia terhadap kebangkitan Muslim Asia Tenggara.
Suatu kali, saya tunjukkan proposal disertasi saya kepada Azyumardi tentang identitas kaum Muslim kota di media sosial. Dengan cemas saya tanyakan pada beliau apakah benar Islam di Indonesia akan semakin konservatif dan mengancam keberagaman.
“Tidak,” jawab Azyumardi tegas. “DNA Indonesia adalah kemajemukan, dan itu akan sangat susah digoyahkan. Kita harus yakin. Justru sebagai akademisi tugas kita adalah mendorong masyarakat untuk selalu merawat keberagaman.”
Membaca, menulis, menonton
Azyumardi mengoleksi kira-kira 15.000 buku yang ia tempatkan di sebuah rumah khusus. Hobi membaca sudah ia kembangkan sejak SD di kota kelahirannya, di sebuah kecamatan di Padang, Sumatra Barat, Lubuk Alung, yang sering ia sebut sebagai LA.
Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Buya Hamka adalah dua buku yang paling disukainya. Menurut Azyumardi, buku-buku tersebut merangsang terbitnya kesadaran sosial dalam dirinya.
Dari Salah Asuhan, ia belajar tentang budaya Minang, khususnya dalam hubungan antara mamak dan kemenakan, sedangkan Van der Wijk mengisahkan tentang sedihnya kasih tak sampai. Meski belum paham benar, sedikit banyak ia bisa merasakan sisi-sisi kemanusiaan dalam cerita itu. Azyumardi juga menggandrungi komik karya Kho Ping Hoo, yang disebutnya sebagai “cerita silat sarat filsafat”.
Semasa menempuh pendidikan master dan doktoralnya di Amerika Serikat, Azyumardi melahap banyak sekali buku. Istrinya, Ipah Fariha, terbiasa menjemput kargo berisi berpeti-peti buku kiriman Azyumardi di Tanjung Priok. Kegemaran membaca ini agaknya membantu Azyumardi dalam mengembangkan keterampilan menulis. Ia kemudian menjadi penulis yang sangat produktif, yang bisa menulis di mana saja.
Azyumardi biasa bangun pukul tiga atau empat pagi, shalat tahajud dilanjut subuh, lalu menulis. Setiap hari ia menulis minimal satu kolom singkat dan beberapa lembar makalah.
Setelah merampungkan penulisan biografi dirinya, Cerita Azra pada 2011, kami terus saling berkabar. Azyumardi juga menyempatkan diri menjadi saksi pernikahan saya setahun setelah buku tersebut terbit. Kadang-kadang kalau sedang luang, Azyumardi mengajak saya dan suami makan siang bersama. Salah satu tempat makan favoritnya adalah restoran Vietnam di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Lebih sering kami ngopi sambil makan kue di rumah Azyumardi di Ciputat, membicarakan isu-isu terkini dan saling bertukar rekomendasi film. Terakhir, saya menyarankan Azyumardi menonton “Don’t Look Up” di Netflix, sementara saya disuruhnya menonton serial kriminal “Animal Kingdom”.
“Selamat belajar ya, Mbak. Nanti kita ketemu di Clayton atau Klaten yang berangin, he-he,” pesan Azyumardi sesampainya saya di Australia untuk melanjutkan studi di Monash University yang salah satu kampusnya berada di kawasan suburban yang disebut Clayton.
Kini, janji temu itu tak mungkin lagi. Telah usai tugas Azyumardi di dunia, namun pemikirannya akan tetap hidup dan terus berkembang lewat tulisan-tulisan yang ia tinggalkan.
Selamat jalan, Bapak, selamat kembali pulang…